Pendahuluan
Segala puji bagi Allah, Pencipta alam semesta, salawat beserta salam untuk Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarga beserta seluruh para sahabatnnya,
selawat dan salam yang tiada hingganya. Berikut ini adalah pembahasan ringkas
tentang keutamaan ilmu, langkah-langkah yang harus ditapaki dalam menuntut ilmu
serta parasitisme yang harus dibersihkan dari jalan ilmu, semoga bisa menjadi
titian bagi
pencinta ilmu. Pada Allah kita mohon pertolongan, sesungguhnya
tiada kekuatan kecuali atas pertolongan Allah.
Kemulian Ilmu dalam Al Quran
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dalam kitabNya yang mulia tentang ilmu dan macam-macamnya, suatu kali dalam bentuk pujian yaitu ketika menyebutkan tentang ilmu yang bermanfaat, suatu kali dalam bentuk celaan ketika menyebutkan tentang ilmu yang tidak berguna.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dalam kitabNya yang mulia tentang ilmu dan macam-macamnya, suatu kali dalam bentuk pujian yaitu ketika menyebutkan tentang ilmu yang bermanfaat, suatu kali dalam bentuk celaan ketika menyebutkan tentang ilmu yang tidak berguna.
Contoh untuk
bentuk yang pertama yaitu dalam bentuk pujian:
Orang yang
berilmu berbeda dari orang tidak berilmu dalam segala aspek kehidupan.
Allah swt
memuji orang-orang berilmu dalan firmanNya mulia,
“Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan
orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. Az Zumar: 9).
Dalam ayat
ini Allah memerintahkan kepada RasuNya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam atau kepada
orang-orang yang mengikuti petunjuknya untuk bertanya kepada umat manusia
seluruhnya, apakah sama orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang
tidak memiliki ilmu; baik dalam keyakinan, perbuatan dan perkataannya, maupun
amal ibadahnya, tindak-tanduk dan perilakunya serta tutur bicaranya, jelas
jawabannya tentu tidak sama, fakta sendiri membuktikan orang yang berilmu
sangat berbeda kehidupan dan perilakunya dengan orang-orang yang tidak berilmu.
Sebagai
contoh orang yang berilmu tentang keesaan Allah, sesungguhnya orang yang beri
lmu tentang keesaan Allah, ia akan mengikhlaskan seluruh ibadahnya untuk Allah
semata, karena Allah itu Maha Esa dalam segala penciptaan dan perbuatan-Nya,
dalam segala nama dan sifat-sifat-Nya, tidak seorang pun yang mampu meniru
ciptaan Allah, dan tidak seorang pun yang memiliki sifat seperti sifat Allah,
oleh sebab itu Allah mengharamkan menyembah kepada selain-Nya, karena Allah itu
Maha Sempurna dalam segala ciptaan dan Maha Sempurna dalam segala
sifat-sifat-Nya, maka selain Allah adalah makhluk yang tidak lepas dari segala
kekurangan dan kelemahan, maka makhluk itu tidak berhak untuk disembah karena
ia tidak ikut andil sedikit pun dalam mengatur kehidupan alam ini, bahkan ia
sendiri dibawah kekuasan Sang Maha Kuasa, ia tidak mampu untuk memberikan
manfaat untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain, begitu juga ia tidak
mampu menolak bencana dan bahaya serta penyakit dari dirinya sendiri bagaimana
pula ia akan mampu untuk menolak bahaya dan bencana dari selainnya.
Orang yang
berilmu juga sangat berbeda dalam hal perbuatan, sikap dan tindak tanduk
sehari-hari. Dirinya maupun manusia lain serta alam semesta selamat dari
kerusakan dan kejelekan perbuatannya, ia akan menjauhi sikap merusak, karena
ilmu yang dimilikinya menuntunnya ke arah yang benar, ia tidak mau berbuat
kerusakan karena yang akan menanggung akibat dari sikap merusak itu adalah
dirinya sendiri, ia tidak akan melakukan penipuan, pengkhianatan, dan lain
sebagainya dari berbagai macam tindakan moral dan anggota tubuhnya.
Orang yang
berilmu lidahnya akan selamat dari sikap suka bohong, bergunjing serta adu
domba, dan lain sebagainya dari perbuatan lidah. Oleh sebab itu Allah Subhanahu
wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya,
“Apakah orang-orang yang suka melakukan bermacam kejahatan itu mengira
bahwa kami akan memperlakukan mereka sebagaimana memperlakukan orang-orang yang
beriman dan beramal saleh?, (apakah mereka mengira bahwa) kehidupan dan kematian
mereka sama!, betapa jeleknya prasangkaan mereka”. (QS. Al Jatsiyah: 2).
Bahkan hewan
sekalipun berbeda antara yang memiliki ilmu dengan yang tidak memilikinya, oleh
sebab itu Allah menghalalkan buruan yang ditangkap oleh binatang yang terdidik.
Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah,
“Mereka bertanya kepadamu, apa yang dihalakan untuk mereka, katakanlah;
dihalalkan untuk kalian yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh
binatang yang telah kamu ajar untuk berburu, menurut apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu”. (QS. Al
Maaidah: 4).
Allah
mengangkat orang-orang yang berilmu sebagai saksi bahwa tiada yang berhak
diibadahi kecuali Allah semata.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang berilmu dalam firman-Nya yang mulia,
“Allah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, para
malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga) menegakkan (persaksian itu) dengan
adil”. (QS. Ali Imran: 18).
Keutamaan-keutamaan
yang tersimpul dalam ayat ini untuk orang-orang yang berilmu terdapat dalam
bentuk-bentuk berikut ini:
- Dari
segi materi persaksian; yaitu kalimat tauhid, adalah kalimat yang sangat
agung, kalimat dengan tujuan untuk merealisasikannya, diciptakannya jin
dan manusia, kalimat yang menjadi pembeda antara mukmin dan kafir, antara
penghuni surga dan neraka.
- Dari
segi tingkat persaksian; yaitu digandengnya persaksian orang-orang yang
berilmu dengan persaksian Allah dan para malaikat-Nya.
- Dari
segi sifat persaksian, yaitu persaksian yang sangat adil, keadilan yang
utama sekali yang wajib ditegakkan, adalah keadilan terhadap hak Allah,
yaitu tidak memberikan sesuatu yang menjadi hak Allah kepada selain Allah,
ibadah adalah hak Allah semata, yang tidak boleh di berikan kepada selain
Allah.
Kezaliman
yang amat besar adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak Allah kepada selain
Allah, yaitu berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana yang
disebutkan Allah dalam firman-Nya yang mulia,
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezoliman yang amat besar”. (QS.
Luqman: 13).
Maka
golongan yang sesungguhnya menegakkan keadilan di muka bumi ini adalah golongan
para ulama dan orang-orang yang memiliki ilmu, baik keadilan terhadap hak Allah
maupun keadilan terhadap makhluk, maka oleh sebab itu Allah telah mengangkat
mereka sebagai saksi-saksi yang adil di permukaan bumi ini dan menyebutkan
persaksian mereka setelah persaksian Allah dan persaksian para malaikat. Selama
keadilan kepada Allah belum ditegakkan selama itu pula keadilan di tengah-tengah
umat manusia tidak akan tegak. Oleh sebab itu seluruh para nabi dan Rasul
memulai dakwah mereka kepada keadilan terhadap hak Allah demi untuk tegaknya
keadilan dalam kehidupan manusia.
Mencari ilmu
yang bermanfat adalah perintah Allah kepada Nabi yang paling mulia dan penghulu
segala rasul, yaitu Nabi kita Muhammad Shalalahu ‘alaihi wa salam.
Sebagaimana
Allah perintahkan Nabi kita Muhammad Shalalahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu
berdo’a supaya ilmunya ditambah Allah, disebutkan Allah dalam firman-Nya yang
mulia,
“Katakanlah (wahai Muhammad): Ya tuhanku !, tambahlah ilmuku”. (QS.
Thahaa: 114).
Perintah ini
adalah ajaran kepada umatnya untuk tetap berusaha mencari ilmu yang bermanfaat
dan supaya berdoa selalu untuk mendapat ilmu tersebut, setelah melakukan
usaha-usaha yang mendukung untuk tercapainya ilmu tersebut.
Hal ini
direalisasikan sendiri oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan
beliau sehari-hari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh istri beliau, Ummu
Salamah radhiallahu ‘anha:
Ummu Salamah
meceritakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah mengucapkan
salam saat selesai sholat subuh ia membaca (do’a): “Ya Allah sesungguhnya
aku meminta kepada engkau ilmu yang bermamfaat, rezki yang baik dan amal yang
diterima”.
Allah memuji
orang yang berilmu, bahwa mereka adalah hamba yang paling takut kepada Allah.
Sebagaimana
yang terdapat dalam firman Allah yang mulia,
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya
adalah para ulama”. (QS. Faathir: 28).
Di antara
karismatik yang sangat menonjol dalam diri seorang yang berilmu adalah rasa
takut kepada Allah, takut dari melanggar larangan Allah, takut dari
meninggalkan suruhan Allah, takut terhadap azab dan siksaan Allah, sebagaimana
mereka juga takut untuk berbicara tentang hukum-hukum Allah tanpa ilmu yang
dimiliki, rasa takut tersebut semakin memotivasi mereka untuk menggali ilmu
agama dan untuk beramal dengan ilmu mereka serta menyampaikan ilmu tersebut
kepada seluruh umat manusia.
Di antara
sebab-sebab yang menyebabkan seseorang seringnya melanggar perintah Allah,
adalah karena jahil atau bodoh dengan hukum perbuatan tersebut, atau jahil
dengan sifat-sifat Allah, atau jahil dengan ancaman dan azab yang akan
ditimpakan terhadap orang yang melakukan perbuatan maksiat tersebut, atau jahil
dengan pahala dan ganjaran yang dijanjikan Allah terhadap orang yang menjauhi
perbuatan maksiat tersebut, atau jahil dengan hari akhirat (hari pembalasan),
atau jahil dengan surga dan segala nikmat yang terdapat di dalamnya, atau jahil
dengan neraka dan segala macam azab yang terdapat di dalamnya.
Allah
mengangkat derajat orang-orang yang berilmu di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana
yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, “Allah mengangkat derajat orang-orang
yang beriman, dan orang-orang yang diberi ilmu (diangkat lagi) beberapa
derajat”. (QS. Al Mujaadalah: 11).
Dalam ayat
ini menunjukkan kepada kita seorang muslim betapa eratnya hubungan antara iman
dan ilmu, antara satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan. Keimanan akan semakin
meningkat nilainya apabila ditopang oleh ilmu, mencari ilmu yang bermanfaat
adalah salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas keimanan, begitu juga
sebaliknya, ilmu akan semakin berguna apa bila membuatnya semakin tunduk dan
patuh kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya.
Oleh karena
itu Allah katakan bahwa orang-orang yang berilmu adalah hamba yang paling takut
kepada Allah. Berikutnya ayat di atas juga menunjukkan tentang kemuliaan orang
yang berilmu, di mana Allah mengangkat derajat mereka di hadapan manusia baik
di dunia maupun di akhirat kelak, kemuliaan mereka di dunia terlihat di saat
semua makhluk menyenangi dan mencintai mereka termasuk makhluk selain manusia,
seperti malaikat dan binatang melata sekalipun, karena itu terdapat dalam
sebuah hadis bahwa para malaikat melanglang buana di atas bumi ini mencari
tempat perkumpulan penuntut ilmu, ikan di laut sekalipun memohon ampunan untuk
para penuntut ilmu, mereka di tengah-tengah makhluk bagaikan pelita di tengah
gelap gulita, seluruh lapisan umat membutuhkan mereka mulai dari rakyat jelata
sampai kepada penguasa sekalipun, mereka tempat bertanya di saat pergi dan
tempat memberi berita di saat kembali, itulah sebuah kata pepatah mengatakan,
mereka bagaikan matahari di kala siang dan bagaikan bintang di kala malam, di
akhirat kelak mereka akan di tempat di tempat yang amat mulia, di tempat yang
tinggi, di surga yang keindahannya tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak
bisa dibayangkan dengan hati, ucapan selamat untuk anda wahai para penuntut
ilmu.
Keutamaan ilmu dalam As Sunnah
Banyak hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan ilmu, namun dalam tulisan singkat ini kita sebutkan beberapa hadis saja. Dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda radhiallahu ‘anhu. Ia berkata “aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Banyak hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan ilmu, namun dalam tulisan singkat ini kita sebutkan beberapa hadis saja. Dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda radhiallahu ‘anhu. Ia berkata “aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah telah
membentangkan baginya jalan ke surga, sesungguhnya para malaikat meletakkan
sayap-sayap mereka (dengan) penuh keridhaan bagi penuntut ilmu, sesungguhnya
penghuni langit dan bumi sekalipun ikan dalam air memohon ampunan untuk seorang
alim, sesungguhnya keutamaan seorang alim di atas seorang ahli ibadah seperti
keutamaan (cahaya) bulan purnama atas (cahaya) bintang-bintang, sesungguhnya
para ulama adalah pewaris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan
emas dan perak, tetapi mereka mewariskan ilmu, barang siapa yang mengambilnya
berarti ia telah mendapat bagian yang cukup banyak”. (Hadits hasan lihgairihi,
diriwayatkan oleh; At Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah, dll).
Dalam hadis
yang mulia terdapat beberapa keutamaan ilmu yang sangat agung sekali, pertama;
jalan menuntut ilmu adalah salah satu jalan menuju surga, kedua;
malaikat mencintai dan mendoakan para penuntut ilmu, ketiga; makhluk
yang berada di langit dan di bumi termasuk ikan di dalam air memohonkan ampunan
untuk penuntut ilmu, keempat; orang berilmu jauh lebih mulia dari
seorang pelaku ibadah, kelima; penuntut ilmu adalah pewaris para nabi.
Ilmu adalah
salah satu amalan yang tidak terputus pahalanya, sekalipun tulang belulang
pemiliknya telah hancur ditelan tanah namun pahala ilmunya yang diajarkannya
tetap mengalir.
Sebagaimana
yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya;
“Apabila anak adam meninggal terputuslah segala amalannya, kecuali tiga
bentuk; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang sholeh”. (HR.
Muslim).
Betapa
agungnya keutamaan ilmu dalam hadits di atas, yang mana ilmu yang bermanfaat
merupakan kekayaan yang tak akan sirna di sisi Allah, sekalipun si pemiliknya
sudah sirna dari alam yang fana ini.
Hal ini akan
terasa sekali bila kita melihat gambaran kehidupan akhirat yang disebut oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya yang mana manusia yang
berbuat baik sekalipun akan menyesali amalannya dikarenakan begitu besarnya
keuntungan yang diperoleh oleh orang yang beramal baik waktu hidup di dunia
pada hari itu, sehingga orang yang mati syahid kalau bisa mereka dihidupkan
kembali dan terbunuh dijalan Allah untuk beberapa kali, apalagi orang yang
datang dengan amalan jelek pada hari itu akan lebih menyesal lagi, oleh sebab
itu Allah kisahkan dalam kitab-Nya tentang permintaan orang kafir supaya mereka
dihidupkan kembali untuk menghabiskan umur mereka dalam beramal baik.
Tapi lain
halnya dengan orang yang menyebarkan ilmu mereka tanpa meminta sekalipun pahala
amalan mereka tetap mengalir, apakah kita tidak merindukan hal seperti ini
untuk diri kita?…
Ilmu adalah pintu untuk segala kebaikan, baik di dunia maupun di
akhirat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini,
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk kebaikan, Allah
(berikan) pemahaman kepadanya dalam agama”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kebaikan
yang dimaksud dalam hadits ini adalah umum, mencakup segala kebaikan duniawi
maupun ukhrawi, di dunia ia akan diberikan kehidupan yang baik, selamat dari
berbagai macam kesesatan dan kemungkaran, ia akan membawa kebaikan kepada
segenap umat manusia yang berada di sekitarnya, dari perkataan dan perbuatannya
lahir nilai-nilai kebaikan, ia bagaikan air yang melepaskan kedahagaan di kala
manusia haus, yang memadamkan api di kala manusia kebakaran, yang membersihkan
noda di kala manusia berlumur kotoran, adapun di akhirat kelak ia akan mendapat
balasan kebaikan di atas segala kebaikan yaitu surga yang jauh lebih baik dari
segala kebaikan dunia beserta segala isinya, betapa agungnya ilmu, sungguh
beruntunglah orang-orang yang melakukan perjalanan di muka bumi ini demi untuk
mendapatkan ilmu.
Sebahagian para ulama salaf pernah berkata:
Sebahagian para ulama salaf pernah berkata:
“Barang siapa yang tidak mengenal ilmu tidak berguna baginya banyak
amalan, karena amal tanpa ilmu hanya membawa kemudharatan, sesungguhnya
kerusakan yang ditimbulkan oleh seorang yang beramal tanpa ilmu lebih besar
dari kebaikannya”.
Langkah-langkah yang harus ditapaki dalam menuntut ilmu.
Berikut ini ingin kita bicarakan perbekalan yang harus dimiliki dalam perjalanan menuntut ilmu, karena tanpa perbekalan mustahil perjalanan bisa dilakukan, sesungguhnya perahu tak pernah berlayar di atas daratan kering.
Berikut ini ingin kita bicarakan perbekalan yang harus dimiliki dalam perjalanan menuntut ilmu, karena tanpa perbekalan mustahil perjalanan bisa dilakukan, sesungguhnya perahu tak pernah berlayar di atas daratan kering.
Pertama: Ikhlas dalam menuntut ilmu
Modal dasar yang harus kita miliki dalam setiap amalan kita adalah ikhlas kepada Allah, apalagi dalam tugas yang mulia ini yaitu menuntut ilmu syar’i, banyak kita lihat sebahagian orang sudah menghabiskan waktunya untuk mencari ilmu namun ilmu tersebut tidak membawa bekas dalam kehidupannya, ilmu hanya sebatas onggokan yang membeku tanpa bisa dimanfaatkan, atau lebih tepat lagi disebut ilmu hanya sebatas tsaqofah belaka, atau sebagai pengasah otak belaka, hal ini sangat dipengaruhi oleh niat dan tujuan seseorang tadi dalam menuntut ilmu, sebagian orang hanya untuk mencapai gelar dan kehormatan saja, atau untuk mencari ketenaran di kalangan para intelek, atau demi untuk berbangga di tengah-tengah orang awam, dan lain-lain sebagainya.
Modal dasar yang harus kita miliki dalam setiap amalan kita adalah ikhlas kepada Allah, apalagi dalam tugas yang mulia ini yaitu menuntut ilmu syar’i, banyak kita lihat sebahagian orang sudah menghabiskan waktunya untuk mencari ilmu namun ilmu tersebut tidak membawa bekas dalam kehidupannya, ilmu hanya sebatas onggokan yang membeku tanpa bisa dimanfaatkan, atau lebih tepat lagi disebut ilmu hanya sebatas tsaqofah belaka, atau sebagai pengasah otak belaka, hal ini sangat dipengaruhi oleh niat dan tujuan seseorang tadi dalam menuntut ilmu, sebagian orang hanya untuk mencapai gelar dan kehormatan saja, atau untuk mencari ketenaran di kalangan para intelek, atau demi untuk berbangga di tengah-tengah orang awam, dan lain-lain sebagainya.
Banyak
sekali ayat-ayat maupun hadits-hadits yang mewajibkan kita untuk ikhlas kepada
Allah dalam melakukan segala bentuk ibadah, sebaliknya banyak pula ayat dan
hadits yang memberikan ancaman kepada orang yang tidak ikhlas dalam amalannya.
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam tentang manusia yang pertama sekali dihitung amalan mereka, yaitu tiga
jenis; di antara mereka adalah orang yang menuntut ilmu,
“Orang yang pertama sekali dinyalakan api neraka dengan mereka ada tiga;
salah satu di antara mereka adalah seorang yang menuntut ilmu dan membaca Al
Quran, maka ia dipanggil dan diperkenalkan kepadanya tentang nikmat Allah, maka
ia pun mengakuinya, lalu Allah bertanya kepadanya; apa yang ia lakukan terhadap
nikmat tersebut?, ia menjawab: aku pergunakan untuk menuntut ilmu dan
mengajarkannya serta untuk membaca Al Quran pada Mu, Allah menimpali jawabnya;
kamu telah berdusta, tetapi engkau menuntut ilmu supaya mendapat (sanjungan)
supaya dikatakan sebagai seorang ‘alim, dan engkau membaca Al Quran supaya
dikatakan orang sebagai seorang Qoori, sungguh telah terbukti demikian,
kemudian ia diusung di atas mukanya sampai ia dilemparkan ke dalam neraka”.
(HR. Muslim no: 1905).
Ilmu bisa
membuat seseorang mencapai tingkat yang mulia di sisi Allah di dunia maupun di
akhirat kelak, bila dibarengi dengan niat yang ikhlas, tapi sebaliknya bisa
membawa malapetaka dan kesengsaraan di akhirat kelak, bila kehilangan sifat
ikhlas dalam menuntut, mengamalkan dan menyebarkannya. Dalam hadits yang lain
disebutkan.
“Barang siapa yang mempelajari ilmu, dari ilmu mencari wajah Allah,
tidaklah ia mempelajarinya kecuali untuk mencari tujuan duniawi, ia tidak akan
mencium bau surga pada hari kiamat, yaitu harumnya surga”. (HR. Abu Daud no,
3664).
Konteks
hadits ini menjelaskan kepada kita balasan bagi orang yang menuntut ilmu demi
mengejar kesenangan duniawi semata, betapa kecewanya seseorang seketika ia
melihat orang-orang yang seiring dengannya dalam menuntut ilmu mereka di
payungi menuju surga, namun dirinya yang telah tertipu oleh gemerlapnya dunia
digiring menuju neraka.
Disebutkan
lagi dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi sallam yang berbunyi:
“Barang siapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang-orang awam, atau
untuk berbangga di hadapan para ulama, atau untuk mendapat ketenaran di hadapan
manusia maka (tempatnya) di neraka”. (HR. Ibnu Majah no: 253).
Hadits yang
satu ini merinci beberapa bentuk ketidakikhlasan dalam menuntut ilmu berikut
balasan bagi orang melakukannya, ketidakikhlasan bisa berbentuk; pertama
untuk memperbodohi orang-orang awam, seperti halnya sebahagian ulama sufi,
mereka memperbodohi dan mempemainkan orang-orang awam demi untuk mengeruk
keuntungan duniawi, dengan berbagai dalih yang licik dan busuk, bisa dengan
dalih kewalian, keberkahan, atau tawassul, syafaat dan sebagainya. Kedua;
untuk berbangga di hadapan para intelek dan ulama, banyak kita saksikan di
kalangan cendekia, untuk mencapai tingkat intelek harus melakukan hal-hal yang
bersifat kekufuran, atau mengubah hukum-hukum yang sudah falid dan solid dalam
Islam, seperti masalah jender, hijab, toleransi antar agama, dan banyak lagi
yang lainnya. Ketiga; untuk mengejar kepopuleran dan ketenaran di
hadapan manusia, barang kali bentuk ketiga ini tidak jauh beda dengan bentuk
kedua, untuk mencapai kepopuleran bisa dengan mengemukakan pendapat yang
nyeleneh, bisa pula dengan gaya dan penampilan yang menarik perhatian orang
lain, seperti gaya dalam berdzikir, berpakaian serta metode-metode dalam
berdakwah yang menyimpang dari petunjuk ajaran Islam yang disampaikan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Memiliki sifat sabar.
Memupuk kesabaran dalam menghadapi berbagai aral yang melintang di tengah-tengah jalan menuntut ilmu penting sekali untuk kita miliki dalam menapaki tujuan mulia ini, rintangan yang akan kita hadapi sesuai dengan tujuan yang hendak kita capai, bila tujuan kita besar rintangannya pun besar.
Memupuk kesabaran dalam menghadapi berbagai aral yang melintang di tengah-tengah jalan menuntut ilmu penting sekali untuk kita miliki dalam menapaki tujuan mulia ini, rintangan yang akan kita hadapi sesuai dengan tujuan yang hendak kita capai, bila tujuan kita besar rintangannya pun besar.
Sifat sabar
adalah modal dasar dalam menuntut ilmu, begitu juga dalam hal mengamalkan ilmu
dan mengajarkannya, oleh sebab itu syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab
beliau Ushul Ats tsalatsah mengutip perkataan imam Syafi’i tentang keutamaan
kandungan surat Al ‘Ashr, setelah beliau menyebutkan empat tingkatan dalam
berilmu;
Pertama: mempelajari Ilmu.
Kedua: mengamalkannya.
Ketiga: mendakwakannya.
Keempat: bersabar dalam setiap tiga tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya.
Kedua: mengamalkannya.
Ketiga: mendakwakannya.
Keempat: bersabar dalam setiap tiga tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya.
Kemudian
beliau menyebutkan surat Al ‘Ashr sebagai landasannya:
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, dan saling berwasiat dengan
kebenaran dan kesabaran”. (QS. Al Ashri: 1-3).
Dalam ayat
yang mulia ini Allah menyebutkan bahwa umat manusia itu berada dalam kerugian
dalam setiap masa, kecuali orang yang mengisi masanya dengan; iman, amal
sholeh, dan menyebarkan kebenaran dan kesabaran.
Maka manusia
yang beruntung adalah orang yang mengisi aktivitasnya dengan hal-hal yang
disebutkan dalam ayat ini, sedangkan aktivitas-aktivitas tersebut tidak akan
bisa kita lakukan kecuali dengan ilmu, baik dalam memperoleh keimanan perlu
dengan ilmu, melakukan amal sholeh perlu dengan ilmu, merealisasikan kebenaran
pun perlu dengan ilmu, bagaimana seseorang akan bisa menyuarakan kebenaran
kalau ia tidak tahu tentang kebenaran, kebenaran yang mutlak hanya ada dalam
Islam, kalau seseorang telah beriman maka ia dituntut untuk sabar dalam
keimanannya, baik dalam hal memupuk keimanan itu sendiri maupun dalam hal
mempertahankannya dari berbagai godaan dan cobaan, begitu pula dalam melakukan
amal sholeh perlu kesabaran, apalagi dalam hal menyampaikan kebenaran yang
lebih dikenal dengan amar ma’ruf - nahi mungkar, kesabaran adalah salah fondasi
untuk tegaknya kebenaran, kesabaran dalam arti yang luas sabar dalam menghadapi
segala cobaan dan rintangan, serta sabar dalam menunggu hasil dari sebuah
perjuangan, begitu pula cobaan dan rintangan juga dalam arti yang luas, cobaan
dan rintangan bukanlah dalam bentuk yang pahit dan menyakitkan saja tetapi juga
dalam bentuk yang mengiurkan dan menyenangkan, boleh jadi berbentuk harta,
wanita atau jabatan serta kehormatan lainnya.
Begitu juga
cobaan dan rintangan itu tidak selalu datang pada waktu tertentu bisa di awal
perjalanan dan boleh jadi di pertengahan atau di penghujung perjuangan, awal
perjuangan adalah menuntut ilmu.
Menuntut
ilmu perlu kesabaran, karena beratnya tugas yang harus diemban mulai dari
cuaca, makanan dan kondisi yang asing dari kondisi yang biasa kita dapatkan di
tanah air, begitu pula materi pelajaran yang harus kita hadapi menuntut
keseriusan dan kesungguhan yang super prima, oleh sebab kesabaran sangat
dituntut dalam menuntut ilmu, sekalipun terdapat dalamnya kesulitan tetapi
sekaligus di dalamnya terdapat kelezatan dan kesenangan, ilmu tidak akan pernah
didapatkan kecuali setelah melalui titian yang penuh cobaan dan rintangan,
barang siapa yang tidak sabar dalam menghadapi kehinaan sekejap dalam ilmu, ia
akan meneguk gelas kebodohan selamanya, amal dan ilmu tidak bisa dicapai tanpa
kesabaran.
Allah telah
memuji hambanya yang bersabar dalam agamanya:
“Dan berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: celakalah kalian,
pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
dan tidak akan memperolehnya kecuali orang-orang yang sabar”. (QS. Al Qashash:
80).
Allah telah
menjanjikan bagi orang-orang yang sabar balasan yang tidak terhingga,
sebagaimana dalam firman-Nya yang mulia,
“Sesungguhnya orang-prang yang bersabar mendapatkan pahala mereka tanpa
batas (yang tak terhingga)”. (QS. Az Zumar: 10).
Ketiga: Mengikuti jejak salafus sholih dalam menuntut ilmu.
Berpegang teguh dengan pemahaman salafus sholeh adalah tembok yang membatasi antara kita dengan ahlul bid’ah atau dari berbagai kelompok-kelompok yang melenceng dari sunnah.
Berpegang teguh dengan pemahaman salafus sholeh adalah tembok yang membatasi antara kita dengan ahlul bid’ah atau dari berbagai kelompok-kelompok yang melenceng dari sunnah.
Yang dimaksud dengan Salaf adalah mereka generasi terkemuka dari umat
ini mulai dari para sahabat, para tabi’iin dan para tabi’ ut tabi’iin yaitu
mereka yang hidup pada masa tiga generasi utama dari umat ini.
Sebagaimana
yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik
manusia adalah masa generasiku kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian
orang-orang setelah mereka lagi”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian
penamaan salaf diberikan kepada setiap orang yang berpegang teguh dengan
petunjuk dan pemahaman mereka, dengan ungkapan yang lebih dikenal “salafy”.
Banyak dalil
dari Al Quran dan sunnah serta atsar dari para sahabat dan para ulama yang
menunjukkan tentang keutamaan ilmu salaf, oleh sebab itu kita disuruh untuk
menapaki jejak mereka, dan berusaha untuk menuntut ilmu yang mereka peroleh,
kemudian mengamalkannya dalam kehidupan kita, selanjutnya kita dituntut untuk
menyebarkan ilmu salaf tersebut.
Diantaranya
firman Allah dalam At Taubah ayat 100 yang berbunyi:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari
kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah telah meridhai mereka, mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah telah
menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya,
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang amat besar”.
(QS. At Taubah: 100).
Allah telah
menjanjikan pahala yang amat besar, balasan yang amat agung bagi siapa yang
mengikuti jalan mereka dan berpegang teguh dengan manhaj mereka dalam berilmu
dan beramal, semoga Allah menjadikan kita di antara mereka tersebut.
Dalam surat
Annisaa ayat: 115 Allah berfirman lagi:
“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelasnya kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman, kami palingkan ia ke mana ia hendak berpaling, dan kami masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali”. (QS. An Nisaa: 115).
“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelasnya kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman, kami palingkan ia ke mana ia hendak berpaling, dan kami masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali”. (QS. An Nisaa: 115).
Dalam ayat
yang berlalu berbicara tentang kabar gembira bagi siapa yang berpegang teguh
dengan petunjuk dan manhaj mereka, adapun dalam ayat ini berbicara tentang
ancaman bagi siapa yang menyalahi jalan mereka, kita berlindung dengan Allah
dari hal yang demikian.
Adapun
hadits-hadits yang menunjukan tentang wajibnya berpegang dengan pemahaman
salafus sholeh dalam berilmu dan beramal amat banyak sekali di antaranya hadits
yang telah berlalu kita sebutkan, hadits iftiroqul ummah, hadits huzaifah yang
masyhur sekali, yang di dalamnya terdapat perintah untuk selalu berpegang denga
sunnah mereka.
Berikut ini
kita akan sebutkan pula beberapa atsar dari sahabat dan ulama-ulama terkemuka
dari umat ini. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa ia berkata:
“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama masih datang kepada mereka ilmu
dari sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dari generasi tertua
mereka, apabila datang kepada mereka ilmu dari generasi terbelakang dan
beragamnya hawa nafsu mereka, itulah saatnya kebinasaan mereka”. (Ibnu Mubarak,
Az Zuhud, Hal: 281, no: 815).
Dalam
riwayat lain Ibnu Mas’ud radhialahu ‘anhu berkata: “Barang siapa yang ingin
untuk mengikuti sunnah hendaklah ia mengikuti sunnah orang-orang yang telah
telah mati (para sahabat), sesungguhnya orang hidup tidak aman dari fitnah,
mereka itu adalah para sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, orang
yang paling baik hatinya di antara umat ini, yang paling dalam ilmunya, yang
paling sedikit dalam berlebih-lebihan, kaum yang telah dipilih Allah untuk
menjadi sahabat nabi-Nya, sebagai penegak agama-Nya, maka hendaklah kalian
mengenali hak mereka, dan berpegang teguhlah dengan tuntunan mereka, mereka
telah berada di atas petunjuk yang lurus”. (Ibnu Abdil Barr, Jaami’ Bayanil
‘Ilmi: 2/97).
Umar bin
Abdul Aziz pun berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para
pemimpin setelah beliau telah menentukan jalan-jalan (yang hendak ditempuh),
menapakinya adalah merupakan ketundukan kepada kitab Allah, dan kesempurnaan dalam
ketaatan kepada Allah, kekuatan dalam menegakkan agama Allah, tidak seorang pun
berhak merubahnya, dan tidak pula menukarnya, dan memandang kepada sesuatu yang
menyalahinya, barang siapa yang menjadikannya petunjuk sesungguhnya ia adalah
orang yang diberi petunjuk, barang siapa yang mencari kemenangan dengannya maka
ia adalah orang yang menang, dan barang siapa yang meninggalkannya dan
berpaling dari mengikuti jalan orang-orang yang beriman, Allah akan
memalingkannya ke mana ia berpaling, dan akan memasukannya ke dalam neraka
jahannam, dan neraka jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali”.
Berkata Ibnu
Rajab, “maka ilmu yang paling afdhal dalam menafsirkan Al Quran dan makna
hadits, berbicara tentang hukum halal dan haram adalah apa yang dinukil dari
sahabat, tabi’iin dan tabi’u tabi’iin sampai kepada ulama-ulama Islam yang
sudah masyhur sebagai tempat panutan umat.
Mengumpulkan apa yang diriwayatkan dari mereka dalam hal demikian adalah ilmu yang paling afdhal berserta dengan memahaminya, memikirkannya, mendalaminya.
Mengumpulkan apa yang diriwayatkan dari mereka dalam hal demikian adalah ilmu yang paling afdhal berserta dengan memahaminya, memikirkannya, mendalaminya.
Apa yang
terjadi setelah mereka dari peluasan ilmu tidak membawa kebaikan dalam
kebanyakannya kecuali bila merupakan penjelasan terhadap perkataan mereka.
Adapun apa yang menyalahi pendapat mereka, kebanyakannya tidak lepas dari kebathilan
dan tidak membawa manfaat.
Dalam
perkataan mereka sudah cukup bahkan lebih, maka tiada dalam ungkapan
orang-orang yang setelah mereka dari kebenaran kecuali dalam ungkapan mereka
sudah terkandung hal itu dengan perkataan yang ringkas dan padat. Dan tidak
didapati dalam ungkapan orang setelah mereka dari kebatilan kecuali dalam
perkataan mereka sudah ada yang menerangkan tentang kebatilannya bagi siapa
yang memahaminya dan merenungkannya.
Dalam
perkataan mereka tersimpan makna yang dalam, pandangan yang tajam, apa yang
tidak didapati pada orang-orang setelah mereka. Barang siapa yang tidak peduli
dengan perkataan mereka, maka ia telah kehilangan segala kebaikan bersamaan
dengan itu ia terjerumus ke dalam kebatilan, karena mengikuti orang-orang yang
setelah mereka.” (Fadhlu ‘Ilmi Salaf; 42).
Parasitisme ilmu
Berbagai tujuan yang tidak suci sering mencemari ilmu kita seperti kurangnya keikhlasan, untuk mengejar kesenangan duniawi, ketenaran, pangkat, jabatan, gelar, untuk membodohi orang awam, untuk berbangga dihadapan para ulama, dsb, berikut ini kita singgung sedikit beberapa hal terpenting yang menyebabkan ilmu kita tidak bermanfaat.
Berbagai tujuan yang tidak suci sering mencemari ilmu kita seperti kurangnya keikhlasan, untuk mengejar kesenangan duniawi, ketenaran, pangkat, jabatan, gelar, untuk membodohi orang awam, untuk berbangga dihadapan para ulama, dsb, berikut ini kita singgung sedikit beberapa hal terpenting yang menyebabkan ilmu kita tidak bermanfaat.
Pertama:
Berpegang dengan hawa nafsu setelah datangnya ilmu.
Di antara
sebab-sebab yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu ialah tidak
mengamalkan ilmu itu sendiri, serta masih mendahulukan emosional hawa nafsu,
bentuk-bentuk mendahulukan hawa nafsu itu sendiri beragam, seperti berpegang
kepada bukan wahyu ilahi, adakalanya kepada akal semata, atau kepada hawa nafsu,
atau kepada mimpi, atau kepada pendapat tuan guru dan pemimpin suatu kelompok
tertentu (ta’ashub dan taqlid buta), sekalipun hal itu nyata-nyata bertentangan
dengan ilmu yang dimilikinya, baik yang berhubungan dengan aqidah, ibadah
maupun dakwah dan muamalah.
Hal ini
diceritakan oleh Allah dalam Al Quran tentang ulama-ulama orang yahudi, mereka
memiliki ilmu, tetapi ilmu tersebut tidak memberi manfaat kepada diri mereka
dalam mengambil kebenaran. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah,
“Perumpamaan orang-orang yang dibebankan kepada mereka Taurat kemudian
mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa
lembaran-lembaran yang tebal”. (QS. Al Jum’ah: 5).
Allah
mencela orang-orang yahudi karena mereka tidak mengamalkan Taurat yang merupakan
ilmu yang dibawa nabi Musa ‘alaihi salam kepada mereka. Di antaranya adalah
mereka tidak mau beriman dengan kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam,
yang sudah diberitakan tentang kedatangannya dalam kitab mereka Taurat, bahkan
mereka mengenal ciri-cirinya lebih dari mengenal ciri anak-anak mereka sendiri,
bahkan mereka tidak cukup sampai di situ tetapi mereka sesat lebih jauh lagi
dengan mengubah isi Taurat itu sendiri sesuai dengan kemauan dan kehendak
mereka sendiri. Contoh lain dalam Al Quran tentang orang yang tidak mengamalkan
ilmunya, terdapat dalam firman Allah;
“Dan bacakanlah kepada mereka tentang berita orang yang telah kami
berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tetang isi Alkitab), kemudian ia
berlepas diri dari ayat-ayat itu, lalu syaitan mengikutinya (sampai ia
tersesat), maka ia terjerumus menjadi orang-orang yang sesat. Dan jika kami
berkehendak, sungguh kami angkat (derajat)nya dengan ayat-ayat tersebut, tetapi
dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya (yang hina)”. (QS. Al
A’raaf: 176,175).
Dalam ayat
ini Allah mengisahkan seseorang yang telah diberi ilmu tentang kebenaran yang
harus diikutinya, tetapi orang tersebut berpaling dari mengikuti ilmu yang
benar tersebut, saat syaitan melihatnya dalam hal demikian, maka syaitan
seketika itu pun ikut mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran itu, lalu
syaitan semakin menyesatkannya, akhirnya ia terjerumus ke dalam kesesatan yang
amat jauh.
Padahal
kalau ia mau untuk mengamalkan ilmu dan mengikuti kebenaran yang telah
dimilikinya, sesungguhnya Allah akan mengangkat derajatnya dengan kebenaran
tersebut, tetapi Allah menghinakannya karena ia terlebih dulu telah menghinakan
kebenaran dan membuangnya di belakang punggungnya, ia lebih mengutamakan
kesenangan duniawi dari kesenangan ukhrawi, ia lebih suka mengikuti hawa
nafsunya yang sesat lagi hina dari mengikuti hidayah yang berkilau bagaikan
cahaya.
Hal ini
pulalah yang menimpa sebagian pribadi dan kelompok dalam Islam yang menisbatkan
diri mereka kepada pendakwah, terlebih khusus sebagian saudara kita yang telah
diberi kesempatan oleh Allah untuk menuntut ilmu di Universitas Islam yang
tegak di atas Al Quran dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih, mereka
masih mendahulukan hawa nafsunya dan mendahulukan kepentingan duniawi, atau
kepentingan kelompoknya di atas kepentingan Allah dan Rasul-Nya.
Betapa
banyaknya ayat Al Quran mencegah kita dari mengikuti hawa nafsu setelah
jelasnya kebenaran dan setelah datangnya ilmu, karena hal inilah yang
menyebabkan melencengnya ahlul kitab dari mengikuti kebenaran. Di antaranya
firman Allah yang mulia:
“Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya,
dan jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan datang kepadamu
(niscaya) Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolongmu”. (QS. Al Baqarah:
120).
Maka di awal
tahun ajaran baru ini penulis ingin mengingatkan diri serta para ikhwan
seluruhnya baik yang baru datang maupun para ikhwan yang lama, mari kita
bersama-sama untuk kembali mengintropeksi diri kita masing-masing dalam hal
yang satu ini yaitu jangan kita sampai mendahulukan kepentingan duniawi di atas
kepentingan ukhrawi.
Di antara
keutamaan ilmu salaf adalah dekatnya buah ilmu mereka, artinya ilmu mereka
tersebut membuahkan amal sholeh, seperti bersikap lembut terhadap sesama
makhluk, mencintai kebenaran untuk seluruh makhluk, bukannya bahagia dengan
kesalahan orang lain, sedikit berbicara banyak beramal, menimbulkan kekhusyukan
dalam beribadah, menimbulkan rasa takut kepada Allah.
Salaf dalam
menuntut ilmu lebih banyak mementing buah dari pada mengonggok batang,
ibaratkan orang yang berkebun yang penting adalah banyaknya hasil perkebunan,
bukan luas dan banyak bibit yang semai, untuk apa banyak pohon yang ditanam
tapi tidak satu pun yang menghasilkan buah, dan akan lebih baik lagi orang yang
punya perkebunan luas dan memiliki hasil panen yang banyak.
Disebutkan
dalam pepatah arab: “Ilmu tanpa amal bagai pohon yang tidak berbuah”.
Dalam pepatah lain: “Petiklah ilmu dengan amal, jika tidak ia akan pergi”.
Diantara buah ilmu adalah membuahkan rasa takut kepada Allah, sebagaimana yang
disebutkan Allah dalam firmanNya mulia:
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya
adalah para ulama”. (QS. Faathir: 28).
Berkata
sebagian salaf, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat tetapi ilmu adalah
rasa takut (kepada Allah)”. Berkata lagi sebagian yang lain: “Barang
siapa yang takut kepada Allah maka ia adalah seorang ‘alim, dan barang siapa
yang melakukan maksiat kepada Allah maka ia adalah seorang jahil”.
Di antara
buah ilmu salaf adalah memberikan kekhusukan kepada mereka dalam beribadah.Ilmu
yang bermanfaat adalah memperkenalkan pemiliknya dengan robbnya dan menunjukkan
jalan kepada robbnya sehingga ia mengenalNya, mengesakanNya dalam segala bentuk
ibadahnya, merasa senang dan dekat denganNya, ia menyembah robbnya seakan-akan
ia melihatNya.
Oleh sebab
itu kebanyakan para sahabat berkata: “Sesungguhnya yang pertama sekali diangkat
dari tengah-tengah manusia adalah rasa khusuk dalam ibadah. Berkata Ibnu
Mas’ud: “kebanyakan orang membaca Al Quran tidak melewati tenggorokannya,
dan tetapi jikalau tertancap dalam hati, ia akan lengket dan bermamfaat”.
Berkata Hasan Al Bashri: “ilmu itu ada dua macam; ilmu di atas lidah, itu
adalah hujjah Allah di atas anak Adam, ilmu dalam hati, itulah ilmu yang
bermanfaat”.
Oleh karena
kebanyakan salaf berkata, ”ulama itu ada tiga golongan; pertama: ‘alim
dengan Allah, ‘alim dengan perintah Allah, kedua: ‘alim dengan Allah tetapi
tidak ‘alim dengan perintah Allah, ketiga ‘alim dengan perintah Allah tetapi
tidak ‘alim dengan Allah”. (Fadhlu ilmu salaf: 50).
Kedua: Suka
berdebat dan berjidal.
Telah
terdapat dalam sebuah hadits tentang larangan berjidal,
“Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah diberi petunjuk kecuali setelah mereka mendapati jidal” kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “Tidaklah mereka itu memberikan perumpamaan kepada engkau kecuali sekedar untuk untuk membantah saja, tetapi mereka itu adalah kaum yang suka bertengkar (QS. Az Zukhruf: 58)”. (HR. At Tirmizi no: 3253, hasan shohih).
“Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah diberi petunjuk kecuali setelah mereka mendapati jidal” kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “Tidaklah mereka itu memberikan perumpamaan kepada engkau kecuali sekedar untuk untuk membantah saja, tetapi mereka itu adalah kaum yang suka bertengkar (QS. Az Zukhruf: 58)”. (HR. At Tirmizi no: 3253, hasan shohih).
Telah
berkata sebahagian salaf: “Apabila Allah mengehendaki suatu kebaikan untuk
seorang hamba, Allah membukakan untuknya pintu amal, dan menutup darinya pintu
jidal, dan apabila Allah mengehendaki kejelekan untuk seorang hamba, Allah
menutup untuknya pintu amal dan membuka baginya pintu jidal”.
Berkata Imam
Malik: “Berjidal adalah menghilangkan cahaya ilmu dan mengeraskan hati, serta
menyebabkan permusuhan”. (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi Salaf: 35). Diantara sifat
salaf adalah sedikit berbicara, diamnya salaf dari berbantah-bantahan dan
berjidal bukannya karena mereka itu lemah dan bodoh, tetapi mereka diam di atas
penuh ilmu dan penuh takut kepada Allah.
Adapun
banyak pembicaraan dan komentar dari orang-orang setelah mereka bukan berarti
mereka lebih berilmu dari salaf tetapi disebabkan karena mereka suka banyak
bicara dan kurangnya sikap wara’. Sebagaimana yang dikatakan Hasan Al Bashri
tatkala ia menyaksikan orang saling berdebat, “mereka adalah kaum yang malas
beribadah dan suka berbicara serta tidak memiliki warak makanya mereka suka
ngobrol”. (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi Salaf: 36).
Berkata Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu: “Sesungguhnya kalian berada di zaman yang banyak
ulamanya sedikit para khatibnya, akan datang sesudah kalian masa yang banyak
khatibnya tetapi sedikit ulamanya, barang siapa yang luas ilmunya dan sedikit
omongannya, maka ia adalah terpuji, dan barang siapa yang sebaliknya maka ia
adalah tercela”.
Ibnu rajab
berkata; “Kebanyakan generasi sekarang mengira bahwa banyak bicara, suka
berjidal, suka berbantah dalam masalah agama, adalah lebih tahu dari orang yang
tidak seperti demikian, inilah suatu kebodohan, coba kita lihat bagaimana para
sahabat sangat sedikit perkataan mereka bila dibandingkan dengan perkataan
tabi’in, sedangkan para sahabat jauh lebih berilmu bila dibandingkan dengan
tabi’in, begitu juga halnya tabi’ut tabi’iin dengan tabi’in, ilmu bukanlah
diukur dengan banyak riwayat dan tidak pula diukur dengan banyak omongan tetapi
ilmu adalah cahaya yang diberikan Allah ke dalam hati seseorang yang
menjadikannya paham tentang kebenaran, dan mampu membedakan antara yang hak
dengan yang batil, serta mengungkapkannya dengan perkataan yang simpel dan
padat serta tepat dalam menyampaikan kepada apa yang di maksud”. (Ibnu Rajab,
Fahdul Ilmi Salaf: 37-38).
Maka perlu
untuk diketahui bahwa sesungguhnya bukanlah setiap orang yang luas
pembicaraannya, pintar berbicara lebih berilmu dari orang yang tidak demikian
halnya, sungguh di akhir zaman ini kita telah mendapat cobaan dari sebahagian
manusia yang berpandangan demikian.
Ketiga:
Mendahulukan kepentingan duniawi diatas kepentingan ukhrawi
Ibnu Rajab
menyebutkan dalam kitab beliau (Fadhl Ilmi Salaf hal: 52-54) beberapa bentuk
sikap orang yang memburu kesenangan dunia dengan memobilisasi ukhrawi,
adakalanya mengaku memiliki ilmu tentang keagamaan, tetapi tujuannya dibalik
itu adalah ingin mencari kududukan di tengah-tengah manusia, baik di kalangan
penguasa atau lainnya, atau untuk mencari pengikut yang banyak dan berbangga
dengannya, seperti mengaku sebagai wali dan sebagainya.
Di antara
ciri-cirinya lagi adalah tidak mau tunduk kepada kebenaran, dan memiliki
kesombongan terhadap orang yang menegakkan kebenaran, apalagi bila orang
tersebut tidak terpandang di mata manusia, kemudian tetap berpegang dengan
kebatilan karena takut terbukanya kedok kesesatan dan kebodohannya, saat
tersebarnya kebenaran di tengah-tengah manusia.
Boleh jadi
kadangkala ia mencela dirinya sendiri, agar dianggap sebagai orang yang
memiliki sifat tawadhu’, supaya orang lain memujinya. Dalam kenyataan
sehari-hari kita sering menyaksikan orang-orang yang binasa dan celaka dalam
berbagai lembah yang hina, demi mencari kesenangan duniawi dengan
memperdagangkan urusan ukhrawi, ada yang binasa di lembah maksiat, bid’ah,
popularitas, atau lembah partai politik, dan lain-lain sebagainya. Allah telah
berfirman dalam kitab suciNya:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan duniawi dan perhiasannya,
niscaya kami akan memberikan balasan amalan mereka di dunia dengan sempurna,
dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun didalamnya, mereka itulah
orang-orang yang tidak mendapatkan di akhirat kelak kecuali neraka, dan
hilanglah segala apa yang mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah segala apa
yang telah mereka kerjakan”. (QS. Huud: 15,16).
Diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud radhialhu ‘anhu, bahwa ia berkata,
“Kalaulah seandainya pemilik ilmu menjaga ilmu dan meletakkannya pada orang yang sebagai pemiliknya, sungguh mereka akan memimpin zaman mereka, tetapi mereka memberikannya pada pemilik dunia, supaya mereka memperoleh keduniaan mereka, maka mereka dihinakan (di hadapan) pemilik dunia, aku telah mendengar Nabi kalian bersabda: “Barang siapa yang menjadikan kepentingannya satu kepentingan yaitu kepentingan akhiratnya niscaya Allah akan mencukupkan kebutuhan dunianya, barangsiapa yang terpencar-pencar kepentingannya dalam urusan dunia, Allah tidak menghiraukan di lembah manapun ia binasa”. (HR. Ibnu Majah no: 257).
“Kalaulah seandainya pemilik ilmu menjaga ilmu dan meletakkannya pada orang yang sebagai pemiliknya, sungguh mereka akan memimpin zaman mereka, tetapi mereka memberikannya pada pemilik dunia, supaya mereka memperoleh keduniaan mereka, maka mereka dihinakan (di hadapan) pemilik dunia, aku telah mendengar Nabi kalian bersabda: “Barang siapa yang menjadikan kepentingannya satu kepentingan yaitu kepentingan akhiratnya niscaya Allah akan mencukupkan kebutuhan dunianya, barangsiapa yang terpencar-pencar kepentingannya dalam urusan dunia, Allah tidak menghiraukan di lembah manapun ia binasa”. (HR. Ibnu Majah no: 257).
Imam Asy
Syaukany mengulas dalam kitanya “Adabuthalab wal muntahal’arib”, diantara sebab
yang membuat seseorang menjauhi kebenaran, dan menyembunyikan dalil-dalil
kebenaran serta tidak menerangkan apa yang diwajibkan Allah kepadanya untuk
menerangkannya adalah kecintaan kepada kehormatan dan harta.
Banyak
fenomena yang kita saksikan di tengah para tholabul ‘ilmi, yang tidak mungkin
kita kupas dalam bahasan yang ringkas ini, tetapi orang yang arif dan bijak
dengan isyarat sudah cukup untuk mengingatkannya. Wallahu a’alam bishawaab.
Untuk lebih
menambah kepuasan tetang topik bahasan kita kali ini silakan para ikhwan
merujuk buku-buku berikut ini:
- Kitaabul
‘Ilmi karangan Abu Khaitsamah.
- Al
Faqiih wal Mutafaqqih karangan Khatib Al Baghdady.
- Iqtidha
Al ‘ilmi Al ‘amal karangan Khatib Al Baghdady.
- Jaami’
Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi karangan Ibnu Abdilbar.
- Tadzkirotusami’
wal Muta’alim karangan Ibnu Jama’ah.
- Fadhlu
‘Ilmu Salaf karangan Ibnu Rajab Hambaly.
- Adabut
Thalab karangan Imam Asy Syaukany.
- Kitaabul
‘Ilmi karangan Syekh Al ‘Utsaimin.
- Kaifa
Tathlubu ‘Ilma karangan Abdullah Jibrain.
- Hilyah
Thalibil ‘ilmi karang Bakar Abu Zaid.
- Ma’alim
fii Thoriqil Ishlah karangan Abul Aziz As sadhaan.
Judul Asli: Titian Ilmu
Penulis: Ust Ali Musri MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar