KATA PENGANTAR
Tulisan dibawah ini merupakan terjemahan dari fatwa Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani berkaitan dengan hukum Shalat 'Ied dan Takbir pada hari 'Ied. Kami angkat dari Silsilah al-Fatawa Asy-Syar'iyah No. 8 bulan Muharram dan Shafar 1419H, soal jawab No. 131 dan 137. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/Th III/1419-1998M.
Syaikh Abu al-Hasan as-Sulaimani adalah seorang 'alim dari Mesir yang kini tinggal di Ma'rib Yaman, murid senior dari Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i yang ahli dalam bidang hadits. Semoga tulisan ini bermanfaat.
HUKUM SHALAT 'IED, WAJIB ATAU SUNNAH
Beliau ditanya tentang dua orang yang berselisih pendapat mengenai shalat 'Ied, apakah hukumnya wajib, atau sunnah yang bila dilaksanakan akan berpahala tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.
Beliau menjawab :
"Berkaitan dengan persoalan ini, ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan Ulama :"
- Shalat 'Ied hukumnya
sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama.
- Fardhu Kifayah, artinya
(yang penting) dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat
dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari
segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada
sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan
shalat 'Ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah
pendapat yang terkenal di kalangan madzhab Hambali.
- Fardhu 'Ain (kewajiban
bagi tiap-tiap kepala), artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya.
Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat
dari Imam Ahmad.
DALIL-DALIL
Para
pendukung pendapat pertama berdalil dengan hadits yang muttafaq 'alaih, dari
hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata :
"Artinya : Telah datang
seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa
difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya
tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab :
"Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam". Ia bertanya lagi :
Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya ? Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam menjawab : "Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja".
Beliau melanjutkan sabdanya : "Kemudian kewajiban berpuasa Ramadhan".
Ia bertanya : Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya ?. Beliau menjawab
: "Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja". Perawi (Thalhah bin
Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam menyebutkan zakat kepadanya. Iapun bertanya : "Adakah saya
punya kewajiban lainnya ?. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab
: "Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja". Perawi mengatakan,
"Setelah itu orang ini pergi seraya berkata : Demi Allah, saya tidak akan
menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini". (Menanggapi perkataan orang
itu) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Niscaya
dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)".
Mereka
(para pendukung pendapat kesatu) mengatakan : Hadits ini menunjukkan bahwa
shalat selain shalat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib
(Fardhu) 'Ain (bukan kewajiban perkepala). Dua shalat 'Ied termasuk ke dalam
keumuman ini (yakni bukan wajib melainkan hanya sunnah saja, -pen). Pendapat
ini di dukung oleh sejumlah Ulama diantaranya Ibnu al-Mundzir dalam "Al-Ausath
IV/252".
Sedangkan
pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa shalat 'Ied adalah Fardhu
Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa shalat 'Ied adalah shalat yang
tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan shalat
jenazah, padahal shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalat
'Ied juga merupakan syi'ar Islam. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan
firman Allah :
"Artinya : Maka dirikanlah
shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu)". (Al-Kautsar : 2).
(Ayat
ini berkaitan dengan perintah melaksanakan shalat 'Ied, yakni 'Iedul Adha,
wallahu a'lam, red).
Mereka juga
berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadits (kisah
tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan
hadist-hadits yang menunjukkan wajibnya shalat 'Ied. Perhatikanlah Al-Mughni
II/224. Sementara para pengikut pendapat ketiga berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.
Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa shalat 'Ied adalah) wajib 'Ain (kewajiban perkepala). Beliau pun menyebutkan bahwa para shahabat dulu melaksanakan shalat 'Ied di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorang pun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa shalat 'Ied termasuk jenis shalat Jum'at, bukan termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan shalat 'Ied tanpa khutbah, persis seperti dalam shalat Jum'at. Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa' (do'a meminta hujan), sebab Istisqa' tidak terbatas hanya dalam shalat dan khutbah saja, bahkan Istisqa' bisa dilakukan hanya dengan berdo'a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rahimahullah membatasi Istisqa' hanya dalam bentuk do'a, ia berpandangan bahwa tidak ada shalat khsusus untuk istisqa'.
Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu Anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami shalat ('Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah. Andaikata shalat 'Ied itu sunnah, tentu Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid. Karena jika memang sunnah, orang-orang lemah ini tidak usah melaksanakannya, tetapi toh Ali tetap menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di Masjid, berarti ini menunjukkan wajib (sehingga orang-orang lemahpun tetap harus melaksanakannya -red).
Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari 'Ied dan do'a kaum Mukminin. Apabila Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak shalat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci. Ketika ada diantara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa : "Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab (kain menutupi seluruh tubuh wanita dari atas kepala hingga ujung kaki, pen), beliau tetap tidak memberikan keringan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :
"Artinya : Hendaknya ada
yang meminjamkan jilbab untuknya". (Hadits shahih, muttafaq 'alaihi,
sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim).
Padahal
dalam shalat Jum'at dan shalat berjama'ah, Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda (bagi para wanita) :
"Artinya : Dan (di dalam)
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka".
Juga
bahwa shalat Jum'at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda
dengan shalat 'Ied (yang tidak ada gantinya). Shalat 'Ied hanya satu atau dua
kali dalam satu tahun, berlainan dengan shalat Jum'at yang terulang sampai lima
puluh kali atau lebih (dalam satu tahun). Sementara itu Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan shalat
'Ied, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju shalat 'Ied. Beliau dan
kemudian di susul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus
melakukan shalat 'Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di
negeri Islam shalat 'ied ditinggalkan, sedangkan shalat 'Ied termasuk syi'ar
Islam yang paling agung. Firman Allah berbunyi :
"Artinya : Dan hendaklah
kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya". (Al-Baqarah
: 185)
Pada
ayat itu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan bertakbir pada hari Iedul
Fitri dan Iedul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan shalat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara
takbir pada raka'at pertama dan raka'at kedua. (Demikianlah secara ringkas
apa yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disertai sedikit penambahan
keterangan dan pengurangan. Lihat Majmu' Fatawa XXIV/179-183).
Imam
Shana'ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam "Ar-Raudhah An-Nadiyah"
menambahkan bahwa apabila (hari) 'Ied dan Jum'at bertemu, maka (hari) 'Ied
menggugurkan kewajiban shalat Jum'at. Padahal shalat Jum'at adalah wajib, tidak
ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti
merupakan perkara yang wajib. (Lihat pula Subul as-Salam II/141). Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadits (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.
- Mungkin karena orang Badui
Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum'at, sehingga apalagi
shalat 'Ied.
- Mungkin pula karena hadits
tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban shalat dalam
sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal shalat
'Ied termasuk kewajiban shalat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban
harian. (Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim
Rahimahullah dalam "Kitab ash-Shalah" halaman 39).
Hadist
(kisah tentang) Badui Arab inipun masih bisa dibantah (dari sisi lain, yaitu
bahwa) keterangan umum pada hadits itu (mengenai shalat wajib hanyalah shalat
lima waktu dalam sehari dan semalam) telah dikhususkan dengan shalat nadzar,
yaitu shalat yang seseorang mewajibkan dirinya untuk melaksanakannya karena
nadzar (maksudnya : seseorang yang bernadzar untuk melaksanakan shalat, maka
shalat itu hukumnya wajib untuk dilaksanakan, padahal itu tidak tertuang dalam
hadits (kisah tentang Badui Arab, red-). Jika argumentasi ini dibantah bahwa
tentang kewajiban shalat nadzar ada dalilnya tersendiri, maka demikian pula
kewajiban shalat 'Ied juga ada dalilnya tersendiri. Jika dibantah lagi bahwa
tentang kewajiban shalat nadzar diakibatkan karena seseorang mewajibkan dirinya
(dengan nadzar) untuk melaksanakan shalat , maka apalagi shalat yang
kewajibannya ditetapkan oleh Allah untuknya, tentu kewajiban melaksanakan
shalat baginya itu lebih nyata daripada melaksanakan shalat yang ia wajibkan
sendiri.
Adapun
argumentasi yang digunakan oleh orang yang mengatakan bahwa shalat 'Ied
hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat :
"Artinya : Maka dirikanlah
shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu)". (Al-Kautsar : 2).
Atau
bahwa shalat 'Ied merupakan syi'ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung
pendapat yang mengatakan bahwa shalat 'Ied hukumnya Wajib 'Ain (wajib bagi
tiap-tiap kepala).
Mengenai
qiyas yang mereka lakukan terhadap shalat jenazah bahwa shalat 'Ied adalah
shalat yang tidak didahului adzan maupun iqamat (Qamat) hingga mirip dengan
shalat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash. Disamping itu, sesungguhnya telah dinyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan adzan bagi shalat 'Ied, adalah karena :
- Mereka keluar (untuk
shalat) menuju tanah lapang, dan karena jauhnya dari tempat-tempat
pemukiman.
- (Sebelumnya) Mereka telah
menunggu-nunggu untuk memasuki malam hari raya, sehingga telah bersiap
sedia untuk melaksanakan shalat 'Ied (pada pagi harinya), dan telah
menghentikan segala kesibukan lain (sehingga mereka tidak lagi memerlukan
adanya adzan, -red), berbeda keadaannya dengan shalat yang lima waktu. Wallahu
'alam.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan : "Siapa yang berpendapat
shalat 'Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa
hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat
tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau
mengusir musuh. Sedangkan shalat 'Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika
hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat shalat 'Ied ini
(dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang
dibutuhkan agar maslahat shalat tersebut dapat tercapai ..? Maka sekalipun
dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan
hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab ; satu orang, dua
orang, tiga orang .... dan seterusnya". (Dinukil dari Majmu Fatawa Ibnu
Taimiyah).
Imam
Shana'ani, Imam Syaukani, guru kita Syaikh Al-Albani dan Syaikh kami Syaikh
(Muhammad bin Shalih) Al-Utsaimin -hafizhallahu al-jami- berpegang
kepada pendapat bahwa shalat 'Ied adalah WAJIB 'AIN. Saya pribadi
cenderung mengikuti pendapat ini, sekalipun pada beberapa dalil yang digunakan
oleh para pendukung pendapat ini ada yang perlu dilihat kembali, tetapi
pendapat tersebut adalah pendapat yang dalilnya paling kuat dibandingkan
dalil-dalil pendapat lainnya. Kendatipun saya takut menyelisihi jumhur (mayoritas) ahli ilmu (Ulama), namun dalam hal ini saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan (shalat 'Ied) hukumnya Wajib 'Ain, berdasarkan kekuatan dalil yang (menurut saya) mereka gunakan, terutama karena sejumlah Ulama juga berpendapat seperti ini.
Begitulah kiranya sikap adil (tidak taklid). Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar