Fenomena menggerakan
jari telunjuk ketika tasyahud yang berkembang luas di tengah
masyarakat merupakan satu hal yang perlu dibahas secara ilmiah. Mayoritas
masyarakat yang jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka berada dalam
perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah agama sering disertai dengan debat
mulut dan mengolok-olok yang lainnya sehingga kadang berakhir dengan permusuhan
atau perpecahan.
Hal ini merupakan perkara yang sangat tragis bila semua itu
hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu’ belaka,
padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu’
Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy, kitab Al-Mughny
karya Imam Ibnu Qudamah, kitab Al-Ausath karya Ibnul
Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr
Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan bahwa para ulama
juga memiliki perbedaan pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan
lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidaklah menimbulkan perpecahan maupun
permusuhan diantara mereka. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah adalah
mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul Musta’an.
Adapun masalah menggerak-gerakkan
jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak mengerak-gerakkannya, rincian
masalahnya adalah sebagai berikut :
Hadits-hadits yang menjelaskan
tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis :
i.
Ada yang
menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali.
ii.
Ada yang
menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan.
iii.
Ada yang
menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan (menunjuk) dan tidak
dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.
Perlu diketahui bahwa hadits-hadits
yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk kebanyakannnya adalah dari jenis
yang ketiga dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak
ada keraguan lagi tentang shohihnya hadits-hadits jenis yang ketiga tersebut,
karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory, Imam
Muslim dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti ‘Abdullah bin
Zubair, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Muhammad As-Sa’idy, Wa`il bin Hujr,
Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya.
Maka yang perlu dibahas disini
hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama (tidak digerakkan sama sekali) dan
derajat hadits yang kedua (digerak-gerakkan).
Hadits-Hadits Yang Menyatakan Jari Telunjuk
Tidak Digerakkan Sama Sekali
Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang
menjelaskan hal tersebut.
HADITS PERTAMA
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ
بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا
“Sesungguhnya Nabi r beliau berisyarat dengan
telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud
dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba
3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a
no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676.
Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij
dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari
ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini Sebagai
Berikut :
¤
Hajjaj
bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan
tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal
tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits
dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawakib
An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan
lain-lainnya.
¤
Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil
‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan
tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata Akhbarani
(memberitakan kepadaku).
¤
Muhammad bin
‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).
¤
‘Amir
bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib
beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).
¤ ‘Abdullah bin Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi
yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan
bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa
hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah
pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini
adalah lafadz yang syadz.
Sebelum kami jelaskan dari mana sisi
syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut
istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat
dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
¤
Pertama : Syadz
karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena
beberapa faktor.
¤
Kedua : Syadz
karena menyelisihi.
Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan
pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah
رِوَايَةُ
الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ
“Riwayat
seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama
darinya”.
Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih
atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama
dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui
bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah)
dikalangan para ulama Ahli Hadits.
Maka kami melihat bahwa lafadz laa
yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak
boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin
‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad
bin ‘Ajlan karena beberapa perkara :
1. Muhammad bin ‘Ajlan walaupun ia seorang rawi hasanul
hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi
hafalannya.
2. Riwayat Muhammad bin ‘Ajlan juga dikeluarkan
oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa
yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
3. Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari
Muhammad bin ‘Ajlan dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa
yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :
a.
Al-Laits bin
Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya
2/131.
b.
Abu Khalid
Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu
Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits
hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370
no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny
dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid
no.99.
c.
Yahya bin
Sa’id Al-Qoththon, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990,
An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198,
Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah
2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.
d.
Sufyan
bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy
dalam Musnadnya 2/386 no.879.
Demikianlah
riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya
dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha
(tidak digerak-gerakkan) akan tetapi Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat
Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha
(tidak digerak-gerakkan).
4. Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘Amir
bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga
meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak
menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan), maka ini
menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa
yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut,
oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan
dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut. Tiga orang ini
adalah :
a. ‘Utsman bin Hakim,
riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu
Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid
13/194-195 dan Abu ‘Awanah 2/241 dan 246.
b. Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya
dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
c. Makhromah bin Bukair, riwayatnya
dikeluarkan oleh An-Nasai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa
penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits
‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya
adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa
berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah
(indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan
tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajlan. Wallahu A’lam.
HADITS YANG KEDUA
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ
الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ
يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu-
adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan
(meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan
jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah
penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah r mengerjakannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot
7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’
dari Ibnu Hibban.
Derajat
Hadits
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban
tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh
dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh
Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu
Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi
sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if
tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat)
yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah
melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan
dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan
kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari
Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi
dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi
tersebut adalah :
1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’
1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud
no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu
Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad
Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh
As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir,
riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359
no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan
Al-Baihaqy 2/132.
3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan
oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil
Bar 131/26.
4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya
dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro
1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh
Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy,
riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal
Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan
lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan
kesalahan karena dua sebab :
1. Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka
tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah
bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan
lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka
dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai
3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu
‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh
As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a
no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini
adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan :
Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak
digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Hadits-Hadits Yang Menyatakan Bahwa Jari
Telunjuk Digerak-Gerakkan
Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang
menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr
dan lafadznya sebagai berikut :
(ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ
إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا
“Kemudian
beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran,
kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau
mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy
1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro
1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’
no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan
5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354
no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib
Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427.
Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim
bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Derajat Hadits
Zhohir sanad hadits ini adalah
hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan
belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.
Berangkat dari sini perlu diketahui
oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa
: Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat
hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang
mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari
mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah
menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab
syadznya riwayat Za`idah. Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin
Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh
dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha
(digerak-gerakkan).
Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh
Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265
dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany
22/37 no.86.
2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh
Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697
dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a
n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh
Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro
1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan
oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro
1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290,
Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil
Mudraj 1/427.
5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu
Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu
Hibban no.1936.
6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya
dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan
Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan
oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a
no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan,
riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any
Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl
Li Washil Mudraj 1/432-433.
9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu
Khuzaimah 1/353 no.713.
10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan
oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy
dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259,
Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil
Mudraj 1/431-432.
11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh
Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil
Mudraj 1/432.
12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya
dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh
Ath-Thobarany 22/33 no.79.
14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan
oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya
dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya
dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a
no.637.
17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya
dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.
637.
18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya
dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan
oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh
Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya
dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid,
riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah
bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha
(digerak-gerakkan) adalah syadz.
Kesimpulan :
Penyebutan lafazh yuharrikuha
(jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah
tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.
Pendapat Para Ulama Dalam Masalah Ini
Para ulama berbeda pendapat dalam
masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan perbedaan tersebut
terdiri dari tiga pendapat :
Pertama : Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu
Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan
Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Kedua : Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang
kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la
dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan
Syafiiyyah.
Ketiga : Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas.
Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad
Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan
berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh
Al-Albany -rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah
mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak.
Sebab perbedaan pendapat ini adalah
adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa
jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak
digerak-gerakkan.
Namun dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan
bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah
dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah
hadits yang lemah. Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang
ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa
dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka
kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang
telah tersebut di atas bahwa Nabi r hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau.
Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz (Arab) yang
artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya
adalah bahwa kata “berosyarat” itu mempunyai dua kemungkinan :
Pertama : Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya
memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat
itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.
Kedua : Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya
berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya :
“Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhory?” Maka tentunya saya akan
mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukhory yang berada
diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.
Walaupun kata “berisyarat” itu
mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang
diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak
digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua perkara :
Pertama : Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan Ash-Sholatu
Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah) maksudnya tata cara sholat itu
dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka hal ini
menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya
kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian
pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil
yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan
telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk
adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak
digerak-gerakkan.
Kedua : Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhary N0. dan Imam Muslim No.538 :
إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً
“Sesungguhnya
di dalam sholat adalah suatu kesibukan”
Maka ini
menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam
suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada
dalilnya dari Al-Qur’an atau hadits Rasulullah r yang shohih.
Kesimpulan :
Tersimpul
dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk
dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak
digerak-gerakkan. Wallahu A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam :
$
Kitab Al-Bisyarah
Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah, Al-Muhalla
karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar,
‘Aunul Ma’bud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy
2/160.
$
Madzhab
Hanafiyah lihat dalam : Kifayah Ath-Tholib 1/357.
$
Madzhab
Malikiyah : Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah
Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192.
$
Madzhab
Syafiiyyah dalam : Hilyah Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin
1/262, Al-Majmu’ 3/416-417, Al-Iqna’
1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muhtaj
1/173.
Madzhab
Hambaliyah lihat dalam : Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu’
1/386, Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qona
1/356-357.
Ust. Dzulqarnain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar