HUKUM MENCINTAI NABI SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Alloh, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”. Maka berkatalah Umar, “Demi Alloh, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!”. (HR. Al-Bukhari) [HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fath al-Bari (XI/523) no: 6632]
Di lain kesempatan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Alloh, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) [HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fath al-Bari (I/58) no: 15, dan Muslim dalam Shahihnya (I/67 no: 69)]
Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Alloh- atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.
POTRET KECINTAAN PARA SAHABAT KEPADA NABI SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Bicara masalah cinta Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb –sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallohu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?”. Serta merta Zaid menimpali, “Demi Alloh, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!”. Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!”. [Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir (V/505), dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah (III/326)]
Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru
PAHALA BAGI ORANG YANG MENCINTAI NABI SHALALLAHU ‘
Tentunya cinta Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:
Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu mengisahkan, “
Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga kelak??
HAKIKAT CINTA PADA NABI SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DAN RAGAM MANUSIA DI DALAMNYA
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shalallahu ‘alaihi wa sallam?, Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam?. Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya?. Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.
Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
- Golongan
yang berlebih-lebihan.
- Golongan
yang meremehkan.
- Golongan
tengah.
Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:
- Meyakini
bahwa Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Alloh
subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya,
tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau
shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para
nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. [Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal:
137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal. 56]
- Menaati
perintah dan menjauhi larangannya. Alloh menegaskan,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS Al-Hasyr: 7) - Membenarkan
berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang
telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah
wahyu yang datang dari Alloh subhanahu wa ta’ala. Di dalam Al Quran,
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-Najm: 3-4) - Beribadah
kepada Alloh dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. (QS Al-Ahzab; 21)
Juga Nabi kita shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak”. [HR. Muslim dalam Shahihnya (III/1344 no 1718)] - Meyakini
bahwa syariat yang berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
setingkat dengan syari’at yang datang dari Alloh subhanahu wa ta’ala dari
segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam
As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran [Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal:
138]. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Alloh”. (QS An-Nisa: 80) - Membela
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan
membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami
dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Juga
menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.
- Mendahulukan
cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang
dialami oleh Umar di atas Akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta
kita kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita
untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan
beliau melebihi kedudukan yang Alloh subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada
Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan
ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Alloh subhanahu
wa ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Contohnya: beristighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya,
meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang gaib, dan lain
sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini,
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang
Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku
hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Alloh dan
rasul-Nya”. (HR. Al-Bukhari) [HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fath
al-Bari (VI/478 no: 3445)].
- Termasuk
tanda mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai
orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan
keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya [Asy-Syifa bita’rifi Huquq
al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl (II/573), Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah
(III/407), untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala
Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin
Khalifah at-Tamimi (I/344-358)], serta setiap orang yang mencintai beliau
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang
yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan
berbuat bid’ah [Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa,(2/575), untuk pembahasan
lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi (I/359-361)].
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang kema’shuman (dilindunginya) Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah)” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam: ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426 / 30 September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien…
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur kecintaan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Alloh subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ …
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar. …
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu, dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam” (Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Alloh subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Alloh semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…”??. Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Alloh subhanahu wa ta’ala??!!. Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut menyukseskannya.
Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.
Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dikerjakan pada masa-masa itu:
- Al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam
Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302).
- Al-Hafidz
Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf
ash-Shalihy dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-’Ibad
(I/439).
- Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim, (I/123).
- Ibnul
Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in, (II/390-391).
- Al-Imam
Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi
al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
- Al-Imam
Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin
ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
- Ibnu
al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
- Abu
Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Yahya
al-Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib
‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, (VII/99-100).
- Muhammad
Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at
al-Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
- Ali Fikri,
dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.
Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:
- Al-Imam
al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya
al-Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar, (I/490).
- Al-Imam
Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi
al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
- Ahmad bin
Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi
Shiyaghat al-Insya’, (3/502).
- Hasan
As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal:
69.
- Muhammad
Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam
fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
- Ismail bin
Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi
Maulid Khair ar-Rusul shalallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
- Ali
Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126.
- Ali Fikri,
dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
- Ali
al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, (hal:
185-186).
Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin. Lebih dari itu dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).
Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Wallohu ta’ala a’lam, wa shallAllohu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
(Mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar