Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Kamis, 11 Oktober 2012

Hukum Menyebutkan Sayyidina Muhammad


Lafadh “sayyidina” dalam bahasa arab maknanya ialah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama berikut ini:
1). Al-Imam Muhyidin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasqi rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah olehmu bahwa lafadh sayyid itu adalah gelar yang diberikan kepada orang yang paling tinggi kedudukannya pada kaumnya dan paling dimuliakan

mereka. Lafadh ini diberikan pula bagi pimpinan dan orang mulia. juga lafadh ini diberikan kepada orang yang penyabar yang mampu menguasai kemarahan dan mampu mengendalikannya. Diberikan pula lafadh sayyid kepada dermawan, dan kepada raja (kepala negara). Juga lafadh ini diberikan oleh istri kepada suaminya. Dan terdapat banyak hadits memberikan istilah sayyid kepada orang yang mempunyai keutamaan.” (Al-Adzkar An-Nawawi, hal. 418, Fashlun fi Lafdlis Sayyid)
2). Al-Imam Majduddin Abus Sa’adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari Ibnul Atsir rahimahullah menerangkan: “Kata As-Sayyid sebagai sebutan bagi Allah, diberikan pula sebagai panggilan bagi raja (kepala negara), orang yang terhormat, orang mulia, dermawan, penyabar, yaitu orang yang sabar menanggung gangguan yang menyakitkan kaumnya. Kata itu juga diberikan bagi suami, juga pimpinan dan orang yang dikedepankan dalam kalangan kaumnya…. (An-Nihayah jilid 2 hal. 418)
Dari keterangan dua ulama tersebut tahulah kita bahwa gelar as-sayyid adalah kehormatan bagi pihak yang digelari dengan kata tersebut. Adapun kenyataan bahwa sebagian orang memahami dilarang memberi gelar sayyidina Muhammad bagi Nabi shallallahu `alaihi wa sallam karena salam paham terhadap hadits Nabi berikut ini:

Dari Abdillah bin Asy-Syakhkhir, dia menceritakan bahwa ayahnya menceritakan: Datang seorang pria menghadap Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Pria tersebut menyatakan kepada beliau: “Engkau adalah sayyid Quraisy.” Maka Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan kepadanya: “Yang dikatakan as-sayyid itu adalah Allah.” Kemudian pria menyatakan lagi kepada beliau: “Engkau itu adalah orang yang paling utama omongannya dari kalangan mereka dan paling agung kedudukanmu. Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan: “hendaknya kalian menyatakan tentang aku seperti yang dikatakan oleh Allah (yakni sebagaimana Allah menggelari beliau, yaitu Nabiyullah dan Rasulullah) dan jangan sampai setan menyeret dia kepada tipu dayanya.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 4 hal. 24 – 25)
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menolak untuk dikatakan sebagai sayyidu Quraisy. Sehingga dipahami oleh sebagian orang bahwa tidak boleh menyebut sayyidina Muhammad. Dan pemahaman yang demikian tidaklah tepat bila melihat kelengkapan hadits ini. Dari kelengkapan hadits ini sesungguhnya kita dapat mengerti bahwa yang beliau tolak adalah sikap memuji-muji yang melampaui batas dan yang demikian ini akan memberi peluang kepada setan untuk menyeret yang dipuji maupun yang memuji dalam perangkapnya. Al-Imam Abu Sa’adat Ibnul Atsir rahimahullah menerangkan tentang hadits tersebut: “Beliau memang sepantasnya menduduki posisi pimpinan. Tetapi beliau tidak suka disanjung di depannya dan beliau lebih suka tawadlu’ (berendah hati)).” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar jilid 2 hal. 417).
Jadi bukan karena beliau melarang pemberian gelar sayyid bagi beliau karena hadits Nabi shallallahu `alaihi wa sallam yang lainnya menegaskan tentang kedudukan beliau sebagai sayyid:

“Aku adalah sayyid (junjungan) anak Adam pada hari kiamat dan orang pertama yang terbuka kuburnya di hari kebangkitan dan orang pertama yang mensyafaati dan orang pertama yang disyafaati.” (Berkata Al-Imam As-Suyuthi dalam kitab beliau Jam’ul Jawami’ (Al-Jami’ul Kabir): “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu.”)
(Lihat Jami’ul Ahadits, As-Suyuthi jilid 2 hal. 190 hadits 4770)

Maka sesungguhnya mengucapkan sayyidina Muhammad, sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Ali dan selanjutnya adalah boleh, kecuali dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam shalat, seperti shalawat Nabi dalam duduk at-tahiyyat. Nabi kita mengajarkan shalawat itu tanpa kalimat sayyidina Muhammad atau pun sayyidina Ibrahim. Maka kita tidak boleh menambahkan sayyidina ketika membaca shalawat tersebut karena beliau tidak mengajarkannya, sebab Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah bersabda:
“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar