Akhlaq
itu maknanya ialah perangai atau sikap zahir ataupun batin pada diri manusia.
Sedangkan perangai atau sikap itu baik dhahir maupun batin berkaitan dengan apa
yang diistilahkan dengan hablum minallah (hubungan dengan Allah Ta’ala)
dan hablum minan nas (hubungan dengan sesama manusia). Allah Ta’ala telah menegaskan prinsip akhlaq dalam
kerangka hablum minallah dan hablum minan nas ini dalam
firman-Nya sebagai berikut:
(ayat)
“Mereka
telah ditimpa kehinaan di mana pun mereka berada, kecuali bila mereka
menyambung hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan dengan sesama
manusia (hablum minannas). Dan mereka juga ditimpa dengan kemurkaan dari
Allah dan ditimpa pula oleh kemiskinan. Yang demikian itu karena mereka
mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi-nabi dengan tidak benar.
Yang demikian itu karena akibat dari kedurhakaan yang mereka lakukan dan mereka
adalah orang yang melampaui batas.” (Ali Imran: 112)
Ayat
ini memberitakan berbagai malapetaka yang telah menimpa Bani Israil sebagai
akibat dari berbagai kedurhakaan mereka kepada Allah dan kepada para
Nabi-Nabi-Nya, sehingga mereka harus mengalami malapeteka kehinaan, kemiskinan,
dan kemurkaan dari Allah. Maka telah diberitakan oleh-Nya bahwa jalan keluar
dari segala malapetaka yang mengepung mereka itu adalah dengan membangun
kembali hablum minallah dan hablum minan-nas. Sehingga jadilah
keduanya sebagai kerangka akhlaq dalam membangun kehidupan yang seutuhnya bagi
masyarakat manusia di dunia ini. Oleh karena itu kita harus mengerti apa
sesungguhnya hablum minallah dan hablum
minan nas itu, untuk mengerti kerangka akhlaqul karimah (akhlaq yang
mulia) dan kemudian kriterianya pula yang kita pahami dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shalih.
PENGERTIAN
HABLUM MINALLAH DAN HABLUM MINAN-NAS
Kalau
dimaknakan secara bahasa, hablum minallah itu adalah hubungan dengan
Allah dan hablum minan-nas adalah hubungan dengan manusia. Akan tetapi
dalam pengertian istilah syari’ah maknanya adalah sebagai berikut:
1).
Hablum minallah, maknanya ialah perjanjian dari Allah. Yaitu masuk Islam
atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan
akherat. Atau tunduk kepada pemerintahan Muslimin dengan jaminan dari
pemerintah itu sebagaimana yang diatur oleh Syari’ah dalam perkara hak dan
kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang menjadi warga
negara Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya sebagai manusia
di dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat ancaman adzab di akhirat. (Lihat Tafsir
At-Thabari, Tafsir Al-Baghawi, dan Tafsir
Ibnu Katsir tentang pengertian surat Ali Imran 112).
2).
Hablum minan-nas, maknanya ialah perjanjian dari kaum Mukminin dalam
bentuk jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi dengan membayar upeti bagi kaum
Mukminin melalui pemerintahnya untuk
hidup sebagai warga negara Islam dari kalangan minoritas non Muslim. Atau
dengan bahasa lain ialah dalam berinteraksi dengan sesama manusia, maka jaminan
yang bisa dipercaya hanyalah dari kaum Muslimin yang dibimbing oleh Syari’at
Allah Ta’ala.
Dengan
demikian, akhlaqul karimah dibangun di atas kerangka hubungan dengan
Allah melalui perjanjian yang diatur dalam Syari’at-Nya berkenaan dengan kewajiban
menunaikan hak-hak Allah Ta’ala dan juga kerangka hubungan dengan sesama
manusia melalui kewajiban menunaikan hak-hak sesama manusia baik yang muslim
maupun yang kafir. Dari kerangka inilah kemudian diuraikan kriteria akhlaqul
karimah. Hak-hak Allah itu ialah mentauhidkan-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu menunaikan tauhidullah dan
menjauhi syirik, mentaati Rasul-Nya dan menjauhi bid’ah (yakni
penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah sesungguhnya prinsip utama bagi akhlaqul
karimah, yang kemudian dari prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam dipuji dan disanjung oleh Allah Ta’ala dalam
firman-Nya:
(ayat)
“Dan
sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang agung.” (Al-Qalam:
4)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:
“Dan
adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia itu ada pada Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam, pengertiannya adalah pengamalan
segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah perintahkan dengan
mutlak.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman 658).
Dalam
pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa
alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran Allah yang ada di
dalam Al-Qur’an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radliyallahu
`anha:
(hadits1)
“Akhlaq
Rasulullah itu adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim).
Al-Imam
Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab
Asy-Syar’iyyah menerangkan tentang pengertian daripada pernyataan
A’isyah ini sebagai berikut:
“Maksudnya
ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab yang diajarkan oleh Al-Qur’an,
dan segenap perintah yang ada padanya dan juga segenap larangannya, juga
berpegang dengan apa yang dikandunginya dari kemuliaan akhlaq dan kebaikan
perangai serta kelembutan.” (Al-Aadaab Asy-Syar’iyyah, jilid ke
dua hal. 194).
Bahkan
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:
(hadits2)
“Sesungguhnya
seorang Mu’min itu akan bisa mencapai derajat amalan puasa dan shalat malam
dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya,
Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A’isyah radliyallahu
`anha).
Al-`Allamah
Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi rahimahullah dalam
kitabnya Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan makna
hadits tersebut di atas:
“Orang Mu’min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi
keutamaan yang besar seperti ini, karena
memang orang yang puasa dan orang yang shalat malam adalah orang-orang yang
berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian pula orang yang akhlaqnya baik
terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia itu beraneka ragam tabiatnya
juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan tetap
dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus berjihad
melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan demikian,
Mu’min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang dicapai oleh
orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat malam. Kedudukannya
sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang derajatnya lebih tinggi.” (Aunul
Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13 halaman 154).
Juga
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menegaskan tentang
keutamaan orang Mu’min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam sabda beliau
sebagai berikut:
(hadits3)
“Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan
kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya
Kitabul Adab bab Husnul Khuluq was Sakha’ wa Maa Yukrahu Minal Bukhli
hadits ke 6035 dari Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10
hal. 456).
BEBERAPA
AKHLAQ YANG TERCELA MENURUT PANDANGAN ISLAM
Setelah
kita mengerti kerangka dan kriteria akhlaqul karimah, kita perlu
mengerti pula kerangka dan kriteria akhlaqudz dzamimah (yakni akhlaq
yang tercela). Agar kita dapat lebih dalam lagi memahami akhlaqul karimah,
sehingga dapat lebih mudah lagi mengamalkannya. Akhlaq yang tercela telah
dipaparkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, adalah dalam rangka menimbulkan
perasaan anti pati dalam diri kita terhadapnya.
Adapun
akhlaqudz dzamimah, tumbuh dalam kerangka perbuatan kemusyrikan dan
kebid’ahan dan dalam rangka mengekor kepada hawa nafsu. Karena itu kita dapati,
bahwa Islam amat mencela perbuatan syirik, bid’ah dan mengekor kepada hawa
nafsu. Segala kerusakan akhlaq, adalah bersumber dari ketiganya. Hal ini
dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai
berikut:
1).
Syirik sebagai kedhaliman yang paling besar dan menumbuhkan mental penakut:
(ayat)
“Sesungguhnya
syirik itu adalah kedhaliman yang besar.” (Luqman: 13).
Allah
Ta’ala menegaskan pula tentang mental penakut pada orang yang berbuat syirik:
(ayat)
“Kami
akan memasukkan rasa takut yang dahsyat dalam hati orang-orang kafir akibat
perbuatan mereka menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya yang tidak
diperintahkan oleh-Nya. Dan tempat kembali mereka itu adalah neraka, sebagai
tempat kembali yang sejelek-jeleknya bagi orang-orang yang berbuat dhalim.” (Ali
Imran: 151).
2).
Bid’ah sebagai sumber kesesatan dan penyimpangan agama, sebagaimana hal ini
dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam:
(hadits4)
“Dan
hati-hatilah kalian dari perkara yang dibikin-bikin dalam agama, karena semua
yang dibikin-bikin itu adalah bid’ah dan semua yang bid’ah itu adalah sesat.”
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dalam Sunan keduanya).
3).
Hawa nafsu, sebagai sebab terbesar terjadinya kemusyrikan dan kebid’ahan serta
segala penyimpangan lainnya. Allah Ta’ala menegaskan tentang betapa jahatnya
orang yang selalu menuruti hawa nafsunya:
(ayat)
“Tidakkah
engkau melihat orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai
sesembahannya. Apakah engkau akan menjadi pembela terhadap mereka ini? Apakah engkau
menyangka bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan memikirkan apa yang engkau
sampaikan, mereka itu tidak lain keadaannya seperti binatang ternak atau bahkan
lebih rendah.” (Al-Furqan: 43 – 44).
Menjadikan
hawa nafsu sebagai sesembahan itu maknanya ialah menuruti selera hawa nafsu itu
apapun yang dimaukannya. (Lihat Tafsir At-Thabari tentang
ayat-ayat tersebut).
Dari tiga akhlaq yang tercela ini,
muncullah berbagai pelanggaran akhlaq, karena dengan ketiganya disingkirkanlah
otoritas agama sebagai pengatur dan pembimbing kehidupan di dunia ini. Sehingga
muncullah segala malapetaka pada segenap aspek kehidupan ummat manusia seperti
sekarang ini.
MUTIARA-MUTIARA
AKHLAQ YANG TELAH HILANG
Dalam
rangka otokritik (kritik kepada kalangan sendiri), tulisan ini disajikan
kepada segenap pembaca yang budiman. Sebagai upaya kita berjihad memperbaiki
nasib Ummat Islam yang semakin terpuruk dari masa ke masa dalam
pergaulan universal. Imam Malik bin Anas rahimahullah menyatakan
kemestian problem solving bagi ummat ini:
(hadits5)
“Tidak
akan menjadi baik urusan ummat ini kecuali dengan yang telah memperbaiki
pendahulunya.”
Pendahulu
ummat ini adalah para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam.
Sedangkan yang telah memperbaiki nasib penduhulu ummat ini adalah ketika mereka
beriman dan beramal dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itulah yang terus
kita perjuangkan dan berikut ini kita berusaha mengenali kekurangan diri kita
sendiri agar kita berpeluang memperbaikinya. Yaitu mutiara-mutiara akhlaq yang
hilang dari pergaulan kita. Semoga dengan kita menyadari kehilangan barang
berharga tersebut, kita akan berusaha menemukannya kembali, dan mutiara itu
bersinar lagi dalam pergaulan kita. Inilah data barang hilang itu:
1).
Al-Ikhlas, yaitu kemurnian tauhid dari segala noda syirik dalam
beribadah kepada Allah Ta’ala. Noda syirik itu dengan segenap jenisnya akan
merusakkan keikhlasan kita dalam beribadah kepada-Nya. Sedangkan jenis-jenis
syirik itu adalah:
a). Syirik akbar
atau syirik besar, yaitu mempersembahkan amalan ibadah kepada selain Allah
disamping mempersembahkannya kepada Allah. Syirik akbar ini membatalkan
keislaman pelakunya dan tentu membatalkan keikhlasannya pula. Syirik akbar
ini contohnya ialah sujud dan ruku’ kepada selain Allah, berdoa kepada
selain-Nya, thawaf mengelilingi tempat yang dikeramatkan selain Ka’bah seperti
thawaf di kuburan wali dan lain-lainnya. Dan masih banyak lagi contoh perbuatan
syirik akbar.
b). Syirik
asghar atau syirik kecil, yaitu mempunyai niat amalan shalih selain untuk
Allah juga untuk yang selain-Nya. Atau menyandarkan diri dalam upaya mencapai
keberuntungan dan juga usaha untuk menghindarkan diri dari mara bahaya kepada
selain Allah di samping kepada Allah. Contohnya seperti riya’ (yakni
diniatkan amalannya untuk dilihat atau dipuji orang), juga meyakini keselamatan
rumahnya dari pencuri karena ada anjing penjaga padanya atau ada angsa yang
selalu bersuara keras bila ada orang yang tidak dikenalnya. Dan termasuk dalam
katagori syirik asghar, ialah bila seseorang beramal dengan amalan
akhirat, tetapi dia niatkan dengannya untuk mendapatkan kepentingan dunia.
Semua itu adalah syirik asghar yang merusakkan keikhlasan pelakunya. Dan
masih banyak lagi contoh-contoh amalan syirik asghar selain apa yang
tersebut di atas.
c). Syirik khafi
atau syirik yang tersembunyi, yaitu amalan syirik yang tersamar pada
kebanyakan orang karena tampaknya seolah-olah perbuatan itu ikhlas untuk Allah
semata padahal ada niat sampingan yang tersembunyi untuk selain Allah. Hal ini
disadari oleh sedikit orang yang dirahmati Allah dan segera dia bertaubat
kepada-Nya untuk memurnikan kembali keihkhlasannya yang telah dirusak oleh syirik
khafi tersebut. Tetapi kebanyakan orang amat sulit merasakannya dan baru
dia mengerti setelah adanya penyimpangan yang jauh dari niat ikhlasnya untuk
Allah dan sulit untuk memurnikan kembali niatnya karena telah terkait dengan
kepentingan dunia amalan ibadahnya dan hancurlah keikhlasannya untuk Allah
karenanya. Kebanyakan syirik khafi ini dimulai dari syirik asghar
dan kemudian berkembang sampai pada tingkat syirik akbar. Contohnya
ialah seorang yang berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah. Tetapi
diam-diam dia mempunyai agenda tertentu untuk meraih keuntungan dunia melalui
jalan dakwah. Atau orang yang berjihad di jalan Allah, disamping niatnya untuk
meraih keridlaan Allah juga mempunyai niat lain dari kepentingan dunia.
Sehingga akhirnya sampai pada tingkat tujuannya mencapai kepentingan dunia
mengalahkan niatnya untuk meraih ridla Allah.
Demikian
bahayanya syirik itu dalam merusakkan atau bahkan menghancurkan samasekali
keikhlasan seorang mukmin dalam beribadah atau beramal shalih. Semakin
tersembunyinya syirik itu bagi kebanyakan orang, maka semakin besar pula
bahayanya. Tetapi sayang, di hari ini semua jenis syirik yang tiga itu telah
mewabah pada kebanyakan kaum Muslimin. Bahkan telah mendominasi kehidupan
mereka. Sehingga kaum Muslimin tidak ada lagi wibawanya di hadapan
musuh-musuhnya. Karena yang muncul di
tengah-tengah kaum Muslimin adalah orang-orang oportunis yang membonceng
kepada kepentingan agama demi mencapai kepentingan dunia. Sedikit sekali orang
yang benar-benar ikhlas karena Allah dalam beragama ini. Karena memang
perbuatan ikhlas itu telah menjadi amalan yang amat berat dalam kehidupan ummat
ini di masa kini. Lebih jelasnya, makna ihklas itu telah amat sulit diterapkan
pada ummat ini. Karena telah sedikit sekali orang yang mengerti makna ikhlas
dengan lengkap dikarenakan semakin malasnya ummat ini untuk belajar agama.
Al-Imam Abu Utsman Said bin Ismail rahimahullah telah menerangkan dengan
lengkap tentang makna ikhlas yang sesungguhnya sebagai berikut:
“Makna
sesungguhnya keikhlasan itu ialah bila seorang Muslim dalam beramal shalih,
selalu mengabaikan penglihatan makhluk terhadap amalan itu karena terus-menerus
menumpahkan perhatian kepada penglihatan Al-Khaliq (sang Pencipta). Dan ikhlas
itu ialah bila engkau beramal shalih, hatimu menginginkan ridla Allah semata
dari amalan, ilmu serta dari perbuatan itu. Karena engkau takut kemurkaan Allah
dengan sebab ilmu yang ada padamu dan Allah terus-menerus melihat engkau.
Sehingga dengan itu akan hilanglah dari hatimu riya’. Kemudian engkau selalu
ingat berbagai kenikmatan Allah atasmu, karena Dia telah memberimu taufiq (bimbingan)
untuk kamu memilih amalan itu sehingga hilanglah rasa ‘ujub (yakni rasa bangga
diri) dari hatimu. Dan kemudian engkau menggunakan kelembutan dalam beramal itu
sehingga hilanglah dari hatimu ketergesa-gesaan. Karena Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda:
(hadits 6)
“Tidaklah
Allah jadikan kelembutan pada sesuatu kecuali akan memperindah sesuatu itu dan
tidaklah Ia mencabut kelembutan itu dari sesuatu, kecuali akan memburukkannya.”
Selanjutnya
Abu Utsman menerangkan: “Dan ketergesa-gesaan itu adalah sikap orang yang
mengikuti hawa nafsu, sedangkan kelembutan itu adalah sikap orang yang
mengikuti sunnah (yakni ajaran Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam).
Bila engkau telah selesai menjalankan amalanmu dengan cara demikian, hatimu terasa
penuh ketakutan dari kemungkinan Allah menolak amalanmu dan tidak menerimanya.
Hal ini sebagaimana diberitakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
(ayat)
“Dan
orang-orang yang bila mengerjakan suatu amalan, hati mereka akan penuh
ketakutan karena mereka yakin akan kembali ke Tuhan mereka.” (Al-Mu’minun:
60).
Kemudian
Abu Utsman menegaskan: “Barang siapa yang mengumpulkan empat perkara ini dalam
amalannya, maka sungguh dia adalah orang yang berbuat ikhlas dalam amalannya
insya Allah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman jilid 5
halaman 348 riwayat ke 6885 – 6886)
Empat
perkara yang merupakan ciri keikhlasan seseorang yang bisa dirasakan oleh orang
yang sedang beramal itu sendiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Utsman
Sa’ied bin Ismail tersebut di atas, bila diringkaskan adalah sebagai berikut:
a).
Ar-Ru’yah, yakni merasa yakin bahwa amalannya sedang dilihat dan diawasi
oleh Allah Ta’ala.
b).
Ar-Raja’ , yakni mengharapkan ridla Allah semata untuk menerima amalan
itu dan memberinya pahala.
c).
Ar-Rifeq, yakni kelembutan dan kehati-hatian dalam menjalankan amalan
itu dan tidak tergesa-gesa.
d).
Al-Khauf, yakni takut kalau amalannya itu tidak diterima oleh Allah
Ta’ala.
Betapa
jarangnya kaum Muslimin yang memenuhi hatinya dengan empat perkara tersebut
ketika beramal shalih. Bahkan sebaliknya, yang diharapkan ialah pengakuan
manusia, yang ditakutinya ialah kemarahan atau pengucilan handai taulan karib
kerabat terhadapnya, cenderung kasar dan tergesa-gesa membikin keputusan, serta
penuh rasa ujub (bangga diri) dalam beramal dan mengharapkan acungan jempol
banyak orang.
Jadi,
mutiara ikhlas telah hilang dari kita dan gantinya adalah kemunafikan dalam
bentuk sikap beragama dua muka yang berbeda antara satu muka dengan muka yang
lainnya. Tampaknya sedang beramal dengan amalan shaleh untuk Allah, tetapi
hatinya penuh agenda tersendiri untuk meraih kedudukan di sisi manusia. Hal ini
telah dikeluhkan oleh para Shahabat Nabi di jaman Ta’biin (yaitu zaman
sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam tetapi para
shahabat beliau masih hidup). Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhu
menjelaskan tentang sikap dua muka orang munafiq itu, dalam riwayat berikut
ini:
Dari
Abi Yahya mengatakan: Pernah Hudzaifah ditanyai: “Apakah yang dinamakan munafiq
itu?” Beliau menjawab: “Munafiq itu adalah orang yang berbicara tentang Islam
tetapi dia tidak beramal dengannya.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah
Al-Kubra jilid 2 halaman 296 riwayat ke 928).
Ini
menunjukkan bahwa si munafiq itu ketika berbicara tentang Islam, sama sekali
tidak ada keikhlasan untuk merasa terikat dengannya sehingga Islam hanya
dibibirnya saja tetapi tidak ada realisasinya dalam amalannya.
Kemudian
Hudzaifah memperingatkan: “Akan datang suatu masa pada kaum Muslimin, dimana pada
waktu itu bila engkau melempar anak panah di hari Jum’at (yaitu
ketika banyak orang berkumpul di masjid untuk menunaikan kewajiban
shalat Jum’at), maka anak panah itu tidak mengena kecuali orang kafir atau
orang munafiq.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra
jilid 1 halaman 179 riwayat ke 9).
Yakni
mayoritas orang yang ada di masjid-masjid pada hari Jum’at itu adalah
orang-orang Islam yang telah batal keislamannya karena berbagai kemusyrikan
yang dilakukannya sehingga jadilah dia kafir karenanya. Atau kalau tidak
demikian maka yang paling ringan adalah orang Islam yang tidak lagi mempunyai
keyakinan dan keikhlasan dalam beragama sehingga jadilah dia sebagai orang
munafiq karenanya. Masyarakat Muslimin yang telah kehilangan mutiara-mutiara
akhlaq dan juga amat rendah pengetahuannya serta pengamalannya tentang agama.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memberitahukan bahwa orang
munafiq itu tidak akan mempunyai perangai yang mulia dan tidak akan pula
mengerti ilmu agama. Hal ini telah diberitakan olehnya dalam sabdanya:
(hadits7)
“Dua
perkara yang tidak mungkin ada pada orang munafiq, yaitu perangai yang baik dan
paham agama.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya hadits ke
2684 dari Abi Hurairah).
Ini
menunjukkan bahwa akhlaq yang mulia akan hilang dengan hilangnya keikhlasan dan
munculnya kemunafikan. Demikian pula akan terjadi sikap ummat Islam yang
mengabaikan ilmu agama ketika tumbuh subur di kalangan mereka mental munafiq.
Abdullah
bin Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhuma menyatakan: “Sesungguhnya
seorang Muslim masuk ke rumah penguasa dalam keadaan masih ada Iman dan Islam
pada dirinya, tetapi ketika dia keluar dari padanya dalam keadaan tidak lagi
tersisa padanya agamanya sedikit pun.” Ditanyakan kepada beliau: “Mengapa demikian
wahai Abu Abdur Rahman?” Beliau menjawab: “Karena dia di hadapan penguasa itu
berusaha menyenangkannya dengan perkara yang dibenci oleh Allah.” (Riwayat Ibnu
Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 halaman 694
riwayat ke 924).
Demikianlah
kenyataannya, dunia politik praktis sering mendidik kaum Muslimin melakukan
basa-basi politik atau tegasnya sikap menjilat kepada penguasa sehingga kosong
dari keikhlasan. Bahkan sikap menjilat itu dilakukan dengan menghalalkan apa
yang diharamkan oleh Allah atau dengan tenang menginjak-nginjak hukum Allah
demi mendapatkan restu penguasa itu. Yang demikian itu adalah kemunafikan yang
menghancurkan keikhlasannya dalam beragama.
Pernah
pula ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang orang yang menemui penguasa
dan di hadapan penguasa itu dia memuji-mujinya. Tetapi ketika dia keluar dari
tempat kediaman penguasa itu, dia mencaci-maki penguasa tersebut. Bagaimana
perbuatan orang yang demikian ini? Beliau menjawabnya: “Kami para shahabat Nabi
menganggap perbuatan yang demikian ini di zaman Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam sebagai kemunafikan.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah
Al-Kubra jilid 2 hal. 693 – 694 riwayat ke 921).
Semuanya
telah terjadi di hadapan kita dan di masyarakat kita dan mutiara ikhlas itu
memang telah hilang dari kita.
Syaikh
Abdurrahman bin Al-Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah
dalam Fathul Majid halaman 185 jilid ke 2 menukil omongan
kakeknya (yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah):
“Diperingatkan agar orang yang berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah
harus menjaga keikhlasannya. Karena banyak orang yang tampaknya menyeru kepada
kebenaran, kemudian ternyata dia menyeru orang untuk memuliakan si juru da’wah
itu sendiri.”
Orang-orang
yang beramal shalih tetapi mempunyai niat bercabang antara niat untuk Allah dan
juga untuk yang lain-Nya, akan berhadapan dengan pengadilan Allah di hari
Mahsyar di hari kiamat dan di sana
Allah menyatakan menolak sama sekali semua amalan yang niatnya bercabang seperti
itu. Hal ini telah diberitakan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa
alihi wa sallam dalam sabda beliau sebagai berikut:
(hadits8)
“Sesungguhnya
manusia pertama yang akan diadili perkaranya oleh Allah di hari kiamat adalah
seorang pria yang syahid (terbunuh dalam pertempuran membela agama Allah),
kemudia orang itu didatangkan di hadapan Allah dan kemudian diperkenalkan
kepadanya segenap nikmat-Nya yang dilimpahkan kepadanya dan dia mengakui semua
nikmat itu. Kemudian ditanyakan kepadanya: “Apa yang telah engkau amalkan
dengan nikmat itu?” Dia menjawab: “Aku berperang di jalan-Mu dan aku terbunuh
sebagai syahid.” Allah menyatakan kepadanya: “Engkau telah berdusta, akan
tetapi engkau telah berperang agar engkau dikatakan sebagai pemberani. Dan
sungguh telah dikatakan demikian.” Kemudian diperintahkan agar diseret orang
tersebut pada wajahnya sehingga dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan
pula seorang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an
untuk dihadapkan kepada Allah. Diperkenalkanlah kepadanya berbagai
kenikmatan-Nya kepadanya dan dia mengakui segala limpahan kenikmatan itu
dari-Nya. Allah menanyakan kepadanya: “Apa yang engkau telah lakukan
dengannya?” Orang ini pun menjawab: “Aku telah belajar ilmu agama dan aku mengajarkannya
dan aku membaca Al-Qur’an semata-mata untuk-Mu.” Maka Allah menjawabnya:
“Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau belajar agama agar engkau dikatakan
sebagai orang yang berilmu, dan memang telah dikatakan demikian. Dan engkau
membaca Al-Qur’an agar dikatakan sebagai ahli baca Al-Qur’an, dan memang telah
dikatakan demikian.” Maka Allah perintahkan agar orang ini diseret pada
wajahnya dan kemudian dia dilemparkan ke neraka. Didatangkan pula pada waktu
itu seorang yang dilapangkan rizkinya oleh Allah dan diberi limpahan harta
dengan segala jenisnya. Orang tersebut dihadapkan kepada Allah dan dikenalkan
kepadanya berbagai kenikmatan-Nya yang telah dilimpahkan kepadanya, dan dia
mengakuinya. Maka Allah tanyakan kepadanya: “Apa yang telah engkau lakukan dengan
berbagai kenikmatan itu?” Diapun menjawab: “Aku tidak membiarkan satu jalan pun
yang Engkau senangi, kecuali aku selalu belanjakan hartaku padanya untuk-Mu.”
Allah menyatakan kepadanya: “Engkau telah berdusta. Engkau lakukan semua itu
adalah untuk engkau dikatakan dermawan dan memang telah dikatakan demikian.”
Kemudian diperintahkan untuk orang ini diseret pada wajahnya sehingga
dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim dalam Shahihnya hadits
nomor 1905 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu juz 13 hlm. 44 bab Man
Qotala li ar-Riya’i wash Shum’ati istahaqqon-nari).
Demikianlah,
betapa celakanya orang yang beramal shalih dengan amalan-amalan yang besar
tetapi niatnya tidak ikhlas karena Allah Ta’ala bahkan niatnya bercabang dengan
berbagai niat yang lainnya. Maka “ikhlas” itu sebagai mutiara akhlaq yang dapat
ditumbuhsuburkan melalui pembekalan ilmu Tauhid dengan mengenal Allah dan
sifat-sifat-Nya serta perbuatan-Nya dan mempersembahkan segenap amalan shalih
hanya untuk Allah semata serta membersihkan Tauhid dari segenap noda syirik.
2).
As-Shidqu, yakni kejujuran. Yaitu kejujuran dalam menyatakan iman kepada
Allah dan Rasul-Nya serta kejujuran dalam segala perkara yang diwajibkan oleh
agama kita. Kejujuran yang dimaksud di sini ialah samanya pernyataan lisan
dengan apa yang diyakini oleh hati dan sama antara keadaan tersembunyi dengan
keadaan di hadapan orang ramai. Kalau lawan daripada Al-Ikhlash adalah An-Nifaq
(yakni kemunafikan), maka lawan dari As-Shidqu adalah Al-Kadzib
(yakni kedustaan). As-Shidqu itu adalah sumber segala amalan baik,
sedangkan Al-Kadzib itu adalah sumber segala amalan jahat. Hal ini telah
dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam
sabda beliau sebagai berikut:
(hadits9)
“Sesungguhnya
As-Shidqu itu membimbing orang kepada amalan shalih dan amalan shalih
membimbing pelakunya kepada surga. Dan sesungguhnya seorang itu terus-menerus
berbuat shidiq (yakni jujur) sehingga ditulis di sisi Allah sebagai shiddiq
(yakni orang yang selalu berbuat jujur). Dan sesungguhnya dusta itu
membimbing orang kepada amalan jahat, dan sesunguhnya amalan jahat itu
membimbing pelakunya ke neraka. Dan seseorang itu terus-menerus berdusta,
sehingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim
dalam kitab Shahih keduanya dari Abdullah bin Mas’ud).
Diberitakan
pula oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam tentang
ciri-ciri as-shidqu itu adalah ketentraman pada pelakunya dan sebaliknya
ciri-ciri kedustaan itu ialah kebimbangan pada pelakunya:
(hadits10)
“Tinggalkanlah
apa yang meragukanmu dan berpeganglah dengan apa yang tidak meragukan kamu,
karena As-Shidqu (kejujuran) itu menyebabkan ketentraman pada pelakunya
dan dusta itu menyebabkan kebimbangan pada pelakunya.” (HR. At-Tirmidzi
dalam Sunannya dari Al-Hasan bin Ali).
Al-`Allamah
Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan makna hadits ini sebagai
berikut:
“Maknanya
ialah: Tinggalkanlah apa yang engkau ragu padanya baik dari perkataan maupun
dari perbuatan, ragu apakah ia terlarang ataukah ia tidak terlarang, apakah ia
sunnah ataukah ia bid’ah. Tinggalkanlah yang demikian keadaannya dan condonglah
kamu kepada apa yang engkau tidak ragu padanya. Yang dimaksud dengan perintah
ini ialah bahwa setiap mukallaf hendaknya membangun keyakinan agamanya di atas
keyakinan ilmiah setelah melakukan upaya penelitian dalil untuk mencapai
kepastian. Dan hendaknya setiap orang itu di atas ilmu dalam beragama.” (Tuhfatul
Afwadzi bi Syarah Jami’it Tirmidzi jilid 7 hal. 221).
Demikianlah
mestinya sikap shidiq dalam beragama, sehingga akan menimbulkan
ketenangan di hati dalam meyakini agamanya dan akan mantap dan penuh semangat
dalam mengamalkannya. Adapun orang-orang yang tidak mempunyai akhlaq shidiq
dalam beragama, dan banyak bermain-main dengan kedustaan dalam beragama, maka
sungguh dia akan hanya menimbulkan fitnah belaka dalam mengamalkan agama.
Karena pengamalannya tidak konsisten pada satu sikap, akan tetapi mudah sekali
berubah-rubah dari satu sikap kepada sikap yang lainnya tanpa alasan yang
jelas. Baru saja orang-orang diperingatkan untuk jangan dekat-dekat dengan si
fulan. Alasannya bahwa si fulan itu membawa pemahaman yang sesat. Kemudian
dalam tempo sebulan atau dua bulan, sudah berubah lagi dengan seruan untuk
mengupayakan ishlah (kerukunan) kembali dengan si fulan yang dituduh
sesat itu. Bila ditanyakan, apa alasannya kok terjadi perubahan sikap yang
secepat itu? Jawabnya: “Masih menunggu
keterangan Ulama’.” Sementara para pendusta yang sedang mempermainkan ummat
dengan kedustaannya, terus-menerus berpindah-pindah dari satu Ulama’ kepada
Ulama’ yang lainnya untuk memperoleh pembenaran terhadap kedustaannya dengan
melakukan penipuan kepada para Ulama’ tersebut. Bila mendapat jawaban dari
seorang Ulama’ yang tidak sesuai dengan manuver kedustaannya, maka tentunya jawaban
itu segera disembunyikan atau tidak berselera untuk menyebarkannya. Akan tetapi
bila dia berhasil mendapatkan jawaban yang sesuai dengan hawa nafsu
kedustaannya, segeralah jawaban itu disebarluaskan ke semua pihak disertai
dengan anjuran untuk mengikuti Ulama’. Betapa celakanya ummat ini ketika dakwah
kepada sunnah (ajaran) Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dijadikan
bulan-bulanan permainan kotor para pendusta. Inilah kenyataan pahit yang sedang
berlangsung di generasi kita. Dan mutiara As-Shidqu adalah mutiara
akhlaq yang telah hilang dari kehidupan kita. Sehingga yang sedang mewabah
adalah Al-Kadzib.
Quo vadis Ummat Islam, barangkali inilah yang
sangat dikuatirkan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (beliau
adalah Imam dari kalangan tabi’it tabi’in) sebagai mana yang telah diceritakan
oleh murid beliau yang bernama Al Faryabi rahimahullah sebagai berikut ini:
“Sufyan
Ats-Tsauri bila melihat orang-orang An-Nabath (yakni orang-orang asli
Irak tidak punya nasab dan tidak terdidik dalam keluarga yang mulia) mencatat
ilmu di majlis ilmu, wajah beliau berubah karena tidak senang. Maka aku pun
menanyakannya: “Wahai Aba Abdillah, aku melihat engkau amat keberatan bila
melihat orang-orang itu menulis ilmu (yakni ilmu agama), mengapa?” Beliau pun
menjawab: “Ilmu agama ini dulunya ada di tangan orang-orang Arab dari kalangan
orang-orang mulia. Maka bila ilmu ini telah keluar dari tangan mereka dan
berpindah tangan kepada orang-orang nabathi itu dan di tangan
orang-orang yang rendah budi pekertinya, maka akan rusaklah agama ini.”
(Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilmi wa Fadl-lihi
jilid 1 hal 620 – 621, riwayat ke 1072)
Maka
untuk membangun kembali akhlaq shidiq pada ummat ini, haruslah
dibangkitkan keimanan mereka kepada ancaman adzab Allah di dunia dan akhirat
terhadap para pendusta. Agar orang yang beriman itu terus-menerus mendidik
dirinya untuk selalu bersikap shidiq. Ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang
menganjurkan sikap shidiq dan mengancam orang yang selalu berdusta, tidak akan
bermanfaat bagi orang yang tidak beriman kepada kengerian adzab Allah bagi
orang yang berdusta dan tidak beriman pula kepada janji kemuliaan dari-Nya bagi
orang yang berbuat shidiq.
3.
Al-Amanah, yaitu menunaikan kepercayaan pihak lain kepadanya. Seseorang
bila telah dipercaya oleh satu pihak dengan satu perkara, maka orang yang
dipercaya tersebut telah mendapat beban amanah yang harus ditunaikan.
Pihak
pemberi amanah yang paling tinggi dan
paling besar adalah Allah Ta’ala. Hal ini telah diberitakan oleh-Nya dalam
Al-Qur’an surat Al-Ahzab 72:
(ayat)
“Sesungguhnya
Kami telah tawarkan amanah ini kepada langit yang tujuh dan kepada bumi serta
gunung-gunung, tetapi semuanya tidak mau menerima tawaran untuk menunaikan
amanah itu karena merasa berat untuk memikulnya. Tetapi manusia justru
menerimanya. Sesungguhnya manusia itu memang sangat dhalim dan sangat bodoh.” (Al-Ahzab:
72)
Amanah
yang Allah tawarkan itu ialah satu ketentuan yang menyatakan: “Barang siapa
menunaikan kewajiban mentaati-Nya maka dia akan mendapatkan pahala dari-Nya dan
barang siapa yang tidak menunaikan kewajiban itu maka akan disiksa oleh-Nya.”
(Lihat Tafsir At-Thabari tentang ayat ini).
Adapun
pihak yang diberi amanah yang paling mulia adalah para Nabi dan para Rasul,
sebagaimana hal ini telah diberitakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya di
Al-Qur’an surat An-Nahl 36:
(ayat)
“Dan
sungguh Kami telah utus pada setiap ummat seorang Rasul yang mengajarkan
perintah-Nya agar kalian beribadah hanya kepada Allah dan menjauhkan diri dari
para thaghut (yakni segala sesembahan selain Allah). Maka sebagian
manusia ada yang mendapatkan petunjuk Allah untuk menunaikan ajaran para Rasul
itu dan ada pula dari mereka telah ditentukan atasnya kesesatan. Oleh karena
itu berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibatnya orang yang
mendustakan ajaran para Rasul itu.” (An-Nahl: 36)
Kemudian
setelah kedudukan para Nabi dan para Rasul itu sebagai penerima amanah yang
termulia, ialah para Ulama’ dan para
da’i yang menyeru manusia kepada agama Allah. Hal ini sebagaimana yang
dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat
Fushshilat 33:
(ayat)
“Dan
siapakah yang lebih baik omongannya dari orang yang menyeru manusia kepada
agama Allah dan beramal shalih dan menyatakan: Sesungguhnya aku termasuk dari
golongan orang-orang yang tunduk kepada agama Allah.” (Fushshilat: 33)
Setelah
kedudukan para ulama’ dan da’i itu, pihak termulia yang mendapat amanah
Allah adalah segenap kaum Mukminin. Hal
ini sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya di dalam
Al-Qur’an surat Ali Imran 110:
(ayat)
“Kalian
adalah sebaik-baik ummat yang diciptakan untuk kebaikan bagi manusia untuk
menunaikan misi tugas kalian yaitu menyeru manusia kepada kebaikan dan mencegah
mereka dari kemungkaran dan kalian beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Sedangkan
perkara paling mulia yang diamanahkan kepada kita adalah Islam dan Iman.
Tentang keduanyalah kita akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat kelak,
yaitu sejauh mana kita menunaikan
kewajiban menuntut ilmu agama Allah dan sejauh mana kita beramal dengan ilmu
tersebut. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam
firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat Fathir 32:
(ayat)
“Kemudian
Kami amanahkan Kitab ini (yakni ilmu yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya,
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada orang-orang yang Kami pilih. Dari mereka
yang diberi amanah itu ada yang dhalim terhadap diri mereka sendiri dan dari
mereka ada yang sedang (yakni tidak dhalim dan tidak pula lebih baik), ada pula
dari mereka yang melampaui yang lainnya dalam kebaikan dengan ijin Allah. Yang
demikian itu adalah keutamaan yang besar dari Allah.” (Fathir: 32)
Demikianlah
amanah yang termulia itu, ia datang dari pemberi amanah yang termulia, yaitu
Allah Ta’ala. Diberikan amanah itu kepada makhluq Allah termulia, yaitu para
Nabi dan para Rasul. Disampaikanlah amanah itu dari mereka kepada orang-orang
yang termulia setelah para Nabi dan para Rasul, yaitu para ulama’ dan para
da’i. Dipercayakan untuk pengamalannya
kepada ummat terbaik, yaitu segenap kaum Mukminin yang menjalankan kewajiban amar
ma’ruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah Ta’ala dengan cara
yang benar menurut-Nya.
Maka
bila amanah yang termulia ini ditunaikan dengan baik, penduduk bumi akan hidup
dalam kesejahteraan dhahir maupun batin. Akan tetapi bila amanah ini
dikhianati, maka akan terjadi malapetaka di muka bumi baik dhahir maupun batin.
Dan segala amanah yang lainnya akan dikhianati dengan ditelantarkan segala
kemestiannya, sehingga yang merajalela di muka bumi adalah mental khianat dan
pada saat itu hilanglah akhlaq menunaikan amanah. Semua malapetaka ini telah
diperingatkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam
dalam hadits berikut ini:
(hadits11)
Seorang
Arab dari gunung datang ke majlis Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan
bertanya: “Kapan terjadinya hari kiamat?” Maka Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam menjawab: “Ialah bila diterlantarkannya amanah, maka
tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu masih bertanya lagi: “Bagaimana amanah
itu dikatakan telah diterlantarkan?” Beliau menjawab: “Bila suatu urusan
diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah terjadinya hari kiamat.” (HR. Bukhari
dalam Shahihnya bab Kitabul Ilmi hadits ke 59 hari Abi
Hurairah).
Begitulah
bahayanya kerusakan amanah, yaitu dengan diserahkannya perkara agama ini
sebagai amanah yang termulia kepada orang-orang yang bukan ahlinya. Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam memberitakan tentang keadaan yang paling genting
menjelang datangnya hari kiamat ketika amanah menjaga agama Allah telah
diabaikan:
(hadits12)
Dari
Hudzaifah bin Al-Yaman, dia menceritakan: Aku pernah bertanya kepada
Rasulullah: “Wahai Rasulallah, kapan kita meninggalkan amar ma’ruf dan nahi
munkar, padahal keduanya adalah amalan yang pokok bagi orang-orang baik?”
Beliau pun menjawab: “Apabila tampak pada kalian apa yang pernah nampak pada
Bani Israil ummat sebelum kalian.” Akupun bertanya lagi: “Apakah yang pernah
tampak pada mereka?” Beliau menjawab: “Apabila orang-orang baik dari kalian
berbasa-basi dengan orang-orang jahat dari kalian dalam kemaksiatan, dan fiqih
(yakni ilmu agama) di tangan orang-orang yang paling jahat dari kalian (yaitu
orang yang berilmu agama tetapi suka melakukan kemaksiatan), dan negara
dipimpin oleh orang-orang kerdil pikirannya (yakni orang-orang yang lemah
akal), maka ketika itulah fitnah akan terus-menerus meliputi kalian, dan kalian
akan menyerang dan diserang.” (HR. At-Thabrani
dalam Al-Mu’jamul Ausath jilid 1 hal. 51 – 52 riwayat ke
144).
Terhadap
hadits ini Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id
jilid 7 hal. 286 melemahkan sanadnya. Tetapi hadits ini diriwayatkan melalui
banyak sanad sehingga menjadi hasan karenanya. Adapun berbagai sanad
tersebut adalah sebagai berikut ini:
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abdil Bar dari Anas bin Malik dalam Jami’ Bayanul Ilmi Wa
Fadl-lih jilid 1 dengan membawakan beberapa sanad di halaman 610 – 612,
riwyat ke 1048 hingga 1050. Juga Ibnu
Majah dalam Sunannya dari Anas bin Malik hadits ke 4015.
Al-Hafidh Abu Nu’aim Al-Asfahani meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik
pula dalam Al-Hilyah jilid 5 hal 185. Ibnu Abid Dunya meriwayatkan hadits ini dari
A’isyah Ummul Mukminin dalam Kitabul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar riwayat ke 27. Abu
Ja’far At-Thahawi meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik dalam Musykilul
Atsar juz 4 hal 216 riwayat ke 3658. Imam Ahmad bin Hanbal
meriwayatkannya dari Anas bin Malik dalam Musnad beliau jilid 3
halaman 187. Al-Hindi membawakan riwayat ini dalam Kanzul Ummalnya
jilid 3 halaman 685 riwayat ke 8458 dan beliau menyatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Ibnu An-Najjar dari Anas bin Malik.
Maka
telah jelaslah bagi kita, bahwa bila amanah telah hilang dari akhlaq ummat
Islam, kondisi ummat Islam akan sangat terpuruk. Masyarakat cenderung berfikir untuk
kepentingan dirinya sendiri dan amar makruf nahi munkar telah mandek. Tawashaw
bil haq watawashaw bis shabr (yakni saling menasehati kepada kebenaran dan
saling menasehati kepada kesabaran) telah ditinggalkan. Karena ummat Islam
telah hilang kepercayaan antara satu dengan yang lainnya, bahkan saling
mencurigai di antara sesamanya. Ummat Islam terkotak-kotak dalam bebagai golongan,
lengkap dengan pemahamannya masing-masing terhadap agamanya. Inilah perpecahan
yang amat dicela oleh Allah dan Rasul-Nya dan dengan sebab ini Allah mengutuk
ummat Islam sebagaimana Ia mengutuk ummat-ummat Yahudi dan Nashara. Sehingga
musuh-musuh ummat Islam menjadi berani melecehkan dan menghinakan mereka,
bahkan mereka dijadikan sebagai bulan-bulanan kejahatan orang-orang Yahudi,
Nashara dan musyrikin.
Untuk
membangun kembali harga diri dan kewibawaan ummat Islam, haruslah diupayakan
dan dipelopori pendidikan agama bagi ummat ini dengan menekankan pada upaya
menumbuhkan kepribadian al-amanah bersamaan dengan kepribadian al-ihkhlas
dan as-shidiq.
PENUTUP
Demikianlah
keresahanku sebagai da’i, aku kemukakan kepada pembaca sekalian sebagai upaya pencerahan
terapi penyakit ummat Islam untuk mendapat perhatian semua pihak guna
menanggulanginya lebih serius. Agar energi perjuangan ummat Islam lebih efisien
lagi karena lebih fokus pada sasarannya yang lebih tepat. Tidak ada alasan bagi
para pejuang Islam untuk pesimis ataupun putus asa dalam menatap masa depan
perjuangan ini. Estafet perjuangan harus terus-menerus diwariskan kepada anak
cucu dengan bara api semangat perjuangan yang tak kunjung padam. Kemenangan
dari Allah pasti akan datang di suatu saat yang dikehendaki-Nya. Dia sedang
memilih, siapakah dari ummat ini yang paling pantas dilimpahi amanah kemenangan
yang agung dari Dzat Yang Maha Agung itu. Berlombalah kita untuk memperbaiki
diri agar dipilih oleh Allah Ta’ala menjadi orang yang pantas dilimpahi amanah
kemenangan dari-Nya. Kita perbaiki keikhlasan, hiasi diri dengan kepribadian As-Shidqu,
dan kita tumbuhkan akhlaq Al-Amanah pada diri kita. Berjuanglah terus,
jangan berhenti dan jangan ragu dengan janji Allah. Fajar kemenangan akan
terbit sebentar lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar