Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Sabtu, 14 Juli 2012

BERHIJAB DAN MENUNDUKKAN PANDANGAN


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Hai Nabi katakanlah lepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : “Hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Ahzab : 59)

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (Dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menenggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (An Nuur : 60)
Yang dimaksud al qawa’id adalah perempuan-perempuan tua, maka manthuq[1] ayat ini adalah bolehnya wanita yang sudah tua dan tidak ingin menikah lagi untuk menanggalkan pakaian mereka.
Asy Syaukani berkata dalam Fathul Qadir (4/52) : “Yang dimaksud dengan al Qawa’id dari wanita adalah perempuan-perempuan tua yang tidak lagi beranak.”
Dan ini tidak tepat, karena ada wanita yang tidak lagi melahirkan tetapi (suaminya masih dapat) bersenang-senang dengannya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan hukum al Qawa’id dalam firman-Nya : “Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka”, yakni pakaian yang nampak diluar badan, seperti jilbab dan sejenisnya, bukan pakaian penutup aurat yang khusus. Dibolehkannya hal ini bagi mereka karena sudah berpalingnya jiwa dari mereka dan tidak ada keinginan lelaki terhadap mereka. Maka Allah subhanahu wa ta’ala bolehkan bagi mereka sesuatu yang tidak dibolehkan pada yang lain.
Kemudian Allah menetapkan satu keadaan diantara keadaan mereka (ketika Dia mengizinkan mereka menanggalkan pakaian itu – ed), dan berfirman : “Dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan”, yakni tanpa menampakkan perhiasan yang diperintahkan kepeda mereka untuk menyembunyikannya. Sebagaimana disebutkan dalam firmanNya : “Janganlah mereka menampakkan perhiasannya”, dan maknanya ialah dengan menanggalkan jilbab itu tidaklah mereka berkeinginan untuk menampakkan perhiasannya dan tidak pula sengaja berhias supaya dilihat para lelaki, berdandan, berbuka-bukaan, dan terlihat oleh mata. Diantara penggunaan kata ini adalah : Buruujun musyayyadatun (benteng yang tinggi lagi kokoh), buruujus samaa i (hiasan langit), penggunaan lain diantaranya ialah perkataan mereka : safiinatun baarijatun artinya tidak menanggalkan pakaiannya, itu lebih baik bagi mereka daripada menanggalkannya. Sedangkan mafhum[2] dari ayat ini, dapat diambil faedah bahwa wanita tidak termasuk qawa’id, tidak boleh bagi mereka menanggalkan pakaiannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mareka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-oranr yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nuur : 31)
Dan firman-Nya :
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya”
Yakni, janganlah wanita itu menampakkan perhiasannya kepada lelaki yang asing (bukan suami dan bukan mahram –ed) kecuali apa yang biasa nampak darinya.
Dan makna : “Yang (biasa) nampak daripadanya”, Ibnu Jarir mengatakan : “Ibnul Mutsanna berbicara kepada kami, ia berkata : “Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja’far, ia berkata : “Telah bercerita kepada kami Syu’bah dari Abu Ishaq dari Abul Ahwash dari Abdullah, ia berkata : “Yaitu pakaian.” Dan sanadnya shahih. Sedang Abu Ishaq adalah Amr bin Abdullah As Sabi’i. Dan ‘an ‘anah-nya (riwayat dengan ‘an/ dari-ed) tidaklah membehayakan haditsnya karena yang meriwayatkan darinya adalah Syu’bah. Dan Syu’bah mengatakan : “Saya sudah mencukupi kalian tadlis dari tiga orang, Qatadah, Al A’masy, dan As Sabi’i Abu Ishaq.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini : “Yakni tidak menampakkan sesuatupun dari perhiasannya kepada lelaki asing kecuali yang tidak mungkin untuk disembunyikan.”
Ibnu Mas’ud mengatakan : “Misalnya rida’/ pakaian luar (mantel atau pakaian yang melapis baju –ed) dan pakaian.
Adapun makna perhiasan dalam ayat : “Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka”, maka yang dimaksud adalah mahramnya, artinya boleh bagi seorang wanita menampakkan perhiasannya didepan mereka. Dalam hal memperlihatkan perhiasan ini pada mereka, berbeda-beda pula tingkatan mereka. Untuk suami, boleh melihat seluruh tubuh istrinya. Adapun selain suami, yakni mahram (yang diharamkan menikahi wanita tersebut –ed), mereka sama dalam hal ini yaitu (hanya boleh melihat) sebatas anggota wudhu saja.
Imam Al Bukhari rahimahullah mengatakan (1/298) : “Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata : “Telah mengebarkan kepada kami Malik dari Nafi dari Abdullah bin Umar, bahwa ia berkata:
“Dahulu lelaki dan wanita berwudhu pada zaman Rasulullah secara bersama-sama.”
Hadits ini hendaknya dibawakan kepada pemahaman bahwa yang dimaksud adalah dengan mahram, atau kejadian itu sebelum turunnya perintah berhijab. Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai anak Adam, sesunguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Al A’raf: 26)
Al Imam Al Bukhari berkata (11/22): “Telah bercerita kepada kami Yahya bin Sulaiman, telah bercerita kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab, ia berkata: “Telah mengabarkan kepadaku Anas bin Malik, bahwa ia berkata:
“Ketika usiaku sepuluh tahun datang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ke madinah, lalu aku melayani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam selama sepuluh tahun ketika beliau masih hidup. Dan aku adalah manusia yang paling tahu tentang perintah hijab ketika turun. Dan Ubay bin Ka’ab menanyakan hal itu kepadaku, dan ayat ini pertama kali turun pada pernikahan rasulullah dengan Zainab binti Jahsy. Kemudian mengundang kaumnya, mereka menyantap makanan dan setelah selesai mereka pulang. Tinggallah beberapa orang de samping Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dan mereka berlama-lama disitu. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallah berdiri dan keluar, maka akupun ikut keluar bersamanya supaya mereka juga keluar. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berjalan dan akupun ikut berjalan bersamanya, sampai tiba dipintu kamar Aisyah, kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyangka bahwa mereka telah keluar lau beliau kembali dan aku ikut kembali bersamanya. Ketika beliau sampai ke rumah Zainab, ternyata mereka masih duduk-duduk dan tidak berpisah. Lalu rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam balik kembali dan aku ikut kembali bersamanya sampai mencapai pintu kamar Aisyah. Lalu beliau menyangka bahwa mereka telah keluar, kemudian beliau kembali dan akupun ikut kembali bersamanya, ternyata mereka sudah keluar. Kemudian turun ayat hijab sehingga membuat antara aku dan beliau suatu pembatas/tutup.”
Dan At Tirmidzi berkata (3/1123): “telah bercerita kepada kami Muhammad bin Basysyar, katanya: “Amr bin ‘Ashim telah bercerita kepada kami, katanya: “telah bercerita kepada kami Hammam dari Qatadah dari mauruq dari abul ahwash dari Abdullah dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam beliau bersabda:
“Wanita adalah aurat maka jika dia keluar setan akan mengikutinya.”
Hadits ini perawinya tsiqah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam al Irwa’ (no. 273), dan juga dishahihkan oleh Ayahanda dalam Shahihul Musnad.
Dan Imam Muslim berkata (2/1040): “Telah bercerita kepada kami Ibnu Abi Umar, ia berkata: “Telah bercerita kepada kami Sufyan dari Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ia berkata: “Aku pernah disisi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam datanglah seorang lelaki kepadanya, dan memberitahu bahwa ia akan menikahi wanita Anshar. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah kamu sudah melihatnya?” Dia menjawab: “belum.” Beliau berkata: “Kalau begitu pergilah lalu lihatlah ia, karena sesungguhnya pada mata wanita Anshar ada sesuatu.”
Adapun sisi pendalilan dari hadits ini adalah bahwa wanita itu seandainya tida berhijab maka tidak perlu ia pergi untuk melihatnya, dan tentunya ia sudah melihatnya ketika wanita itu keluar.
Maka yang wajib bagi wanita adalah memakai hijab. Rabbnya ‘azza wa jalla lebih tahu mana yang labih baik baginya, dan dia telah mewajibkannya berhijab. Berhijab merupakan penjagaan bagimu dari berbagai kerusakan dan kejelekan. Dan berhijab merupakan kehormatan bagimu, karena wanita terhormat terbedakan hijabnya dari wanita yang fasiq.
Musuh-musuh Islam sangat memahami bahwa keluarnya wanita dengan berhias adalah pintu diantara pintu-pintu kerusakan dan kejelekan. Dan sebab itulah mereka sangat bersemangat agar wanita (muslimah) menanggalkan jilbab dan rasa malunya. Bahka ada diantara kaum muslimin yang mengingkari kewajiban berhijab bagi wanita dan berpandangan bahwa itu adalah suatu kekakuan/kekolotan. Di antara mereka adalah Muhammad Al Ghazali yangsesat dan ini bukanlah penyimpangan pertamanya. Anda dapat menjumpai berbagai penyimpangannya dalam kitab Hiwar Hadi-u Ma’al Ghazali” karya Salman fahd Al ‘Audah.
Maka jangan menoleh sedikitpun kepada omongan para penentang atau kepada orang yang mengolok-olok serta melecehkan hijab dan penganutnya karena sesungguhnya mengolok-olok agama dan penganutnya merupakan sifat para mulhidin (penentang). Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika kami memaafkan segolongan dari pada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (At Taubah: 65-66)
Didalam ayat ini juga disebutkan bahwa mengolok-olok agama dan para penganutnya adalah kufur.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (disunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu dihadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang yang sesat.” (Al Muthaffifin: 29-32)
Maka janganlah mempedulikan mereka karena kesudahan yang baik hanyalah untuk orang yang bertaqwa. Dan ketahuilah bahwa engkau jika telah memakai hijab maka harus membarenginya dengan niat bahwa engkau hanya menginginkan wajah Allah, maka jangan engkau memakai hijab dengan tujuan supaya dibicarakan, dan jangan engkau pakai karena adat istiadat semata.
Ibnul Qayyim telah menyebutkan dalam kitabnya Madarijus salikin, bahwa niat ibadah ada dua tingkatan:
1.memisahkan antara ibadah yang satu dengan yang lain.
2.memisahkan amalan ibadah dari adat/kebiasaan.
Sangat mengherankan, ada wanita yang malu memakai hijab, maka aku katakan kepada mereka: “Apakah engkau malu kepada mahluk dan tidak malu kepada Rabbmu, sedangkan Dia telah menciptakan kamu dan memberimu rizki lalu engkau lari dari perintah Penciptamu karena malu kepada manusia? Tidakkah engkau malu jika perhiasanmu nampak dimata lelaki asing dan engkau malu pada manusia jika memakai hijab yang syar’i?”

Maka wanita yang sikapnya begitu terhadap hijab, Allah lebih tahu tenyang keimanannya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiap mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hekekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima engan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65)
Dan sebagian wanita telah memakai hijab syar’i akan tetapi –semoga Allah memperbaiki mereka- bermudah-mudahan, sehingga mereka membuka wajah-wajah mereka jika tidak mendapati laki-laki di jalan dan ketika mereka melihat laki-laki, segera mereka menutup wajah mereka. Hal ini tidak dibenarkan karena mungkin engkau tidak menutup wajahmu sementara dia (seorang lelaki) ternyata telah melihatmu. Maka bertaqwalah kepada Allah dan jagalah kehormatanmu dari para pria dan tutuplah. Dan termasuk Do’a Nabi shallallahu’alaihi wa sallam waktu subuh dan sore: “Ya Allah tutuplah auratku dan amankanlah (aku dari) rasa takutku.”
Diantara manusia ada yang mengatakan: “Bahwa hijab itu khusus untuk istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al Ahzab: 32)
Maka jawabannya bahwa wanita ummat ini, mengikuti istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kecuali apa yang dikhususkan oleh dalil. Telah berkata Syaikh Asy Syinqithi dalam Adhwa’ul Bayan (6/584) tentang firman-Nya: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan bagi hati mereka”, (Al Ahzab: 53); “Alasan Allah menetapkan hukum ini yakni mewajibkan hijab karena yang demikian itu lebih suci bagi hati para pria dan wanita dari kecurigaan/keraguan dalam firmanNya: “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”, terdapat bukti yang jelas bahwa yang dikehendaki adalah menyamaratakan hukum karena tidak satupun muslimin yang akan mengatakan bahwa selain istri Nabi tidak butuh pada kesucian hati dan hati para pria dari kecurigaan terhadap mereka.”
Dan telah ditetapkan dalam (ilmu) Ushul bahwa ‘illat (sebab/alasan suatu hukum), kadang menjadikan ma’lul-nya (akibatnya) bersifat umum. Dan ini diisyaratkan dalam Maraqi Assu’ud dengan perkataannya:
Kadang mengkhususkan kadang menunjukkan keumuman.
Meliputi asalnya namun tidak mengharamkan

Dan berkata beliau: “Dari apa yang telah kami sebutkan kamu dapat mengetahui bahwa dalam ayat yang mulia ini terdapat dalil yang jelas tentang wajibnya hijab yang bersifat umum bagi seluruh wanita tidak khusus hanya untuk para istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam walaupun asal dari lafadznya khusus untuk mereka karena keumuman ‘illat hukum menunjukkan keumuman hukum masalah tersebut. Dengan demikian dipahami bahwa hukum ayat hijab bersifat umum karena keumuman alasan (illat) hukumnya, dan jika hukum ayat ini umum dengan adanya bukti Qur’ani, maka ketahuilah bahwa hijab atas seluruh wanita adalah wajib berdasarkan Al Qur’an.”
Namun kecemburuan laki-laki pada zaman ini telah tercabut kecuali yang dirahmati Allah. Sehingga ia membiarkan kaum wanita keluar dalam keadaan berhias, dan bercampur baur dengan para pria disekolah-sekolah, pasar-pasar atau tempat-tempat lainnya. Dan sesungguhnya permasalahan tabarruj bukanlah perkara yang remeh karena ia termasuk dosa besar.
Al Imam Muslim berkata (4/2192): “Telah bercerita kepada kami Zuhair bin Harb, ia berkata: “Telah bercerita kepada kami Jarir dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Dua kelompok dari penghuni neraka yang belum pernah aku melihatnya: Suatu kaum yang mempunyai cemeti seperti seekor sapi, mereka memukul manusia dengannya dan wanita yang berpakaian tapi telanjang berlenggak-lenggok jalannya, kepala-kepala mereka seperti punuk onta, tidak akan masuk sorga dan tidak mencium baunya, padahal baunya tercium dari jarak sekian dan sekian.”
Hadits ini termasuk bukti-bukti kenabian karena sungguh terjadi apa yang dikhabarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Jika wanita telah melaksanakan kewajibannya seperti berhijab kemudian ia keluar, maka hendaklah wanita menundukkan pandangannya. Karena mungkin terjadi sesuatu ketika ia berjalan, barangkali ada angin bertiup kemudian ada bagian hijabnya yang terangkat atau sebab-sebab lain yang mungkin akan menjadikan terbukanya perhiasan wanita.
Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” (An Nuur: 30)
Bisa jadi sebuah pandangan membuat hati terfitnah karena sesungguhnya hati para hamba berada diantara dua jari dari jari-jari Ar Rahman, Dia membolak-balikkan hati itu sebagaimana Dia kehendaki. Hati yang terfitnah tidak akan tenang bahkan akan sibuk dan gelisah karena ingin mewujudkan angan-angannya. Sedangkan memandang wanita yang bukan haknya atau sebaliknya (wanita memandang pria) merupakan salah satu pintu-pintu kerusakan.
Di dalam Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Telah ditetapkan atas anak turun Adam bagiannya dari perzinaan, akan sampai padanya tanpa bisa terhindar, maka zina mata adalah dengan memandang…”
Maka mata, zinanya adalah memandang jika ia merasakan kelezatan ketika memandang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesugguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (Al Isra’: 36)
Dan termasuk hak-hak jalan adalah menundukkan pandangan, sebagaimana dijelaskan hadits dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dan syari’at itu mengingatkan agar menjauh dari pintu-pintu kejelekan serta kerusakan.
Seorang penyair mengatakan:

Mulanya pandangan lalu senyuman dan ucapan salam
Kemudian bicara lalu janji kemudian bertemu
Yang lain mengetakan:
Semua kejadian bermula dari pandangan
Dan besarnya api karena menganggap kecil kejelekan
Berapa banyak pandangan yang menikam hati pelakunya
Seperti anak panah tanpa busur dan tanpa tali
Menyembunyikan pembicaraannya tidaklah akan memudharatkan kecantikan wajahnya
Tiadalah arti kegembiraan kalau mendatangkan kemudharatan
Dan yang lain mengatakan:
Katakan kepada si cantik di balik kerudung hitam
Apa yang telah dia lakukan terhadap hamba yang sedang beribadah
Dia telah menyingsingkan bajunya yntuk menegakkan shalat
Namun dia menampakkan diri kepadanya di depan pintu masjid
Kembalikan kepadanya shalat dan puasanya
Jangan kamu fitnah dia demi hak Rabb muhammad
Yang lain mengatakan:
Sungguh janganlah saudara merasa aman terhadap para wanita
Tidak ada kaum lelaki yang merasa aman terhadap kaum wanita
Seorang terpercauya kalaupun dia terjaga satu sekali
Satu saat mesti karena pandangan itu dia berkhianat

Sebagian orang jika ingin menikah baik ia laki-laki maupun perempuan, ia akan melepaskan pandangannya terhadap wanita-wanita jika ia lelaki. Atau mengumbar pandangannya kepada lelaki jika ia perempuan, dengan alasan untuk memilih.
Jawabannya:
Pandangan laki-laki kepada yang dilamar memang disyariatkan, sebagaimana hadits yang lalu: “Lihatlah kepadanya karena itu akan lebih melanggengkan antara kalian.” Diriwayatkan dalam Shahihain dari hadits Sahl bin Sa’ad dalam kisah wanita yang mengghibahkan dirinya, ia (Sahl) berkata: “maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memandang lalu menundukkan kepalanya.”
Akan tetapi pandangan ini tidak boleh dilakukan pada setiap wanita yang dilihatnya dijalan atau pada pria yang ditemui dijalan akan tetapi hanya pada orang yang melamar atau dilamar saja.
Dan termasuk sebab-sebab menundukkan pandangan adalah menikah. Sebagaimana dalam Shahihain dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa yang mampu diantara kalian untuk menikah maka menikahlah karena sesungguhnya itu akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya ia berpuasa karena ia sebagai perisai baginya.”
Peringatan:
Sebagian wanita berhijab ketika keluar. Akan tetapi ia membukanya didepan kerabatnya, khususnya ketika dirumah terdapat famili yang bukan mahram. Lalu ia membuka hijabnya dengan alasan tidak mampu memakainya selama mereka bersama-sama dalam satu rumah. Adapun bantahan terhadap alasan yang lemah ini ialah, bahwa agama ini tidak diamalkan dengan hawa nafsu. Sedangkan dengan mengikuti hawa nafsu seseorang berarti telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan (ilah).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Rabbnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Al Furqan: 43)

Adab-adab keluar bagi wanita
1.Berhijab.
2.Tidak memakai wewangian
3.pelan-pelan dalam berjalan agar tidak etrdengar suara sandalnya.
Alah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An Nuur: 31)

Dan pada zaman ini kita diuji dengan adanya sandal atau sepatu yang bertumit tinggi, dan kita dapati para wanita memakainya sehingga terdengar suara sandalnya. Bahkan sering ia genit dalam berjalan, dan benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: “Wanita adalah aurat maka jika ia keluar setan akan mengikutinya/mengincarnya.”
4.Jika ia berjalan bersama saudarinya dan disana ada pria maka jangan bercakap-cakap dengan saudarinya tadi. Bukan berarti bahwa suara wanita adalah aurat tapi jika pria mendengar suara wanita kadang kan menimbulkan fitnah.
5.Hendaknya minta izin kepada suaminya jika ia sudah berkeluarga
6.Jika keluarganya jauh seperti safar maka janganlah ia keluar kecuali bersama mahramnya.
7.jangan berdesak-desakan dengan pria.
8.Hendaknya ia menghiasi dirinya dengan rasa malu.
9.Hendaknya ia menundukkan pandangannya.
10.Janganlah menanggalkan pakaiannya di tempat selain di rumahnya, jika bermaksud untuk tampil cantik dengan perbuatan itu. Karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Wanita mana saja yang menanggalkan pakaiannya selain dirumah suaminya, maka sungguh ia telah membuka penutupnya antara dia dan Rabbnya.” Dan hadits ini shahih.

Downloan kajian ini
Foot note:
[1]. Makna yang ditunjukkan oleh lafadz (kata) dalam konteks pembicaraan. –ed.
[2]. Yakni mafhum mukhalafah atau pengertian balik dari suatu kata atau kalimat –ed.

[Dikutip dari kitab “Wahai Muslimah Dengarlah Nasehatku” oleh Ummu Abdillah Al Wadi’iyyah. Diterbitkan oleh Pustaka Sumayyah. Halaman: 107-122]


Oleh: Ummu ‘Abdillah al Wadi’iyyah
Nasihati Lin Nisa’ Qadhayatahum Al Mar’ah Fatawa Lin Nisa’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar