Diantara pintu-pintu rizki adalah silaturrahim. Pembicaraan masalah ini -dengan memohon pertolongan Allah- akan saya bahas melalui empat point berikut.
Pertama, makna silaturrahim.
Kedua, dalil syar'i bahwa silaturrahim termasuk diantara pintu-pintu rizki.
Ketiga, apa saja sarana untuk silaturrahim ?
Keempat, tata cara silaturrahim dengan para ahli maksiat.
Pertama, Makna Silaturrahim
Makna 'ar-rahim' adalah para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : "Ar-rahim secara umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat dekat. Antar mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak".
Menurut pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja.
Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian. (Fathul Bari, 10/414)
Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah (ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para kerabat dekat -baik menurut garis keturunan maupun perkawinan- berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka. (Lihat, Murqatul Mafatih, 8/645)
Kedua, Dalil Syar'i Bahwa Silaturrahim Termasuk Kunci Rizki
Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan silaturrahim termasuk di antara sebab kelapangan rizki. Diantara hadits-hadits dan atsar-atsar itu adalah:
- Imam Al-Bukhari
meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, aku
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya
: Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya
(dipanjangkan umurnya)
1) maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturrahim". (Shahihul
Bukhari, Kitabul Adab, Bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, no.
5985, 10/415)
- Dalil lain adalah hadits
riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya
: Siapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan usianya
(dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung silaturrahim". (Shahihul
Bukhari, Kitabul Adab, Bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, no.
5986, 10/415)
Dalam
dua hadits yang mulia di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan dua hal, kelapangan rizki dan
bertambahnya usia.
Ini adalah
tawaran terbuka yang disampaikan oleh mahluk Allah yang paling benar dan jujur,
yang berbicara berdasarkan wahyu, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Maka barangsiapa menginginkan dua buah di atas hendaknya ia
menaburkan benihnya, yaitu silaturrahim. Demikian, sehingga Imam Al-Bukhari
memberi judul untuk kedua hadits itu dengan "Bab Orang Yang Dilapangkan
Rizkinya dengan Silaturrahim" (Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, Bab Man
Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, 10/415). Artinya, dengan sebab
silaturrahim. ('Umdatul Qari, 22/91) Imam Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu dalam Kitab Shahihnya dan beliau memberi judul dengan "Keterangan Tentang Baiknya Kehidupan dan Banyaknya Berkah dalam Rizki Bagi Orang Yang Menyambung Silaturrahim". (Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabul Birri wal Ihsan, Bab Shilaturrahim wa Qath'iha, 2/180)
- Dalil lain adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
beliau bersabda.
"Artinya
: Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung
silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah (sebab adanya) kecintaan
terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyak-nya harta dan bertambahnya
usia".
2)
Dalam
hadits yang mulia ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa silaturrahim itu membuahkan tiga hal, diantaranya adalah ia menjadi sebab
banyaknya harta.
- Dalil lain adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani
dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda.
"Artinya
: Barangsiapa senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya serta
dihindarkan dari kematian yang buruk maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
dan menyambung silaturrahim". 3)
Dalam
hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang jujur dan
terpercaya, menjelaskan tiga manfaat yang terealisir bagi orang yang memiliki
dua sifat; bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim. Dan salah satu
dari tiga manfaat itu adalah keluasan rizki.
- Dalil lain adalah riwayat
Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu ia berkata.
"Artinya
: Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturrahim, niscaya
dipanjangkan umurnya, dibanyakkan rizkinya dan dicintai oleh keluarganya".
(Al-Adabul Mufrad, Bab Man Washala Rahimahu Ahbbahu Allah, no. 59, hal. 37)
- Demikian besarnya pengaruh
silaturrahim dalam berkembangnya harta dan benda dan menjauhkan
kemiskinan, sampai-sampai ahli maksiat pun, disebabkan oleh silaturrahim,
harta mereka bisa berkembang, semakin banyak jumlahnya dan mereka jauh
dari kefakiran, karena karunia Allah Ta'ala.
Imam
Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya
keta'atan yang paling disegerakan pahalanya adalah silaturrahim. Bahkan hingga
suatu keluarga yang ahli maksiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah
mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturrahim. Dan tidaklah ada
suatu keluarga yang saling bersilaturrahim kemudian mereka membutuhkan
(kekurangan)". (Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabul Birr wal
Ihsan, Bab Shilaturrahim wa Qath'iha, no. 440, 2/182-183. Syaikh Syu'aib
Al-Arna'uth menshahihkan hadits ini ketika menyebutkan dalil-dalil pada catatan
kaki Al-Ihsan. (Lihat, 2/183-184))
Footnote
: - Catatan : "Para ahli
hadits mengangkat persoalan seputar bertambahnya umur karena silaturrahim
dan mereka memberikan jawabannya. Misalnya, dalam Fathul Bari disebutkan,
Ibnu At-Tin berkata, 'Secara lahiriah, hadits ini bertentangan dengan
firman Allah : "Artinya; Maka apabila telah datang ajal mereka,
mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat
(pula) memajukannya" (Al-A'raf : 34). Untuk mencari titik temu
kedua dalil tersebut dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, bahwasanya
tambahan (umur) yang dimaksud adalah kinayah dari usia yang diberi
berkah karena mendapat taufiq untuk menjalankan keta'atan, ia menyibukkan
waktunya dengan apa yang bermanfa'at di akhirat, serta menjaga dari
menyia-nyiakan waktunya untuk hal lain (yang tidak bermanfa'at). Kedua,
tambahan itu secara hakikat atau sesungguhnya. Dan itu berkaitan dengan
malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang ditunjukkan
oleh ayat pertama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah
Ta'ala. Umpamanya dikatakan kepada malaikat, sesungguhnya umur fulan
adalah 100 tahun jika dia menyambung silaturrahim dan 60 tahun jika ia
memutuskannya'. Dalam ilmu Allah telah diketahui bahwa fulan tersebut akan
menyambung atau memutuskan silaturrahim. Dan apa yang ada di alam ilmu
Allah itu tidak akan maju atau mundur. Adapun yang ada dalam ilmu malaikat
maka hal itulah yang mungkin bisa bertambah atau berkurang. Itulah yang
diisyaratkan oleh firman Allah : "Artinya: Allah menghapuskan apa
yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya
lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)" (Ar-Ra'd : 39). Jadi,
yang dimaksudkan dengan menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu adalah
apa yang ada dalam ilmu malaikat. Sedangkan apa yang ada di dalam Lauh
Mahfuzh itu merupakan ilmu Allah, yang tidak akan ada penghapusan
(perubahan) selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al-qadha'
al-mubram (taqdir/putusan yang pasti), sedang yang pertama
(dalam ilmu malaikat) disebut al-qadha' al-mu'allaq (taqdir/putusan
yang masih menggantung). (Fathul Bari, 10/416 secara ringkas. Lihat
pula, Syarah Nawawi, 16/114, 'Umdatul Qari, 22/91)
- Al-Musnad, no. 8855,
17/42 ; Jami'ut Tirmidzi, Abwabul Birri wash Shihah, Bab Ma Ja'a fi
Ta'limin Nasab, no. 2045, 6/96-97, dan lafazh ini miliknya ; Al-Mustadrak
'alash Shahihain, Kitabul Birr wash Shilah, 4/161. Imam Al-Hakim berkata.
'Hadits ini sanad-nya shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim (Op.cit, 4/161). Hal ini juga disepakati oleh Adz-Dzahabi (Lihat,
Al-Talkhish, 4/161). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menyatakan sanad-nya
shahih. (Lihat, Hamisyul Musnad, 17/42). Dan ia dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani. (Lihat, Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/190).
- Al-Musnad, no. 1212,
2/290 ; Majma'uz Zawa'id wa Manba'ul Fawa'id, Kitabul Birri wash Shihah,
Bab Shilaturrahim wa Qath'iha, 8/152-153. Tentang hadits ini, Al-Hafizh
Al-Haitsami berkata : 'Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad,
l-Bazzar dan Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath. Para perawi Al-Bazzar adalah
perawi-perawi Shahih Muslim, selain Ashim bin Hamzah, dia adalah orang
tsiqah (terpercaya). (Op.cit, 8/153). Disebutkan Ashim bin Hamzah, yang
benar adalah Ashim bin Dhamrah. Penulisan Hamzah adalah salah cetak.
(Lihat, Hamisyul Musnad, 2/290). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata.
'Sanad hadits ini Shahih. (Op.cit. 2/290).
Disalin
dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Syaikh Dr Fadhl
Ilahi, dengan edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah
hal. 45-51 terbitan Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris Arifin Lc
Halaman satu dari dua tulisan
Created
at 10 Agustus 2002 | Masalah Penting
| Ke
Halaman Dua
Silaturrahim
Dr.
Fadhl Ilahi
Halaman
dua
dari dua tulisan
Ketiga,
Apa Saja Sarana Untuk Silaturrahim ? Sebagian orang menyempitkan makna silaturrahim hanya dalam masalah harta. Pembatasan ini tidaklah benar. Sebab yang dimaksud silaturrahim lebih luas dari itu. Silaturrahim adalah usaha untuk memberikan kebaikan kepada kerabat dekat serta (upaya) untuk menolak keburukan dari mereka, baik dengan harta atau dengan lainnya.
Imam Ibnu Abi Jamrah berkata : "Silaturrahim itu bisa dengan harta, dengan memberikan kebutuhan mereka, dengan menolak keburukan dari mereka, dengan wajah yang berseri-seri serta dengan do'a".
Makna silaturrahim yang lengkap adalah memberikan apa saja yang mungkin diberikan dari segala bentuk kebaikan, serta menolak apa saja yang mungkin bisa ditolak dari keburukan sesuai dengan kemampuannya (kepada kerabat dekat). (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 6/30)
Keempat, Tata Cara Silaturrahim dengan Para Ahli Maksiat
Sebagian orang salah dalam memahami tata cara silaturrahim dengan para ahli maksiat. Mereka mengira bahwa bersilaturrahim dengan mereka berarti juga mencintai dan menyayangi mereka, bersama-sama duduk dalam satu majlis dengan mereka, makan bersama-sama mereka serta sikap lembut dengan mereka. Ini adalah tidak benar.
Semua memaklumi bahwa Islam tidak melarang berbuat baik kepada kerabat dekat yang suka berbuat maksiat, bahkan hingga kepada orang-orang kafir. Allah berfirman.
"Artinya : Allah tiada
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil". (Al-Mumtahanah
: 8)
Demikian
pula sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma' binti Abi Bakar Radhiyallahu
'anhuma yang menanyakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
bersilaturrahim kepada ibunya yang musyrik. Dalam hadits itu diantaranya
disebutkan.
"Artinya : Aku bertanya,
'Sesungguhnya ibuku datang dan ia sangat berharap,1) apakah aku harus
menyambung (silaturrahim) dengan ibuku ?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab. 'Ya, sambunglah (silaturrahim) dengan ibumu".2)
Tetapi,
itu bukan berarti harus saling mencintai dan menyayangi, duduk-duduk satu
majlis dengan mereka, bersama-sama makan dengan mereka serta bersikap lembut
dengan orang-orang kafir dan ahli maksiat tersebut. Allah berfirman.
"Artinya : Kamu tidak akan
mendapati satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
rang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun
keluarga mereka". (Al-Mujadillah : 22)
Makna
ayat yang mulia ini -sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Razi- adalah
bahwasanya tidak akan bertemu antara iman dengan kecintaan kepada musuh-musuh
Allah. Karena jika seseorang mencintai orang lain maka tidak mungkin ia akan
mencintai musuh orang tersebut. (At-Tafsirul Kabir, 29/276. Lihat pula,
Fathul Qadir, 5/272)
Dan
berdasarkan ayat ini, Imam Malik menyatakan bolehnya memusuhi kelompok
Qadariyah dan tidak duduk satu majlis dengan mereka. (Lihat, Ahkamul Qur'an
oleh Ibnul Arabi, 4/1763; Tafsir Al-Qurthubi, 17/307) Imam Al-Qurthubi mengomentari dasar hukum Imam Malik : "Saya berkata, 'Termasuk dalam makna kelompok Qadariyah adalah semua orang yang zhalim dan yang suka memusuhi'. (Tafsir Al-Qurthubi, 17/307. Lihat pula, Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, 26/80)
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia tersebut berkata : "Artinya, mereka tidak saling mencintai dengan orang yang suka menentang (Allah dan RasulNya), bahkan meskipun mereka termasuk kerabat dekat". (Tafsir Ibnu Katsir, 4/347)
Sebaliknya, silaturrahim dengan mereka adalah dalam upaya untuk menghalangi mereka agar tidak mendekat kepada Neraka dan menjauh dari Surga. Tetapi, bila kondisi mengisyaratkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan cara memutuskan hubungan dengan mereka, maka pemutusan hubungan tersebut -dalam kondisi demikian- dapat dikategorikan sebagai silaturrahim.
Dalam hal ini, Imam Ibnu Abi Jamrah berkata : "Jika mereka itu orang-orang kafir atau suka berbuat dosa maka memutuskan hubungan dengan mereka karena Allah adalah (bentuk) silaturrahim dengan mereka. Tapi dengan syarat telah ada usaha untuk menasehati dan memberitahu mereka, dan mereka masih membandel. Kemudian, hal itu (pemutusan silaturrahim) dilakukan karena mereka tidak mau menerima kebenaran. Meskipun demikian, mereka masih tetap berkewajiban mendo'akan mereka tanpa sepengetahuan mereka agar mereka kembali ke jalan yang lurus. (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 6/30)
Footnote :
- Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata
: "Dalam riwayat lain disebutkan, 'Ia datang kepadaku dalam keadaan
penuh harapan dan rasa takut'. Maknanya, bahwa ia datang dengan harapan
agar puterinya berbuat baik kepadanya. Dan ia takut jika harapannya
ditolak dan tak membawa hasil. Demikian seperti yang diterangkan oleh
mayoritas ulama". (Fathul Bari, 5/234)
- Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari (Lihat, Shahihul Bukhari, Kitabul Hibah, Bab
Al-Hadiyyah lil Musyrikin no. 2620, 5/233). Imam Al-Khathabi berkata :
"Ini menunjukkan bahwa kerabat dekat yang kafir disambung
silaturrahminya dengan harta atau sejenisnya. Sebagaimana kaum muslimin
disambung silaturrahimnya dengannya". (Dinukil dari Fathul Bari,
5/234)
Disalin dari buku Mafatiihur
Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Syaikh Dr Fadhl Ilahi, dengan edisi
Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah hal. 45-51 terbitan
Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris Arifin Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar