Masalah bai’at cukup ramai dalam dunia dakwah, simpang
siur pendapat dalam masalah ini cukup membuat bingung para penganut jama’ah
dakwah bahkan para aktivisnya. Namun sangat disayangkan kebanyakan mereka
tatkala membahas masalah yang satu ini tidak merujuk kepada penjelasan para
ulama Ahlussunnah.
Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran
mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan
pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali
pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap
saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya
hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at.
Nah kami mengajak anda para pembaca untuk mengetahui
sejauhmana sesungguhnya ajaran Islam tentang bai’at ini. Oleh karenanya mohon
tulisan sederhana ini dibaca dengan seksama, tanpa curiga sampai tuntas pada
akhirnya kemudian kita koreksi amal kita dengan penuh kejujuran dan keadilan.
Sehingga kita tidak menjadikan bai’at sebagai sarana kepentingan pribadi maupun
kelompok bahkan semata-mata melakukan agama Allah yang mulia. Semoga Allah
memberikan kepada kita petunjuk kepada jalan yang lurus dan Ia ridhoi.
Definisi bai’at
Shiddiq Hasan Khan (wafat:1307 H) dalam bukunya ‘Iklil
al karamah’ hal:26 mengatakan: Ketahuilah bahwa bai’at adalah berjanji untuk
taat, seolah-olah seorang yang berbai’at berjanji kepada pimpinannya untuk
menyerahkan kepadanya urusan dirinya dan urusan kaum muslimin untuk tidak
menentangnya pada masalah apapun dalam urusan itu serta mentaatinya pada apa
yang ia bebankan kepadanya dari perintahnya baik dalam keadaan suka atau duka.
Dulu jika mereka berbaiat kepada pimpinan dan mengikat
janjinya mereka meletakkan tangan di atas tangan pimpinannya untuk menekankan
janji itu, sehingga dengan itu mereka menyerupai perbuatan penjual bersama
pembelinya maka dinamailah Bai’at. Bentuk mashdar dari kata ( باع
)
-yang berarti menjual- sehingga jadilah kata bai’at berarti berjabat tangan.
Hukum bai’at
Tidak diragukan lagi tentang disyariatkanya berbaia’at
hal itu karena banyaknya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menerangkan tentang bai’at ini, demikian pula menunjukan bahwa beliau membai’at
para sahabatnya dalam beberapa kesempatan. Diantaranya :
عن مجاشع بن مسعود السلمي قال : جئت
بأخي أبي معبد إلى رسول الله صلى الله
عليه وسلم بعد الفتح فقلت يا رسول الله بايعه على الهجرة قال قد مضت الهجرة بأهلها قلت فبأي شيء تبايعه
قال على الإسلام والجهاد والخير
Dari Mujasyi’ bin Mas’ud as Sulami saya berkata Aku
datang bersama saudaraku Abu ma’bad kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam setalah fathu makkah (pembukaan kota Makkah) maka saya katakan: Wahai
Rasulullah: Bai’atlah dia untuk berhijrah. Beliau mengatakan: Sesungguhnya
hijrah telah berlalu bersama orang-orang yang melakukannya. Saya katakan: Lalu
diatas apa engkau membai’atnya? Ia berkata: Di atas Islam, jihad dan kebaikan.
[shahih, HR Muslim no:4804 cet, Darul Ma’rifah]
عن عبد الله بن عمر يقول : كنا نبايع
رسول الله صلى الله عليه وسلم على السمع و الطاعة يقول لنا فيما استطعت
Dari Abdullah Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu, ia
mengatakan: Dulu kita berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk patuh dan taat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Pada
apa yang aku mampu” [Shahih, HR Muslim no: 4813 cet, Darul Ma’rifah] Yakni
katakan: “Pada apa yang aku mampu” – demikian penjelasan Nawawi.
Al Qurthubi (Wafat.671 H) dalam tafsirnya (1:272 cet.
Darus Sya’b) mengatakan: Dan jika kepemimpinan telah terwujud…maka wajib bagi
rakyat seluruhnya untuk membai’atnya untuk patuh dan ta’at untuk menegakkan
kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka barangsiapa yang tidak berbai’at karena udzur dia diberi udzur/maaf
dan barangsiapa yang tanpa udzur maka dia dipaksa (untuk berbai’at), agar
kesatuan kaum muslimin tidak terpecah.
Demikianlah syar’inya bai’at, lantas apa hukuman bagi mereka yang tidak berbaiat?
Tentu ia telah meninggalkan sesuatu yang disyariatkan.
Demikianlah syar’inya bai’at, lantas apa hukuman bagi mereka yang tidak berbaiat?
Tentu ia telah meninggalkan sesuatu yang disyariatkan.
Apa hukumannya kafir atau berdosakah dia?
Kalau berdosa tentu, namun untuk dikatakan kafir apa
dalilnya?
Barangkali ada orang mengatakan dalilnya adalah Hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ
بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang meninggal dan pada lehernya tidak
terdapat baiat (tidak berbai’at) maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyyah. [Shahih, HR
Muslim no:4770 cet:darul ma’rifah]
dimana Nabi mengatakan mati jahiliyyah, berarti kafir.
dimana Nabi mengatakan mati jahiliyyah, berarti kafir.
1.
Menjawab pernyataan itu kami katakan bahwa perlu dipahami hal-hal berikut:
Secara umum kata jahiliyyah itu sendiri tidak menunjukan kufur karena makna Jahiliyyah terambil dari kata (الجَهْل ) jahl yang berarti bodoh. Jaman jahiliyyah adalah jaman kebodohan, yang dimaksud dalam istilah syariat kita adalah keadaan yang ada padanya orang-orang arab sebelum Islam dari kebodohan terhadap Allah, para Rasul-Nya dan syariat-Nya.
Secara umum kata jahiliyyah itu sendiri tidak menunjukan kufur karena makna Jahiliyyah terambil dari kata (الجَهْل ) jahl yang berarti bodoh. Jaman jahiliyyah adalah jaman kebodohan, yang dimaksud dalam istilah syariat kita adalah keadaan yang ada padanya orang-orang arab sebelum Islam dari kebodohan terhadap Allah, para Rasul-Nya dan syariat-Nya.
Kebodohan yang dimaksud mencakup beberapa hal:
a. Tidak tahu yang haq.
b. Meyakini lawan dari al haq.
c. Mengatakan sesuatu yang tidak benar apakah dia tahu
kebenaran atau tidak.
d. Semua yang menyelisihi apa yang dibawa Rasul
termasuk yahudi dan nasrani.[lihat: Iqtidho’ Shiraatil mustaqim:1/256-259 dan
Kitabut Tauhid karya Shalih al Fauzan:21-22]
Oleh karenanya sebagian dosa disebut jahiliyyah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi tidak bararti bahwa dosa itu kekafiran sama sekali. Contohnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Oleh karenanya sebagian dosa disebut jahiliyyah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi tidak bararti bahwa dosa itu kekafiran sama sekali. Contohnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ فِي
أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ
الفًخْرُ فِي الأَحْسَابِ وِ الطَّعْنُ فِي الأَنْسَابِ وَ الإِسْتِسْقاَءُ بِالنُّجُوْمِ وَ
النِّيَاحَةُ
Ada empat perkata pada umatku termasuk karakter
jahiliyyah mereka tidak akan meninggalkannya: berbangga dengan kebanggaan
nasab, mencela nasab, minta hujan dengan bintang dan meratapi mayat [Shahih, Hadits
Riwayat Muslim dari Abu Malik al Asy’ari]
Sehingga kalau hadits diatas ditafsiri kufur hanya
karena kata jahiliyyah maka tidak benar.
2. Bahwa kata miitah (مِيْتَةً
) dengan
mengkasrohkan mim seperti dikatakan Imam an Nawawi (wafat: 676 H) dalam syarah
Muslim (juz :12 hal: 441) Isim ini dalam ilmu nahwu menunjukkan Hai’ah,
maksudnya adalah menunjukan keadaan. Jadi artinya:…mati seperti keadaan
jahiliyyah. Nah, kesamaan dengan jahiliyyah disini dalam hal apanya? Karena
kita tahu bahwa keadaan jahiliyyah itu mencakup banyak hal, kalau dikatakan
semua keadaannya sama, tentu tidak benar. Kalau dikatakan sebagian keadaannya,
maka pada keadaan yang mana? Untuk mengetahuinya kita perlu kembali kepada
penjelasan para Ulama bukan dengan menafsiri hadits semau kita demi kepentingan
kita baik secara pribadi atau jama’ah. Untuk itu saya akan nukilkan ucapan para
ulama dalam menafsirkan hadits itu.
Imam Nawawi mengatakan maksud hadits itu: Maksudnya
seperti keadaan matinya orang jahiliyyah dari sisi mereka itu kacau tidak punya
imam [syarh Shahih Muslim:12/441]
Ibnu Hajar (wafat:852 H) mengatakan: Yang dimaksud
(mati dalam keaadaan jahiliyyah) adalah keadaan matinya seperti matinya orang
jahiliyyah yakni diatas kesesatan tidak punya imam yang ditaati karena mereka
dulu tidak tahu yang demikian. Bukan yang dimaksud ia mati kafir, bahkan
(maksudnya) mati dalam keadaan maksiat…[fathul bari syarah Shahih Bukhari:13/7]
As Suyuthi (wafat: 911 H) mengatakan: Yakni seperti
matinya orang-orang jahiliyyah diatas kesesatan dan perpecahan [Zahrurruba,
syarah Nasa’I juz:7-8/139]
As Sindi (wafat:1138 H) mengatakan: Yang dimaksud
seperti matinya orang-orang jahiliyyah diatas kesesatan bukan yang dimaksud
kekafiran [hasyiah/catatan kaki pada Nasa’I juz:7-8/139]
Jadi, dari penjelasan para ulama pada Syarah Bukhari,
Muslim dan Nasa’i kita tahu bahwa tidak satupun dari mereka manafsiri kata
jahiliyah itu dengan makna kafir, oleh karenanya ambillah keterangan dari
mereka.
Barangkali juga ada orang berdalil dengan hadits
berikut, untuk mengatakan bahwa orang yang keluar dari jama’ah dan tidak
berbai’at kafir, yaitu hadits:
من فارق الجماعة شبرا فقد خلع ربقة
الإسلام من عنقه
Barangsiapa yang memisahkan dari jama’ah sejengkal,
maka ia telah melepas kalung Islam dari lehernya [Shahih, HR Abu Dawud dengan
lafadz ini dan dishahihkan oleh syekh al Albani dalam Shahih Sunan Abu
Dawud:4758 dari sahabat Abu Dzar]
Apa sesungguhnya makna ‘ia melepas kalung Islam dari
lehernya’ apakah artinya kafir?
Secara ringkas kita katakan: Tidak, karena kita
melihat ancaman/vonis yang sama dengannya dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
من تولى غير مواليه فقد خلع ربقة
الإيمان من عنقه
Barangsiapa (budak) yang berwali kepada selain tuan
yang membebaskannya maka Ia telah melepas kalung keimanan dari lehernya [Shahih, HR ahmad
dalam musnadnya:3/332 dan dishahihkan oleh syekh al Albani dalam Silsilah ash
Shahihah no:2329 dan dalam Shahih Jami’ as Shaghir no: 6181 dengan lafadz : ربقة الإ سلام ‘kalung keislaman’ ]
Al Imam an Nawawi menerangkan hadits yang semakna
dengannya dalam syarah shahih muslim katanya: Di dalamnya terdapat larangan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang budak yang dibebaskan untuk
berwali kepada selain yang membebaskan dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaknatinya …dan ini haram karena ia menelantarkan hak orang yang
memberikan nikmat padanya [syarah Shahih Muslim :10/388, cet Darul ma’rifah]
Demikian pula ancaman yang sama ada dalam ucapan
Abdullah Ibnu Abbas seperti yang diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dari Sufyan ats
Tsauri dari Ibrahim Ibnul Muhajir dari Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa ia
menawarkan kepada budaknya kebutuhan pernikahan dan beliau mengatakan: Siapakah
diantara kalian yang mau kebutuhan nikah? sesungguhnya tidaklah seorang pelaku
zina melakukan zina kecuali Allah akan cabut darinya kalung Islam maka jika
Allah ingin mengambalikannya Allah akan kembalikan dan jika Allah tidak ingin
mengembalikannya maka tidak Allah kembalikan. [Riwayat Abdurrazzaq dalam al
Mushonnaf :7/417]
Pada dua riwayat diatas terdapat vonis ‘ia telah
melepas kalung Islam dari lehernya’ bagi dua pelaku dosa yaitu seorang budak
yang tidak berwali kepada yang membebaskannya dan seorang yang melakukan
perbuatan zina. Sedangkan kita ketahui bersama dalam pandangan ahlussunnah wal
jama’ah bahwa dua perbuatan itu adalah dosa yang tidak mencapai derajat
kekafiran dan pelakunya tidak dikafirkan (dipertegas dengan hadits Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam yang lain bahwa beliau bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang mengatakan Lailaha illallah
lalu mati diatas kalimat itu maka ia akan masuk surga.” Abu Dzar
mengatakan, “walaupun berzina dan mencuri ?” Nabi mengatakan “walaupun berzina dan mencuri” .
Abu Dzar mengatakan,”walaupun berzina dan mencuri ?” nabi mengatakan, “walaupun berzina dan mencuri.”
sampai ia katakan tiga kali dan yang keempat kalinya Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam mengatakan: “walaupun abu Dzar
tidak suka.” kemudian Abu Dzar keluar dan mengatakan, “walaupun Abu Dzar tidak suka”. [HR
Muslim no:269 cet Darul Ma’rifah] - pen). Sehingga vonis di atas tidak
menunjukkan kekafiran.
Demikian pula ketika vonis itu diberikan kepada orang
yang tidak berbai’at maka sama saja maknanya yakni tidak keluar dari Islam
menuju kekafiran, namun jatuh dalam pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah,
sebagaimana kita akan lihat penjelasan ulama pada kata خلع ربقة الإسلام من عنقه ‘ia telah melepas kalung Islam dari lehernya’.
Mari kita melihat keterangan para ulama:
Nu’aim bin Hammad mengatakan kepada Sufyan bin
‘Uyainah: apa pendapatmu tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‘Barangsiapa yang meninggalkan jama’ah maka ia telah menanggalkan kalung Islam
dari lehernya’ maka Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: Barangsiapa yang
meningalkan jama’ah ia telah menanggalkan ketaatan kepada Allah dan tidak
berserah diri kepada perintah-Nya, kepada Rasul dan kepada pimpinan dan saya
tidak mengetahui seseorang diberi hukuman lebih dari hukuman mereka ……Ini pada
orang-orang Islam [at Tamhid karya Ibnu Abdil bar 21:283]
Al Khattabi (wafat:388 H) mengatakan:”Ribqoh artinya
sesuatu yang dikalungkan di leher binatang..(Maksudnya) dia telah tersesat dan
binasa dan menjadi seperti binatang jika dilepaskan dari kalungnya yang terikat
padanya maka binatang tersebut tidak aman dari binasaan dan hilang [Aunul
ma’bud syarh sunan Abu Dawud:13/72-73]
Al Mubarakfuri mengatakan: Ribqoh…maksudnya apa yang
diikatkan oleh seorang muslim pada dirinya dari ikatan Islam yakni
batasan-batasannya, hukum-hukumnya, perintah-perintah dan larangannya. Sebagian
mengatakan: ia telah membuang perjanian Allah, membatalkan tangung jawabnya
yang melekat pada leher-leher hamba. [ tuhfatul Ahwadzi syarah sunan at
Tirmidzi :8/131]
Al Munawi mengatakan: (Maksudnya) menyepelekan
aturan-aturan Allah, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya serta
meninggalkannya secara keseluruhan [faidhul Qodir:6/11]
As Suyuthi mengatakan: Maksudnya apa yang diikatkan
oleh seorang muslim pada dirinya dari ikatan Islam yakni batasan-batasannya,
hukum-hukumnya, perintah-perintah dan larangannya. [Syarh Suyuthi pada sunan an
Nasa’i:8/65]
Demikian kata para ulama, tidak terdapat dari mereka
tafsir bahwa maksudnya kafir dan keluar dari Islam.
Tata cara berbai’at
Tata cara berbai’at kepada Imam adalah sebagaimana
dijelaskan oleh al Ubbi dalam bukunya Syarah Muslim: 4/44, katanya: Barangsiapa
yang termasuk anggota ahlul halli wal Aqd dan yang masyhur maka bai’atnya
dengan ucapan dan bersalaman dengan tangannya jika dia hadir, atau dengan
ucapan saja serta dipersaksikan jika dia tidak hadir. Dan cukup bagi yang tidak
dikenal dan tidak diketahui hanya dengan meyakini bahwa ia berkewajiban untuk
mentaati pimpinan tersebut serta tunduk dan taat padanya baik dalam keadaan
tersembunyi atau terang-terangan serta tidak meyakini sebaliknya (yakni lawan
dari keyakinan yang disebutkan,pent), kalau ia menyembunyikan keyakinan itu
(tidak berbai’at) lalu mati, maka matinya seperti keadaan jahiliyyah, karena ia
tidak menjadikan pada lehernya bai’at. [dinukil dari fiqih siasah
syariyyah:157]
Kepada Siapa Kita Berbai’at
Ini yang sangat perlu kita ketahui karena banyak
terjadi kesalahpahaman sehingga demikian banyak bai’at-bai’at di dunia ini,
banyak kelompok-kelompok menjadikan pimpinannya sebagai amir lalu membai’atnya
dengan berdalil hadtis-hadits nabi tentang bai’at. Oleh karenanya akan kami
nukilkan disini penjelasan sebagian ulama dalam hal ini.
Syekh Shaleh al Fauzan ditanya tentang bai’at,
jawabnya: Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyul amr-nya (penguasa) kaum
muslimin adapun bai’at-baiat yang ada ini adalah bid’ah itu akibat dari adanya
ikhtilaf, yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang mereka berada di satu negara
atau satu kerajaan hendaknya bai’at mereka cuma satu dan untuk satu pimpinan
…[Fiqh as Siyasah as Syar’iyyah:281]
Syekh Abu Zaid mengatakan: Bahwa bai’at dalam Islam
hanya satu, yaitu dari orang-orang yang memiliki kekuatan (ahlul hali wal
‘aqdi) untuk waliyul amr/pimpinan dan penguasa kaum muslimin [Hukmul
intima:163]
Nah, bagaimana jika kaum muslimin tidak punya khalifah
yang menguasai mereka diseluruh dunia ini, lantas kepada siapa mereka
berbai’at?
Jawabnya bahwa bai’at itu diberikan kepada pimpinan
kaum muslimin yang muslim di masing-masing negara atau kerajaan mereka, yakni
kita sebagai rakyat bisa berbai’at dengan cara meyakini berkewajiban untuk
mentaati pemimpin tersebut serta mendengar dan taat padanya baik dalam keadaan
tersembunyi atau terang-terangan serta tidak meyakini sebaliknya, semampu kita
pada perkara yang baik menurut syari’at dan tidak mengandung maksiat.
Yang demikian ini dibenarkan karena ini keadaan
darurat. Memang pada asalnya kaum muslimin mestinya punya satu pimpinan tapi jika
itu tidak bisa terwujud di suatu saat maka hukumnya lain, sebagaimana
keterangan para ulama berikut ini:
Ibnu Taimiyyah (wafat: 728 H) menjelaskan: Sunnahnya
kaum muslimin itu memiliki satu imam (Yakni –Wallahu a’lam- khalifah yang
memimpin kaum muslimin sedunia - pen) dan yang lain itu adalah para wakilnya.
Seandainya jika sebuah umat keluar/memisah darinya karena perbuatan maksiat
dari sebagian umat itu atau karena adaya kelemahan dari yang lain sehingga umat
itu memiliki beberapa imam. (Sehingga kaum muslimin terpisah-pisah,
masing-masing dengan pimpinan negaranya atau kerajaannya di negeri-negeri
mereka. Wallahu a’lam. - pen) Maka wajib atas setiap imam (pimpinan negara)
untuk menegakkan hukum-hukum had dan memenuhi hak-hak…ini di saat para amir/imam
(pimpinan negara) itu berpecah dan berbilang. [Majmu’ Fatawa :34/175]
As Shan’ani (wafat: 1182 H) mengatakan ketika
menerangkan hadits: “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan
jama’ah lalu mati maka matinya seperti mati jahiliyyah.” [HR Muslim] ‘keluar
dari ketaatan’ : Maksudnya ketaatan kepada khalifah yang disepakati,
seolah-olah (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maksudkan khalifah/pimpinan
daerah manapun dari daerah-daerah yang ada, karena manusia (sejak) di masa
daulah Abbasiyyah tidak bersepakat pada satu orang khalifah diseluruh
negeri-negeri Islam bahkan penduduk setiap daerah menyendiri dengan pimpinan
yang mengurusi urusan mereka. Dimana kalau hadits itu dibawa/difahami kepada
satu orang khalifah yang telah disepakati orang Islam (seluruhnya, pent) maka
faedah hadits itu tentu menjadi kecil. [Subulussalam:3/499 dinukil dari buku
Mu’amalatul hukkam:35]
Asy Syaukani (wafat: 1255 H) mengatakan: Adapun
setelah tersebarnya Islam dan meluasnya daerahnya serta ujungnya berjauhan,
maka dimaklumi bahwa jadilah kekuasaan di tiap daerah dari daerah-daerah untuk
seorang Imam atau penguasa, demikian pula pada daerah yang lain. Dimana
perintah dan larangan sebagian pimpinan itu tidak terlaksana pada selain
wilayahnya atau beberapa wilayah yang dibawah kepemimpinannya. Oleh karenanya
tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa (bukan hanya satu pimpinan).
Dan atas penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan
(aturan-pent) pimpinan tersebut, wajib mentaati pimpinannya. Demikian pula
keadaannya pada daerah yang lain. Serta tidak wajib bagi penduduk daerah lain
untuk mentaatinya (selain pimpinannya) dan tidak pula (wajib) masuk dalam
kepemimpinannya…ketahuilah hal ini! karena itulah yang sesuai dengan
kaedah-kaedah syari’at dan sesuai dengan dalil-dalil [As Sailul Jarror:4/512
dinukil dari Mu’amalatul hukkam:37 dan ar Raudhatun Nadiyyah: 2/774-775]
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat:1206
H) juga mengatakan: Para Imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang
yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka penguasa itu
memperoleh hukum imam dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan)
dunia ini tidak akan tegak karena manusia sejak waktu yang lama sebelum Imam
Ahmad sampai hari ini mereka tidak sepakat pada seorang imam/pimpinan. Demikian
pula mereka tidak mengetahui seorangpun dari ulama menyatakan bahwa sesuatu
dari sebuah hukum tidak akan sah kecuali dengan imam terbesar (khalifah seluruh
kaum muslimin). [Ad Durar as Saniyyah:7/239 dinukil dari mu’amalatul hukkam:34
lihat pula dalam masalah ini iklilul karamah:127]
Siapa Imam yang dimaksud ?
Apakah setiap yang mengaku imam dimanapun ia berada
berarti dia Imam/pimpinan yang boleh kita berikan bai’at padanya? Tentu tidak.
Sebagaimana kata Shiddiq Hasan Khan: “Tidak terdapat di dalam kitab (al
Qur’an), sunnah (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), ucapan sahabat ataupun
Ijma’ bahwa seseorang yang mengajak manusia untuk membai’atnya kemudian ia
dianggap sebagai Imam sekedar dengan itu, yang harus ditaati dan haram
diselisihi. Bahkan yang ada dalam hadits itu (bunyinya) orang yang berbai’at
kepada seorang Imam maka ia wajib mentaatinya dan haram menyelisihinya,
demikian pula yang terjadi pada para Khulafaurrasyidin (para Khalifah yang
diberi petunjuk, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, red) sesungguhnya tidak
seorangpun dari mereka mengajak (manusia) kepada dirinya dan mengatakan: ‘Aku
adalah Imam aku mengajak kalian untuk taat kepadaku dan berbai’at kepadaku’.
Bahkan mereka membenci yang demikian…”[Iklilul Karamah:127]
Pimpinan yang dimaksud wajib ditaati adalah pimpinan
yang ada pada negara atau kerajaan, yang diketahui serta yang memiliki
kekuasaan dan kekuatan. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah:
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentaati
para pimipinan yang ada dan diketahui (keberadaanya) yaitu yang punya kekuasaan
(dan) mampu dengan kekuasaan itu untuk mengatur manusia (masyarakatnya), bukan
mentaati orang yang tidak ada atau tidak diketahui keberadaanya bukan pula
orang yang tidak punya kekuasaan dan kemampuan atas sesuatu sama sekali
[Minhajussunnah Nabawiyyah:1/115 dinukil dari Mu’amalatul Hukkam:39] yakni yang
punya kekuatan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kepemimpinan, jika dia
memerintahkan untuk mengembalikan hasil perbuatan dhalim maka akan dikembalikan
dan jika seandainya ia memberikan hukum had maka akan ditegakkan, serta jika
memberikan hukuman ta’zir (Ta’zir adalah hukuman yang tidak ada ketentuan
tetapnya, bahkan hukuman yang disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggarannya
dan pelanggarannya itu sendiri dan ditentukan sesuai kebijakan hakim- pen) akan
diterapkan pula pada rakyatnya [Mu’amalatul hukam:40, perhatikan pula
ucapan-ucapan ulama sebelumnya]
Pada Perkara Apa Ditaati
Tentu ketaatan itu sebatas pada perkara yang baik
menurut syari’at, apakah dengan tegas dinyatakan baik oleh syari’at atau pada
perkara yang tidak secara tegas dinyatakan baik namun menurut kaedah-kaedah
umum dalam syari’at bahwa itu baik. Adapun perintah maksiat maka tidak perlu
didengar dan ditaati. Sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam
لاَ طاَعَة لِمَخْلُوْقٍ فِي
مَعْصِيَةِ خَالِقٍ
Tidak ada ketaatan pada makhluq dalam bermaksiat
kepada Khaliq [Shahih, HR Ahmad, at Thabrani, al Hakim dan yang lain dengan
lafadz at Tabrani disahihkan oleh syekh al Albani dalam Silsilah ash
Shahihah:179]
لا طاَعَة فِي المَعْصِيَةِ َ
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي اْلمَعْرُوْفِ
Tidak ada ketaatan pada maksiat, ketaatan itu hanya
dalam kebaikan [Shahih, HR Bukhari dan Muslim]
فَإِنْ أَمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ
سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Maka jika diperintahkan dengan perbuatan maksiat maka
tidak dipatuhi dan tidak ditaati [Shahih, HR Muslim]
Bagaimana jika berbuat kejam?
Walaupun jahat, dhalim, bermaksiat, fasiq,
mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok atau kepentingan asing, tapi
selama ia masih muslim dan belum keluar dari keislamannya maka wajib ditaati
pada perkara yang baik. Berdasarkan sabda Nabi berikut ini:
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ
تُبْغِضُوْنَهُمْ وَ يُبْغِضُوْنَكُمْ
وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ . قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ
نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ:لاَ مَا أَقَامُوْا
فِيْكُمْ الصَّلاَة َوَ إِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا
عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Sejelek-jelek pimpinan kalian adalah yang kalian
membencinya dan mereka membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati
kalian. Dikatakan kepada beliau; Wahai Rasulullah tidakkah kita melawannya
dengan pedang (senjata)? Beliau mengatakan: “Jangan! selama ia mendirikan
shalat pada kalian, dan jika kalian melihat pada pimpinan kalian sesuatu yang
kalian benci, maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari
ketaatan
[Shahih, HR Muslim]
Ubadah bin ash Shamit mengatakan:
بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ
فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَ عُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَ اَثَرَةٍ عَلَيْنا وَ أَلاَّ
نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ ، قَالَ إِلاَّ أَنْ
تَرَوا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ
Kami berbaiat kepada Rasulullah untuk patuh dan taat
baik dalam keadaan kami giat atau terpaksa, susah atau mudah dan dalam keadaan
mereka mengutamakan diri mereka dari pada kami dan agar kami tidak merebut
urusan (kepemimpinan) dari pemiliknya. Beliau bersabda: Kecuali kalian melihat
kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti tentangnya dari Allah [Shahih, HR
Bukhari dan Muslim]
Bai’at model lain
Dengan kita mengetahui bai’at yang Sunnah maka semua
yang selain itu seperti baia’tnya Ikhwanul muslimin, Jama’ah Tabligh, NII,
LDII, dan kelompok-kelompok lain kecil maupun besar adalah bid’ah sebagaimana
dikatakan oleh syekh Shalih al Fauzan: “Bai’at tidak diberikan kecuali kepada
waliyul amr-nya (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-baiat yang ada ini
adalah bid’ah itu akibat dari adanya ikhtilaf, yang wajib dilakukan oleh kaum
muslimin yang mereka berada di satu negara atau satu kerajaan hendaknya bai’at
mereka cuma satu dan untuk satu pimpinan…”[dinukil dari Fiqh as Siyasah as
Syar’iyyah:281]
Demikian pula dikatakan oleh syekh Abu Zaid: “Bai’at
ini (bai’at sufi atau bai’at kelompok-kelompok) adalah bai’at bid’ah dan baru.”
[Hukmul intima’:162]
Mengapa dihukumi bid’ah? Karena alasan-alasan berikut
ini:
1. Kaum muslimin terutama generasi awal umat ini dan
setelahnya dari para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in tidak mengetahuinya dan tidak
mengenalnya, mereka hanya kenal satu bai’at yaitu untuk pimpinan kaum muslimin
sebagimana keterangan di atas.
Said bin Zubair –seorang Tabi’in- mengatakan: Sesuatu yang tidak diketahui oleh para ahli Badr (sahabat ahli badar) maka bukan bagian dari agama [Fatawa:4/5 dinukil dari Hukmul Intima’:165]. Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang semasa sahabat bukan sebagai agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” [idem]
Said bin Zubair –seorang Tabi’in- mengatakan: Sesuatu yang tidak diketahui oleh para ahli Badr (sahabat ahli badar) maka bukan bagian dari agama [Fatawa:4/5 dinukil dari Hukmul Intima’:165]. Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang semasa sahabat bukan sebagai agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” [idem]
2. Islam telah melarang berbilangnya bai’at, yakni
tatkala di sebuah negeri telah dibai’at seorang pimpinan maka dilarang
membai’at yang lain apa lagi yang lain itu hanya seorang yang mengaku imam dan
tidak punya kekuasaan, bahkan ia dikuasai oleh pimpinan di negeri tersebut.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إذا بويع لخليفين فاقتلوا الآخر
منهما
Jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir
dari keduanya [Shahih, HR Muslim dari Abu Said]
3. Tidak
memiliki dalil dari al Quran maupun as Sunnah ataupun Ijma’. Kalaupun mereka
mendasari dengan hadits maka tentu itu berdalil bukan pada tempatnya karena
hadits-hadits bai’at itu berkaitan dengan waliyyul arm- muslimin (penguasa)
sebagaimana keterangan diatas bukan pada pimpinan jama’ah dan sejenisnya. Dan
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan bukan atas
perintah/agama kami maka itu tertolak.” [Shahih, HR Muslim dari
‘Aisyah]
4.
Pengingkaran para ulama terhadapnya dan itu memperkuat bahwa bai’at mereka
tidak bersandar pada dalil, di antara ulama yang mengingkari mereka adalah Ibnu
Taimiyyah, beliau mengatakan: Dan tidaklah boleh bagi seorangpun dari mereka
untuk mengambil janji setia dari seorang yang lain untuk sepakat dengannya
dalam segala apa yang ia inginkan dan untuk berloyal pada orang yang berloyal
padanya, serta untuk memusuhi orang yang memusuhinya. Bahkan orang yang
melakukan demikian itu berarti ia sejenis dengan Jenghiz Khan dan semacamnya
yang menjadikan orang yang sepakat dengan mereka sebagi teman yang loyal dan
yang menyelisihi mereka sebagai musuh yang jahat. [Majmu’ Fatawa:28/16].
Bahkan jauh sebelumnya diriwayatkan bahwa seorang
Tabi’in bernama Mutharrif bin Abdillah bin Syikhkhir mengingkari Zaid bin
Shouhan dalam hal tulisan perjanjian yang ia siapkan untuk orang lain.
Mutharrif mengatakan:”…Saya mendatanginya (Zaid bin Shouhan) di suatu hari dan
mereka (yang bersama zaid) sudah menuliskan sebuah tulisan serta sudah mereka
rapikan redaksinya sebagaimana berikut ini: Sesungguhnya Allah Rabb Kami
Muhammad Nabi kami, al Qur’an Imam kami dan barangsiapa bersama kami maka kami
mendukungnya dan barangsiapa yang menyelisihi kami, maka tangan kami akan
melawannya dan kami… dan kami…. Lantas ia sodorkan tulisan itu kepada seorang
demi seorang dan mereka mengatakan: “Apakah engkau sudah mengikrarkannya wahai
fulan?”, sehingga sampai pada giliran saya maka mereka pun mengatakan: “Apakah
kamu sudah mengikrarkannya wahai anak?” Akupun menjawab: “Tidak!.” Zaid bin
Shouhan mengatakan (kepada petugasnya, pent): “Jangan kalian terburu-buru pada
anak ini, apa yang kamu katakan wahai anak?” Saya katakan: “Bahwa Allah telah
mengambil janji atas diriku dalam kitab-Nya, maka saya tidak akan mengambil
janji lagi selain janji yang Allah telah ambil atas diriku.” Maka kaum itupun
akhirnya tidak seorangpun dari mereka mengikrarkannya. [Riwayat Abu Nu’aim
dalam Hilyatul Auliya:2/204 dengan sanadnya sampai kepada Mutharrif] dan jumlah
mereka saat itu kurang lebih 30 orang.
5. Pendahulu mereka yang melakukan bai’at ini adalah
aliran sufi dimana merekalah yang dikenal mengunakan cara ini untuk mengikat
murid-muridnya.
6. Baiat bid’ah ini menyebabkan sekian banyak
pelanggaran syari’at, diantaranya apa yang disebut dalam penjelasan setelah
ini.
Akibat jelek dari bai’at yang bid’ah:
Banyak sekali akibat jelek darinya diataranya:
1. Berwala’ dan bara’ bukan karena Islam tapi karena
kelompok
2. Menyebabkan terpecahbelahnya umat.
3. Menyebabkan permusuhan antar sesama muslim bahkan
antar kerabat, lebih dari itu tak jarang sampai saling mengkafirkan.
4. Berbuat bid’ah dan menyalahi hadits-hadits yang
shahih.
5. Merendahkan muslimin yang lain dan tidak memberikan
hak sesama muslim bahkan bersikap keras terhadap mereka.
6. Menimbulkan kesombongan pada diri mereka seolah
merekalah yang paling benar.
7. Membuat fitnah diumat ini semakin panjang.
8. Fanatik/ta’ashub kepada Imamnya.
9. Membuka jalan bagi orang yang berkepentingan
pribadi atau kelompok untuk menggunakan bai’at ini sebagai sarana memenuhi
kebutuhannya.
10. Mengungkung pengikutnya dalam ruang yang sempit.
11. Hilangnya atau berkurangnya kewibawaan pemerintah.
12. Tidak ditaati atau dipatuhi penguasa yang
sebenarnya.
13. Taklid buta pada amir jama’ah-jama’ah sempalan.
Bagaimana dengan yang terlanjur bai’at ?
Disebutkan dalam buku Hukmul Intima’ : 164 bahwa:
“Semua bai’at yang tidak ada asal usulnya dalam syari’at maka janjinya tidak
harus (ditaati), atas dasar itu tidak ada dosa untuk ditingalkan dan
dibatalkan, bahkan dosa itu tertimpa pada pengikat janji tersebut, hal itu
karena beribadah kepada Allah dengannnya merupakan perkara yang baru/bid’ah dan
tidak ada asalnya (dalam syari’at)”.
Al-Ustadz Qomar Su’aidi hafizahullah Ta’ala
Sumber: www.salafy.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar