Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Kamis, 26 Juli 2012

Cepatlah Taubat, Sebelum Terlambat !!!


Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Alloh dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Robb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah (surga) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Alloh tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin
yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Robb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS At Tahriim: 8)
Hari demi hari berlalu, dosa demi dosa kita perbuat, kemaksiatan demi kemaksiatan menorehkan luka menganga dan noda-noda hitam di dalam hati kita, Maha Suci Alloh !! Seolah-olah tidak ada hari kebangkitan, seolah-olah tidak ada hari pembalasan, seolah-olah tidak ada Zat yang maha melihat segala perbuatan dan segala yang terbesit di dalam benak pikiran, di gelapnya malam apalagi di waktu terangnya siang, Innalloha bikulli syai’in ‘aliim (Sesungguhnya Alloh, mengetahui segala sesuatu).

Allohumma, betapa zalimnya diri ini, bergelimang dosa dan mengaku diri sebagai hamba, hamba macam apakah ini? yang tidak malu berbuat maksiat terang-terangan di hadapan pandangan Robb ‘azza wa jalla, wahai jiwa… kenalilah kehinaan dirimu, sadarilah keagungan Robb yang telah menciptakan dan memberikan nikmat tak berhingga kepadamu, ingatlah pedihnya siksa yang menantimu jika engkau tidak segera bertaubat.

Cepatlah kembali tunduk kepada Ar Rahman, sebelum terlambat. Karena apabila ajal telah datang maka tidak ada seorang pun yang bisa mengundurkannya barang sekejap ataupun menyegerakannya, ketika maut itu datang… beribu-ribu penyesalan akan menghantui dan bencana besar ada di hadapan; siksa kubur yang meremukkan dan gejolak membara api neraka yang menghanguskan kulit-kulit manusia, subhaanalloh, Innalloha syadiidul ‘iqaab (sesungguhnya Alloh, hukuman-Nya sangat keras). Padahal tidak ada satu jiwa pun yang tahu di bumi mana dia akan mati, kapan waktunya, bisa jadi seminggu lagi atau bahkan beberapa detik lagi, siapa yang tahu? Bangkitlah segera dari lumpur dosa dan songsonglah pahala, dengan sungguh-sungguh bertaubat kepada Robb tabaaraka wa ta’ala.
Hakikat dan Kedudukan Taubat
Imam Nawawi rohimahulloh berkata, “Para ulama mengatakan: Taubat itu wajib dilakukan untuk setiap dosa yang diperbuat” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/56). Beliau juga berkata, “(Taubat) itu memiliki tiga rukun: meninggalkannya, menyesal atas perbuatan maksiatnya itu, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya selama-lamanya. Apabila maksiat itu berkaitan dengan hak manusia, maka ada rukun keempat yaitu membebaskan diri dari tanggungannya kepada orang yang dilanggar haknya. Pokok dari taubat adalah penyesalan, dan (penyesalan) itulah rukunnya yang terbesar” (Syarah Muslim, IX/12).

Beliau rohimahulloh juga mengatakan, “…Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa taubat dari segala maksiat (hukumnya) wajib, dan (mereka juga sepakat) taubat itu wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda, sama saja apakah maksiat itu termasuk dosa kecil atau dosa besar. Taubat merupakan salah satu prinsip agung di dalam agama Islam dan kaidah yang sangat ditekankan di dalamnya, ..” (Syarah Shahih Muslim, IX/12).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh berkata, “Taubat secara bahasa artinya kembali, adapun menurut syariat taubat artinya kembali dari mengerjakan maksiat kepada Alloh ta’ala menuju ketaatan kepada-Nya. Taubat yang terbesar dan paling wajib adalah bertaubat dari kekufuran menuju keimanan. Alloh ta’ala berfirman,
قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Alloh akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu” (QS Al Anfaal: 38). Kemudian tingkatan berikutnya adalah bertaubat dari dosa-dosa besar, kemudian diikuti dengan tingkatan ketiga yaitu bertaubat dari dosa-dosa kecil” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/56).
Al Quran Memerintahkanmu Bertaubat
Alloh ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Alloh, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS An Nuur: 31)
Syaikh Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rohimahulloh mengatakan setelah menyebutkan penggalan ayat “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Alloh, Hai orang-orang yang beriman”: Sebab seorang mukmin itu, (memiliki) keimanan yang menyerunya untuk bertaubat, kemudian (Alloh) mengaitkan taubat itu dengan keberuntungan, Alloh berfirman (yang artinya): “supaya kamu beruntung” maka tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan taubat, yaitu kembali dari segala sesuatu yang dibenci Alloh, lahir maupun batin, menuju segala yang dicintai-Nya, lahir maupun batin. Dan ini menunjukkan bahwasanya setiap mukmin itu membutuhkan taubat, sebab Alloh menujukan seruan-Nya kepada seluruh orang yang beriman. Dan di dalam (penggalan ayat) ini juga terkandung dorongan untuk mengikhlaskan taubat, yaitu dalam firman-Nya (yang artinya) “Dan bertaubatlah kepada Alloh” artinya: bukan untuk meraih tujuan selain mengharapkan wajah-Nya, seperti karena ingin terbebas dari bencana duniawi atau karena riya dan sum’ah, atau tujuan-tujuan rusak yang lainnya” (Taisir Karim ar-Rahman, hal. 567).
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh mengatakan: “Sesungguhnya keberuntungan yang sebenarnya berada pada (ketundukan) melaksanakan apa yang diperintahkan Alloh dan Rasul-Nya, serta dengan meninggalkan apa yang dilarang oleh keduanya, Wallohu ta’ala huwal musta’aan (Dan Alloh-lah satu-satunya tempat meminta pertolongan).” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/403).
As Sunnah Memerintahkanmu Bertaubat
Dari Abu Hurairoh rodhiallohu ‘anhu dia berkata, Aku pernah mendengar Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Demi Alloh, sesungguhnya aku meminta ampun/beristighfar kepada Alloh dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih banyak dari 70 kali” (HR. Bukhari, dinukil dari Syarah Riyadhu Shalihin, I/64).

Dari Al Agharr bin Yasar Al Muzanni rodhiallohu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Alloh dan minta ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya aku ini bertaubat 100 kali dalam sehari” (HR. Muslim, dinukil dari Syarah Riyadhu Shalihin, I/64).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan, “Di dalam dua hadits ini terdapat dalil kewajiban bertaubat, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, beliau bersabda (yang artinya), “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Alloh” sehingga apabila seorang insan bertaubat kepada Robbnya maka dengan sebab taubat itu akan diperoleh dua faedah :
Faidah pertama, Melaksanakan perintah Alloh dan Rasul-Nya. Sedangkan dengan melaksanakan perintah Alloh dan Rasul-Nya (itulah) terkandung segala kebaikan. Di atas (kepatuhan) melaksanakan perintah Alloh dan Rasul-Nya itulah terdapat poros dan sumber kebahagiaan dunia dan akhirat.
Faidah kedua, Meneladani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau itu senantiasa bertaubat kepada Alloh dalam sehari sebanyak 100 kali, yakni dengan mengucapkan: Atuubu ilalloh, atuubu ilalloh (aku bertaubat kepada Alloh),…dst.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/65).
Beliau rahimahullah juga berkata, “Dan di dalam kedua hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling taat beribadah kepada Alloh, dan memang demikianlah sifat beliau. Beliau itu adalah orang yang paling takut kepada Alloh di antara kita, beliau orang paling bertakwa kepada Alloh di antara kita, dan beliau adalah orang paling berilmu tentang Alloh di antara kita, semoga sholawat dan keselamatan dari-Nya senantiasa tercurah kepada beliau. Dan di dalamnya juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau ‘alaihi shalatu wa salam adalah sosok pengajar kebaikan dengan ucapannya dan dengan perbuatannya. Beliau senantiasa beristigfar kepada Alloh dan menyuruh orang-orang agar beristigfar, sehingga mereka pun bisa meniru beliau, demi melaksanakan perintahnya dan mengikuti perbuatannya. Ini merupakan bagian dari kesempurnaan nasihat yang beliau berikan kepada umatnya, shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihi. Maka sudah semestinya kita juga meniru beliau, apabila kita memerintahkan sesuatu maka hendaknya kita adalah orang pertama yang melaksanakan perintah ini. Dan apabila kita melarang sesuatu hendaknya kita juga menjadi orang pertama yang meninggalkannya, sebab inilah sebenarnya hakikat da’i ilalloh (penyeru kepada agama Alloh), bahkan inilah hakikat dakwah ilalloh ‘azza wa jalla, anda lakukan apa yang anda perintahkan dan anda tinggalkan apa yang anda larang, sebagaimana Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita bertaubat dan beliau ‘alaihi shalatu wa sallam juga bertaubat (bahkan) lebih banyak daripada kita. Kita mohon kepada Alloh untuk menerima taubat kami dan anda sekalian, serta semoga Dia memberi petunjuk kepada kami dan anda sekalian menuju jalan yang lurus. Wallohul muwaffiq (Alloh lah pemberi taufiq)” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/66).
SYARAT-SYARAT DITERIMANYA TAUBAT
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh menyebutkan lima buah syarat yang harus dipenuhi agar taubat diterima, beliau berkata:

Syarat pertama: Ikhlas untuk Alloh, yaitu orang (yang bertaubat) hendaknya mengharapkan wajah Alloh ‘azza wa jalla dengan taubatnya itu dan berharap supaya Alloh menerima taubatnya serta mengampuni maksiat yang telah dilakukannya, dengan taubatnya itu ia tidak bermaksud riya di hadapan manusia atau demi mendapatkan kedekatan dengan mereka, dan bukan juga semata-mata demi menyelamatkan diri dari gangguan penguasa dan pemerintah kepadanya. Tapi dia bertaubat hanya demi mengharapkan wajah Alloh dan pahala di negeri akhirat dan supaya Alloh memaafkan dosa-dosanya.

Syarat kedua: Menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukannya, sebab perasaan menyesal dalam diri seorang manusia itulah yang membuktikan dia benar/jujur dalam bertaubat, ini artinya dia menyesali apa yang telah diperbuatnya dan merasa sangat sedih karenanya, dan dia memandang tidak ada jalan keluar darinya sampai dia (benar-benar) bertaubat kepada Alloh dari dosanya.

Syarat ketiga: Meninggalkan dosa yang dilakukannya itu, ini termasuk syarat terpenting untuk diterimanya taubat. Meninggalkan dosa itu maksudnya: apabila dosa yang dilakukan adalah karena meninggalkan kewajiban, maka meninggalkannya ialah dengan cara mengerjakan kewajiban yang ditinggalkannya itu, seperti contohnya: ada seseorang yang tidak membayar zakat, lalu dia ingin bertaubat kepada Alloh maka dia harus mengeluarkan zakat yang dahulu belum dibayarkannya. Apabila ada seseorang yang dahulu meremehkan berbakti kepada kedua orang tua (kemudian ingin bertaubat) maka dia harus berbakti dengan baik kepada kedua orang tuanya. Apabila dia dahulu meremehkan silaturahim maka kini dia wajib menyambung silaturahim. Apabila maksiat itu terjadi dalam bentuk mengerjakan keharaman maka dia wajib bersegera meninggalkannya, dia tidak boleh meneruskannya walaupun barang sekejap. Apabila misalnya ternyata dia termasuk orang yang memakan harta riba maka wajib baginya melepaskan diri dari riba dengan cara meninggalkannya dan menjauhkan diri darinya dan dia harus menyingkirkan harta yang sudah diperolehnya dengan cara riba. Apabila maksiat itu berupa penipuan dan dusta kepada manusia dan mengkhianati amanat maka dia harus meninggalkannya, dan apabila dia telah meraup harta dengan cara haram ini maka dia wajib mengembalikan harta itu kepada pemiliknya atau meminta penghalalan kepadanya.
Apabila maksiat itu berupa ghibah/menggunjing maka dia wajib meninggalkan gunjingan terhadap manusia dan meninggalkan pembicaraan yang menjatuhkan kehormatan-kehormatan mereka. Adapun apabila dia mengatakan “Saya sudah bertaubat kepada Alloh”, akan tetapi ternyata dia masih terus meninggalkan kewajiban atau masih meneruskan perbuatan yang diharamkan, maka taubat ini tidaklah diterima. Bahkan taubat seperti ini sebenarnya seolah-olah merupakan tindak pelecehan terhadap Alloh ‘azza wa jalla, bagaimana engkau bertaubat kepada Alloh ‘azza wa jalla sementara engkau masih terus bermaksiat kepada-Nya ?! …”.
“Dalam kondisi bagaimanapun setiap insan harus meninggalkan dosa yang dia sudah bertaubat darinya, apabila dia tidak meninggalkannya maka taubatnya tertolak dan tidak akan bermanfaat baginya di sisi Alloh ‘azza wa jalla. Meninggalkan dosa itu bisa berkaitan dengan hak Alloh ‘azza wa jalla, maka yang demikian itu cukuplah bagimu bertaubat antara dirimu dengan Robb-mu saja, kami berpendapat tidak semestinya atau bahkan tidak boleh anda ceritakan kepada manusia perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban yang pernah anda kerjakan. Hal itu karena dosa ini hanya terjadi antara dirimu dengan Alloh. Apabila Alloh sudah memberimu karunia dengan tertutupnya dosamu (dari pengetahuan manusia) dan menutupi dosamu sehingga tidak tampak di mata manusia, maka janganlah anda ceritakan kepada siapa pun apa yang sudah anda lakukan jika anda telah bertaubat kepada Alloh. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Seluruh umatku akan dimaafkan, kecuali orang-orang yang berbuat dosa secara terang-terangan” dan termasuk terang-terangan dalam berbuat dosa ialah seperti yang diceritakan di dalam hadits, “Seseorang melakukan dosa lalu pada pagi harinya dia menceritakannya kepada manusia, dia katakan, ‘Aku telah melakukan demikian dan demikian…’.”
Walaupun memang ada sebagian ulama yang mengatakan: apabila seseorang telah melakukan suatu dosa yang terdapat hukum had padanya maka tidak mengapa dia pergi kepada imam/pemerintah yang berhak menegakkan hudud seperti kepada Amir/khalifah dan dia laporkan bahwa dia telah melakukan dosa anu dan ingin membersihkan diri dari dosa itu, meskipun ada yang berpendapat begitu maka sikap yang lebih utama adalah menutupi dosanya dalam dirinya sendiri.
Artinya dia tetap diperbolehkan menemui pemerintah apabila telah melakukan suatu maksiat yang ada hukum had padanya seperti contohnya zina, lalu dia laporkan, ‘kalau dia telah berbuat demikian dan demikian’ dalam rangka meminta penegakan hukum had kepadanya sebab had itu merupakan penebus/kaffarah atas dosa tersebut.
Adapun kemaksiatan-kemaksiatan yang lain maka tutupilah cukup di dalam dirimu, sebagaimana Alloh telah menutupinya, demikian pula zina dan yang semacamnya tutuplah di dalam dirimu (kecuali jika ditujukan untuk melapor kepada pemerintah) janganlah engkau membuka kejelekan dirimu. Dengan catatan selama engkau benar-benar bertaubat kepada Alloh atas dosamu maka selama itu pula Alloh menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan banyak perbuatan dosa. …”
Adapun syarat keempat adalah: bertekad kuat tidak mau mengulangi perbuatan ini di masa berikutnya. Apabila engkau tetap memiliki niat untuk masih mengulanginya ketika terbuka kesempatan bagimu untuk melakukannya, maka sesungguhnya taubat itu tidak sah. Contohnya: ada seseorang yang dahulu menggunakan harta untuk bermaksiat kepada Alloh -wal ‘iyaadzu billah-: yaitu dengan membeli minuman-minuman yang memabukkan, dia melancong ke berbagai negeri demi melakukan perzinaan –wal ‘iyaadzu billah- dan untuk bermabuk-mabukan!! Lalu dia pun tertimpa kemiskinan (hartanya habis) dan mengatakan: “Ya Alloh sesungguhnya aku bertaubat kepadamu” padahal sebenarnya dia itu dusta, di dalam niatnya masih tersimpan keinginan apabila urusan (harta) nya sudah pulih seperti kondisi semula maka dia akan melakukan perbuatan dosanya yang semula.
Ini adalah taubat yang bobrok, engkau (mengaku) bertaubat atau tidak bertaubat (sama saja) karena engkau bukanlah termasuk orang yang mampu bermaksiat (ini yang tertulis di kitab aslinya, tapi mungkin maksudnya adalah engkau bukan termasuk orang yang serius meninggalkan maksiat, wallohu a’lam -pent), sebab memang ada sebagian orang yang tertimpa pailit lalu mengatakan “Aku telah meninggalkan dosa-dosaku” tetapi di dalam hatinya berbisik keinginan kalau hartanya yang lenyap sudah kembali maka dia akan kembali melakukan maksiat itu untuk kedua kalinya, maka ini adalah taubat yang tidak diterima.
Syarat kelima: engkau berada di waktu taubat masih bisa diterima, apabila ada seseorang yang bertaubat di waktu taubat sudah tidak bisa diterima lagi maka saat itu taubat tidak lagi bermanfaat. Hal itu ada dua macam: Macam yang pertama dilihat dari sisi keadaan setiap manusia. Macam kedua dilihat dari sisi keumuman.
Adapun ditinjau dari sudut pandang pertama, maka taubat itu harus sudah dilakukan sebelum datangnya ajal (yakni kematian) sehingga apabila ia terjadi setelah ajal menjemput maka ia tidak akan bermanfaat bagi orang yang bertaubat itu, ini berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta’ala,
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ
“Dan tidaklah Taubat itu diterima Alloh dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”..” (QS An Nisaa’: 18) , mereka itu sudah tidak ada lagi taubat baginya.
Dan Alloh ta’ala berfirman:
فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ فَلَمْ يَكُ يَنفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّتَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ
“Maka tatkala mereka melihat azab kami, mereka berkata: “Kami beriman Hanya kepada Alloh saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang Telah kami persekutukan dengan Alloh”. Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka Telah melihat siksa kami. Itulah sunnah Alloh yang Telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.” (QS Al Mu’min: 84-85)
Maka seorang insan apabila sudah berhadapan dengan maut dan ajal sudah mendatanginya ini berarti ia sudah hampir terputus dari kehidupannya maka taubatnya itu tidak berada pada tempat yang semestinya! Sesudah dia berputus asa untuk bisa hidup lagi dan mengetahui dia tidak bisa hidup untuk seterusnya maka dia pun baru mau bertaubat! Ini adalah taubat di saat terjepit, maka tidaklah itu bermanfaat baginya, dan tidak akan diterima taubatnya, sebab seharusnya taubat itu dilakukannya sejak dahulu (ketika masih hidup normal, bukan di ambang ajal -pent).
Macam yang kedua: yaitu dilihat dari sudut pandang keadaan umum (seluruh manusia -pent), sesungguhnya Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa, “Hijrah (berpindah dari negeri kafir menuju negeri muslim -pent) tidak akan pernah terputus hingga terputusnya (kesempatan) taubat, dan (kesempatan) taubat itu tidak akan terputus hingga matahari terbit dari sebelah barat”. Sehingga apabila matahari sudah terbit dari sebelah barat, maka di saat itu taubat sudah tidak bermanfaat lagi bagi siapa pun. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْساً إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْراً قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُونَ
“Pada hari datangnya sebagian ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: “Tunggulah olehmu Sesungguhnya kamipun menunggu (pula)”. (QS Al An’aam: 158)
Sebagian ayat yang dimaksud di sini adalah terbitnya matahari dari arah barat sebagaimana hal itu telah ditafsirkan sendiri oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian maka taubat itu hanya akan diterima di saat mana taubat masih bisa diterima, jika tidak berada dalam kondisi seperti itu maka sudah tidak ada (kesempatan) taubat lagi bagi manusia” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/57-61 dengan diringkas).
SAMBUTLAH SURGA DENGAN TAUBATAN NASUHA
Alloh ta’ala menjanjikan balasan yang sangat agung bagi mereka yang bertaubat kepada-Nya dengan taubatan nasuha. Alloh ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Alloh dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Robb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Alloh tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Robb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS At Tahriim: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rohimahulloh berkata tentang makna taubatan nasuha, “Yang dimaksud dengannya adalah taubat yang umum yang meliputi seluruh dosa, taubat yang dijanjikan hamba kepada Alloh, dia tidak menginginkan apa-apa kecuali wajah Alloh dan kedekatan kepada-Nya, dan dia terus berpegang teguh dengan taubatnya itu dalam semua kondisinya” (Taisir Karim ar-Rahman, hal. 874).
Ibnu Jarir berkata dengan membawakan sanadnya sampai Nu’man bin Basyir, beliau (Nu’man) pernah mendengar ‘Umar bin Khaththab berkata (membaca ayat),
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Alloh dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” Beliau (Umar) berkata: (yaitu orang) yang berbuat dosa kemudian tidak mengulanginya. Ats Tsauri mengatakan, dari Samak dari Nu’man dari ‘Umar, beliau pernah berkata: taubat yang murni adalah (seseorang) bertaubat dari dosanya kemudian dia tidak mengulanginya dan tidak menyimpan keinginan untuk mengulanginya. Abul Ahwash dan yang lainnya mengatakan, dari Samak dari Nu’man: bahwa Umar pernah ditanya tentang (makna) taubatan nasuha, maka beliau menjawab: seseorang bertaubat dari perbuatan buruknya kemudian tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir, VI/134).
Ibnu Abi Hatim mengatakan dengan membawakan sanadnya sampai ‘Ubay bin Ka’ab, beliau (Ubay) berkata, “Diceritakan kepada kami (para sahabat) berbagai perkara yang akan terjadi di akhir umat ini ketika mendekati waktu terjadinya hari kiamat, di antara kejadian itu adalah: seorang lelaki yang menikahi istri atau budaknya di duburnya, dan hal itu termasuk perbuatan yang diharamkan Alloh dan Rasul-Nya, yang dimurkai oleh Alloh dan Rasul-Nya, dan di antaranya juga seorang lelaki yang menikahi lelaki, dan hal itu termasuk perbuatan yang diharamkan Alloh dan Rasul-Nya yang dimurkai oleh Alloh dan Rasul-Nya, dan di antaranya lagi seorang perempuan yang menikahi perempuan, dan hal itu termasuk perbuatan yang diharamkan Alloh dan Rasul-Nya, yang dimurkai oleh Alloh dan Rasul-Nya, dan bagi mereka itu semua tidak ada sholat selama mereka tetap mengerjakan dosa-dosa ini sampai mereka bertaubat kepada Alloh dengan taubatan nasuha” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, VI/135).
SEBAB-SEBAB MERAIH AMPUNAN
Alloh ta’ala berfirman,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, Kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS Thahaa: 82)
Syaikh Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rohimahulloh menyebutkan ada 4 sebab yang akan memudahkan hamba meraih ampunan dari Alloh, beliau mengatakan setelah menyebutkan ayat di atas, “Dengan ayat ini Alloh telah merinci sebab-sebab yang bisa ditempuh untuk menggapai maghfirah/ampunan dari Alloh.
Yang pertama adalah taubat, yaitu kembali dari segala yang dibenci Alloh; baik lahir maupun batin, menuju segala yang dicintai-Nya; baik lahir maupun batin, taubat itulah yang akan menutupi dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya; yang kecil maupun yang besar.
Kedua, iman, yaitu pengakuan dan pembenaran yang kokoh dan menyeluruh terhadap semua berita yang disampaikan Alloh dan Rasul-Nya, yang menuntut berbagai amalan hati, kemudian harus diikuti dengan amalan anggota badan. Dan tidak perlu diragukan lagi bahwa keimanan kepada Alloh, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya dan hari akhir yang tidak disertai keraguan di dalam hati merupakan landasan pokok ketaatan, bagian terbesar darinya bahkan (iman itulah) yang menjadi asasnya. Dan tak perlu disangsikan lagi bahwa hal itu akan mampu menolak berbagai keburukan sesuai kadar kekuatan imannya, iman (seseorang) akan bisa menolak dosa yang belum terjadi dengan menahan dirinya dari terjatuh ke dalamnya, dan bisa menolak dosa yang sudah terlanjur terjadi dengan cara melakukan apa yang bisa meniadakannya dan menjaga hatinya dari ajakan meneruskan perbuatan dosa, karena sesungguhnya orang yang beriman itu di dalam relung hatinya terdapat keimanan dan cahayanya yang tidak akan mau menyatu dengan kemaksiatan-kemaksiatan.
Ketiga, amal shalih, ini mencakup amalan hati, amalan anggota badan dan ucapan lisan, dan kebaikan-kebaikan (hasanaat) itulah yang akan menghilangkan keburukan-keburukan (sayyi’aat).
Keempat, konsisten (terus menerus) berada di atas keimanan dan hidayah serta terus berupaya meningkatkannya, barang siapa menyempurnakan keempat sebab ini maka berilah berita gembira kepadanya dengan maghfirah dari Alloh yang menyeluruh dan sempurna. Oleh sebab inilah Alloh menggunakan bentuk sifat mubalaghah (kata yang menunjukkan makna sangat berlebihan –pent), Alloh berfirman,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ

“Sesungguhnya Aku Maha pengampun (Ghaffaar)” (Thahaa : 82)….”

(dinukil dengan sedikit penyesuaian dari Taisir Lathif al-Mannan fi Khulashati Tafsir al-Qur’an, hal. 263-264).
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya Pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Al A’raaf: 23)
IKHTITAM
Kepada semua orang yang pernah berjasa kepadaku semoga Alloh membalas kebaikan kalian dengan balasan kebaikan yang sebesar-besarnya, dan kepada semua orang yang pernah terzalimi sudilah kiranya memaafkan kesalahan-kesalahanku, semoga Alloh melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, semoga Alloh mempertemukan kita di hari kiamat kelak sebagai sahabat di dalam jannah-Nya, Jannatul Firdaus, aamiin Yaa Robbal ‘aalamiin.

Wa shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallama tasliman katsiran. Wa akhiru da’wanaa anil hamdulillahi Robbil ‘aalamiin.


 Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Abu Saad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar