Pendahuluan:
Bai’at
adalah sebuah ibadah. Layaknya ibadah yang lain, tidak bisa dibenarkan kecuali
dengan dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Dalam sejarah Nabi dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah
setelah mereka,
mereka tidak pernah memberikan bai’at kepada selain khalifah,
imam, atau penguasa muslim. Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair
–seorang tabi’in–: “Sesuatu yang tidak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat
yang ikut Perang Badr), maka hal itu bukan bagian dari agama.” (Al-Fatawa, 4/5
dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165). Al-Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang
di masa shahabat bukan sebagai agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.”
(Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165)
= =
= 0 0 0 = = =
Berkata Hasan Al-Banna
dalam Majmu’ Ar-Rasail, hal: 268:
” أيها الإخوة الصادقون أركان بيعتنا عشرة, فاحفظوها:
1. الفهم.2. الإخلاص.3. العمل.4. الجهاد.5. التضحية.6. الطاعة.7.
الثبات.8. التجرد.9. الأخوة.10. الثقة.
“Wahai
saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, hafalkanlah:
1.
Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8.
Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya.
Dalam rukun ba’iat ini
ada beberapa catatan:
Pertama: Sesungguhnya bai’at adalah haq Imam Al-A’la (Imam
Tertinggi/penguasa kaum muslimin). Barangsiapa mengambil bai’at kepada selain
penguasa kaum muslimin, maka sesungguhnya dia telah membuat perkara bid’ah
dalam agama. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا بويع خليفتان فاقتلوا الآخر منهما
Jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR Muslim dari
Abu Said)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya): “Siapa saja yang ingin memecah belah
persatuan kalian setelah kalian sepakat mengangkat seorang pemimpin maka
tebaslah lehernya”
Kedua: Kita tidak mengetahui bahwa para penyeru da’wah mengambil
bai’at dalam da’wahnya. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah telah
menda’wahkan tauhid di Najd pada abad ke 12 H akan tetapi beliau rahimahullah
tidak mengambil bai’at untuk ta’at kepadanya dari seorangpun dan Allah telah
memberkahi da’wahnya. Demikian juga Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Qor’awiy
ketika ia menda’wahkan tauhid di wilayah timur Saudi Arabiah, beliau tidak
mengambil bai’at untuk ta’at kepadanya dan Allah memberkahi da’wahnya. Dan
sebelum mereka, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah juga tidak mengambil
bai’at dari seorangpun dan Allah memberkahi da’wahnya.
Ketiga: Rukun bai’at yang diterapkan oleh Hasan Al-Banna ada sepuluh,
sedangkan bai’at Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya
kurang dari itu. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhori dari
‘Ibadah bin Ash-Shomad radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
بايعنا رسول الله صلى الله عليه و سلم على السمع والطاعة في المنشط
والمكره …( رواه البخاري باب: 43/7199).
”Kami berbai’at kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk patuh dan ta’at baik dalam
keadaan susah maupun senang….” (HR. Bukhori 43/7199). Dan dalam hadits Ibn
‘Umar radhiallahu ‘anhum:
كنا نبايع رسول الله صلى الله عليه وسلم على السمع و الطاعة يقول لنا
فيما استطعت (رواه مسلم 4813؛ البخاري 7202).
Dulu kita berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk patuh dan taat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Pada
apa yang aku mampu” (Shahih, HR Muslim no: 4813 cet, Darul Ma’rifah; Bukhori
no. 7202) Yakni katakan: “Pada apa yang aku mampu” – demikian penjelasan
Nawawi.
Dan dalam hadits dari
Jarir bin Abdillah Al-Bajiliy:
أنه بايع النبي صلى الله عليه و سلم على السمع والطاعة والنصح لكل مسلم
(رواه البخاري 7204).
”Bahwasannya mereka
berbai’at kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk patuh dan ta’at
serta memberikan nasehat kepada setiap muslim” (HR. Bukhori no. 7204).
Didalamnya mungkin ada
beberapa bagian dari rukun bai’at yang sepuluh itu, akan tetapi dimanakah dalil
rukun-rukun bai’at yang lainnya?
Sesungguhnya bai’at itu
tidaklah boleh diambil dalam da’wah dikarenakan Allah Azza wa Jalla telah
mengambil dari setiap hamba-Nya untuk menta’ati-Nya dan menta’ati Rasul-Nya,
melaksanakan apa-apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa-apa yang
dilarangnya. Maka kewajiban bagi para da’I adalah menerangkan kepada manusia
tentang apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya:
{ إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ } (48) سورة الشورى
“Kewajibanmu tidak
lain hanyalah menyampaikan (risalah)” (QS. Asy-Syuura: 48).
Dan
Allah Azza wa Jalla berfirman:
{فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ. لَّسْتَ عَلَيْهِم
بِمُصَيْطِرٍ} (21-22) سورة الغاشية
“Maka berilah
peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang
berkuasa atas mereka” (QS.
Al-Ghoosyiyah: 21-22).
Keempat: Bahwasannya Hasan Al-Banna telah menjadikan rukun
bai’at “ta’at” merupakan bagian dari marhalah kedua dari
marhalah da’wahnya yang tiga itu. Makna keta’atan dalam bai’at ini sebagaimana
keta’atan kemiliteran, sehingga ia wajib ta’at baik dalam perkara yang benar
maupun salah, dalam perkara yang bathil maupun yang haq.
Hasan Al-Banna berkata
ketika menerangkan makna “ta’at”:
” …في لمرحلة الثانية التي هي مرحلة التكوين ونظام الدعوة في هذه
المرحلة صوفي بحت من الناحية الروحية وعسكري بحت من الناحية العلمية, وشعار هاتين
الناحيتين دائما (أمر و طاعة) من غير تردد ولا مراجعة ولا شك ولا حرج” (انظر رسالة
التعاليم, ص: 274).
“…Dan
pada periode kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah
dalam periode ini adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer
murni dari sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ini adalah ‘komando’ dan
‘taat’ tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan.” (Risalah At-Ta’aalim, hal: 274).
Dalam
pernyataan Hasan Al-Banna di atas terdapat beberapa sisi yang aneh menurut
pandangan syar’i. Keta’atan dalam agama Islam hukumnya adalah wajib jika
memenuhi hal-hal sbb:
a. Kata’atan
harus dalam hal yang ma’ruf bukan dalam hal maksiat.
Dalam Shahih Bukhori
dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhum dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ia
bersabda:
” السمع والطاعة حق ما لم يؤمر بمعصية, فإذا أمر بمعصية فلا سمع
ولا طاعة ” (رواه البخاري 2955).
“Patuh dan ta’atilah
dalam perkara yang haq selama tidak memerintahkan kepada maksiat. Apabila
diperintahkan dengan perbuatan maksiat, maka janganlah patuh dan ta’at” (HR. Bukhori no. 2955).
Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
” إنما الطاعة في المعروف ” (رواه مسلم)
“Sesungguhnya
keta’atan itu dalam hal yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1840 dari ‘Ali).
b. Melaksanakan
keta’atan sebatas kemampuan.
Bahwasannya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam apabila ada seseorang yang berbai’at kepadanya
untuk mendengar dan ta’at, maka ia bersabda: “Pada Yang Aku Mampu” demikian
secara makna yang diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shahihnya Kitab
Al-Ahkam.
Maka dari sini kita
mengetahui bahwa perkataan Hasan Al-Banna: ”aturan
dakwah dalam periode ini adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan
militer murni dari sisi amal” maknanya adalah kewajiban ta’a tanpa adanya
rasa ragu, bimbang dan bertanya. Hal ini sama dengan slogan orang-orang Shufi
“Kami dihadapan syaikh mesti bagaikan seorang mayit”.
Kemudian,
tahukah Anda apa yang dimaksud dengan “paham” pada point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam ini:
“Hanyalah yang saya maukan dengan ‘paham’ ini, adalah engkau harus yakin bahwa
pemikiran kami adalah Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam
sebagaimana kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas
seringkas-ringkasnya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)
Dan inilah pemahaman
aqidah Hasan Al-Banna dalam “20 prinsinya” itu.
Berkata Hasan Al-Banna
dalam prinsip ke-15 dari 20 prinsipnya:
والدعاء إذا بالتوسل إلى الله تعالى بأحد من خلقه خلاف فرعي في كيفية
الدعاء وليس من أمور العقيدة ” (من كتاب نظرات في رسالة التعاليم, ص: 177).
“Do’a apabila disertai
dengan tawasul kepada Allah Ta’ala dengan salah satu makhluk-Nya merupakan
perbedaan furu’iyyah dalam tata cara berdo’a dan bukan dalam masalah
aqidah” (Dari kitab Nazorot Fii Risalah At-Ta’aaliim, hal: 177).
Berkata Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullah:”Barangsiapa yang mengangkat perantara antara
dirinya dengan Allah, dengan menyeru dan meminta pertolongan melalui perantara
tersebut serta berserah diri padanya, maka dia telah kafir” (Kasyfu Syubhat,
hal: 69).
= =
= 0 0 0 = = =
Fatwa Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah Tentang Bai’at
Soal: :Fadhilatusy Syaikh ! Termasuk perkara yang dianggap remeh manusia
sekarang ini adalah masalah ba’iat. Ada beberapa orang yang berpendapat boleh
memberikan bai’at kepada salah satu kelompok Islam yang ada sekarang ini,
kendati di sana ada bai’at-bai’at lain bagi kelompok lain pula. Kadangkala
pemimpin yang dibai’at ini tidak dikenal dengan alasan masih ‘dirahasiakan’.
Bagaimanakah hukumnya bai’at seperti itu? Apakah hukumnya berbeda di dalam
negeri-negeri kafir atau negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah ?
Jawab: Bai’at hanya boleh diberikan kepada penguasa kaum muslimin.
Bai’at-bai’at yang berbilang-bilang dan bid’ah itu merupakan akibat perpecahan.
Setiap kaum muslimin yang berada dalam satu pemerintahan dan satu kekuasaan
wajib memberikan satu bai’at kepada satu orang pemimpin. Tidaklah dibenarkan
memunculkan bai’at-bai’at yang lain. Bai’at-bai’at tersebut merupakan hasil
perpecahan kaum muslimin pada zaman ini dan akibat kejahilan tentang agama.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang itu, beliau bersabda.
“Artinya : Siapa saja yang ingin memecah belah persatuan kalian
setelah kalian sepakat mengangkat seorang pemimpin maka tebaslah lehernya”
Atau sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika didapati orang yang ingin membangkang pemerintah yang berdaulat dan
berusaha memecah belah persatuan kaum muslimin maka Rasulullah telah
memerintahkan waliyul amri berserta segenap kaum muslimin untuk memerangi
pembangkang tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min
berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan
itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, jika
golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil dan dan berlaku adillaj. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil” [Al-Hujurat : 9]
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu serta beberapa
sahabat yang senoir memerangi kelompok Khawarij dan kaum pembangkang hingga
berhasil ditumpas dan memadamkan kekuatan mereka sehingga kaum musilimin aman
dari kejahatan mereka. Ini merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau telah memerintahkan kaum muslimin agar memerangi kaum
pemberontak dan kelompok Khawarij yang berusaha memecah belah persatuan kaum
muslimin dan membangkang pemerintah. Semua itu demi menjaga persatuan dan
kesatuan jama’ah kaum muslimin dari rongrongan perpecahan dan perselisihan.
Soal: Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa hukumnya orang yang
menisbatkan dirinya kepada salah satu jama’ah tersebut ? Khususnya kepada
jama’ah yang menerapkan sistem sirriyah dan ba’iah terhadap pengikutnya ?
Jawab: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa
perpecahan bakal terjadi. Pada kondisi demikian beliau memerintahkan kita untuk
berpegang teguh persatuan dan isitiqamah di atas petunjuk Rasulllah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabat beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam besabda.
“Artinya : Umat Yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu
golongan. Umat Nashrani telah terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan
dan umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan seluruhnya
masuk Neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya : “Siapakah golongan yang satu
itu, wahai Rasulullah !” Beliau menjawab : “Siapa saja yang berada diatas
pertunjukku dan di atas petunjuk sahabat-sahabatku”
Ketika para sahabat meminta wasiat kepada beliau, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Aku wasiatkan kamu agar selalu bertakwa, patuh dan taat
(kepada pemimpin) walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak. Sebab siapa
saja yang hidup sepeninggalku ia pasti melihat perselisihan yang sangat banyak.
Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafa Rasyidin setelahku.
Peganglah ia erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu
(sungguh-sungguhlhah)”
Itulah pedoman yang harus ditempuh oleh kaum muslimin sekarang ini
sampai hari Kiamat. Yaitu dalam menghadapi perselisihan hendaklah merujuk
kepada pedoman Salafush Shalih dalam masalah apapun, terutama masalah dien,
manhaj, bai’at dan lain-lain. (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iyyah).
Ditulis Oleh Hamba Yang
Selalu Mengharapkan Ampunan-Nya
Abu Muhammad Abdurrahman
Sarijan
Sumber Rujukan Utama:
Al-Mauridul ‘Adzbul Zulal. Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmiy hafizahullah
Ta’ala.
Sumber: www.ahlulahwa.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar