Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Jumat, 27 Juli 2012

Salafus Sholeh Antara Ilmu dan Iman


Kata Pengantar Syaikh Abdulloh bin Abdurrahman Al Jibrin
Segala puji hanya bagi Alloh, aku memuji, memohon pertolongan dan petunjuk hanya kepadanya. Juga aku memohon kepada-Nya taufik untuk mendapatkan ilmu yang benar. Semoga salam dilimpahkan kepada Nabi termulia Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Wa Ba’du:

Ini adalah sebuah risalah yang telah aku sampaikan pada salah satu masjid, kemudian direkam oleh sebagian pelajar dan ditranskrip. Aku ingin menyebarkannya agar manfaatnya merata dan supaya pembaca mengetahui apa yang dimiliki oleh para salaf (pendahulu) umat ini berupa iman yang kuat, kemantapan akidah, istiqomah di atas kebenaran, berpegang teguh dengan sunnah dan dalil, mempraktekkan syariat. Dan agar pembaca tahu hasil dari semua itu yang merupakan salah pengaruh positifnya berupa pengorbanan dalam rangka memenangkan al haq dengan jiwa dan harta, peperangan dalam mempertahankan keyakinan terhadap agama ini, meskipun keluarga mereka terkena bahaya kala itu. Orang yang seperti ini, dia akan mendapatkan akhir yang terpuji, sebagaimana para salaf ini, semoga Alloh mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka dan menjadikan kita termasuk di antara orang yang mengikuti mereka. Wa shallohu ‘ala Muhammad wa aalihi wa sallam.

Abdulloh bin Abdurrahman Al Jibrin
10/1/1413
Muqaddimah
Segala puji bagi Alloh semoga sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rosululloh, keluarga dan para sahabatnya serta orang yang berloyalitas kepadanya. Amma Ba’du:[*]
[*] Asal risalah ini adalah ceramah Syaikh Abdulloh bin Abdurrahman Al Jibrin, kemudian ditranskrip dalam tulisan kertas lalu aku perbaiki dan hapus lafadz yang berulang-ulang dan menambah tambahan yang sesuai dengan susunan kalimatnya. Kemudian aku bacakan kepada Syaikh Jibrin lalu beliau menshohihkannya dan mengizinkan untuk dicetak dan disebarkan, agar bermanfaat untuk semua. Semoga Alloh menjadikannya dalam timbangan amalan beliau dan memberikan pahala dan balasan bagi semua yang terlibat dalam mencetaknya, sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Penerima do’a.
Cinta sejati ialah cinta karena Alloh subhanahu wa ta’ala. Kita memohon kepada Alloh cinta-Nya dan cinta orang yang mencintai-Nya. Sebagaimana kita memohon kepada Alloh agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Nabi-Nya yang jujur, para sahabatnya yang baik, yang ucapan mereka dijadikan sebagai hujjah, karena ilmu mereka terhadap agama ini. Perkataan mereka tidak akan terucap kecuali kepastian, dan tidak berbuat kecuali karena dalil dan mereka tidak akan meriwayatkan hadits kecuali setelah tatsabbut (mengadakan pengecekan). Oleh karena itu Alloh menerangkan keutamaan. Alloh berfirman :
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (QS Ali Imran: 110)
Dan sunnah juga menerangkan keutamaan mereka, sebagaimana dalam sabda Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم قَالَ عِمْرَانُ فَلاَ أَدْرِيْ أَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ بَعْدَ قَرْنِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةً ثُمَّ يَكُوْنُ بَعْدَهُمْ قَوْمٌ يَشْهَدُوْنَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُوْنَ و يَخُوْنُوْنَ وَلاَ يُئْتَمَنُوْنَ وَيَنْذُرُوْنَ وَلاَ يُوْفُوْنَ وَ يَظْهَرُ فِيْهِمْ السَّمْنُ
Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya –Imran mengatakan, “Aku tidak tahu, apakah beliau mengatakannya dua atau tiga kali setelah generasi beliau. Kemudian setelah itu akan ada suatu kaum yang memberikan persaksian padahal mereka tidak diminta memberikan persaksian, mereka berkhianat sehingga tidak bisa dipercaya, mereka bernazar tapi tidak dipenuhi dan muncul pada mereka obesitas (kegemukan). (HR Al Bukhori 2651 dan Muslim 2535)
Dalam risalah singkat ini kita akan mengetahui siapa salaf itu, ilmu dan amalan mereka. Mereka adalah suri teladan. Semoga Alloh memberikan taufik kepada kami untuk menggambarkan langkah-langkah mereka, dan mengikuti petunjuk mereka. Wa sholallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa aalihi wa sallama tasliman katsiran.
Pengertian Salaf dan Keutamaannya
Para ulama mengartikan kata salaf untuk kaum muslimin yang ada pada qurun mufadhalah (generasi-generasi unggulan), bermakna kaum muslimin yang ada pada tiga generasi pertama islam yang mereka namakan salaf. Sementara orang-orang setelahnya disebut dengan generasi khalaf, jika mereka masih muslim.
Kata Khalaf, kurang bila dibandingkan dengan salaf, terkadang khalaf itu jelek. Sebagaimana diterangkan dalam Al Quran dalam firman-Nya:
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan. (QS Maryam: 59)
Generasi salaf adalah generasi sahabat Rasulullah, generasi tabi’in (generasi setelah generasi sahabat), generasi tabi’ut tabi’in (generasi setelah generasi tabi’in) dan pengikut generasi tabi’ut tabi’in.
Para sahabat yaitu orang-orang yang melihat nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dalam keadaan beriman kepada beliau, dan wafat dalam keadaan iman, baik laki atau wanita. Mereka telah mencapai puncak kemuliaan. Hal itu karena mereka mendahului yang lainnya, mereka menemani Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, mengambil ilmu dari beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengar langsung sabda beliau. Tidak diragukan lagi bahwa ini satu keistimewaan.
Generasi tabi’in adalah mereka yang pernah melihat salah seorang sahabat dan menyadari penglihatannya, meskipun yang ditemuinya seorang sahabat yang masih kecil. Orang seperti ini diberi istilah tabi’i karena dia pengikut generasi sebelumnya. Generasi tabi’in berlanjut lalu sebagian di antara mereka ada yang berumur panjang yaitu sampai penghujung abad kedua, namun mereka ini bertingkat-tingkat. Di antara para pembesar generasi tabi’in dari penduduk Madinah yaitu Fuqaha’ Al Sab’ah (para ahli fikih Madinah yang tujuh) yang sempat bertemu dengan para shahabat seperti Sa’id bin Musayyib, Ubaidullah bin Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud, Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, dan anak-anak sahabat lainnya yang mengambil ilmu dari pembesar para sahabat, sempat mendapati Khulafa’ur Rasyidin atau sebagiannya. Ashagir tabi’ien (tabi’in kecil) yaitu yang melihat sebagian kecil dari para sahabat. Mereka menyebutkan bahwa Al A’masy sempat mendapati Anas bin Malik, sehingga ditetapkan bahwa dia melihat Anas, sehingga Al A’masy dikategorikan generasi tabi’in kecil.
Sedangkan generasi tabi’ut tabi’in yaitu orang-orang yang sempat melihat tabi’in, meskipun tabi’in generasi akhir dan orang yang diriwayatkan (gurunya) pernah melihat salah seorang sahabat, atau sempat mendapati salah seorang di antara mereka meskipun generasi akhir. Dan diceritakan bahwa generasi sahabat tidak tersisa satu pun bersamaan dengan berakhirnya abad pertama. diriwayatkan bahwa sahabat yang paling terakhir wafat adalah Anas bin Malik yang wafat tahun sembilan puluh tiga hijriah, akan tetapi ada juga yang menceritakan bahwa ada di antara para sahabat yang sampai usia seratus seperti Thufail. Di antara generasi tabi’ut tabi’in ini adalah para imam seperti Malik bin Anas, Abu Abdirrahman bin Al Auza’i dan orang yang sezaman dengan mereka. Mereka ini termasuk akabir tabi’in (pembesar tabi’in), di antara mereka ada yang menjadi ulama dan para pengemban ilmu. Generasi tabi’ tabi’in masih ada sampai menjelang abad ketiga atau pertengahan abad ketiga.
Sedangkan atba’ tabi’ tabi’in (generasi setelah tabi’ tabi’in), di antaranya adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan yang lainnya. Mereka ini termasuk akabir atba’ tabi’ tabi’in. Singkat kata bahwa kaum muslimin yang ada qurun mufaddhalah disebut salaf.
Mereka disebut salaf karena mereka telah berlalu. Salaf artinya orang sudah lewat. Salaf dari sesuatu maksudnya sesuatu yang sudah lewat masanya. Mereka telah berlalu zamannya, namun mereka berlalu di atas istiqomah, di atas aqidah yang benar. Tidak di antara mereka yang menyimpang, ahli bid’ah; Mereka ini adalah pengawal ilmu, di antara mereka ada yang menjadi ahli bid’ah baik laki atau wanita. Secara umum, mereka semua adalah qudwah (suri tauladan).
Faktor Keutamaan Salaf
Kenapa para salaf dilebihkan diatas generasi setelahnya? Syara’ telah menjelaskan keutamaan mereka, begitu juga sunnah telah menjelaskan keutamaan mereka. Imam Ahmad menyebutkan dalam risalahnya As Shalat bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda :
أَنْتُمْ خَيْرٌ مِنْ أَبْنَائِكُمْ وَ أَبْنَاؤُكُمْ خَيْرٌ مِنْ أَبْنَائِهِمْ وَ أَبْنَاؤَ أَبْنَائِكُمْ خَيْرٌ مِنْ أَبْنَائِهِم
Kalian lebih baik dari anak-anak kalian, anak-anak kalian lebih dari anak-anak mereka dan cucu-cucu kalian lebih baik daripada anak-anak mereka. (HR Al Bazaar 2774 dari hadits Anas dan lihat Thobaqaat Al Hanabilah 1/270-271)
Maksudnya bahwa kebaikan (keunggulan) itu untuk yang pertama-tama. Tidak diragukan lagi bahwa generasi pertama telah mencapai puncak kemuliaan yaitu menemani Rasulullah, sehingga mereka lebih baik dari generasi setelahnya.
Oleh karena itu, para ulama ahli hadits sepakat menyatakan para sahabat itu ‘udul (adil) yang diterima riwayatnya, tidak ada di antara mereka yang dinukil bahwa dalam riwayatnya ada kelemahan, dusta atau yang ditolak. Namun riwayat mereka diterima, dan disepakati bahwa semua mereka ‘udul (adil). Ini salah satu dari keistimewaan mereka. Dan terdapat dalam hadits shahih, sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم قَالَ عِمْرَانُ فَلاَ أَدْرِيْ أَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ بَعْدَ قَرْنِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةً ثُمَّ يَكُوْنُ بَعْدَهُمْ قَوْمٌ يَشْهَدُوْنَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُوْنَ و يَخُوْنُوْنَ وَلاَ يُئْتَمَنُوْنَ وَيَنْذُرُوْنَ وَلاَ يُوْفُوْنَ وَ يَظْهَرُ فِيْهِمْ السَّمْنُ
“Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya – Imran mengatakan, “Aku tidak tahu, apakah beliau mengatakannya dua atau tiga kali setelah generasi beliau. Kemudian setelah itu akan ada suatu kaum yang memberikan persaksian padahal mereka tidak diminta memberikan persaksian, mereka berkhiat sehingga tidak bisa dipercaya, mereka bernadzar tapi tidak dipenuhi dan muncul pada mereka obesitas (kegemukan)…” (takhrijnya sudah lewat). Dalam hadits ini juga terdapat bukti keunggulan mereka.
Urutan Keutamaan Salaf
Urutan keutamaan mereka sebagaimana urutan keberadaan mereka. Yang paling utama adalah generasi pertama yang berakhir masanya dengan tahun seratus, kemudian diikuti oleh generasi kedua yang berakhir dengan tahun dua ratus (hijriah), kemudian diikuti oleh generasi ketiga yang berakhir dengan tahun tiga ratus.
Ini kalau kita menganggap satu generasi itu sama dengan seratus tahun. Di antara para ulama ada berpendapat bahwa satu generasi yaitu sekelompok orang yang saling bertemu pada satu masa, usia-usia mereka berdekatan, kemudian mereka wafat. Yang paling akhir wafat berarti dialah akhir dari generasi tersebut. Tidak disangsikan lagi bahwa mereka yang ada pada zaman itu, atau abad-abad itu memiliki keutamaan, kemuliaan, aqidah yang selamat. Sehingga mereka menjadi yang terbaik.
Begitu juga, bid’ah belum muncul. Jika ada perbuatan bid’ah yang muncul, maka akan segera dihancurkan dan pelakunya akan terhina. Sehingga dengan ini mereka menjadi yang lebih baik dari yang lain. Oleh karena itu mereka menjadi panutan, ucapan-ucapan mereka dijadikan sebagai hujjah (argumentasi), terutama perkataan ulama-ulama mereka dan ahli ibadah di antara mereka yang mengerti tentang agama Alloh ini, yang beribadah kepada Alloh dengan landasan cahaya dan dalil. Ucapan mereka dijadikan dalil, karena kita berprasangka baik kepada mereka. Mereka tidak akan melakukan satu amal kecuali berlandaskan dalil, tidak akan mengatakan sesuatu atau meriwayatkan sesuatu kecuali setelah ricek (cek ulang).
Oleh karena itu mursal shahabat bisa diterima, menurut kesepakatan para ulama. Sedangkan mursal kibar tabi’in masih diperselisihkan, namun pendapat yang terkuat (menyatakan) bisa diterima jika ada bukti keabsahannya, meskipun sanadnya tidak bersambung.
Begitu juga dengan perkataan mereka yang mereka jadikan hujjah atau pendapat mereka; semua ini bisa dijadikan dalil. Dikatakan, “Perkataan ini pernah diucapkan oleh Fulan seorang sahabat, atau seorang tabi’in atau perkataan ini pernah dikatakan oleh orang sebelum kita yaitu Fulan dari generasi tabi’in dan mereka adalah para ulama besar yang tidak akan mengucapkan sesuatu kecuali bersumber dari keyakinan”.
Hakikat Ilmu Salaf
Yang dimaksud dengan ilmu yaitu ilmu yang benar, ilmu yang diwarisi dari para Rasulullah, warisan para nabi Alloh. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi dan para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mengambilnya berarti dia telah mengambil warisan yang banyak” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 3641, Tirmidzi 2682, Ibnu majah no. 223 dari hadits Abu Darda’)
Ilmunya para salaf diambil langsung dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat yang kecil mengambil ilmu dari sahabat yang sudah dewasa, yang dewasa dari sahabat sebelumnya mereka, sampai kemudian mereka menyambungnya ke sumbernya yang murni yaitu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Alloh telah memperbanyak ulama dari mereka dan orang-orang setelah mereka, untuk menjaga ilmu yang benar ini, membersihkannya dan menjaganya dari kedustaan-kedustaan yang masuk kepada ilmu ini. Karenanya mereka meletakkan sanad yang bisa didapatkan dalam kitab-kitab hadits, sehingga sebuah perkataan tidak akan diterima kecuali setelah mengecek keabsahannya.
Para ulama menyebutkan bahwa para salaf tidak pernah bertanya kepada para sahabat tentang sanad (jalur periwayatan), akan tetapi (manakala) mereka melihat sikap terlalu gampang meriwayatkan sesuatu yang belum dicek keabsahannya, maka mereka mengatakan, “Sebutlah rijal (orang-orang) kalian! (sehingga mereka bisa mengetahui dari mana dia mendapatkan suatu riwayat). Jika mereka menyebutkan orang yang terpercaya, mereka akan tahu bahwa hadits atau atsar tersebut bisa diterima. Sedangkan jika menyebutkan orang yang lemah, bukan ahli hadits, maka mereka tahu bahwa hadits tersebut tidak sah. Inilah yang menjadi penyebab penyebutan sanad (jalur periwayatan). Ini adalah bukti antusiasme para salaf dalam menjaga sunnah dan membentenginya dari semua yang hendak memasukinya.

Kandungan Ilmu Salaf
Ilmu para salaf mencakup, hafalan terhadap sunnah Nabawiyah yang mereka riwayatkan dari nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. mereka juga menghafal Kalamulloh (Al Quran). Mereka antusias untuk memelihara ilmu ini dari tangan-tangan jahil. Karenanya, setelah wafat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, pertama kali mereka berkonsentrasi untuk membukukan Al Quran. Mereka menulisnya dalam beberapa lembaran, lalu mereka jadikan satu, sehingga tidak ada yang terlupakan ataupun tertinggal.

Di antara cakupan ilmu mereka juga adalah sibuk untuk menjelaskan Al Quran dan menerangkan makna-makna yang terkadang samar bagi generasi setelah mereka. Ini dikarenakan, mereka menyaksikan saat-saat turunnya Al Quran dan juga dikarenakan Al Quran turun dengan menggunakan bahasa mereka. Dan juga karena mereka lebih tahu tentang sebab-sebab turun sebuah ayat dan maksudnya. Oleh karena tafsir (penjelasan) para sahabat dan murid-muridnya lebih didahulukan daripada orang-orang zaman terakhir, yang menerapkannya dalam fakta-fakta dan kondisi-kondisi (yang ada) atau yang lainnya.
Oleh karena itu, para ulama umat ini yang sibuk dengan ilmu tafsir berdalil dengan hadits-hadits serta atsar-atsar yang berhubungan dengan Al Quran, karena memang dia adalah penjelas bagi Al Quran. Kita sudah tahu bahwa Alloh menurunkan syariat dan risalah ini kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Alloh memerintahkannya untuk menyampaikan risalah ini, dengan firman-Nya:
إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ
“Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)” (QS As Syura: 48) dan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ
“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu” (QS Al Maidah: 67)
Kita beriman tanpa ragu bahwa Rasulullah telah menyampaikan risalah itu, bahkan Rasulullah tidak sebatas menyampaikan risalah kepada mereka akan tetapi beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya dengan amal dan perkataan. Rasulullah menjelaskan sesuatu yang samar bagi mereka, menerangkan sesuatu yang perlu diterangkan, sebagai realisasi dari firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (QS An Nahl: 44)
Penjelasan beliau terhadap Al Quran adalah penjelasan beliau dengan praktek dalam sholat, haji, masalah-masalah lain yang masih global, seperti hudud dan sanksi. Begitu juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan ayat-ayat, menerangkan makna-maknanya sebagaimana telah dipersaksikan oleh para ahli tafsir. Dan tidak diragukan juga bahwa para sahabat (yang telah mendapatkan penjelasan langsung dari Rasulullah -pent) ini telah menyampaikan seluruhnya kepada murid-muridnya, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk itu. Terdapat dalam hadits yang sah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِيُبَلِّغَ الشَّاهِدُ الغَائِبَ
“Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir” (diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 68 dari Abu Bakar rodhiallohu ‘anhu dan Imam Muslim no. 1354 dari Abu Syuraih rodhiallohu ‘anhu)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang sah:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا وَ أَدَّهَا كَمَا سَمِعَهَا فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرُ فَقِيْهٍ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
“Semoga Alloh membaguskan wajah orang yang mendengarkan sabdaku, lalu menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana dia mendengarnya. Bisa jadi orang yang diberitahu lebih paham daripada orang yang mendengar (dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam), terkadang orang yang membawa fikih bukanlah orang yang faqih dan bisa jadi pembawa fikih membawanya kepada orang yang lebih bisa memahaminya” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad 5/187, Imam Abu Daud no. 3660, Imam Tirmidzi no. 2656 dan Ibnu Majah no. 230 dari hadits Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu)
Ketika para sahabat mendengar sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam ini, mereka tahu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam akan wafat dan mereka akan mengemban risalah ini setelahnya, mengemban nash-nashnya, makna-maknanya dan kaifiyah (tata cara)nya. Maka mereka tidak tinggal diam, mereka menyampaikan dan memberitahukan kepada orang-orang tertentu dan orang umum, apa yang mereka tahu dan apa yang mereka hafal serta dapatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah, amal mereka nampak sebagai realisasi dari ilmu. Karena ilmu yang benar, pasti akan diiringi amal perbuatan, karena amal merupakan buah ilmu.
Dan tidak diragukan bahwa ilmu-ilmu para salaf yang mereka dapatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka dapatkan dari para guru mereka dan tokoh-tokoh sahabat adalah ilmu-ilmu yang benar. Semuanya berkait dengan syariat, berkait dengan perintah dan larangan Alloh subhanahu wa ta’ala. Mereka mempelajari ilmu yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Alloh subhanahu wa ta’ala yaitu masalah-masalah ibadah. Mereka mempelajari amalan-amalan yang harus dikerjakan dalam kehidupan ini serta hal-hal haram yang harus ditinggalkan. Mereka mempelajari semua masalah ini dan menyampaikannya.
Tidak diragukan, bahwa orang yang mengikuti mereka dalam masalah ini –generasi setelahnya meskipun beberapa abad– akan dibangkitkan pada hari kiamat bersama mereka. Karena mengikuti mereka, mewarisi ilmu-ilmu dan antusiasme mereka bahkan membukukan kejadian-kejadian itu merupakan pengutamaan mereka dan bukti cinta mereka kepada para salaf dan bukti penghargaan terhadap salaf dengan penghargaan yang layak. Orang seperti ini tidak disangsikan lagi, dia akan mengikuti salaf dengan iman dan amal; mereka melakukan amalan-amalan yang dilakukan para salaf. Kemudian di hari kiamat, dikumpulkan bersama para salaf. Orang yang cinta kepada suatu kaum, maka dia akan dikumpulkan bersama dengan orang yang dia cinta, sebagaimana diterangkan dalam hadits. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 6169 dan Imam Muslim 2640 dari Abdullah bin Mas’ud, dan lafazh hadits ini adalah riwayat Imam Muslim, Abdullah rodhiallohu ‘anhu mengatakan: “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang cinta kepada satu kaum padahal dia belum pernah menjumpai mereka?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang itu bersama dengan yang dia cinta.”)
Maka kami katakan, dalam keadaan membahas tentang ilmu salaf, “Sesungguhnya wajib atas kita untuk mempelajari ilmu yang benar yang diwariskan oleh para salaf dari Nabi mereka shalallahu ‘alaihi wa sallam dan wajib atas kita untuk memprioritaskannya di atas ilmu-ilmu lain yang menyainginnya”. Ilmu-ilmu yang dipelajari oleh salaf ada beberapa macam:
Pertama, ilmu yang mereka ucapkan dengan lisan dan mereka yakini dengan hati. Ini adalah masalah aqidah.
Kedua, mereka mempelajari dari Rasulullah ilmu yang bisa mendekatkan diri kepada Alloh. Ini adalah urusan ibadah.
Ketiga, mereka mempelajari dari nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam apa-apa yang wajib mereka lakukan dalam kehidupan dan mempelajari perkara haram yang wajib mereka tinggalkan dan lain sebagainya.
Tidak diragukan lagi, bahwa siapa saja yang mengikuti mereka –meskipun dia ada beberapa dekade setelah mereka– maka dia akan dikumpulkan bersama mereka, karena dengan mengikuti mereka, berarti mengutamakan mereka, mencintai mereka dan menghargai mereka sebagaimana mestinya. Dan siapa saja yang mencintai suatu kaum maka dia akan dikumpulkan bersama mereka.
Kalau kita tidak menyibukkan dengan ilmu-ilmu ini berarti kita kehilangan banyak ilmu dan hilang kesempatan mendekatkan diri kepada Alloh dengan amal-amal shalih. Sebaliknya, jika menyibukkan diri dengannya dan arahkan langkah kita ke sana, maka kita akan sampai kepada Alloh dalam keadaan berada di atas jalan yang lurus, kita menempuh jalan lurus, tidak ada penyimpangan dan kebengkokan.
Sedangkan jika mengikuti orang setelah generasi salaf dan kita menempuh jalan-jalan menyimpang dalam amalan-amalan kita, maka kita akan masuk ke dalam jurang kebinasaan, minimalnya kita (terjerumus) mengadakan perbuatan bid’ah yang tidak pernah diperintahkan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala.
Ilmu para salaf terbentuk dari ilmu nash-nash dan mencakup menghafal ayat dan hadits-hadits, memahaminya dan menjelaskannya, menjelaskan makna dan kandungannya, mengamalkan. Demikian juga mencakup masalah menampakkannya dan mengajarkannya. Jadi sumber ilmu-ilmu mereka adalah: hafalan, pemahaman, praktek, dan menjelaskan.
Klasifikasi Ilmu Salaf
Ilmu para salaf dapat dikategorikan menjadi beberapa:
Pertama, ilmu tentang ayat-ayat Al Quran, maknanya dan yang terkait dengannya. Ini disebut tafsir.
Kedua, ilmu hadits, cabang dan pengklasifikasiannya serta pembagiannya dalam beberapa macam dan lain sebagainya. Termasuk juga yang terkait dengannya adalah mengetahui hadits shahih dari yang lemah, yang dapat diterima dan yang tertolak dan mengetahui para perawi dan riwayat yang berhubungan dengan mereka. Ini disebut ilmu sunnah.
Ketiga, ilmu memahami dan mengambil faedah dari nash. Ini disebut ilmu fikih.
Keempat, ilmu i’tiqad (keyakinan). Mereka membaginya menjadi ilmu ushul dan furu’ (cabang). Yang ushul yaitu ilmu yang berkait dengan aqidah. Ilmu ini mereka jelaskan dan terangkan dari satu sisi tertentu. Sedangkan yang berkait dengan furu’ (cabang) mereka jelaskan dari segi yang lainnya.
Ketika mereka menyadari bahwa ada beberapa masalah yang menyebabkan seseorang bisa menjadi kafir, mereka menyendirikannya dalam tulisan. Mereka menulis banyak kitab yang berkait dengan aqidah, ilmu sunnah. Karena melihat dan menyaksikan beberapa ahlul bid’ah yang dikhawatirkan akan melakukan pengrusakan di muka bumi, maka membantah kebid’ahan-kebid’ahan mereka. Mereka menulis sesuatu yang membantah syubhat-syubhat yang mereka lontarkan kepada orang lemah imannya.
Alloh menjagakan kitab-kitab yang ditulis oleh para salaf tersebut buat kita. Misalnya bisa didapatkan kitab-kitab yang berisi aqidah yang ditulis pada abad kedua, kebanyakannya ditulis pada abad ketiga. Kitab-kitab ini ada dan mudah didapatkan. Jika seorang alim mengumpulkannya, membacanya dan mengikat diri dengannya, maka dia akan tahu bahwa para salaf berada di atas aqidah yang kokok dan ilmu yang dalam. Nara sumber ilmu mereka adalah dua wahyu yaitu Al Quran dan sunnah yang jadikan sebagai referensi.
Sedangkan masalah far’iyah (cabang) yang ditulis oleh para salaf dan diwariskan turun temurun, juga banyak. Hal ini karena mereka ingin menjaga sunnah nabi mereka dan ilmu diwarisi dari beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mereka menulis kitab-kitab mereka dalam masalah furu’. Mereka isi dengan hadits-hadits yang sah dari nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka riwayatkan dengan membawakan sanadnya sampai ke nara sumbernya (yaitu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam). Kitab-kitab mereka juga berisi atsar-atsar dari sahabat, tabi’in yang menjelaskan perkataan dan pendapat mereka.
Ini semua demi menjaga ilmu itu sehingga tidak terlupakan. Karena Alloh subhanahu wa ta’ala telah menjamin keterpeliharaan syariat ini, maka Alloh menakdirkan ulama-ulama salaf untuk syariat ini yang akan menjaganya:
  1. Dengan sanad dalam dada mereka.
  2. Dengan menuliskan sanad dan mengetahui orang-orangnya agar bisa mengetahui hadits yang shahih dari yang lemah.
  3. Dengan menulisnya. Karena mereka khawatir, ada ilmu sedikit yang hilang akibat lupa atau lainnya, akibat wafatnya orang yang menghafalnya di dada mereka. Karenanya mereka segera membukukannya sehingga syariat ini tetap terjaga tidak ada yang hilang.
Yang termasuk imam abad kedua dalam masalah ini yaitu Imam Malik dan Abu Hanifah yang banyak menulis pada abad kedua tentang permasalahan yang berkait dengan furu’. Begitu juga dua teman Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan. Termasuk orang-orang yang ada pada zaman itu adalah Ibnu Juraij, Abdurrazaq bin Hammam, Ma’mar bin Rasyid dan ulama lain pada masa itu.
Kemudian setelah mereka adalah murid-murid mereka. Mereka juga menulis banyak kitab dalam masalah ini, seperti penulis shahih Bukhari dan Shahih Muslim, penulis kitab-kitab sunan, kitab-kitab musnad.
Sebagian di antara mereka, ada yang hidup pada akhir abad kedua dan ada pula yang hidup pada abad ketiga, maksudnya masih dalam abad-abad yang diutamakan. Kemudian generasi setelah mereka, orang-orang yang menulis dalam masalah furu’ itu, semoga Alloh memberikan manfaat dengan ilmu-ilmu mereka.
Metoda Belajar Salaf
Pertama, hafalan. Tidak diragukan lagi bahwa ilmunya para salaf itu benar, lebih dapat berbuah (kebaikan) dan lebih absah. Karena kesibukan mereka dengan ilmu ini dan antusiasme mereka untuk menulis dan mengokohkannya. Semua ini merupakan karunia Alloh kepada mereka.
Hal itu karena mereka ketika menerima warisan ilmu, sebagian di antara mereka sibuk untuk menghafalnya dalam dada hingga tidak pernah lupa. Sehingga Alloh menganugerahkan orang saat itu hafalan yang kuat, sampai-sampai diriwayatkan dari As Sya’bi Amir bin Syarahbil mengatakan, “Aku tidak pernah menuliskan hitam di atas putih”. Maksudnya dia hanya menghafal, dia menghafal semua ilmu yang sampai kepadanya, dan tidak butuh menulis di buku. Buktinya adalah atsar-atsar dan hadits-hadits yang diriwayatkan darinya.
Kedua, pemahaman. Hal ini dengan memahami nash-nash, mempelajarinya dan menyimpulkan hukum darinya.
Ketiga, kombinasi antara hafalan dan pemahaman. Dalam masalah ini, Rasulullah membuat sebuah permisalan dengan air hujan yang jatuh ke bumi dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa air hujan, jika jatuh ke muka bumi, maka bumi terbagi menjadi empat:
Menadah air sehingga manusia bercocok tanam, memberi minum ternak-ternak mereka dan bisa melepaskan dahaga dengannya. Bagian ini sama dengan kedudukan orang-orang yang dianugerahkan Alloh hafalan, meskipun tidak memiliki pemahaman.
Bumi yang kena air atau hujan, akan tetapi tanah ini tidak bisa menadah air, namun diserap. Kemudian tumbuhan mulai tumbuh dan manusia bisa memanfaatkan tumbuhan ini dan menggembalakan ternak mereka disana. Bagian ini sama dengan kedudukan para ulama ahli fikih yang berikan kemampuan untuk memahami dan menyimpulkan hukum, meskipun dia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal.
Bumi yang memiliki kedua sifat di atas yaitu bisa menadah air hujan untuk keperluan minum, dan sisanya untuk menumbuhkan rumput yang banyak. Ini sama dengan orang yang mengumpulkan antara dua hal itu yaitu antara hafalan dan pemahaman.
Bumi yang gersang, tidak bisa menumbuhkan tanaman juga tidak menahan air. Ini perumpamaan bagi orang yang tidak menyibukkan dengan ilmu sedikit pun bahkan dia menjauhinya.
pembagian ini dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam:
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
Sesungguhnya perumpamaan ilmu dan hidayah yang aku bawa seperti air hujan yang menimpa bumi. Di antara bumi ini ada yang kelompok yang baik, dia menerima air lalu menumbuhkan rumput yang banyak, di antaranya juga ada yang gersang (cadas), dia bisa menahan (menadah) air, sehingga bisa dimanfaatkan oleh manusia, manusia bisa minum, mengairi (tanaman) dan bisa menggembala. Dan air hujan itu juga mengenai bagian bumi yang lain yaitu lembah yang tidak bisa menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput. Itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Alloh (Islam), dia mendapatkan manfaat dari apa yang aku bawa, dia tahu lalu mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak memperdulikannya sama sekali dan tidak menerima hidayah dari Alloh yang aku bawa.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 79, Imam Muslim no. 2282 dari Abu Musa Al Asy’ari rodhiallohu ‘anhu)
Kemunculan Bid’ah Di Zaman Salaf
Tidak diragukan pada zaman salaf sudah ada pelaku bid’ah, sudah ada kebid’ahan, perbuatan dusta dan maksiat serta yang lainnya. Namun pada saat itu ada orang yang menghadapinya, membantahnya, mematahkan syubhat-syubhat mereka dan menjelaskan kebatilan perbuatan-perbuatan dan tipu daya ahlul bid’ah, sehingga bid’ah tidak meninggalkan bekas.

Umat (secara umum) tidak terancam bahaya ahlul bid’ah, karena yang haq itu banyak, pembawa panji al haq sangat kuat, sehingga ahlul bid’ah tidak mampu mempengaruhi mereka.
Di antara bid’ah yang muncul pada qurun mufaddhalah (masa-masa yang penuh keutamaan), kami hanya menyebutkan contoh-contoh saja:

Bid’ah Khawarij
Bid’ah khawarij ini muncul pada masa sahabat. Mereka diperangi oleh Ali rodhiallohu ‘anhu dan sahabat lain setelah Ali sampai akhir abad pertama.

Kebid’ahan khawarij ini termasuk kebid’ahan yang paling ringan (pada awalnya, namun setelah itu mereka termasuk pelaku bidah yang banyak menumpahkan darah kaum muslimin sampai saat ini, sehingga pantaslah bila dinamakan Rosululloh anjing neraka -pen). Yaitu mereka menganggap perbuatan memberi maaf termasuk perbuatan dosa dan menganggap dosa sebagai kekufuran. Mereka mengkafirkan orang akibat dari dosa, dan menganggap orang yang berdosa telah murtad dari islam. Mereka menghalalkan darah dan hartanya, menganggap mereka telah keluar dari lingkup kaum muslimin dan menetapkan hukum bahwa orang yang berdosa itu termasuk penghuni neraka. Inilah aqidah mereka.
Beberapa hadits datang membawa celaan kepada mereka, menjelaskan aqidah buruk mereka. Hadits-hadits ini telah diriwayatkan dan telah masyhur. Tatkala kondisinya seperti ini, tidak ada seorang sahabat pun yang mengikuti mereka (khawarij), tidak juga ulama umat. Mereka hanya diikuti oleh orang-orang awam dan sebagian orang yang suka menakwilkan nash, orang yang tidak memiliki ilmu mendalam yang diwarisi dari sahabat rodhiallohu ‘anhum.
Bid’ah Mengingkari Takdir
Kemudian di akhir-akhir masa sahabat, muncul bid’ah yang lain yaitu bid’ah pengingkaran terhadap takdir, maksudnya mengingkari ada takdir sebelum sebuah kejadian. Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Ya’mar :

كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ فَقُلْنَا لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ فَقُلْتُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ قَالَ فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Orang yang pertama kali berbicara (maksudnya menolak) tentang takdir di Bashrah adalah Ma’bad al Juhani. Lalu aku dan Humaid bin Abdurrahman berangkat menunaikan ibadah haji (atau umrah). Kami berkata: “Seandainya kami berjumpa dengan salah seorang sahabat, maka kami akan bertanya tentang apa yang dikatakan oleh orang-orang ini tentang takdir. Lalu kami diberi kemudahan menjumpai Abdullah bin Umar bin Al Khattab dalam keadaan masuk masjid, maka kami mendekatinya, salah seorang kami dari sebelah kanan dan yang lain dari sebelah kiri. Aku mengira bahwa temanku mewakilkan pertanyaan ini kepadaku, maka aku katakan: “Wahai abu Abdurrahman, sesungguhnya telah muncul sekelompok orang di tengah-tengah kami, mereka membaca Al Quran, menuntut ilmu (mereka menuntut dan meneliti ilmu. Dalam riwayat lain yatafaqqarun, dengan mendahulukan huruf fa’). Mereka mengatakan bahwa tidak ada takdir dan semua kejadian itu adalah baru (baru, tidak diawali dengan qada’ dan takdir. Lihat An Nihayah karya Ibnul Atsir ).
Abdullah bin Umar mengatakan, “Jika engkau berjumpa dengan mereka, beritahukanlah mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Zat yang dipergunakan untuk bersumpah oleh Abdullah bin Umar, seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu dia menginfakkannya, maka Alloh tidak akan menerimanya sampai dia beriman dengan takdir, baik dan buruk… (al hadits) (diriwayatkan oleh Imam Muslim no.7, Abu Daud no. 4695 dan Tirmidzi no. 2610)
Kelompok ini mengingkari ilmu Alloh yang mendahului segala sesuatu. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya Alloh tidak mengetahui sesuatu sampai sesuatu itu terjadi.”
Mereka mengingkari Alloh telah menuliskan takdir segala sesuatu di Lauh al Mahfuzh. Mereka mengingkari bahwa Alloh telah menetapkan takdir apa yang akan diperbuat seorang hamba dan Alloh tahu orang yang akan bahagia dan yang akan sengsara. Mereka mengingkari nash-nash yang gamblang dalam masalah ini.
Akan tetapi para salaf telah membantah mereka dan kesalahan-kesalahan mereka telah dijelaskan. Para salaf telah menerangkan bahwa ini adalah perkataan batil, karena menganggap ilmu Alloh itu kurang.
Oleh karena itu Imam Syafi’i rohimahulloh mengatakan: “Debatlah mereka dengan ilmu Alloh, jika mereka mengakui Ilmu Alloh, berarti mereka terkalahkan. Jika mereka mengingkari Ilmu Alloh berarti mereka telah kufur”. Maksudnya, tanyailah mereka, apakah kalian mengakui bahwa Alloh Maha Tahu (mengilmui) terhadap segala suatu? apakah kalian mengakui bahwa Alloh mengetahui apa telah terjadi, yang tidak terjadi dan yang belum terjadi, jika sudah terjadi, Alloh Maha Tahu bagaimana kejadiannya. Jika mereka mengakui bahwa Alloh ‘Alim (Maha Tahu) terhadap segala sesuatu, berarti argumen mereka telah terkalahkan, tidak ada lagi yang bisa mereka jadikan pegangan. Jika mereka mengingkarinya dan mengatakan: “Kami tidak mengakui bahwa Alloh ‘Alim (Maha Tahu) terhadap segala sesuatu”. Berarti mereka telah kufur. Karena mereka telah menganggap Alloh memiliki kekurangan, dan mensifatiNya dengan sifat jahil. Orang yang menolak sifat Ilmu berarti dia menetapkan sifat jahil bagi Alloh.
Bid’ah ini telah muncul, namun ada sahabat yang melawannya dan membantahnya, sehingga bid’ah ini tidak mapan pada masa itu. Karena kekuatan yang dimiliki pembawa kebenaran dan kwantitas mereka besar dan juga karena kuatnya dalil-dalil yang mereka bawakan. Sehingga terputuslah syubhat dan agama Alloh menang walaupun Ahlul Bid’ah membencinya.
Bid’ah Jahmiyah
Bid’ah Jahmiyah muncul di awal abad kedua. Mereka mengingkari bahwa Alloh bisa berbicara, mereka mengingkari bahwa Al Quran itu kalamulloh. Mereka menolak bahwa Alloh menyukai hamba-Nya yang disukai dan menolak bahwa Alloh telah berbicara dengan Musa atau menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.

Ketika mereka menampakkan pendapat mereka ini, tokoh pelopornya yaitu Ja’ad bin Dirham telah dibunuh pada masa salaf. Dia dibunuh Gubernur (Amir) Iraq Khalid bin Abdullah Al Qusari pada saat hari raya idul Adha dan menganggapnya sebagai binatang qurban. Dia mengatakan, “Wahai sekalian manusia, berkorbanlah kalian. Semoga Alloh menerima ibadah qurban kalian. Sesungguhnya aku berqurban dengan (menyembelih) Ja’ad bin Dirham, karena dia menganggap Alloh tidak pernah berbicara dengan Musa dan tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Maha Tinggi Alloh dari ucapan Ja’ad”. Dia lalu turun dan menyembelihnya. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam kitabnya “Khalqu ‘Af’aalil ‘Ibad”. (lihat Khalqu ‘Af’aalil ‘Ibad hal. 7 dan lihat Siyar A’lamin Nubala’ 5/423)
Para salaf memiliki ilmu dan iman sehingga mereka mengingkari perbuatan bid’ah Ja’ad dan mencela al Jahmiyah pengikutnya. Beginilah kondisinya saat itu, tidak ada bid’ah pada masa salaf yang memiliki kekuatan. Namun sangat disayangkan, bid’ah-bid’ah ini yaitu bid’ah mu’tazilah, jahmiyah dan bid’ah qadariyah akhirnya menyebar setelah tiga generasi ini lewat, terutama bid’ah jahmiyah yang mengingkari sifat-sifat Alloh. Bid’ah ini menguat sehingga pada abad keempat dan seterusnya, pendapat salaf dalam masalah aqidah hampir tidak bisa diketahui. Bahkan kemudian mereka melecehkan para ulama salaf, dan menjuluki para salaf itu orang-orang bodoh. Mereka mengumpamakan mereka seperti orang yang tidak bisa baca tulis, yang tidak mengerti Al Quran kecuali dongengan bohong belaka, sebagaimana Alloh menggunakan kata-kata ini untuk menceritakan ahlul kitab. Alloh ‘azza wa jalla berfirman :
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لاَ يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ

“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka. (QS Al Baqoroh: 78)”
. Maksudnya hanya sekedar bisa membaca tanpa mengerti maknanya sedikit pun.

Sedangkan generasi khalaf yaitu generasi empat, lima dan enam dan seterusnya, menuduh bahwa salaf itu hanya beriman dengan lafazh-lafazh semata, tanpa mengerti maknanya. Mereka (para salaf tersebut hanya) mengimani lafazhnya dan menyerahkan maknanya (kepada Alloh). Tidak diragukan lagi, hal ini merupakan bentuk pelecehan terhadap salaf, hingga mereka mengira bahwa ilmu salaf tidak lebih dari sekedar tafwidh (penyerahan makna kepada Alloh). Orang-orang ini berdalil dengan perkataan para ulama salaf tentang hadits-hadits yang menunjukkan sifat Alloh, “Biarkanlah (makna) sifat itu sebagaimana aslinya, tanpa takyiif (mengumpamakan atau menerangkan hakikatnya)”.
Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bentuk pelecehan dan celaan kepada para salaf. Karena banyak hal yang dinukil dari salaf yang menunjukkan keimanan mereka kepada Alloh, kepada sifat-sifatNya, kepada semua yang datang dari-Nya; juga menunjukkan penerimaan mereka terhadap syariat, keimanan mereka terhadap nash-nash serta meyakini kandungan-kandungannya; mereka menyifati Alloh dengan sifat-sifat kesempurnaan dan membiarkan makna ayat-ayat sifat sebagaimana aslinya. Mereka hanya melarang perbuatan takyiif (mengumpakan/menyamakan), melarang membebani diri dengan menanyakan hakikat sifat Alloh atau yang sejenisnya.
Inilah maksud dari perkatan mereka, tentang ayat-ayat sifat, “Biarkanlah ayat-ayat itu sebagaimana dia datang tanpa mengumpamakan (takyiif)” Maksudnya, janganlah kalian bertanya tentang hakikat sifat. Dan sebagaimana ucapan Imam Malik bin Anas (beliau rohimahulloh salah seorang ulama tabi’ tabien) ketika beliau rohimahulloh ditanya tentang istiwa’, “Istiwa’ itu sudah maklum, hakikatnya tidak akan bisa diketahui akal, mengimaninya wajib, bertanya tentang hal itu adalah sebuah kebid’ahan”.
Perkataan ini juga diriwayatkan dari guru beliau rohimahulloh yaitu Rabi’ah bin Abu Abdurrahman. Beliau ini termasuk pembesar tabi’in dari Madinah. Dia ditanya tentang istiwa’. Maka dia menjawab, “Istiwa’ sudah maklum, hakikatnya tidak bisa diketahui, dari Alloh risalah ini datang, kewajiban rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah mengimaninya”.
Ucapan mereka menunjukkan bahwa para salaf itu memahami makna-makna ayat, mengerti maksud nash-nash, mengimaninya, hanya saja mereka tidak mengetahui hakikatnya. Hakikat ini yang tidak bisa dicapai oleh ilmu makhluk.
Ini dan yang lainnya merupakan ilmu-ilmu para salaf. Ketika mereka telah mendapatkan ilmu warisan (para nabi) ini, maka berikutnya mereka mempraktekkannya dalam permasalahan aqidah (keyakinan) dan amalan praktis. Juga mereka membantah para pelaku bid’ah dan syubhat-syubhat yang mereka bawakan. Mereka mengingkari kebid’ahan-kebid’ahan yang terjadi pada masa mereka, sehingga bid’ah-bid’ah itu tidak bisa menguat kecuali pada masa-masa terakhir.
Para ulama umat ini seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh telah menjelaskan bahwa aqidah para salaf dan para pengikut mereka adalah aqidah yang pernah diyakini oleh para sahabat rodhiallohu ‘anhum dan disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka serta diambil dari dua wahyu yaitu Al Quran dan Sunnah. Inilah yang diwajibkan dan merupakan petunjuk yang dibawa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama,”. (QS At Taubah: 33)
Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di atas petunjuk. Dan orang yang meninggalkannya dan menentangnya, berada di atas kesesatan. Tidak disangsikan lagi bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah jalan lurus yang Alloh perintahkan kepada kita untuk mengikutinya dalam firman-Nya :
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya…” (QS. Al An’am : 153)
Dalam hadits yang shohih, (dijelaskan) bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan makna ayat ini. Beliau membuat sebuah garis lurus seraya bersabda, “Ini adalah jalan Alloh” Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam membuat beberapa garis di samping kiri dan kanan garis (pertama) seraya bersabda, “Ini adalah subul (dalam ayat diatas -pent). Di atas masing-masing garis (yang sebelah kanan dan kiri) ini ada syaitan yang mengajak kejalan itu” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 1/436, Ad Darimi 67-68, Al Hakim 2/239 dari hadits Abdullah bin Mas’ud rodhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah no. 11 dari hadits Jabir bin Abdullah rodhiallahu ‘anhu)
Maksudnya orang yang berjalan di atas jalan lurus ini, maka dia akan selamat. Dan orang yang menyimpang darinya, maka itu akan menyebabkan kebinasaannya. Jalan ini disebut mustaqim (lurus) karena tidak ada kebengkokan, tidak ada penyimpangan, dan rambu-rambunya jelas bisa diketahui oleh semua manusia.
Keimanan Salaf
-Pengertian Iman
Tidak diragukan lagi bahwa keimanan yang mendasar adalah keyakinan yang mengakar dalam hati. Keyakinan (aqidah tersebut) harus memiliki sandaran. Sesuatu yang memiliki sandaran, dia akan kuat menancap, tidak dikhawatirkan akan goyang dan roboh. Sebagaimana tiang-tiang penyangga masjid atau bangunan lainnya yang menjadi tiang tumpuan bagi atap. Jika tiang ini memiliki fondasi, kuat, tertanam kokoh di bumi, maka bangunan itu akan kuat dan berfungsi. Sedangkan jika tidak memiliki fondasi, misalnya mengambang di atas permukaan tanah, dan tidak memiliki dasar tempat bertumpu, maka bangunan itu akan runtuh dan roboh atau akan mengalami kejadian yang lain.

Begitu juga dengan ilmu para salaf yang merupakan keyakinan yang kokoh mengakar. Penyebabnya adalah kekuatan dalil yang mereka jadikan pijakan. Yaitu nash-nash (teks) yang jelas, tidak ada kesamaran dan kerancuan. Hal itu karena mereka membangun aqidah di atas dasar-dasar yang kokoh yang ditopang oleh dalil aqli dan naqli. Dalil-dalil naqli yaitu dalil yang mereka dapatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berupa Al Quran dan hadits-hadits. Dalil-dalil aqli yaitu pemandangan yang dilihat oleh fitrah mereka yang masih bersih dan lurus, belum terkotori kebid’ahan dan khurafat atau yang lainnya. Bahkan Alloh membentenginya dari syubhat dan penyimpangan-penyimpangan. Ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mereka tetap eksis di atas aqidah ini dan kekokohannya, dan tetap tidak guncang. Oleh karena itu, syubhat-syubhat tidak berdampak apapun kepada mereka sebagaimana dampaknya kepada yang lain, seperti ahli bid’ah, khawarij dan mu’tazilah.

Mu’tazilah misalnya, memiliki beberapa syubhat yang dijadikan sandaran, akan tetapi syubhat-syubhat tersebut tidak perlu diperhatikan, tidak kuat (rapuh) bahkan syubhat-syubhat itu akan saling menghancurkan.
Syaikhul Islam memiliki sebuah bait syair yang masyhur, yang beliau sebutkan di akhir kitab Aqidah Al Hamuwiyah:
Hujah-hujah kontradiktif seperti kaca yang dipukulkan
Benar-benar dan setiap yang menghancurkan akan hancur

Argumen dan syubhat-syubhat mereka ibarat kaca. Jika anda memiliki dua kaca, yang satu di tangan kanan dan yang satu di tangan kiri, lalu kamu adukan keduanya, bukankah keduanya akan hancur?! begitu pula argumen orang-orang mu’tazilah. Sebab, argumen-argumen logika akan saling membantah satu dengan yang lain, misalnya argumen-argumen golongan qadariyah mematahkan argumen golongan jahmiyah dan begitu seterusnya. Sebagian ulama lain seperti Ibnul Qayyim rohimahulloh dalam kitab “As Shawa’iqul Mursalah” mengumpamakan mereka dalam syair. Beliau rohimahulloh mengatakan:
Buatlah perumpamaan dengan dua orang buta yang dilepas
Dalam kegelapan yang mereka tidak mengetahui jalanan

Mereka bertabrakan dengan tangan dan tongkatnya
Pukulan yang membuat arena pertempuran menjadi panjang

Hingga bila telah bosan berperang, kamu melihat mereka
Dalam keadaan terluka atau meninggal atau terbunuh

Kedua orang buta saling memaafkan hingga mengadakan
Perdamaian lalu teriakannya bertambah memuncak tinggi

Ini adalah perumpamaan argumen-argumen mereka. Mereka ibarat dua orang buta, jika keduanya berbenturan karena tidak mengerti jalan dan masing-masing tidak mengerti posisi yang lain, salah seorang di antara mereka mengira bahwa temannya ini sengaja. Maka ia akan memukulnya dengan tangan dan tongkat. Lalu kamu akan lihat, mereka saling pukul memukul.
Beginilah keadaan syubhat-syubhat orang-orang ini. Saat kebenaran (al haq) itu masih unggul dan menonjol, maka syubhat-syubhat itu tidak akan berdampak sama sekali. Karena syubhat-syubhat ini hanya berasaskan kebohongan dan praduga yang tidak bisa diterima, bahkan syubhat-syubhat itu saling menjatuhkan. Oleh karena itu sering disebutkan bahwa sebagian di antara mereka merusak argumen mereka sendiri. Seperti ahlul bid’ah, salah satu di antara mereka membuat-buat argumen dan dijadikan sebagai dalil, lalu dia batalkan sendiri argumen ini atau dilawan oleh syaikhnya atau muridnya. Ini menunjukkan bahwa syubhat-syubhat tidak berlandaskan ilmu yang kokoh.
Sedangkan hujjah-hujjah (argumen-argumen) para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in berdiri tegak di atas dalil kokoh. Sehingga syubhat-syubhat tidak meninggalkan efek sama sekali, karena kekokohan aqidah, kekuatan iman para salaf dan mengakar iman dalam hati-hati mereka.
Beberapa Contoh Kekokohan Iman Para Salaf
Tidak disangsikan lagi ada beberapa kisah para sahabat, baik yang laki ataupun wanita yang dapat menjadi dalil (bukti) kemantapan iman mereka dan kekokohan aqidah keyakinan mereka. Terlebih lagi ilmu-ilmu yang mereka ketahui dan amalkan. Bukankah ada di antara mereka yang menaklukkan beberapa negara, berjihad dengan benar di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sehingga Alloh menangkan dien ini dengan perantaraan mereka dalam waktu singkat. Mereka berhasil menaklukkan beberapa negara dalam waktu kurang dari delapan puluh tahun. Kenapa? Karena iman mereka kokoh mengakar dalam hati-hati mereka, lalu bersinergi dengan kekuatan dan melakukan peperangan dengan gagah berani. Maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala memenangkan agama ini dengan perantara tangan mereka, lalu Islam berhasil merambah bumi bagian timur dan barat, didengar oleh penduduk yang jauh dan dekat.

Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan bukti kekokohan iman mereka. Iman yang kuat melahirkan keberanian pada diri pemiliknya. Hal ini disebabkan karena dia tahu bahwa dunia hanyalah perhiasan yang menipu sedangkan Akhirat adalah negeri abadi.
Jadi keimanannya kepada Alloh subhanahu wa ta’ala, kepada hari akhir, surga dan neraka dan adanya pahala, ini semua memotivasi dia untuk siap mengorbankan dirinya dan tidak takut dengan celaan orang yang mencela. Maka dia akan mengucapkan perkataan yang haq di hadapan siapa saja, tidak berbuat nifaq dan tidak berpura-pura. Dia juga akan (termotivasi untuk) menginfakkan apa yang dimilikinya di jalan Alloh demi mencapai ridha-Nya, sampai-sampai di malam harinya dia tidak memiliki makanan apapun juga, karena percaya kepada Alloh subhanahu wa ta’ala.
Untuk menjelaskan betapa kuat dan kokoh keimanan para salaf, kami akan membawakan dua contoh dengan singkat.
Keimanan Abu Bakar as Shiddiq rodhiallohu ‘anhu
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para sahabatnya untuk bersedekah, Abu Bakar rodhiallohu ‘anhu datang dengan membawa semua hartanya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang engkau tinggalkan buat keluargamu?” Abu Bakar menjawab: “Aku tinggalkan Alloh dan Rasul-Nya buat mereka.” Maksudnya saya yakin bahwa Alloh akan memberikan rezeki kepada mereka. Bukankah ini bukti kekuatan dan kekokohan iman mereka?!

Keimanan Imam Ahmad rohimahulloh
Istrinya yaitu Ummu Abdillah bercerita tentang Imam Ahmad, “Yang paling membuat Imam Ahmad bahagia adalah jika aku mengatakan kepadanya, ‘Gandum sudah habis tanpa sisa, kita tidak memiliki gandum lagi yaitu makanan.’ Beliau rohimahulloh mengatakan; ‘Kalau begitu, sekarang harapanku akan bergantung kepada Alloh. Dan saya tahu bahwa Dialah yang memberikan rezeki, dan mempermudah sebab mendapatkannya (usaha)’”. Ini karena mereka tahu bahwa semua yang di sisi Alloh itu akan senantiasa kekal dan ada. Ini semua merupakan buah dari keimanan yang benar dan lurus yang di antara dalil-dalinya adalah nash-nash yang shahih.

Di antara Atsar Keimanan Salaf
Di antara Atsar keimanan Salaf juga adalah penampakan kebenaran di hadapan orang yang menentang dan menyelisihinya. Sebagai contoh, pada abad ketiga pada zaman imam Ahmad sebagian ahli bid’ah berhasil mempengaruhi sebagian kholifah dan mereka mengajak kepada bid’ah Jahmiyah pengingkar adanya sifat-sifat bagi Alloh dan berpendapat bahwa Al Quran adalah makhluk bukan kalam Alloh. Namun imam Ahmad kokoh bertahan dan sabar mendapatkan siksaan di penjara berupa pukulan, cambukan dan sebagainya. Bukankah ini bukti kekuatan iman?! Iman yang kokoh mengakar di hati beliau dan mendorongnya untuk sabar. Karena kekhawatiran pada umat ini beliau berjihad dengan sungguh-sungguh dan menghadapi orang-orang sesat dan penyeru kepada kesesatan tersebut, agar dapat memenangkan kebenaran dari kebatilan sehingga kebatilan itu pun menjadi lebur (hilang). Ketika imam Ahmad istiqomah di atas kebenaran maka umatnya pun bersama beliau seluruhnya dan seluruh salaf bersaksi bahwa beliau berada di atas kebenaran dan didukung dalil yang kuat.

Apa yang membuatnya dapat bersabar menahan gangguan, dipenjara, dipukul dan dicambuk dengan sangat keras dan kuatnya di hadapan orang-orang zalim dari para da’i yang mengajak kepada kesesatan yang telah membohongi kholifah agar memenjara beliau dan mencambuknya atau membunuhnya?! Satu kepastian yang membuatnya sabar atas hak itu seluruhnya adalah rasa percaya bahwa ia berada di atas kebenaran dan imannya beliau bahwa beliau di atas keyakinan benar dan yang selainnya adalah batil. Juga pendapat mereka batil tidak dibangun di atas dalil. Ini jelas-jelas adalah keimanan yang kokoh.
Siapa yang ingin memantapkan keimanan dalam hatinya, maka hendaklah dia mengambil keimanan tersebut dari sumbernya yang masih murni yaitu kitab-kitab sunnah dan kitab-kitab yang diisi dengan penjelasan para ulama tentang aqidah salaf dan dalil-dalil mereka.
Dan hendaknya dia juga tahu sedikit mengenai sejarah hidup para salaf dan penjelasan mengenai aqidah mereka. Tidak diragukan lagi bahwa aqidah mereka adalah aqidah firqah najiyah (golongan yang selamat) diberitahukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka berada di atas Al Haq. Sebagaimana dalam sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam:
سَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً قِيْلَ مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَ أَصْحَابِيْ
“… dan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk dalam neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, Wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang berjalan di atas jalan yang aku tempuh saat ini dengan para sahabatku.” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad 3/145, Ibnu Maajah no. 3993 dari Anas bin Malik rodhiallahu ‘anhu, Imam Ad Darimiy 2/241, Abu Daud no. 4597 dari Muawiyah bin Abu Sufyan, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi no. 2641 dari Abdullah bin Umar rodhiallahu ‘anhuma )
Persaksian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka adalah firqah najiyah (golongan yang selamat) merupakan bukti bahwa mereka berada di atas al haq, baik yang berkaitan dengan aqidah atau masalah-masalah furu’ (cabang-cabang). Dan di dalam sabda beliau itu juga terdapat penjelasan bahwa generasi setelah mereka lebih sedikit kebenarannya, meskipun generasi setelah mereka lebih ringan kesalahan dibandingkan dengan generasi berikutnya.
Maka barang siapa yang mengikuti para salaf dalam masalah aqidah, ilmu, amal, maka bisa diharapkan dia akan dikumpulkan bersama para salaf tersebut. Sedangkan orang yang menyimpang dari jalan yang benar dan meniti jalan kebid’ahan, berarti dia sudah meniti salah satu jalan di antara jalan-jalan kesesatan atau sudah terjerumus dalam kesesatan.
Begitu juga orang-orang yang mendalami ilmu-ilmu yang tidak syar’i dan lebih mengutamakannya dari pada ilmu-ilmu syar’i, seperti orang yang sibuk mempelajari ilmu filsafat yang merupakan lawan ilmu syar’i. Ilmu yang benar itu adalah agama Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan warisan para nabi. Barang siapa tersibukkan oleh ilmu-ilmu yang bertentangan dengan ilmu syar’i atau jauh dari ilmu syar’i, maka tidak diragukan lagi orang ini telah menghalangi dirinya sendiri dari ilmu yang benar.
Kami tidak mengatakan, bahwa semua orang tidak boleh mempelajari kecuali ayat-ayat dan hadits-hadits atau yang semakna. Akan tetapi boleh saja mempelajari ilmu-ilmu modern tapi dengan syarat tidak bertentangan dengan ilmu syariat, tidak mengurangi hak ilmu syariat, dan memberikan perhatian yang cukup kepada ilmu syariat, sehingga dia bisa memahami agamanya, baik yang berkaitan dengan aqidah atau dengan amal perbuatan. Semoga Alloh menjadikan kita termasuk orang-orang yang istiqomah, orang yang berjalan di atas jalannya para salaf, termasuk orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan termasuk orang-orang yang meniti jalan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallohu a’lam wa ahkam. Washallohu ‘ala nabiyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallama tasliman katsiran.
-selesai-

Penulis: Syaikh Abdulloh bin Abdurrohman Al Jibrin hafizhohulloh
Diterjemahkan Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc




Tidak ada komentar:

Posting Komentar