Pertanyaan:
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana
pendapat Islam tentang perselisihan hari raya kaum muslimin, yaitu Idul Fithri
dan Iedul Adha ? Perlu diketahui, hal ini dapat menyebabkan berpuasa pada hari
yang diharamkan berpuasa, yaitu hari raya Iedul Fithri atau berbuka pada hari
diwajibkan berpuasa? Kami mengharapkan jawaban tuntas
tentang permasalahan yang
penting ini, yang dapat kami jadikan alasan di hadapan Allah. Jika terjadi
perselisihan, kemungkinan bisa dua hari, (atau) kemungkinan tiga hari.
Seandainya Islam menolak perselisihan, bagaimana jalan yang benar untuk
menyatukan hari raya kaum Muslimin ?Jawaban:
Para ulama sepakat bahwa Mathla’ Hilal berbeda-beda. Dan hal itu diketahui dengan panca indera dan akal. Akan tetapi mereka berselisih dalam memberlakukan atau tidaknya dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya. Ada dua pendapat :
Pertama.
Diantara imam fiqih berpendapat, bahwa berbedanya Mathla berlaku dalam menentukan permulaan puasa dan penghabisannya.
Kedua.
Diantara mereka tidak memberlakukannya, dan setiap kelompok berdalil dengan Kitab, Sunnah serta Qias
Dan kadang-kadang, kedua kelompok berdalil dengan satu nash, karena ada persamaan dalam beristidlal (berdalil), seperti firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan, maka berpuasalah” [Al-Baqarah : 185]
FirmanNya.
“Artinya :Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah : Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi manusia” [Al-Baqarah : 189]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya”
Itu semua karena perbedaan mereka dalam memahami nash dalam mengambil istidlal dengannya.
Kesimpulannya.
Permasalahan yang ditanyakan masuk ke dalam wilayah ijtihad. Oleh karenanya, para ulama -baik yang terdahulu maupun yang sekarang- telah berselisih. Dan tidak mengapa, bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal pada malam ketiga puluh untuk mengambil hilal yang bukan mathla mereka, jika kiranya mereka benar-benar telah melihatnya.
Jika sesama mereka berselisih juga, maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya –jika seandainya pemerintah mereka Muslim. Karena, keputusannya dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan mengangkat perselisihan. Dalam hal ini umat wajib mengamalkannya. Dan jika pemerintahannya tidak muslim, maka mereka mengambil pendapat Majlis Islamic Center yanga ada di Negara mereka, untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat ‘Ied.
Semoga Allah memberi taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga dan para sahabatnya.
Tertanda
Wakil Ketua : Abdur Razzaq Afifi
Anngota ; Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Mani
[Fatawa Ramadhan 1/117]
FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya dari Asia Tenggara. Tahun Hijriah kami terlambat satu hari dibandingkan dengan Kerajaan Arab Saudi. Dan kami para mahasiswa- akan bersafar pada bulan Ramadhan tahun ini. Rasulullah bersabda : “Puasalah kalian dengan melihatnya (hilal, -pen) dan berbukalah kalian dengan melihatnya ….” Sampai akhir hadits. Kami telah memulai puasa di Kerajaan Arab Saudi, kemudian akan bersafar ke negara kami pada bulan Ramadhan. Dan di penghujung Ramadhan, puasa kami menjadi 31 hari. Pertanyaan kami, bagaimana hukum puasa kami dan berapa hari kami harus berpuasa ?
Jawaban:
Jika anda berpuasa di Saudi atau di tempat lainnya, kemudian sisanya berpuasa di negara anda, maka berbukalah bersama mereka (yaitu berhari raya bersama mereka, pen), sekalipun berlebih dari tiga puluh hari. (Ini) sesuai dengan sabda Rasulullah.
“Artinya : Puasa adalah hari semua kalian berpuasa. Dan berbuka adalah ketika semua kalian berbuka”
Akan tetapi jika tidak sampai 29 hari, maka hendaklah disempurnakan, karena bulan tidak akan kurang dari 29 hari. Wallahu Waliyyut Taufiq
[Fatawa Ramadhan 1/145]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika telah pasti masuk bulan Ramadhan di salah satu negara Islam, seperti Kerajaan Arab Saudi, dan selanjutnya negara tersebut mengumumkannya, akan tetapi di negara yang saya tempati belum diumumkan masuknya bulan Ramadhan, bagaimanakah hukumnya ? Apakah kami berpuasa cukup dengan terlihatnya di Saudi ? Atau kami berbuka dan berpuasa dengan mereka (negara saya, red), ketika mereka mengumumkan masuknya bulan Ramadhan ? Begitu juga denan permasalahan masuknya bulan Syawal, yaitu hari ‘Ied. Bagaimana hukumnya jika dua negara berselisih. Semoga Allah membalas dengan sebaik balasan dari kami dan dari kaum muslimin.
Jawaban
Setiap muslim, hendaklah berpuasa bersama dengan negara tempat ia tinggal, dan berbuka dengannya, sesuai sabda Nabi.
“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”
Wa Billahi Taufiq
[Fatawa Ramadhan 1/112]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M]
_________
Foote Note
[*]. Judul artikel oleh admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar