Salah satu fenomena yang marak dilakukan adalah pengamalan hadits Dla’if secara serampangan tanpa pilah dan pilih terlebih dahulu, padahal implikasinya amat berbahaya sekali.
Oleh karena itu, perlu kiranya diketahui
kapan berhujjah dan mengamalkan hadits
Dla’if itu dibenarkan dan apa pula
persyaratannya?.
Untuk itu, disini kita akan membahas
sedikit tentang hukum berhujjah dengannya dan persyaratannya.
Berhujjah dengan hadits Dla’if dan
mengamalkannya perlu ada perinciannya:
1.
Pengamalannya di dalam masalah-masalah ‘aqidah tidak boleh secara ijma’.
2.
Pengamalannya di dalam masalah-masalah hukum (al-Ahkâm) tidak diperbolehkan
juga
menurut mayoritas
Ulama.
3.
Sedangkan pengamalannya di dalam Fadlâ`il al-A’mâl (amalan-amalan yang
memiliki
keutamaan),
Tafsir, al-Maghâziy (berita-berita seputar
peperangan-peperangan)
dan Sirah, mayoritas para ulama membolehkannya
dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
-
Hadits yang dijadikan hujjah/diamalkan tersebut tidak Dla’if (Lemah)
sekali.
-
Permasalahan yang dibicarakan di dalam hadits yang Dla’if tersebut masih berada
di dalam
kawasan prinsip dasar
umum. Alias bukan terpisah dan sudah menjadi cabang tersendiri.
-
Ketika mengamalkan hadits Dla’if tersebut, tidak meyakini kevalidannya
(bahwa ia
adalah
hadits yang shahih) bahkan harus meyakininya sebagai sikap preventif.
Imam an-Nawawy telah
menukil ijma’ para ulama mengenai hukum mengamalkan hadits Dla’if dalam
masalah Fadlâ`il al-A’mâl padahal sebenarnya ada banyak ulama
terkenal yang tidak sependapat dengan hal itu, diantaranya Abu Hâtim,
Abu Zur’ah, Ibn al-‘Araby, asy-Syawkany dan ulama kontemporer, Syaikh
al-Albany. Demikian pula pendapat yang tersirat dari ucapan Syaikhul Islam, Ibn
Taimiyah dan Ibn al-Qayyim serta petunjuk yang didapat di dalam dua kitab
Shahih; Shahîh al-Bukhary dan Shahîh
Muslim.
Maka berdasarkan hal ini, hadits
Dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak dalam bab apapun di dalam dien ini,
dan ketika diucapkan/dibicarakan semata hal itu untuk sekedar pendekatan
(bersifat preventif).
Ibn al-Qayyim mengisyaratkan
dimungkinkannya untuk menggunakan Hadits Dla’if tersebut ketika dalam kondisi
akan menguatkan dua diantara ucapan yang seimbang. Namun pendapat yang tepat
adalah bahwa hadits Dla’if tidak
boleh diamalkan secara mutlak selama dugaan terhadap validitasnya masih lemah
dan selama ia tidak mencapai derajat Hasan Li Ghairihi (Menjadi Hasan
karena ada penguat/pendukungnya dari sisi sanad dan matan yang lain).
(Disarikan
dari Jawaban Syaikh DR.’Abdul Karim bin ‘Abdullah al-Khudlair [Dosen pada
Fakultas Ushuluddin di Jâmi’ah al-Imam Muhammad bin Su’ûd], Majallah ‘ad-Da’wah’, Vol.1890, Tgl. 29-02-1424 H ).
CATATAN:
Ada
ulama yang menambahkan satu syarat lagi, yaitu, ketika berhujjah dengan hadits
Dla’if dan menyampaikannya di dalam suatu majlis, maka harus disebutkan ke-dla’if-an
haditst tersebut. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar