Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Sabtu, 28 Juli 2012

Titian Ilmu


Pendahuluan 
Segala puji bagi Allah, Pencipta alam semesta, salawat beserta salam untuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarga beserta seluruh para sahabatnnya, selawat dan salam yang tiada hingganya. Berikut ini adalah pembahasan ringkas tentang keutamaan ilmu, langkah-langkah yang harus ditapaki dalam menuntut ilmu serta parasitisme yang harus dibersihkan dari jalan ilmu, semoga bisa menjadi titian bagi
pencinta ilmu. Pada Allah kita mohon pertolongan, sesungguhnya tiada kekuatan kecuali atas pertolongan Allah.
Kemulian Ilmu dalam Al Quran
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dalam kitabNya yang mulia tentang ilmu dan macam-macamnya, suatu kali dalam bentuk pujian yaitu ketika menyebutkan tentang ilmu yang bermanfaat, suatu kali dalam bentuk celaan ketika menyebutkan tentang ilmu yang tidak berguna.
Contoh untuk bentuk yang pertama yaitu dalam bentuk pujian:
Orang yang berilmu berbeda dari orang tidak berilmu dalam segala aspek kehidupan.
Allah swt memuji orang-orang berilmu dalan firmanNya mulia,
“Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. Az Zumar: 9).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada RasuNya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam atau kepada orang-orang yang mengikuti petunjuknya untuk bertanya kepada umat manusia seluruhnya, apakah sama orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak memiliki ilmu; baik dalam keyakinan, perbuatan dan perkataannya, maupun amal ibadahnya, tindak-tanduk dan perilakunya serta tutur bicaranya, jelas jawabannya tentu tidak sama, fakta sendiri membuktikan orang yang berilmu sangat berbeda kehidupan dan perilakunya dengan orang-orang yang tidak berilmu.
Sebagai contoh orang yang berilmu tentang keesaan Allah, sesungguhnya orang yang beri lmu tentang keesaan Allah, ia akan mengikhlaskan seluruh ibadahnya untuk Allah semata, karena Allah itu Maha Esa dalam segala penciptaan dan perbuatan-Nya, dalam segala nama dan sifat-sifat-Nya, tidak seorang pun yang mampu meniru ciptaan Allah, dan tidak seorang pun yang memiliki sifat seperti sifat Allah, oleh sebab itu Allah mengharamkan menyembah kepada selain-Nya, karena Allah itu Maha Sempurna dalam segala ciptaan dan Maha Sempurna dalam segala sifat-sifat-Nya, maka selain Allah adalah makhluk yang tidak lepas dari segala kekurangan dan kelemahan, maka makhluk itu tidak berhak untuk disembah karena ia tidak ikut andil sedikit pun dalam mengatur kehidupan alam ini, bahkan ia sendiri dibawah kekuasan Sang Maha Kuasa, ia tidak mampu untuk memberikan manfaat untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain, begitu juga ia tidak mampu menolak bencana dan bahaya serta penyakit dari dirinya sendiri bagaimana pula ia akan mampu untuk menolak bahaya dan bencana dari selainnya.
Orang yang berilmu juga sangat berbeda dalam hal perbuatan, sikap dan tindak tanduk sehari-hari. Dirinya maupun manusia lain serta alam semesta selamat dari kerusakan dan kejelekan perbuatannya, ia akan menjauhi sikap merusak, karena ilmu yang dimilikinya menuntunnya ke arah yang benar, ia tidak mau berbuat kerusakan karena yang akan menanggung akibat dari sikap merusak itu adalah dirinya sendiri, ia tidak akan melakukan penipuan, pengkhianatan, dan lain sebagainya dari berbagai macam tindakan moral dan anggota tubuhnya.
Orang yang berilmu lidahnya akan selamat dari sikap suka bohong, bergunjing serta adu domba, dan lain sebagainya dari perbuatan lidah. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya,
“Apakah orang-orang yang suka melakukan bermacam kejahatan itu mengira bahwa kami akan memperlakukan mereka sebagaimana memperlakukan orang-orang yang beriman dan beramal saleh?, (apakah mereka mengira bahwa) kehidupan dan kematian mereka sama!, betapa jeleknya prasangkaan mereka”. (QS. Al Jatsiyah: 2).
Bahkan hewan sekalipun berbeda antara yang memiliki ilmu dengan yang tidak memilikinya, oleh sebab itu Allah menghalalkan buruan yang ditangkap oleh binatang yang terdidik. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah,
“Mereka bertanya kepadamu, apa yang dihalakan untuk mereka, katakanlah; dihalalkan untuk kalian yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang yang telah kamu ajar untuk berburu, menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu”. (QS. Al Maaidah: 4).
Allah mengangkat orang-orang yang berilmu sebagai saksi bahwa tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang berilmu dalam firman-Nya yang mulia,
“Allah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga) menegakkan (persaksian itu) dengan adil”. (QS. Ali Imran: 18).
Keutamaan-keutamaan yang tersimpul dalam ayat ini untuk orang-orang yang berilmu terdapat dalam bentuk-bentuk berikut ini:
  1. Dari segi materi persaksian; yaitu kalimat tauhid, adalah kalimat yang sangat agung, kalimat dengan tujuan untuk merealisasikannya, diciptakannya jin dan manusia, kalimat yang menjadi pembeda antara mukmin dan kafir, antara penghuni surga dan neraka.
  2. Dari segi tingkat persaksian; yaitu digandengnya persaksian orang-orang yang berilmu dengan persaksian Allah dan para malaikat-Nya.
  3. Dari segi sifat persaksian, yaitu persaksian yang sangat adil, keadilan yang utama sekali yang wajib ditegakkan, adalah keadilan terhadap hak Allah, yaitu tidak memberikan sesuatu yang menjadi hak Allah kepada selain Allah, ibadah adalah hak Allah semata, yang tidak boleh di berikan kepada selain Allah.
Kezaliman yang amat besar adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak Allah kepada selain Allah, yaitu berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya yang mulia,
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezoliman yang amat besar”. (QS. Luqman: 13).
Maka golongan yang sesungguhnya menegakkan keadilan di muka bumi ini adalah golongan para ulama dan orang-orang yang memiliki ilmu, baik keadilan terhadap hak Allah maupun keadilan terhadap makhluk, maka oleh sebab itu Allah telah mengangkat mereka sebagai saksi-saksi yang adil di permukaan bumi ini dan menyebutkan persaksian mereka setelah persaksian Allah dan persaksian para malaikat. Selama keadilan kepada Allah belum ditegakkan selama itu pula keadilan di tengah-tengah umat manusia tidak akan tegak. Oleh sebab itu seluruh para nabi dan Rasul memulai dakwah mereka kepada keadilan terhadap hak Allah demi untuk tegaknya keadilan dalam kehidupan manusia.
Mencari ilmu yang bermanfat adalah perintah Allah kepada Nabi yang paling mulia dan penghulu segala rasul, yaitu Nabi kita Muhammad Shalalahu ‘alaihi wa salam.
Sebagaimana Allah perintahkan Nabi kita Muhammad Shalalahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu berdo’a supaya ilmunya ditambah Allah, disebutkan Allah dalam firman-Nya yang mulia,
“Katakanlah (wahai Muhammad): Ya tuhanku !, tambahlah ilmuku”. (QS. Thahaa: 114).
Perintah ini adalah ajaran kepada umatnya untuk tetap berusaha mencari ilmu yang bermanfaat dan supaya berdoa selalu untuk mendapat ilmu tersebut, setelah melakukan usaha-usaha yang mendukung untuk tercapainya ilmu tersebut.
Hal ini direalisasikan sendiri oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan beliau sehari-hari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh istri beliau, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha:
Ummu Salamah meceritakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah mengucapkan salam saat selesai sholat subuh ia membaca (do’a): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada engkau ilmu yang bermamfaat, rezki yang baik dan amal yang diterima”.
Allah memuji orang yang berilmu, bahwa mereka adalah hamba yang paling takut kepada Allah.
Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah yang mulia,
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah para ulama”. (QS. Faathir: 28).
Di antara karismatik yang sangat menonjol dalam diri seorang yang berilmu adalah rasa takut kepada Allah, takut dari melanggar larangan Allah, takut dari meninggalkan suruhan Allah, takut terhadap azab dan siksaan Allah, sebagaimana mereka juga takut untuk berbicara tentang hukum-hukum Allah tanpa ilmu yang dimiliki, rasa takut tersebut semakin memotivasi mereka untuk menggali ilmu agama dan untuk beramal dengan ilmu mereka serta menyampaikan ilmu tersebut kepada seluruh umat manusia.
Di antara sebab-sebab yang menyebabkan seseorang seringnya melanggar perintah Allah, adalah karena jahil atau bodoh dengan hukum perbuatan tersebut, atau jahil dengan sifat-sifat Allah, atau jahil dengan ancaman dan azab yang akan ditimpakan terhadap orang yang melakukan perbuatan maksiat tersebut, atau jahil dengan pahala dan ganjaran yang dijanjikan Allah terhadap orang yang menjauhi perbuatan maksiat tersebut, atau jahil dengan hari akhirat (hari pembalasan), atau jahil dengan surga dan segala nikmat yang terdapat di dalamnya, atau jahil dengan neraka dan segala macam azab yang terdapat di dalamnya.
Allah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang diberi ilmu (diangkat lagi) beberapa derajat”. (QS. Al Mujaadalah: 11).
Dalam ayat ini menunjukkan kepada kita seorang muslim betapa eratnya hubungan antara iman dan ilmu, antara satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan. Keimanan akan semakin meningkat nilainya apabila ditopang oleh ilmu, mencari ilmu yang bermanfaat adalah salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas keimanan, begitu juga sebaliknya, ilmu akan semakin berguna apa bila membuatnya semakin tunduk dan patuh kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya.
Oleh karena itu Allah katakan bahwa orang-orang yang berilmu adalah hamba yang paling takut kepada Allah. Berikutnya ayat di atas juga menunjukkan tentang kemuliaan orang yang berilmu, di mana Allah mengangkat derajat mereka di hadapan manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak, kemuliaan mereka di dunia terlihat di saat semua makhluk menyenangi dan mencintai mereka termasuk makhluk selain manusia, seperti malaikat dan binatang melata sekalipun, karena itu terdapat dalam sebuah hadis bahwa para malaikat melanglang buana di atas bumi ini mencari tempat perkumpulan penuntut ilmu, ikan di laut sekalipun memohon ampunan untuk para penuntut ilmu, mereka di tengah-tengah makhluk bagaikan pelita di tengah gelap gulita, seluruh lapisan umat membutuhkan mereka mulai dari rakyat jelata sampai kepada penguasa sekalipun, mereka tempat bertanya di saat pergi dan tempat memberi berita di saat kembali, itulah sebuah kata pepatah mengatakan, mereka bagaikan matahari di kala siang dan bagaikan bintang di kala malam, di akhirat kelak mereka akan di tempat di tempat yang amat mulia, di tempat yang tinggi, di surga yang keindahannya tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak bisa dibayangkan dengan hati, ucapan selamat untuk anda wahai para penuntut ilmu.
Keutamaan ilmu dalam As Sunnah
Banyak hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan ilmu, namun dalam tulisan singkat ini kita sebutkan beberapa hadis saja. Dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda radhiallahu ‘anhu. Ia berkata “aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah telah membentangkan baginya jalan ke surga, sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka (dengan) penuh keridhaan bagi penuntut ilmu, sesungguhnya penghuni langit dan bumi sekalipun ikan dalam air memohon ampunan untuk seorang alim, sesungguhnya keutamaan seorang alim di atas seorang ahli ibadah seperti keutamaan (cahaya) bulan purnama atas (cahaya) bintang-bintang, sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan emas dan perak, tetapi mereka mewariskan ilmu, barang siapa yang mengambilnya berarti ia telah mendapat bagian yang cukup banyak”. (Hadits hasan lihgairihi, diriwayatkan oleh; At Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah, dll).
Dalam hadis yang mulia terdapat beberapa keutamaan ilmu yang sangat agung sekali, pertama; jalan menuntut ilmu adalah salah satu jalan menuju surga, kedua; malaikat mencintai dan mendoakan para penuntut ilmu, ketiga; makhluk yang berada di langit dan di bumi termasuk ikan di dalam air memohonkan ampunan untuk penuntut ilmu, keempat; orang berilmu jauh lebih mulia dari seorang pelaku ibadah, kelima; penuntut ilmu adalah pewaris para nabi.
Ilmu adalah salah satu amalan yang tidak terputus pahalanya, sekalipun tulang belulang pemiliknya telah hancur ditelan tanah namun pahala ilmunya yang diajarkannya tetap mengalir.
Sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya;
“Apabila anak adam meninggal terputuslah segala amalannya, kecuali tiga bentuk; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang sholeh”. (HR. Muslim).
Betapa agungnya keutamaan ilmu dalam hadits di atas, yang mana ilmu yang bermanfaat merupakan kekayaan yang tak akan sirna di sisi Allah, sekalipun si pemiliknya sudah sirna dari alam yang fana ini.
Hal ini akan terasa sekali bila kita melihat gambaran kehidupan akhirat yang disebut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya yang mana manusia yang berbuat baik sekalipun akan menyesali amalannya dikarenakan begitu besarnya keuntungan yang diperoleh oleh orang yang beramal baik waktu hidup di dunia pada hari itu, sehingga orang yang mati syahid kalau bisa mereka dihidupkan kembali dan terbunuh dijalan Allah untuk beberapa kali, apalagi orang yang datang dengan amalan jelek pada hari itu akan lebih menyesal lagi, oleh sebab itu Allah kisahkan dalam kitab-Nya tentang permintaan orang kafir supaya mereka dihidupkan kembali untuk menghabiskan umur mereka dalam beramal baik.
Tapi lain halnya dengan orang yang menyebarkan ilmu mereka tanpa meminta sekalipun pahala amalan mereka tetap mengalir, apakah kita tidak merindukan hal seperti ini untuk diri kita?…
Ilmu adalah pintu untuk segala kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini,
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk kebaikan, Allah (berikan) pemahaman kepadanya dalam agama”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kebaikan yang dimaksud dalam hadits ini adalah umum, mencakup segala kebaikan duniawi maupun ukhrawi, di dunia ia akan diberikan kehidupan yang baik, selamat dari berbagai macam kesesatan dan kemungkaran, ia akan membawa kebaikan kepada segenap umat manusia yang berada di sekitarnya, dari perkataan dan perbuatannya lahir nilai-nilai kebaikan, ia bagaikan air yang melepaskan kedahagaan di kala manusia haus, yang memadamkan api di kala manusia kebakaran, yang membersihkan noda di kala manusia berlumur kotoran, adapun di akhirat kelak ia akan mendapat balasan kebaikan di atas segala kebaikan yaitu surga yang jauh lebih baik dari segala kebaikan dunia beserta segala isinya, betapa agungnya ilmu, sungguh beruntunglah orang-orang yang melakukan perjalanan di muka bumi ini demi untuk mendapatkan ilmu.
Sebahagian para ulama salaf pernah berkata:
“Barang siapa yang tidak mengenal ilmu tidak berguna baginya banyak amalan, karena amal tanpa ilmu hanya membawa kemudharatan, sesungguhnya kerusakan yang ditimbulkan oleh seorang yang beramal tanpa ilmu lebih besar dari kebaikannya”.
Langkah-langkah yang harus ditapaki dalam menuntut ilmu.
Berikut ini ingin kita bicarakan perbekalan yang harus dimiliki dalam perjalanan menuntut ilmu, karena tanpa perbekalan mustahil perjalanan bisa dilakukan, sesungguhnya perahu tak pernah berlayar di atas daratan kering.
Pertama: Ikhlas dalam menuntut ilmu
Modal dasar yang harus kita miliki dalam setiap amalan kita adalah ikhlas kepada Allah, apalagi dalam tugas yang mulia ini yaitu menuntut ilmu syar’i, banyak kita lihat sebahagian orang sudah menghabiskan waktunya untuk mencari ilmu namun ilmu tersebut tidak membawa bekas dalam kehidupannya, ilmu hanya sebatas onggokan yang membeku tanpa bisa dimanfaatkan, atau lebih tepat lagi disebut ilmu hanya sebatas tsaqofah belaka, atau sebagai pengasah otak belaka, hal ini sangat dipengaruhi oleh niat dan tujuan seseorang tadi dalam menuntut ilmu, sebagian orang hanya untuk mencapai gelar dan kehormatan saja, atau untuk mencari ketenaran di kalangan para intelek, atau demi untuk berbangga di tengah-tengah orang awam, dan lain-lain sebagainya.
Banyak sekali ayat-ayat maupun hadits-hadits yang mewajibkan kita untuk ikhlas kepada Allah dalam melakukan segala bentuk ibadah, sebaliknya banyak pula ayat dan hadits yang memberikan ancaman kepada orang yang tidak ikhlas dalam amalannya.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang manusia yang pertama sekali dihitung amalan mereka, yaitu tiga jenis; di antara mereka adalah orang yang menuntut ilmu,
“Orang yang pertama sekali dinyalakan api neraka dengan mereka ada tiga; salah satu di antara mereka adalah seorang yang menuntut ilmu dan membaca Al Quran, maka ia dipanggil dan diperkenalkan kepadanya tentang nikmat Allah, maka ia pun mengakuinya, lalu Allah bertanya kepadanya; apa yang ia lakukan terhadap nikmat tersebut?, ia menjawab: aku pergunakan untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya serta untuk membaca Al Quran pada Mu, Allah menimpali jawabnya; kamu telah berdusta, tetapi engkau menuntut ilmu supaya mendapat (sanjungan) supaya dikatakan sebagai seorang ‘alim, dan engkau membaca Al Quran supaya dikatakan orang sebagai seorang Qoori, sungguh telah terbukti demikian, kemudian ia diusung di atas mukanya sampai ia dilemparkan ke dalam neraka”. (HR. Muslim no: 1905).
Ilmu bisa membuat seseorang mencapai tingkat yang mulia di sisi Allah di dunia maupun di akhirat kelak, bila dibarengi dengan niat yang ikhlas, tapi sebaliknya bisa membawa malapetaka dan kesengsaraan di akhirat kelak, bila kehilangan sifat ikhlas dalam menuntut, mengamalkan dan menyebarkannya. Dalam hadits yang lain disebutkan.
“Barang siapa yang mempelajari ilmu, dari ilmu mencari wajah Allah, tidaklah ia mempelajarinya kecuali untuk mencari tujuan duniawi, ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat, yaitu harumnya surga”. (HR. Abu Daud no, 3664).
Konteks hadits ini menjelaskan kepada kita balasan bagi orang yang menuntut ilmu demi mengejar kesenangan duniawi semata, betapa kecewanya seseorang seketika ia melihat orang-orang yang seiring dengannya dalam menuntut ilmu mereka di payungi menuju surga, namun dirinya yang telah tertipu oleh gemerlapnya dunia digiring menuju neraka.
Disebutkan lagi dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi sallam yang berbunyi:
“Barang siapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang-orang awam, atau untuk berbangga di hadapan para ulama, atau untuk mendapat ketenaran di hadapan manusia maka (tempatnya) di neraka”. (HR. Ibnu Majah no: 253).
Hadits yang satu ini merinci beberapa bentuk ketidakikhlasan dalam menuntut ilmu berikut balasan bagi orang melakukannya, ketidakikhlasan bisa berbentuk; pertama untuk memperbodohi orang-orang awam, seperti halnya sebahagian ulama sufi, mereka memperbodohi dan mempemainkan orang-orang awam demi untuk mengeruk keuntungan duniawi, dengan berbagai dalih yang licik dan busuk, bisa dengan dalih kewalian, keberkahan, atau tawassul, syafaat dan sebagainya. Kedua; untuk berbangga di hadapan para intelek dan ulama, banyak kita saksikan di kalangan cendekia, untuk mencapai tingkat intelek harus melakukan hal-hal yang bersifat kekufuran, atau mengubah hukum-hukum yang sudah falid dan solid dalam Islam, seperti masalah jender, hijab, toleransi antar agama, dan banyak lagi yang lainnya. Ketiga; untuk mengejar kepopuleran dan ketenaran di hadapan manusia, barang kali bentuk ketiga ini tidak jauh beda dengan bentuk kedua, untuk mencapai kepopuleran bisa dengan mengemukakan pendapat yang nyeleneh, bisa pula dengan gaya dan penampilan yang menarik perhatian orang lain, seperti gaya dalam berdzikir, berpakaian serta metode-metode dalam berdakwah yang menyimpang dari petunjuk ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Memiliki sifat sabar.
Memupuk kesabaran dalam menghadapi berbagai aral yang melintang di tengah-tengah jalan menuntut ilmu penting sekali untuk kita miliki dalam menapaki tujuan mulia ini, rintangan yang akan kita hadapi sesuai dengan tujuan yang hendak kita capai, bila tujuan kita besar rintangannya pun besar.
Sifat sabar adalah modal dasar dalam menuntut ilmu, begitu juga dalam hal mengamalkan ilmu dan mengajarkannya, oleh sebab itu syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab beliau Ushul Ats tsalatsah mengutip perkataan imam Syafi’i tentang keutamaan kandungan surat Al ‘Ashr, setelah beliau menyebutkan empat tingkatan dalam berilmu;
Pertama: mempelajari Ilmu.
Kedua: mengamalkannya.
Ketiga: mendakwakannya.
Keempat: bersabar dalam setiap tiga tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya.
Kemudian beliau menyebutkan surat Al ‘Ashr sebagai landasannya:
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran”. (QS. Al Ashri: 1-3).
Dalam ayat yang mulia ini Allah menyebutkan bahwa umat manusia itu berada dalam kerugian dalam setiap masa, kecuali orang yang mengisi masanya dengan; iman, amal sholeh, dan menyebarkan kebenaran dan kesabaran.
Maka manusia yang beruntung adalah orang yang mengisi aktivitasnya dengan hal-hal yang disebutkan dalam ayat ini, sedangkan aktivitas-aktivitas tersebut tidak akan bisa kita lakukan kecuali dengan ilmu, baik dalam memperoleh keimanan perlu dengan ilmu, melakukan amal sholeh perlu dengan ilmu, merealisasikan kebenaran pun perlu dengan ilmu, bagaimana seseorang akan bisa menyuarakan kebenaran kalau ia tidak tahu tentang kebenaran, kebenaran yang mutlak hanya ada dalam Islam, kalau seseorang telah beriman maka ia dituntut untuk sabar dalam keimanannya, baik dalam hal memupuk keimanan itu sendiri maupun dalam hal mempertahankannya dari berbagai godaan dan cobaan, begitu pula dalam melakukan amal sholeh perlu kesabaran, apalagi dalam hal menyampaikan kebenaran yang lebih dikenal dengan amar ma’ruf - nahi mungkar, kesabaran adalah salah fondasi untuk tegaknya kebenaran, kesabaran dalam arti yang luas sabar dalam menghadapi segala cobaan dan rintangan, serta sabar dalam menunggu hasil dari sebuah perjuangan, begitu pula cobaan dan rintangan juga dalam arti yang luas, cobaan dan rintangan bukanlah dalam bentuk yang pahit dan menyakitkan saja tetapi juga dalam bentuk yang mengiurkan dan menyenangkan, boleh jadi berbentuk harta, wanita atau jabatan serta kehormatan lainnya.
Begitu juga cobaan dan rintangan itu tidak selalu datang pada waktu tertentu bisa di awal perjalanan dan boleh jadi di pertengahan atau di penghujung perjuangan, awal perjuangan adalah menuntut ilmu.
Menuntut ilmu perlu kesabaran, karena beratnya tugas yang harus diemban mulai dari cuaca, makanan dan kondisi yang asing dari kondisi yang biasa kita dapatkan di tanah air, begitu pula materi pelajaran yang harus kita hadapi menuntut keseriusan dan kesungguhan yang super prima, oleh sebab kesabaran sangat dituntut dalam menuntut ilmu, sekalipun terdapat dalamnya kesulitan tetapi sekaligus di dalamnya terdapat kelezatan dan kesenangan, ilmu tidak akan pernah didapatkan kecuali setelah melalui titian yang penuh cobaan dan rintangan, barang siapa yang tidak sabar dalam menghadapi kehinaan sekejap dalam ilmu, ia akan meneguk gelas kebodohan selamanya, amal dan ilmu tidak bisa dicapai tanpa kesabaran.
Allah telah memuji hambanya yang bersabar dalam agamanya:
“Dan berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: celakalah kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak akan memperolehnya kecuali orang-orang yang sabar”. (QS. Al Qashash: 80).
Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang sabar balasan yang tidak terhingga, sebagaimana dalam firman-Nya yang mulia,
“Sesungguhnya orang-prang yang bersabar mendapatkan pahala mereka tanpa batas (yang tak terhingga)”. (QS. Az Zumar: 10).
Ketiga: Mengikuti jejak salafus sholih dalam menuntut ilmu.
Berpegang teguh dengan pemahaman salafus sholeh adalah tembok yang membatasi antara kita dengan ahlul bid’ah atau dari berbagai kelompok-kelompok yang melenceng dari sunnah.
Yang dimaksud dengan Salaf adalah mereka generasi terkemuka dari umat ini mulai dari para sahabat, para tabi’iin dan para tabi’ ut tabi’iin yaitu mereka yang hidup pada masa tiga generasi utama dari umat ini.
Sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik manusia adalah masa generasiku kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka lagi”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian penamaan salaf diberikan kepada setiap orang yang berpegang teguh dengan petunjuk dan pemahaman mereka, dengan ungkapan yang lebih dikenal “salafy”.
Banyak dalil dari Al Quran dan sunnah serta atsar dari para sahabat dan para ulama yang menunjukkan tentang keutamaan ilmu salaf, oleh sebab itu kita disuruh untuk menapaki jejak mereka, dan berusaha untuk menuntut ilmu yang mereka peroleh, kemudian mengamalkannya dalam kehidupan kita, selanjutnya kita dituntut untuk menyebarkan ilmu salaf tersebut.
Diantaranya firman Allah dalam At Taubah ayat 100 yang berbunyi:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah meridhai mereka, mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah telah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang amat besar”. (QS. At Taubah: 100).
Allah telah menjanjikan pahala yang amat besar, balasan yang amat agung bagi siapa yang mengikuti jalan mereka dan berpegang teguh dengan manhaj mereka dalam berilmu dan beramal, semoga Allah menjadikan kita di antara mereka tersebut.
Dalam surat Annisaa ayat: 115 Allah berfirman lagi:
“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelasnya kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman, kami palingkan ia ke mana ia hendak berpaling, dan kami masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali”. (QS. An Nisaa: 115).
Dalam ayat yang berlalu berbicara tentang kabar gembira bagi siapa yang berpegang teguh dengan petunjuk dan manhaj mereka, adapun dalam ayat ini berbicara tentang ancaman bagi siapa yang menyalahi jalan mereka, kita berlindung dengan Allah dari hal yang demikian.
Adapun hadits-hadits yang menunjukan tentang wajibnya berpegang dengan pemahaman salafus sholeh dalam berilmu dan beramal amat banyak sekali di antaranya hadits yang telah berlalu kita sebutkan, hadits iftiroqul ummah, hadits huzaifah yang masyhur sekali, yang di dalamnya terdapat perintah untuk selalu berpegang denga sunnah mereka.
Berikut ini kita akan sebutkan pula beberapa atsar dari sahabat dan ulama-ulama terkemuka dari umat ini. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa ia berkata: “Senantiasa manusia dalam kebaikan selama masih datang kepada mereka ilmu dari sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dari generasi tertua mereka, apabila datang kepada mereka ilmu dari generasi terbelakang dan beragamnya hawa nafsu mereka, itulah saatnya kebinasaan mereka”. (Ibnu Mubarak, Az Zuhud, Hal: 281, no: 815).
Dalam riwayat lain Ibnu Mas’ud radhialahu ‘anhu berkata: “Barang siapa yang ingin untuk mengikuti sunnah hendaklah ia mengikuti sunnah orang-orang yang telah telah mati (para sahabat), sesungguhnya orang hidup tidak aman dari fitnah, mereka itu adalah para sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang paling baik hatinya di antara umat ini, yang paling dalam ilmunya, yang paling sedikit dalam berlebih-lebihan, kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya, sebagai penegak agama-Nya, maka hendaklah kalian mengenali hak mereka, dan berpegang teguhlah dengan tuntunan mereka, mereka telah berada di atas petunjuk yang lurus”. (Ibnu Abdil Barr, Jaami’ Bayanil ‘Ilmi: 2/97).
Umar bin Abdul Aziz pun berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para pemimpin setelah beliau telah menentukan jalan-jalan (yang hendak ditempuh), menapakinya adalah merupakan ketundukan kepada kitab Allah, dan kesempurnaan dalam ketaatan kepada Allah, kekuatan dalam menegakkan agama Allah, tidak seorang pun berhak merubahnya, dan tidak pula menukarnya, dan memandang kepada sesuatu yang menyalahinya, barang siapa yang menjadikannya petunjuk sesungguhnya ia adalah orang yang diberi petunjuk, barang siapa yang mencari kemenangan dengannya maka ia adalah orang yang menang, dan barang siapa yang meninggalkannya dan berpaling dari mengikuti jalan orang-orang yang beriman, Allah akan memalingkannya ke mana ia berpaling, dan akan memasukannya ke dalam neraka jahannam, dan neraka jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali”.
Berkata Ibnu Rajab, “maka ilmu yang paling afdhal dalam menafsirkan Al Quran dan makna hadits, berbicara tentang hukum halal dan haram adalah apa yang dinukil dari sahabat, tabi’iin dan tabi’u tabi’iin sampai kepada ulama-ulama Islam yang sudah masyhur sebagai tempat panutan umat.
Mengumpulkan apa yang diriwayatkan dari mereka dalam hal demikian adalah ilmu yang paling afdhal berserta dengan memahaminya, memikirkannya, mendalaminya.
Apa yang terjadi setelah mereka dari peluasan ilmu tidak membawa kebaikan dalam kebanyakannya kecuali bila merupakan penjelasan terhadap perkataan mereka. Adapun apa yang menyalahi pendapat mereka, kebanyakannya tidak lepas dari kebathilan dan tidak membawa manfaat.
Dalam perkataan mereka sudah cukup bahkan lebih, maka tiada dalam ungkapan orang-orang yang setelah mereka dari kebenaran kecuali dalam ungkapan mereka sudah terkandung hal itu dengan perkataan yang ringkas dan padat. Dan tidak didapati dalam ungkapan orang setelah mereka dari kebatilan kecuali dalam perkataan mereka sudah ada yang menerangkan tentang kebatilannya bagi siapa yang memahaminya dan merenungkannya.
Dalam perkataan mereka tersimpan makna yang dalam, pandangan yang tajam, apa yang tidak didapati pada orang-orang setelah mereka. Barang siapa yang tidak peduli dengan perkataan mereka, maka ia telah kehilangan segala kebaikan bersamaan dengan itu ia terjerumus ke dalam kebatilan, karena mengikuti orang-orang yang setelah mereka.” (Fadhlu ‘Ilmi Salaf; 42).
Parasitisme ilmu
Berbagai tujuan yang tidak suci sering mencemari ilmu kita seperti kurangnya keikhlasan, untuk mengejar kesenangan duniawi, ketenaran, pangkat, jabatan, gelar, untuk membodohi orang awam, untuk berbangga dihadapan para ulama, dsb, berikut ini kita singgung sedikit beberapa hal terpenting yang menyebabkan ilmu kita tidak bermanfaat.
Pertama: Berpegang dengan hawa nafsu setelah datangnya ilmu.
Di antara sebab-sebab yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu ialah tidak mengamalkan ilmu itu sendiri, serta masih mendahulukan emosional hawa nafsu, bentuk-bentuk mendahulukan hawa nafsu itu sendiri beragam, seperti berpegang kepada bukan wahyu ilahi, adakalanya kepada akal semata, atau kepada hawa nafsu, atau kepada mimpi, atau kepada pendapat tuan guru dan pemimpin suatu kelompok tertentu (ta’ashub dan taqlid buta), sekalipun hal itu nyata-nyata bertentangan dengan ilmu yang dimilikinya, baik yang berhubungan dengan aqidah, ibadah maupun dakwah dan muamalah.
Hal ini diceritakan oleh Allah dalam Al Quran tentang ulama-ulama orang yahudi, mereka memiliki ilmu, tetapi ilmu tersebut tidak memberi manfaat kepada diri mereka dalam mengambil kebenaran. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah,
“Perumpamaan orang-orang yang dibebankan kepada mereka Taurat kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa lembaran-lembaran yang tebal”. (QS. Al Jum’ah: 5).
Allah mencela orang-orang yahudi karena mereka tidak mengamalkan Taurat yang merupakan ilmu yang dibawa nabi Musa ‘alaihi salam kepada mereka. Di antaranya adalah mereka tidak mau beriman dengan kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang sudah diberitakan tentang kedatangannya dalam kitab mereka Taurat, bahkan mereka mengenal ciri-cirinya lebih dari mengenal ciri anak-anak mereka sendiri, bahkan mereka tidak cukup sampai di situ tetapi mereka sesat lebih jauh lagi dengan mengubah isi Taurat itu sendiri sesuai dengan kemauan dan kehendak mereka sendiri. Contoh lain dalam Al Quran tentang orang yang tidak mengamalkan ilmunya, terdapat dalam firman Allah;
“Dan bacakanlah kepada mereka tentang berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tetang isi Alkitab), kemudian ia berlepas diri dari ayat-ayat itu, lalu syaitan mengikutinya (sampai ia tersesat), maka ia terjerumus menjadi orang-orang yang sesat. Dan jika kami berkehendak, sungguh kami angkat (derajat)nya dengan ayat-ayat tersebut, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya (yang hina)”. (QS. Al A’raaf: 176,175).
Dalam ayat ini Allah mengisahkan seseorang yang telah diberi ilmu tentang kebenaran yang harus diikutinya, tetapi orang tersebut berpaling dari mengikuti ilmu yang benar tersebut, saat syaitan melihatnya dalam hal demikian, maka syaitan seketika itu pun ikut mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran itu, lalu syaitan semakin menyesatkannya, akhirnya ia terjerumus ke dalam kesesatan yang amat jauh.
Padahal kalau ia mau untuk mengamalkan ilmu dan mengikuti kebenaran yang telah dimilikinya, sesungguhnya Allah akan mengangkat derajatnya dengan kebenaran tersebut, tetapi Allah menghinakannya karena ia terlebih dulu telah menghinakan kebenaran dan membuangnya di belakang punggungnya, ia lebih mengutamakan kesenangan duniawi dari kesenangan ukhrawi, ia lebih suka mengikuti hawa nafsunya yang sesat lagi hina dari mengikuti hidayah yang berkilau bagaikan cahaya.
Hal ini pulalah yang menimpa sebagian pribadi dan kelompok dalam Islam yang menisbatkan diri mereka kepada pendakwah, terlebih khusus sebagian saudara kita yang telah diberi kesempatan oleh Allah untuk menuntut ilmu di Universitas Islam yang tegak di atas Al Quran dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih, mereka masih mendahulukan hawa nafsunya dan mendahulukan kepentingan duniawi, atau kepentingan kelompoknya di atas kepentingan Allah dan Rasul-Nya.
Betapa banyaknya ayat Al Quran mencegah kita dari mengikuti hawa nafsu setelah jelasnya kebenaran dan setelah datangnya ilmu, karena hal inilah yang menyebabkan melencengnya ahlul kitab dari mengikuti kebenaran. Di antaranya firman Allah yang mulia:
“Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya, dan jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan datang kepadamu (niscaya) Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolongmu”. (QS. Al Baqarah: 120).
Maka di awal tahun ajaran baru ini penulis ingin mengingatkan diri serta para ikhwan seluruhnya baik yang baru datang maupun para ikhwan yang lama, mari kita bersama-sama untuk kembali mengintropeksi diri kita masing-masing dalam hal yang satu ini yaitu jangan kita sampai mendahulukan kepentingan duniawi di atas kepentingan ukhrawi.
Di antara keutamaan ilmu salaf adalah dekatnya buah ilmu mereka, artinya ilmu mereka tersebut membuahkan amal sholeh, seperti bersikap lembut terhadap sesama makhluk, mencintai kebenaran untuk seluruh makhluk, bukannya bahagia dengan kesalahan orang lain, sedikit berbicara banyak beramal, menimbulkan kekhusyukan dalam beribadah, menimbulkan rasa takut kepada Allah.
Salaf dalam menuntut ilmu lebih banyak mementing buah dari pada mengonggok batang, ibaratkan orang yang berkebun yang penting adalah banyaknya hasil perkebunan, bukan luas dan banyak bibit yang semai, untuk apa banyak pohon yang ditanam tapi tidak satu pun yang menghasilkan buah, dan akan lebih baik lagi orang yang punya perkebunan luas dan memiliki hasil panen yang banyak.
Disebutkan dalam pepatah arab: “Ilmu tanpa amal bagai pohon yang tidak berbuah”. Dalam pepatah lain: “Petiklah ilmu dengan amal, jika tidak ia akan pergi”. Diantara buah ilmu adalah membuahkan rasa takut kepada Allah, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firmanNya mulia:
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah para ulama”. (QS. Faathir: 28).
Berkata sebagian salaf, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah)”. Berkata lagi sebagian yang lain: “Barang siapa yang takut kepada Allah maka ia adalah seorang ‘alim, dan barang siapa yang melakukan maksiat kepada Allah maka ia adalah seorang jahil”.
Di antara buah ilmu salaf adalah memberikan kekhusukan kepada mereka dalam beribadah.Ilmu yang bermanfaat adalah memperkenalkan pemiliknya dengan robbnya dan menunjukkan jalan kepada robbnya sehingga ia mengenalNya, mengesakanNya dalam segala bentuk ibadahnya, merasa senang dan dekat denganNya, ia menyembah robbnya seakan-akan ia melihatNya.
Oleh sebab itu kebanyakan para sahabat berkata: “Sesungguhnya yang pertama sekali diangkat dari tengah-tengah manusia adalah rasa khusuk dalam ibadah. Berkata Ibnu Mas’ud: “kebanyakan orang membaca Al Quran tidak melewati tenggorokannya, dan tetapi jikalau tertancap dalam hati, ia akan lengket dan bermamfaat”. Berkata Hasan Al Bashri: “ilmu itu ada dua macam; ilmu di atas lidah, itu adalah hujjah Allah di atas anak Adam, ilmu dalam hati, itulah ilmu yang bermanfaat”.
Oleh karena kebanyakan salaf berkata, ”ulama itu ada tiga golongan; pertama: ‘alim dengan Allah, ‘alim dengan perintah Allah, kedua: ‘alim dengan Allah tetapi tidak ‘alim dengan perintah Allah, ketiga ‘alim dengan perintah Allah tetapi tidak ‘alim dengan Allah”. (Fadhlu ilmu salaf: 50).
Kedua: Suka berdebat dan berjidal.
Telah terdapat dalam sebuah hadits tentang larangan berjidal,
“Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah diberi petunjuk kecuali setelah mereka mendapati jidal” kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “Tidaklah mereka itu memberikan perumpamaan kepada engkau kecuali sekedar untuk untuk membantah saja, tetapi mereka itu adalah kaum yang suka bertengkar (QS. Az Zukhruf: 58)”. (HR. At Tirmizi no: 3253, hasan shohih).
Telah berkata sebahagian salaf: “Apabila Allah mengehendaki suatu kebaikan untuk seorang hamba, Allah membukakan untuknya pintu amal, dan menutup darinya pintu jidal, dan apabila Allah mengehendaki kejelekan untuk seorang hamba, Allah menutup untuknya pintu amal dan membuka baginya pintu jidal”.
Berkata Imam Malik: “Berjidal adalah menghilangkan cahaya ilmu dan mengeraskan hati, serta menyebabkan permusuhan”. (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi Salaf: 35). Diantara sifat salaf adalah sedikit berbicara, diamnya salaf dari berbantah-bantahan dan berjidal bukannya karena mereka itu lemah dan bodoh, tetapi mereka diam di atas penuh ilmu dan penuh takut kepada Allah.
Adapun banyak pembicaraan dan komentar dari orang-orang setelah mereka bukan berarti mereka lebih berilmu dari salaf tetapi disebabkan karena mereka suka banyak bicara dan kurangnya sikap wara’. Sebagaimana yang dikatakan Hasan Al Bashri tatkala ia menyaksikan orang saling berdebat, “mereka adalah kaum yang malas beribadah dan suka berbicara serta tidak memiliki warak makanya mereka suka ngobrol”. (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi Salaf: 36).
Berkata Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu: “Sesungguhnya kalian berada di zaman yang banyak ulamanya sedikit para khatibnya, akan datang sesudah kalian masa yang banyak khatibnya tetapi sedikit ulamanya, barang siapa yang luas ilmunya dan sedikit omongannya, maka ia adalah terpuji, dan barang siapa yang sebaliknya maka ia adalah tercela”.
Ibnu rajab berkata; “Kebanyakan generasi sekarang mengira bahwa banyak bicara, suka berjidal, suka berbantah dalam masalah agama, adalah lebih tahu dari orang yang tidak seperti demikian, inilah suatu kebodohan, coba kita lihat bagaimana para sahabat sangat sedikit perkataan mereka bila dibandingkan dengan perkataan tabi’in, sedangkan para sahabat jauh lebih berilmu bila dibandingkan dengan tabi’in, begitu juga halnya tabi’ut tabi’iin dengan tabi’in, ilmu bukanlah diukur dengan banyak riwayat dan tidak pula diukur dengan banyak omongan tetapi ilmu adalah cahaya yang diberikan Allah ke dalam hati seseorang yang menjadikannya paham tentang kebenaran, dan mampu membedakan antara yang hak dengan yang batil, serta mengungkapkannya dengan perkataan yang simpel dan padat serta tepat dalam menyampaikan kepada apa yang di maksud”. (Ibnu Rajab, Fahdul Ilmi Salaf: 37-38).
Maka perlu untuk diketahui bahwa sesungguhnya bukanlah setiap orang yang luas pembicaraannya, pintar berbicara lebih berilmu dari orang yang tidak demikian halnya, sungguh di akhir zaman ini kita telah mendapat cobaan dari sebahagian manusia yang berpandangan demikian.
Ketiga: Mendahulukan kepentingan duniawi diatas kepentingan ukhrawi
Ibnu Rajab menyebutkan dalam kitab beliau (Fadhl Ilmi Salaf hal: 52-54) beberapa bentuk sikap orang yang memburu kesenangan dunia dengan memobilisasi ukhrawi, adakalanya mengaku memiliki ilmu tentang keagamaan, tetapi tujuannya dibalik itu adalah ingin mencari kududukan di tengah-tengah manusia, baik di kalangan penguasa atau lainnya, atau untuk mencari pengikut yang banyak dan berbangga dengannya, seperti mengaku sebagai wali dan sebagainya.
Di antara ciri-cirinya lagi adalah tidak mau tunduk kepada kebenaran, dan memiliki kesombongan terhadap orang yang menegakkan kebenaran, apalagi bila orang tersebut tidak terpandang di mata manusia, kemudian tetap berpegang dengan kebatilan karena takut terbukanya kedok kesesatan dan kebodohannya, saat tersebarnya kebenaran di tengah-tengah manusia.
Boleh jadi kadangkala ia mencela dirinya sendiri, agar dianggap sebagai orang yang memiliki sifat tawadhu’, supaya orang lain memujinya. Dalam kenyataan sehari-hari kita sering menyaksikan orang-orang yang binasa dan celaka dalam berbagai lembah yang hina, demi mencari kesenangan duniawi dengan memperdagangkan urusan ukhrawi, ada yang binasa di lembah maksiat, bid’ah, popularitas, atau lembah partai politik, dan lain-lain sebagainya. Allah telah berfirman dalam kitab suciNya:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan duniawi dan perhiasannya, niscaya kami akan memberikan balasan amalan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun didalamnya, mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan di akhirat kelak kecuali neraka, dan hilanglah segala apa yang mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah segala apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Huud: 15,16).
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhialhu ‘anhu, bahwa ia berkata,
“Kalaulah seandainya pemilik ilmu menjaga ilmu dan meletakkannya pada orang yang sebagai pemiliknya, sungguh mereka akan memimpin zaman mereka, tetapi mereka memberikannya pada pemilik dunia, supaya mereka memperoleh keduniaan mereka, maka mereka dihinakan (di hadapan) pemilik dunia, aku telah mendengar Nabi kalian bersabda: “Barang siapa yang menjadikan kepentingannya satu kepentingan yaitu kepentingan akhiratnya niscaya Allah akan mencukupkan kebutuhan dunianya, barangsiapa yang terpencar-pencar kepentingannya dalam urusan dunia, Allah tidak menghiraukan di lembah manapun ia binasa”. (HR. Ibnu Majah no: 257).
Imam Asy Syaukany mengulas dalam kitanya “Adabuthalab wal muntahal’arib”, diantara sebab yang membuat seseorang menjauhi kebenaran, dan menyembunyikan dalil-dalil kebenaran serta tidak menerangkan apa yang diwajibkan Allah kepadanya untuk menerangkannya adalah kecintaan kepada kehormatan dan harta.
Banyak fenomena yang kita saksikan di tengah para tholabul ‘ilmi, yang tidak mungkin kita kupas dalam bahasan yang ringkas ini, tetapi orang yang arif dan bijak dengan isyarat sudah cukup untuk mengingatkannya. Wallahu a’alam bishawaab.
Untuk lebih menambah kepuasan tetang topik bahasan kita kali ini silakan para ikhwan merujuk buku-buku berikut ini:
  1. Kitaabul ‘Ilmi karangan Abu Khaitsamah.
  2. Al Faqiih wal Mutafaqqih karangan Khatib Al Baghdady.
  3. Iqtidha Al ‘ilmi Al ‘amal karangan Khatib Al Baghdady.
  4. Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi karangan Ibnu Abdilbar.
  5. Tadzkirotusami’ wal Muta’alim karangan Ibnu Jama’ah.
  6. Fadhlu ‘Ilmu Salaf karangan Ibnu Rajab Hambaly.
  7. Adabut Thalab karangan Imam Asy Syaukany.
  8. Kitaabul ‘Ilmi karangan Syekh Al ‘Utsaimin.
  9. Kaifa Tathlubu ‘Ilma karangan Abdullah Jibrain.
  10. Hilyah Thalibil ‘ilmi karang Bakar Abu Zaid.
  11. Ma’alim fii Thoriqil Ishlah karangan Abul Aziz As sadhaan.




Judul Asli: Titian Ilmu
Penulis: Ust Ali Musri MA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar