“Jihad yang paling utama adalah mengatakan ucapan yang
haq di hadapan penguasa yang dzolim”. Sungguh, mereka telah salah kaprah
dalam memahami hadits tersebut, dan lihat saja… akibatnya sangat fatal!,
begitulah jika amal perbuatan yang tanpa dilandasi ilmu terlebih dahulu
…
Urgensi amar ma’ruf nahi mungkar
Urgensi amar ma’ruf nahi mungkar
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah merupakan masalah mendasar dalam dienul Islam.
Sebab dengan dilaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, kemaslahatan akan tercipta
dan menyebar dalam masyarakat. Sebaliknya, jika tidak dilaksanakan atau bahkan
dikekang, kebatilan akan muncul dan memasyarakat. Tetapi tidak sebatas itu,
Alloh akan menimpakan adzab secara merata, menimpa orang yang baik atau orang
yang jahat. Jelas kiranya bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah perkara yang
sangat penting. (lebih jelasnya lihat edisi 7, 8 dan 9). Namun sebagai tanbih,
saya akan nukilkan dua dalil berikut:
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaaan yang tidak khusus menimpa
orang-orag yang dhalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Alloh amat
keras siksaan-Nya”. (Al Anfal: 25).
Ibnu Katsir
menafsirkan: “Alloh memperingatkan para hamba-Nya yang beriman tentang ujian
dan cobaan yang tidak hanya menimpa pelaku maksiat dan orang yang berbuat dosa
saja, bahkan akan menimpa semua orang tanpa bisa dicegah dan dihilangkan”.
(Tafsir Al Qur’anil ‘Adzim, 2/274).
Ketika
mengomentari hadits Abu Sa’id Al Khudri, Imam Nawawi berkata: “Ini adalah
perkara yag besar. Sebab merupakan landasan tegaknya perkara yang mendasar dan
hal-hal yang menopangnya. Jika kemaksiatan melanda maka siksa akan menimpa
semua orang, baik yang sholih atau yang durhaka. Dan jika perbuatan orang yang
aniaya tidak dicegah maka nyaris saja Alloh akan meratakan adzab pada semua
orang. Alloh berfirman (artinya): “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rosul takut akan ditimpa adzab yang pedih. (24: 63).
Maka orang-orang yang mencari (pahala) akherat dan ridho Alloh hendaknya
memperhatikan perkara ini, sebab manfaatnya sangat besar”. (Syarh Muslim
1/226).
Rosululloh
shollallahu’alaihiwasallam bersabda yang artinya:
“Permisalan antara orang yang menegakkan hukum-hukum Alloh dengan melaggarnya seperti suatu kaum yang menaiki perahu, sebagiannya berada di geladak atas dan sebagian yang lain berada di geladak bawah. Jika orang-orang yang berada di geladak bawah kehausan meereka harus melewati orang yang diatasnya, karena itu mereka mengatakan: “Kita lubangi saja perahu ini, kita tidak akan mengganggu orang yang di atas kita”. Bila orang yang di atas membiarkan, tidak mau menegurnya maka akan tenggelam semuanya. Namun jika mereka menghalanginya maka akan selama semuanya”. (HR. Bukhori 2493, Tirmidzi 1544, Ahmad 9540).
“Permisalan antara orang yang menegakkan hukum-hukum Alloh dengan melaggarnya seperti suatu kaum yang menaiki perahu, sebagiannya berada di geladak atas dan sebagian yang lain berada di geladak bawah. Jika orang-orang yang berada di geladak bawah kehausan meereka harus melewati orang yang diatasnya, karena itu mereka mengatakan: “Kita lubangi saja perahu ini, kita tidak akan mengganggu orang yang di atas kita”. Bila orang yang di atas membiarkan, tidak mau menegurnya maka akan tenggelam semuanya. Namun jika mereka menghalanginya maka akan selama semuanya”. (HR. Bukhori 2493, Tirmidzi 1544, Ahmad 9540).
Metode ingkarul mungkar kepada penguasa
Menilik urgensi amar ma’ruf nahi mungkar di muka, sudah semestinya bila amalan mulia ini harus selalu ditegakkan dan digalakkkan, tidak terkecuali kepada penguasa. Apalagi penguasa adalah pengemban amanat yang teramat berat, menangani urusan rakyat dan dipertanggungjawabkan di hadapan Alloh kelak. Selain dia adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, Rosululloh shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
Menilik urgensi amar ma’ruf nahi mungkar di muka, sudah semestinya bila amalan mulia ini harus selalu ditegakkan dan digalakkkan, tidak terkecuali kepada penguasa. Apalagi penguasa adalah pengemban amanat yang teramat berat, menangani urusan rakyat dan dipertanggungjawabkan di hadapan Alloh kelak. Selain dia adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, Rosululloh shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Jihad yang paling utama adalah mengatakan ucapan yanng haq di hadapan
penguasa yang dzolim. (HR. Tirmidzi: 222174, Ibnu Majah: 4010, Ahmad: 11159.
Dihasankan oleh Tirmidzi dan dishohihkan oleh Al Albani).
Namun,
ingkarul mungkar kepada penguasa mempunyai kaidah-kaidah tersendiri. Selain
sebab-sebab diatas, juga mengandung implikasi yang begitu banyak dan berbahaya
yang akan diterangkan nanti, insyaAlloh.
- Secara
lemah lembut dan tidak terang-terangan
Imam Ibnu Abi Ashhim dalam kitabnya As Sunnah membuat bab “bagaimana cara menasehati penguasa” kemudian memaparkan hadits dengan sanadnya. Rosulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
Imam Ibnu Abi Ashhim dalam kitabnya As Sunnah membuat bab “bagaimana cara menasehati penguasa” kemudian memaparkan hadits dengan sanadnya. Rosulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Barangsiapa ingin menasehati pemimpin, jangan secara terbuka. Tetapi
ajaklah menyepi. Jika dia menerima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, berarti
dia telah menunaikan kewajibannya”. (no. 1096, 1097 dan 1098 dishohihkan oleh
Al Albani dalam Dzilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah. Diriwayatkan pula oleh
Thobroni dalam Musnad Syamiyyin 976).
Syaikh
Abdussalam bin Barjas mengatakan: “Hadits ini merupakan di sir-kan
(dirahasiakan) nasehat kepada penguassa. Jika seseorang telah menempuh cara ini
berarti dia telah terlepas dari akibat yang timbul di kemudian hari”.
(Mu’amaltul Hukkam, hal: 55).
Sekarang
kita cermati penerapan sahabat terhadap hadits ini. Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad 3/403-404: ‘Iyadh bin Ghonim mencambuki penguasa desa tatkala
ditaklukkan. Namun Hisyam bin Hakim memprotes keras, membuat ‘Iyadh marah. Hal
ini berlangsung beberapa malam. Lalu Hisyam datang kepada ‘Iyadh dan mengajukan
alasan, Hisyam berkata kepada ‘Iyadh: “Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi
shollallahu’alaihiwasallam:
“Sesungguhnya termasuk orang yang palig pedih siksaanya (pada hari
kamat) adalah orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia”.
‘Iyadh bin
Ghunmin menjawab: “Wahai Hisyam bin Hakim, kami telah mendengar apa yang kamu
dengar, melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidakkah engkau mendengar
Rasullullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Wahai Hisyam… Kamu lancang bertindak kurang ajar kepada penguasa. Tidakkah engkau merasa takut jika penguasa membunuhmu lalu engkau disebut sebagai orang yang dibunuh oleh penguasa (wali) Alloh”.
“Wahai Hisyam… Kamu lancang bertindak kurang ajar kepada penguasa. Tidakkah engkau merasa takut jika penguasa membunuhmu lalu engkau disebut sebagai orang yang dibunuh oleh penguasa (wali) Alloh”.
Perhatikan
pula sikap Abdulloh bin Umar terhadap Al Hajjaj bin Yusuf As Saqofi, gubernur
Irak ini dikenal sebagai penguasa yang dholim, represif, gampang membunuh
orang, termasuk para ulama diantaranya Said bin Jubair dan akhirnya membunuh
Abdulloh bin Zubair di Makkah. Namun Abdulloh bin Umar tidak mencabut bai’atnya
dan tidak pula menghasut manusia untuk demonstrasi menentang Al Hajjaj. Sikap
serupa juga ditunjukkan oleh para tabi’in ketika itu seperti Sa’id bin Al
Musayyid, Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin, Ibrohim Aat Tamimi dan
selainnya. (Lihat Durorus Saniyyah fi Ajwibatin Najdiyyah, Abdul Latif bin
Abdurrohman, 7/177-178).
Ibnu Katsir
merekam dalam Bidayah wa Nihayah 8/232: “Penduduk Madinah membangkang kepada
Yazid bin Mu’awiyah dengan pimpinan Abdulloh bin Muthi’. Karena tersiar kabar
bahwa Yazid sering menenggak khomr (minuman keras) dan sebagainya. Namun
Abdulloh bin Umar dan Ahlu bait Nabi tetap taat kepada Alloh dan Rosul-Nya,
saya mendengar Rosululloh shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya setiap kelompok pada hari kiamat mempunyai bendera, lalu
akan dipanggil: ‘ini adalah kelompok fulan’”. (Muslim no: 1735).
Imam Bukhori
memuat dalam shohihnya (7568), Az Zubair bin Adi berkata: “Kami mendatangi Anas
bin Malik dan mengadukan perbuatan Al-Hajjaj, Anas menjawab: Kalian harus
sabar. Sebab, tidaklah datang suatu masa kepada kalian melainkan akan lebih
jelek dari masa sebelumnya hingga kalian menemui Robb kalian. Saya mendengar
ucapan itu dari nabi kalian”.
Ibnu Rojab
dalam Jami’ul Ulum wal Hikam 1/225 menuturkan: Ibnu Abbas ditanya tentang amar
ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa, jawabnya: Jika kamu memang harus
melakukannya, maka lakukan antara kamu dan dia saja”.
Bukhori dan
Muslim menyebutkan dalam kedua shohihnya, bahwa Usamah bin Zaid ditanya:
“Tidakkah engkau menemui Utsman dan menasihatinya?”. Jawab Usamah: “Apakah
engkau menganggap bahwa saya tidak menasehati Utsman kecuali di hadapan
kalian?! Demi Alloh saya telah menasihatinya empat mata. Saya tidak ingin menyebarkan
perkara ini dan saya tidak ingin menjadi orang pertama yang menyebarkannya”.
(Bukhori 6/330, 13/48 dan Muslim 4/229).
Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengomentari hadits tersebut dalam Mukhtashor
Shohih Muslim: “maksud ucapan Usamah adalah ingkarul mungkar kepada penguasa
secara terbuka di depan khalayak ramai (Usamah bin Zaid tidak melakukan itu),
sebab perbuatan ini akan berakibat fatal. Seperti yang dilakukan kepada Utsman,
akibatnya beliau terbunuh”. (hadits no: 335).
Para ulama
setelah generasi mereka juga bersikap sama. Kita lihat Imam Ahmad bin Hambal
yang masyhur, seperti dikisahkan Ibnu Muflih dalam Al-Adab As-Syar’iyyah
1/195-196 dan Al Khollal dalam As Sunnah hal. 133. Kholifah waktu itu adalah Al
Watsiq billah. Dia beserta jajarannya dari orang-orang Mu’tazillah mewajibkan
kepada rakyat untuk meyakini bahwa Al Qur’an itu adalah makhluk. Bagi yang
membangkang dikenai siksa dan penjara. Termasuk Imam Ahmad. Beliau
mempertahankan pendiriannya bahwa Al Qur’an itu kalam Alloh. Akibatnya bisa
diterka, beliau dipenjara dan disiksa. Hanbal menceritakan: “Para fuqoha
berkumpul pada Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka berkata: “Masalah bertambah gawat
–maksudnya dipropagandakannya faham pemakhlukan Al Qur’an dan selain itu, kami
tidak menyenangi pemerintahannya”. Lalu Imam Ahmad berkata kepada mereka:
“Kalian harus mengingkari itu dalam hati, jangan membangkang, jangan
memporak-porandakan persatuan kaum muslimin, jangan tumpahkan darah kalian dan
darah kaum muslimin, perhatikan akibat yang timbul, bersabarlah hingga
orang-orang baik dapat hidup tenang dan terlepas dari orang yang dzolim,
membangkang adalah tindakan salah, ini menyelisihi atsar. (salaf-pen).
Ibnu Muflih
dalam Al Adab As Syar’iyyah 1/195-197 berkata: “Tidak boleh seorangpun
mengingkari kemungkaran yang dilakukan penguasa kecuali hanya sekedar nasehat
danpeeringatan terhadap akibat yang akan menimpanya di dunia dan akhirat.
Metode ini adalah wajib. Sedang metode selain itu diharomkan. Hal ini
dituturkan oleh Al Qodhi (Iyadh) dan yang lain. Ibnul Jauzi berkata: “Metode
yang diperbolehkan dalam amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa adalah
menunjukkan kebaikan padanya dan menasehati. Adapun berkata kasar semisal:
“Wahai Dzolim ! Wahai orang yang tak takut keepada Allah !” Jika hal itu dapat
menyulut fitnah yang bisa menyeret orang lain maka metode ini dilarang. Namun
jika ia berani menanggung akibatnya sendiri dan tidak berimbas pada orang lain
maka boleh menurut pendapat jumhur ulama. “Lalu Ibnu Muflih menimpali: “Tapi
menurut saya ini tidak diperbolehkan…”.
Dalam kitab
Tanbihul Ghofilin ‘an A’malil Jahilin wa Tahdziris Salikin min Af’alil Halikin,
Ibnu Nahhas berkata: “Menasehati penguasa lebih baik berdua saja dengannya
ketimbang di hadapan khalayak ramai. Bahkan lebih ditekankan secara rahasia
lalu menasehatinya, tanpa adanya orang ketiga”. (hal: 64).
Imam
Syaukani berkata: “Seyogyanya bagi orang yang melihat kesalahan penguasa pada
beberapa hal agar menasehatinya. Tetapi jangan mengkritik di depan khalayak
ramai. Bahkan seharusnya kita melakukan seperti dalam hadits: pegang tangannya
dan ajak menyepi lalu dinasehati. Jangan mencela penguasa (wakil) Alloh. Telah
kukemukakan di depan dalam awal kitab Siyar bahwasanya tidak boleh membangkang
kepada penguasa walaupun penguasa itu sangat dzolim (represif), selama dia
masih menegakkan sholat dan tidak menampakkan kekufuran yang nyata. Hadits yang
berkaitan dengan masalah ini telah mutawatir. Namun ketaatan rakyat hanya dalam
ketaatan kepada Alloh. Bila dia berbuat maksiat jangan ditaati. Sebab tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada sang pencipta”. (Sailul Jaror
4/556).
Syaikh Abdul
Aziz bin Bazz mengatakan: “Menyebarluaskan kesalahan penguasa dan menyiarkan di
mimbar-mimbar bukanlah madzab salaf. Sebab akan mengakibatkan terjadinya
kudeta, rakyat tidak lagi mentaati pengusa dalam perkara yang baik, dan
pembangkangan yang hanya membuahkan kerusakan. Metode yang harus ditempuh
menurut faham salaf adalah memberi nasehat empat mata, menulis surat, atau
melalui para ulama, sehimgga mampu untuk memberi pengarahan kebaikan kepada
penguasa. Pengingkaran ini sebaiknya tidak menyebut nama pelaku. Semisal
mengingkari zina (baca: pelacuran – pen), minuman keras (miras) dan riba
(renten-bank) cukup dengan mengingkarinya dan memperingatkan manusia agar
waspada dan menjauhi, tanpa menyebut si pelaku”.
Tatkala
muncul fitnah di zaman Utsman bin Affan, sebagian orang berkata kepada Usamah
bin Zaid: “Tidakkah engkau mengingkari perbuatan Utsman?! Beliau menjawab
“Apakah harus dilakukan di hadapan khalayak? Namun itu kulakukan antara aku
dengannya saja, aku tidak ingin membuka pintu fitnah bagi manusia”.
Ketika
manusia membuka pintu fitnah tersebut dan mereka mengingkari perbuatan Utsman
secara terbuka, meratalah fitnah, pembunuhan dan kerusakan yang masih kita
rasakan sampai saat ini. Akibatnya Utsman terbunuh dan terjadilah persengketaan
antara Ali dan Mu’awiyah. Sehingga Ali pun terbunuh. Tidak hanya itu banyak
sahabat Nabi yang terbunuh ketika itu. Semua itu akibat ingkarul mungkar dan
penyebarluasan kesalahan penguasa, buntutnya mereka sampai membunuh
penguasanya. Kita meminta keselamatan kepada Alloh dari semua ini. (Fatawa wa
Risalah Syaikh bin Bazz, Bab Huququ Ro’iwar Ro’iyyah, hal 27-28).
Syaikh
Muhammad bin Sholih bin Al Utsaimin juga memberikan statement yang sama, lalu
berkata: “Jika pembicaraan itu sudah mengarah ke ghibah (menggunjing),
menasehati namun dilakukan secara terbuka, dan menyebarluaskan kesalahan mereka
–padahal itu termasuk penghinaan kepada mereka yang akan dibalasi Alloh secara
setimpal- maka tak diragukan lagi, semua itu harus dilandasi atas kaidah yang
telah kami sebutkan (maksud beliau adalah menasehati secara sembunyi dan yang
semisal itu). Tetapi yang mengemban tugas ini adalah para ulama. Dimana mereka
terbiasa berinteraksi dengan penguasa dan nasehat mereka akan diperhatikan.
Akan sangat berbeda bila yang melakukan adalah yang selain mereka”. Lanjutnya:
’Sebab pengingkaran kepada penguasa secara terbuka tetapi bukan pada persoalan
agama yang prinsipil, dan itu dilakukan di perayaan-perayaan, masjid-masjid,
koran, majlis-majlis ta’lim dan tempat lainnya, semua itu sama sekali tidak
dinamakan nasehat. Kalian jangan terkecoh dengan orang yang melakukan itu,
walaupun kadang bermaksud baik. Lantaran menyelisihi metode salaf sholih,
generasi panutan, Alloh lah yang memberi petunjuk kepada kalian.” (Maqosidul
Islam. Hal: 393).
- Taat dalam
perkara yang baik saja
Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syaukani di muka, apabila penguasa berbuat maksiat maka tidak boleh ditaati. Sebab ketaatan kepada mereka hanya dalam perkara yang baik. Namun juga tidak boleh memberontak, Rosululloh shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syaukani di muka, apabila penguasa berbuat maksiat maka tidak boleh ditaati. Sebab ketaatan kepada mereka hanya dalam perkara yang baik. Namun juga tidak boleh memberontak, Rosululloh shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa)
terhadap apa yang dia sukai dan benci kecuali jika diperintah untuk berbuat
maksiat maka tidak (boleh) mendengar dan taat. (HR. Bukhori 13/121, Muslim
3/1469)”.
Dalam
Tuhfadzul Ahwadzi 5/365 Mubarokfuri berkata: “Jika penguasa memerintahkan
perkara yang sunnah dan mubah maka wajib ditaati. Mengomentari hadits tersebut
Al Mutohhar berkata: “Mendengar ucapan dan taat kepada penguasa adalah wajib
bagi setiap muslim. Baik sesuai dengan keinginan atau tidak. Dengan syarat
tidak memerintahkan berbuat maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat
maksiat maka tidak boleh mentaatinya. Namun juga tidak boleh memeranginya
(kudeta)”.
Sabdanya:
Keta’atan itu hanyalah pada perkara yang baik. (HR. Bukhori: 7145).
Keta’atan itu hanyalah pada perkara yang baik. (HR. Bukhori: 7145).
- Tidak
mengadakan kudeta
Rosululloh
shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Akan muncul pemimpin yang memimpin kalian. Kalian mengenalnya dan mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkari (kemungkarannya) berarti dia telah terbebas (dari dosanya). Siapa yang membenci (perbuatannya), dia selamat. Tetapi dosa itu bagi yang rela dan mengikutinya. Mereka bertanya: ”Wahai Rosululloh, apakah kita tidak perangi saja?”. Jawab beliau: “Jangan! Selama dia masih melakukan sholat, selama dia masih sholat””. Imam Nawawi berkata: “Bahwasanya tidak boleh memberontak hanya karena penguasa berbuat dholim dan kerusakan, selama dia tidak merubah syariat Islam yang prinsipil”. ( 4/552).
“Akan muncul pemimpin yang memimpin kalian. Kalian mengenalnya dan mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkari (kemungkarannya) berarti dia telah terbebas (dari dosanya). Siapa yang membenci (perbuatannya), dia selamat. Tetapi dosa itu bagi yang rela dan mengikutinya. Mereka bertanya: ”Wahai Rosululloh, apakah kita tidak perangi saja?”. Jawab beliau: “Jangan! Selama dia masih melakukan sholat, selama dia masih sholat””. Imam Nawawi berkata: “Bahwasanya tidak boleh memberontak hanya karena penguasa berbuat dholim dan kerusakan, selama dia tidak merubah syariat Islam yang prinsipil”. ( 4/552).
- Bila
penguasa seorang kafir
Jabir bin
Abdulloh berkata:
“Rosululloh membai’at kami untuk mendengar dan taat, di saat kita semangat atau pun tidak, di saat susah atau lapang, dan ketika penguasa lebih mementingkan urusan dunianya ketimbang kita. Kita tidak boleh melihat padanya kekufuran yang jelas sedang kalian memiliki bukti”. (HR. Bukhori 7055 dan 7056, Muslim 1709).
“Rosululloh membai’at kami untuk mendengar dan taat, di saat kita semangat atau pun tidak, di saat susah atau lapang, dan ketika penguasa lebih mementingkan urusan dunianya ketimbang kita. Kita tidak boleh melihat padanya kekufuran yang jelas sedang kalian memiliki bukti”. (HR. Bukhori 7055 dan 7056, Muslim 1709).
Imam Nawawi
mengatakan: “Makna hadits: kalian jangan mencopot kekuasaaan penguasa dan menentangnya
hingga kalian melihat pada mereka kemungkaran nyata dalam perkara agama yang
mendasar, jika kalian melihatnya, ingkarilah dan katakan kebenaran pada mereka.
Adapun yang membangkang dan memerangi penguasa, walaupun mereka berbuat
kemaksiatan yang besar, menurut ijma’ kaum muslimin diharomkan. Banyak sekali
hadits yang menunjukkan yang saya sebutkan. Al Qodhi berkata: “Ulama telah
bersepakat bahwa kekuasaan tidak sah bagi orang kafir. Maka jika seorang
penguasa telah kafir, dia harus berhenti”. (lihat syarah Muslim 4/540, cetakan
Darul Khoir).
Syaikh
Doktor Sholih Al Fauzan berkata: “Adapun interaksi dengan penguasa kafir, maka
berbeda-beda menurut kondisi dan situasi. Jika kaum muslimin mempunyai kekuatan
dan kemampuan menggulingkanya dan menggantinya dengan seorang muslim maka
diwajibkan. Karena ini termasuk jihad di jalan Alloh. Namun jika tidak
mempunyai kekuatan jangan dilakukan sebab akan menimbulkan mudharat yang
menimpa kaum muslimin”.
Itulah
metode yang ditempuh para salaf sholih dan ulama sesudahnya dalam ingkarul
mungkar terhadap penguasa. Metode mereka adalah adil dan seimbang. Berada di
antara faham Khowarij, Mu’tazillah dan faham Rowafidh (syi’ah). Khowarij
memandang boleh membangkang kepada penguasa jika mereka melakukan kemungkaran. Sebaliknya
dengan Rowafidhh, mereka malah mengkultuskan para pemimpin mereka, sampai taraf
tak tersentuh oleh kesalahan (‘ishmah). Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah
memandang mengingkari kemungkaran para penguasa adalah wajib, namun harus
dilandasi dengan kaidah-kaidah syar’iyyah. Kaidah ini dibangun diatas sunnah
yang shohih. Mereka justru menganjurkan agar rakyat mencintai pemimpinnya,
dapat bekerja sama dengan penguasa dan berlaku sabar terhadap tindakan represif
penguasa, namun tetap melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar kepada mereka
secara tersembunyi. Sebab metode ynag ditempuh oleh kelompok-kelompok tersebut
gholibnya akan memicu konsentrasi massa, tindakan anarkhis dan fitnah yang
besar dan berkepanjangan.
Petikan wawancara majalah Al Furqon Kuwait dengan Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani.
Soal:
Bagaimana cara mengkompromikan antara sabda Nabi berikut:
“Barangsiapa ingin menasehati pemimpin, jangan secara terbuka. Tetapi ajaklah menyepi. Jika dia menerima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, berarti dia telah menunaikan kewajibannya”.
Bagaimana cara mengkompromikan antara sabda Nabi berikut:
“Barangsiapa ingin menasehati pemimpin, jangan secara terbuka. Tetapi ajaklah menyepi. Jika dia menerima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, berarti dia telah menunaikan kewajibannya”.
Dengan
sabdanya yang lain:
“Dan juga bai’at para shabat kepada Nabi serta ucapan mereka “kami akan mengatakan kebenaran dan kami tidak takut terhadap celaan pencela dalam menegakkan kebenaran”.
“Dan juga bai’at para shabat kepada Nabi serta ucapan mereka “kami akan mengatakan kebenaran dan kami tidak takut terhadap celaan pencela dalam menegakkan kebenaran”.
Jawab:
Persoalan ini –semoga Alloh memberkati kalian- seharusnya tidak boleh tersamar bagi kita. Bahwasanya tidak ada kontradiksi antara dua hadits tersebut. Sebab kontradiksi ini harus nampak jelas. Pada hadits pertama: apakah orang tadi menasehati pemerintah di depan khalayak ramai? tentu saja tidak. Kalau begitu dimana sisi pertentangannya?
Persoalan ini –semoga Alloh memberkati kalian- seharusnya tidak boleh tersamar bagi kita. Bahwasanya tidak ada kontradiksi antara dua hadits tersebut. Sebab kontradiksi ini harus nampak jelas. Pada hadits pertama: apakah orang tadi menasehati pemerintah di depan khalayak ramai? tentu saja tidak. Kalau begitu dimana sisi pertentangannya?
Soal:
Sebagian orang mewajibkan menasehati pemerintah secara terang-terangan berdalih dengan peristiwa sejarah, seperti sikap Abu Hazim terhadap Sulaiman bin Abdul malik, Malik bin Dinar terhadap pemimpin Bashroh, Abu Muslim Al Khoulani terhadap Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap Qothlobuq Al Kabir dan selainnya. Peristiwa sejarah ini tentu saja tidak boleh diabaikan, lalu bagaimana mungkin menasehati pemerintah itu harus secara rahasia?
Sebagian orang mewajibkan menasehati pemerintah secara terang-terangan berdalih dengan peristiwa sejarah, seperti sikap Abu Hazim terhadap Sulaiman bin Abdul malik, Malik bin Dinar terhadap pemimpin Bashroh, Abu Muslim Al Khoulani terhadap Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap Qothlobuq Al Kabir dan selainnya. Peristiwa sejarah ini tentu saja tidak boleh diabaikan, lalu bagaimana mungkin menasehati pemerintah itu harus secara rahasia?
Jawab:
Permasalahan ini dikembalikan pada perbedaan kondisi zaman. Hal ini serupa dengan masalah pemutusan hubungan, hajr (isolasi) dan ucapan yang kasar semisal …Alloh melaknatmu… dan selainnya. Hukum ini juga seiring dengan perkataan banyak Doktor -para Doktor akhir zaman-, hanya saja mereka menempatkan bukan pada tempatnya, dan banyak menyelewengkan nash-nash syar’i. Perkataan mereka yang dimaksud adalah “hukum itu berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat”.
Permasalahan ini dikembalikan pada perbedaan kondisi zaman. Hal ini serupa dengan masalah pemutusan hubungan, hajr (isolasi) dan ucapan yang kasar semisal …Alloh melaknatmu… dan selainnya. Hukum ini juga seiring dengan perkataan banyak Doktor -para Doktor akhir zaman-, hanya saja mereka menempatkan bukan pada tempatnya, dan banyak menyelewengkan nash-nash syar’i. Perkataan mereka yang dimaksud adalah “hukum itu berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat”.
Kita katakan
“menerapkan perkataan ini secara sama rata adalah batil. Jika yang dimaksud
adalah hukum-hukum yang boleh berijtihad padanya, lalu berdasarkan hukum-hukum
tersebut, seorang mujtahid memperhatikan fenomena yang ada di zamannya kemudian
menerapkan hukum yang sesuai dengan zamannya, maka ini diperbolehkan. Adapun
hukum tentang harom, halal, riba, zina dan pencurian maka tidak berubah sampai
hari kiamat. Sekarang kita katakan bahwa peristiwa sejarah di muka wajib kita
ambil sebagai pelajaran yang memerintahkan kepada kebaikan dan yang
diperingatkan. Keadaan mereka (orang-orang yang disebut dalam soal di atas)
sangat berbeda dengan keadaan orang-orang itu dimana mereka menyangka bahwa
sekedar bersinggungan dengan kebenaran berarti benar. Sedang orang-orang salaf
itu sangat memperhatikan (faktor-faktor): keberadaan penguasa yang dinasehati
dengan sikon yang melingkupinya. Adapun penerapan kaedah tersebut di masa ini
sangat bertolak belakang. Maka metode dakwah yang pas lagi bil hikmah pada
zaman itu adalah seperti yang diterapkan para ulama tersebut. Tetapi pada zaman
sekarang sangat berbeda, karena dewasa ini kebanyakan kita jahil terhadap ilmu
syar’i. Tidak mampu menerapkan sikap hikmah yang dikecap oleh mereka. Alloh
berfirman:
(barangsiapa diberi hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang sangat
banyak).
Soal:
Masih berkaitan dengan soal di atas, sebagian khotib pada hari Jum’at berkhotbah dengan mencela penguasa atau semacamnya. Akibatnya khotbah dihentikan atau manusia tidak bisa lagi mendengarkannya. Terlebih bila sang khotib adalah orang yang mempunyai ilmu atau orang yang faqih? Bagaimana nasehat anda?
Masih berkaitan dengan soal di atas, sebagian khotib pada hari Jum’at berkhotbah dengan mencela penguasa atau semacamnya. Akibatnya khotbah dihentikan atau manusia tidak bisa lagi mendengarkannya. Terlebih bila sang khotib adalah orang yang mempunyai ilmu atau orang yang faqih? Bagaimana nasehat anda?
Jawab:
Demikian juga persoalan ini, saya berpendapat metode ini tidak boleh diterapkan. Terutama dalam khotbah. Karena adanya perbedaan-perbedaan yang telah saya sebutkan tadi. Sebab, cacian dan celaan ini tidak akan memberi faedah bagi penguasa, bahkan akan muncul kerusakan yang lebih besar. Jika kerusakannya tidak berkurang maka itu merupakan kejelekan seluruhnya. Pada kenyataan metode ini berseberangan dengan dakwah dan metode yang kami serukan sejak sepuluh tahun yaitu tashfiyah dan tarbiyah (pemurnian agama dari anasir yang tidak termasuk dien dan pendidikan manusia dengan syariat agama yang telah ditashfiyah tadi).
Demikian juga persoalan ini, saya berpendapat metode ini tidak boleh diterapkan. Terutama dalam khotbah. Karena adanya perbedaan-perbedaan yang telah saya sebutkan tadi. Sebab, cacian dan celaan ini tidak akan memberi faedah bagi penguasa, bahkan akan muncul kerusakan yang lebih besar. Jika kerusakannya tidak berkurang maka itu merupakan kejelekan seluruhnya. Pada kenyataan metode ini berseberangan dengan dakwah dan metode yang kami serukan sejak sepuluh tahun yaitu tashfiyah dan tarbiyah (pemurnian agama dari anasir yang tidak termasuk dien dan pendidikan manusia dengan syariat agama yang telah ditashfiyah tadi).
Kesimpulannya:
metode di atas adalah keliru.
Penulis: Abu Nu’aim Al atsari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar