Dalam suatu
ayat, Alloh subhanahu wa ta’ala bercerita tentang keadaan hari kiamat:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ {1}
وُجُوهُُيَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ {2} عَامِلَةٌ
نَّاصِبَةٌ {3} تَصْلَى نَارًاحَامِيَةً {4} تُسْقَى مِنْ عَيْنٍءَانِيَةٍ {5}
لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلاَّ مِن ضَرِيعٍ {6} لاَيُسْمِنُ وَلاَيُغْنِي مِن جُوع
“Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?. Banyak muka
pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang
sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.
Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak
menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar” (QS Al Ghasyiyah: 1-7)
Ayat-ayat tersebut di atas merupakan cerita tentang kondisi sebagian penghuni neraka di hari akhirat nanti. Ternyata bukan semua penghuni neraka adalah orang-orang di dunianya kerjaannya cuma gemar berbuat maksiat, kecanduan narkoba, suka main perempuan dan lain sebagainya. Akan tetapi ternyata ada juga di antara penghuni neraka yang di dunianya rajin beramal, bahkan sampai dia kelelahan saking berat amalannya. Ini tentunya menimbulkan kekhawatiran yang amat besar dalam diri masing-masing kita, jangan-jangan kita termasuk yang sudah beramal banyak tapi nantinya termasuk ke dalam golongan yang disebut oleh Alloh subhanahu wa ta’ala di dalam awal surat Al Ghasyiyah tersebut di atas.
Jadi, untuk
menghilangkan rasa cemas itu, kita perlu mengetahui mengapa orang-orang yang
disebutkan dalam ayat di atas sudah beramal tapi malah ganjarannya neraka?
Bagaimanakah model amalan mereka?
Dengan
mengkaji penjelasan para ulama terhadap ayat ini (Lihat: Majmu’ Al-Fatawa li
Syaikhil Islam XVI:217, dan Shaid al-Khatir karya Ibn al-Jauzi I:373) kita bisa
mengetahui bahwa ternyata rahasia kesialan mereka adalah karena mereka
beramal tapi tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya amalan.
Merujuk
kepada dalil-dalil dari Al Quran dan Al Hadits kita bisa menemukan bahwa syarat
pokok diterimanya amalan seorang hamba ada dua:
- Ikhlas
karena Alloh subhanahu wa ta’ala.
- Mengikuti
tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dua syarat
ini disebutkan dengan jelas dalam akhir surat al-Kahfi:
(فَمَنْ كَانَ
يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً)
·
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadat kepada Rabb-nya”. (QS Al Kahfi: 110)
Oleh karena
itu Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Dua hal ini
merupakan dua rukun amal yang diterima. (Jadi suatu amalan) harus ikhlas karena
Alloh dan sesuai dengan syari’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam”
(Lihat: Mudzakkirah fil ‘Aqidah, karya Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimy, hal:
9-12).
Mari kita
mulai mempelajari bersama, syarat pertama diterimanya suatu amalan,
yaitu syarat ikhlas karena Alloh ta’ala. Maksudnya adalah: seseorang hanya
mengharapkan ridho Alloh dari setiap amalannya, bersih dari penyakit riya’
(ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak
mencari pujian dan balasan melainkan hanya dari-Nya. Pendek kata seluruh amalan
yang ia kerjakan hanya ditujukan kepada Alloh subhanahu wa ta’ala semata, dan
ini merupakan inti ajaran aqidah yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul
rodhiallohu ‘anhum. (Lihat: Mudzakkirah fil ‘Aqidah, karya Dr. Shalih bin Sa’ad
as-Suhaimy, hal: 10)
Orang yang
tidak mengikhlaskan amalannya untuk Alloh subhanahu wa ta’ala, tidak hanya
mengakibatkan amalannya ditolak oleh Alloh, tapi juga kelak dia akan disiksa di
neraka. Mari kita simak bersama hadits berikut ini:
Suatu hari ketika Syufay al-Ashbahani memasuki kota Madinah, tiba-tiba
dia mendapati seseorang yang sedang dikerumuni orang banyak, maka dia pun
bertanya, “Siapakah orang ini?”. Mereka menjawab, “Ini adalah Abu Hurairah
sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka Syafi-pun mendekat hingga dia
duduk di hadapan Abu Hurairah, yang saat itu dia sedang menyampaikan
hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada para hadirin. Ketika
selesai dan hadirin telah meninggalkan tempat, Syufay berkata, “Sebutkanlah
untukku sebuah hadits yang engkau dengar langsung dari Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam dan amat engkau hafal dan engkau pahami”. Abu Hurairah
menjawab, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar
langsung dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan amat aku pahami”. Saat
Abu Hurairah akan menyebutkan hadits itu tiba-tiba beliau tidak sadarkan diri
untuk beberapa saat. Ketika siuman dia kembali berkata, “Baiklah, akan
kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dan amat aku pahami”. Tiba-tiba Abu Hurairah tidak
sadarkan diri lagi untuk beberapa saat. Ketika siuman dia kembali berkata,
“Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di rumah ini, saat itu kami hanya
berdua dengan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam”. Tiba-tiba Abu Hurairah
tidak sadarkan diri lagi untuk beberapa saat. Ketika siuman dia mengusap
wajahnya dan berkata, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku
dengar langsung dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di rumah ini, saat
itu kami hanya berdua dengan beliaushalallahu ‘alaihi wa sallam”. Tiba-tiba Abu
Hurairah tidak sadarkan diri lagi dalam waktu yang cukup panjang, hingga
Syafipun menyandarkan Abu Hurairah ke tubuhnya, sampai beliau siuman. Ketika
sadar beliau berkata, “Suatu saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepadaku:
((إن الله
تبارك و تعالى إذا كان يوم القيامة نزل إلى العباد ليقضي بينهم و كل أمة جاثية
فأول من يدعو به رجل جمع القرآن ورجل يقتل في سبيل الله ورجل كثير مال فيقول
للقارىء: ألم أعلمك ما أنزلت على رسولي ؟ قال: بلى يا رب, قال: فماذا عملت فيما
علمت؟, قال: كنت أقوم به أثناء الليل و آناء النهار, فيقول الله له: كذبت, وتقول الملائكة: كذبت, ويقول الله: بل أردت أن يقال:
فلان قارىء فقد قيل. ويؤتى بصاحب المال فيقول الله: ألم أوسع عليك حتى لم أدعك
تحتاج إلى أحد؟, قال: بلى, قال: فماذا عملت
فيما آتيتك؟, قال: كنت أصل الرحم و أتصدق, فيقول الله: كذبت, وتقول الملائكة:
كذبت, فيقول الله: بل أردت أن يقال فلان جواد فقد قيل ذاك. ويؤتى بالذي قتل في سبيل
الله فيقال له: فيم قتلت؟, فيقول: أمرت بالجهاد في سبيلك فقاتلت حتى قتلت, فيقول
الله: كذبت, وتقول الملائكة: كذبت, و يقول الله عز و جل له: بل أردت أن يقال فلان
جريء فقد قيل ذلك, ثم ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم على ركبتي فقال: يا أبا هريرة أولئك الثلاثة أول خلق الله تسعر بهم النار
يوم القيامة)).
“Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Alloh subhanahu wa ta’ala akan
turun kepada para hamba-Nya untuk mengadili mereka, dan saat itu masing-masing
dari mereka dalam keadaan berlutut. Lantas yang pertama kali dipanggil oleh-Nya
(tiga orang): Seorang yang rajin membaca Al Quran, orang yang berperang di
jalan Alloh dan orang yang hartanya banyak. Maka Alloh pun berkata kepada si
qori’, “Bukankah Aku telah mengajarkan padamu apa yang telah Aku turunkan
kepada Rasul-Ku?” Si qori’ menjawab, “Benar ya Alloh”. Alloh kembali bertanya,
“Lantas apa yang telah engkau amalkan dengan ilmu yang engkau miliki?” Si Qori
menjawab, “Aku (pergunakan ayat-ayat Al Quran) yang kupunyai untuk dibaca dalam
shalat di siang maupun malam hari” serta merta Alloh berkata, “Engkau telah
berdusta!”. Para malaikat juga berkata, “Engkau dusta!” Lantas Alloh berfirman,
“Akan tetapi (engkau membaca Al Quran) agar supaya engkau disebut-sebut qori’!
Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia)”. Kemudian didatangkanlah
seorang yang kaya raya, lantas Alloh berfirman padanya, “Bukankah telah
Kuluaskan (rizki)mu hingga engkau tidak lagi membutuhkan kepada seseorang?”.
Dia menyahut, “Betul”. Alloh kembali bertanya, “Lantas engkau gunakan untuk apa
(harta) yang telah Kuberikan padamu?”. Si kaya menjawab, “(Harta itu) aku
gunakan untuk silaturrahmi dan bersedekah”. Serta merta Alloh berkata, “Engkau
dusta!”. Para malaikat juga berkata, “Engkau dusta!”. Lalu Alloh berfirman,
“Akan tetap engkau ingin agar dikatakan sebagai orang yang dermawan!. Dan
(pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia)”. Lantas didatangkan orang yang
berperang di jalan Alloh, kemudian dikatakan padanya, “Apa tujuanmu
berperang?”. Orang itu menjawab, “(Karena) Engkau memerintahkan untuk berjihad
di jalan-Mu, maka aku pun berperang hingga aku terbunuh (di medan perang)”.
Serta merta Alloh berkata, “Engkau dusta!”. Para malaikat juga berkata, “Engkau
dusta!”. Lalu Alloh berfirman, “Akan tetap engkau ingin agar dikatakan engkau
adalah si pemberani!. Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia)”.
Lantas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menepuk lututku sambil berkata,
“Wahai Abu Hurairah, mereka bertiga adalah makhluk Alloh yang pertama kali yang
dikobarkan dengannya api neraka di hari kiamat” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab
Shahihnya IV:115, no: 2482, Ibnu Hibban juga dalam kitab Shahihnya II:135, no:
408. Al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/415 berkata, “Isnadnya shahih” dan
disepakati oleh adz-Dzahaby dan Al Albani)
Meskipun
masing-masing dari mereka bertiga memiliki amalan yang banyak, akan tetapi
justru dimasukkan oleh Alloh ke dalam neraka pertama kali, itu semua gara-gara
amalan mereka tidak ikhlas karena Alloh subhanahu wa ta’ala. Semoga kita semua
termasuk orang-orang yang dikaruniai Alloh keikhlasan dalam setiap amalan.
Amien.
Berhubung
ibadah haji juga merupakan suatu amalan shalih yang sangat agung, bahkan
merupakan rukun Islam yang kelima, maka kita pun dituntut untuk ikhlas dalam
mengamalkannya, semata-mata mengharap ridho Alloh subhanahu wa ta’ala. Hal ini
perlu untuk senantiasa ditekankan, karena diakui atau tidak, masih ada, atau
bahkan mungkin masih banyak orang-orang yang berangkat haji dengan niat yang
dicemari oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Ada dari mereka yang berhaji
supaya setelah pulang nanti dipanggil pak haji atau bu haji, hingga jika suatu
saat ada tetangga yang lupa ketika memanggil dengan tidak menyebutkan pak haji,
dia pun tidak mau menoleh. Ada yang berhaji dengan tujuan untuk memperlancar
rencana dia untuk meraih kursi di pemerintahan. Ada yang berhaji dengan tujuan
agar disegani oleh rekan bisnisnya, dan masih banyak tujuan-tujuan duniawi lain
yang bisa mengotori niat ibadah haji seseorang. Kalau kotoran-kotoran tersebut
tidak segera kita bersihkan dari diri kita maka niscaya usaha kita menabung
puluhan tahun agar bisa berhaji akan sia-sia!. Kita hanya akan pulang dengan
membawa rasa penat dan letih!. Kita hanya akan pulang dengan tangan hampa! Dan
yang lebih menyedihkan dari itu semua, apa yang Alloh ceritakan di dalam ayat
di bawah ini:
(وَقَدِمْنَا
إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُوراً)
“Dan Kami datang kepada amalan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan” (QS Al Furqan: 23)
Maka, jika
ada di antara kita yang masih mengotori niatnya dalam berhaji dengan
kotoran-kotoran duniawi, mari kita bersihkan kotoran-kotoran tersebut dari
sekarang agar kelak kita tidak menyesal. Juga kita berusaha mempelajari
nilai-nilai keimanan yang terkandung di dalam ibadah haji kita, agar ibadah
yang agung ini tidak terasa hambar, dan agar ibadah haji yang kita kerjakan ini
semakin memperkuat akidah kita.
Sepengetahuan
kami, buku terbaik yang ditulis untuk mengungkap rahasia keterkaitan ibadah
haji dengan fondasi agama Islam, yakni akidah, adalah buku yang berjudul
“Pancaran Nilai-Nilai Keimanan dalam Ibadah Haji” (Judul aslinya dalam bahasa
Arab, “Durus ‘Aqadiyah Mustafadah Minal Hajj”, yang kemudian diterjemahkan dan
diringkas lalu kami beri judul dengan judul di atas), yang ditulis oleh Syaikh.
Prof. Dr. Abdurrozaq bin Abdul Muhsin al-’Abbad al-Badr, salah seorang dosen
pasca sarjana di Universitas Islam Madinah. Maka kami melihat bahwa seharusnya
setiap jamaah haji berusaha untuk membaca buku ini sebelum berhaji, agar dia
bisa berhaji dengan mantap.
Adapun
syarat yang kedua agar amalan kita diterima adalah: Mengikuti tuntunan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya: Amalan yang kita kerjakan
untuk mendekatkan diri kita kepada Alloh subhanahu wa ta’ala harus sesuai
dengan apa yang diterangkan oleh Alloh dan oleh Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Sebab agama kita yang mulia ini telah disempurnakan oleh Alloh
subhanahu wa ta’ala sebelum Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memejamkan
kedua matanya untuk selama-lamanya. Maka agama kita ini sama sekali tidak
membutuhkan kepada seseorang untuk menambah sesuatu ke dalamnya, ataupun
menguranginya.
Alloh
subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
(الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْأِسْلامَ دِيناً)
“Pada hari
ini telah telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah
Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi
agama bagi kalian”. (QS Al Maaidah: 3)
Banyak
sekali ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
yang memerintahkan kita untuk mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam, serta memperingatkan kita agar tidak membuat hal-hal yang baru dalam
agama, yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Di antaranya adalah firman Alloh:
(قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ)
“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian (benar-benar) mencintai Alloh
hendaklah kalian mengikutiku, niscaya Alloh akan mencintai kalian dan
mengampuni dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.(QS Ali Imran: 31)
Dan sabda
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
(عليكم بسنتي
وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي, عضوا عليها بالنواجذ, وإياكم ومحدثات الأمور, فإن كل محدثة بدعة, وكل بدعة
ضلالة, وكل ضلالة في النار)
“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunnah para
khalifah ar-rasyidin (yang diberi petunjuk) sesudahku, gigitlah dengan gigi
geraham kalian, dan hati-hatilah dari setiap perkara yang baru (dalam agama),
karena sesungguhnya perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka” (HR. At-Tirmidzi
IV:149 dan Ibnu Majah II:1025)
Dalam hadits
lain Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan,
(من أحدث في
أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد) متفق عليه
“Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru di dalam perkara (agama)
ini yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu akan tertolak” (HR
Bukhari III:241 dan Muslim V:132)
Ayat-ayat
dan hadits-hadits tersebut di atas telah menegaskan akan wajibnya mengikuti
tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal. Barang siapa
yang beramal tidak sesuai dengan tuntunan Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam
maka amalannya akan ditolak alias tidak diterima, meskipun amalannya besar,
meskipun amalan itu telah membudaya di kalangan kaum muslimin ataupun amalan
tersebut kelihatannya menurut kaca mata sebagian orang baik. Pendek kata yang
harus dijadikan barometer untuk menilai baik tidaknya suatu amalan bukanlah
akal manusia, akan tetapi setiap amalan harus di timbang dengan timbangan
syariat; Al Quran dan Al Hadits. Apa yang sesuai dengan keduanya kita kerjakan,
dan apa yang tidak sesuai kita tinggalkan. Inilah jalan seorang muslim yang
sejati.
Di zaman
kita ini telah menjamur di kalangan sebagian masyarakat amalan-amalan yang
dianggap ibadah, padahal sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya. Apakah mereka lebih paham
tentang agama Islam daripada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan
sahabatnya? Ataukah mereka telah memiliki tuntunan yang berbeda dengan tuntunan
yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya?
Maka marilah
mulai detik ini kita kembali mengoreksi amalan-amalan yang selama ini kita
kerjakan, sudahkah amalan kita sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam? Sudahkah kita mempelajari bagaimana
cara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sholat? Sudahkah kita mempelajari
bagaimana cara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berhaji? Ketahuilah
bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan,
(خذوا عنى
مناسككم)
”Ambillah oleh kalian manasik haji dariku” (HR Muslim no: 1297)
Berkaitan
dengan masalah sholat, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
(صلوا كما
رأيتموني أصلي)
”Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari no:
631)
Dengan
merealisasikan dua syarat ini yakni ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam niscaya amalan kita akan diterima, dan kita akan
termasuk golongan yang diceritakan oleh Alloh ta’ala dalam firman-Nya,
وُجُوهُُيَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ {8} لِسَعْيِهَا
رَاضِيَةٌ {9} فيِ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ
“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, mereka senang karena amalannya,
dalam surga yang tinggi” (QS Al Ghasyiyah: 8-10)
Wallohu
ta’ala a’lam, wa shallallohu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa
shahbihi ajma’in. Selamat berhaji, semoga mabrur… Amien…
Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah Zaen, Lc.
(Mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia)
Dipersembahkan oleh:
Tim Mahasiswa Indonesia Universitas Islam Madinah, PO Box: 10234 Madinah KSA
Tim Mahasiswa Indonesia Universitas Islam Madinah, PO Box: 10234 Madinah KSA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar