Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Kamis, 12 Juli 2012

BAI’AT DALAM TIMBANGAN SYARI’AT




Masalah bai’at cukup ramai dalam dunia dakwah, simpang siur pendapat dalam masalah ini cukup membuat bingung para penganut jama’ah dakwah bahkan para aktivisnya. Namun sangat disayangkan kebanyakan mereka tatkala membahas masalah yang satu ini tidak merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlussunnah.

Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at.
Nah kami mengajak anda para pembaca untuk mengetahui sejauhmana sesungguhnya ajaran Islam tentang bai’at ini. Oleh karenanya mohon tulisan sederhana ini dibaca dengan seksama, tanpa curiga sampai tuntas pada akhirnya kemudian kita koreksi amal kita dengan penuh kejujuran dan keadilan. Sehingga kita tidak menjadikan bai’at sebagai sarana kepentingan pribadi maupun kelompok bahkan semata-mata melakukan agama Allah yang mulia. Semoga Allah memberikan kepada kita petunjuk kepada jalan yang lurus dan Ia ridhoi.
Definisi bai’at
Shiddiq Hasan Khan (wafat:1307 H) dalam bukunya ‘Iklil al karamah’ hal:26 mengatakan: Ketahuilah bahwa bai’at adalah berjanji untuk taat, seolah-olah seorang yang berbai’at berjanji kepada pimpinannya untuk menyerahkan kepadanya urusan dirinya dan urusan kaum muslimin untuk tidak menentangnya pada masalah apapun dalam urusan itu serta mentaatinya pada apa yang ia bebankan kepadanya dari perintahnya baik dalam keadaan suka atau duka.
Dulu jika mereka berbaiat kepada pimpinan dan mengikat janjinya mereka meletakkan tangan di atas tangan pimpinannya untuk menekankan janji itu, sehingga dengan itu mereka menyerupai perbuatan penjual bersama pembelinya maka dinamailah Bai’at. Bentuk mashdar dari kata ( باع ) -yang berarti menjual- sehingga jadilah kata bai’at berarti berjabat tangan.
Hukum bai’at
Tidak diragukan lagi tentang disyariatkanya berbaia’at hal itu karena banyaknya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan tentang bai’at ini, demikian pula menunjukan bahwa beliau membai’at para sahabatnya dalam beberapa kesempatan. Diantaranya :
عن مجاشع بن مسعود السلمي قال : جئت بأخي أبي معبد إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد الفتح فقلت يا رسول الله بايعه على الهجرة قال قد مضت الهجرة بأهلها قلت فبأي شيء تبايعه قال على الإسلام والجهاد والخير
Dari Mujasyi’ bin Mas’ud as Sulami saya berkata Aku datang bersama saudaraku Abu ma’bad kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setalah fathu makkah (pembukaan kota Makkah) maka saya katakan: Wahai Rasulullah: Bai’atlah dia untuk berhijrah. Beliau mengatakan: Sesungguhnya hijrah telah berlalu bersama orang-orang yang melakukannya. Saya katakan: Lalu diatas apa engkau membai’atnya? Ia berkata: Di atas Islam, jihad dan kebaikan. [shahih, HR Muslim no:4804 cet, Darul Ma’rifah]
عن عبد الله بن عمر يقول : كنا نبايع رسول الله صلى الله عليه وسلم على السمع و الطاعة يقول لنا فيما استطعت
Dari Abdullah Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: Dulu kita berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk patuh dan taat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Pada apa yang aku mampu” [Shahih, HR Muslim no: 4813 cet, Darul Ma’rifah] Yakni katakan: “Pada apa yang aku mampu” – demikian penjelasan Nawawi.
Al Qurthubi (Wafat.671 H) dalam tafsirnya (1:272 cet. Darus Sya’b) mengatakan: Dan jika kepemimpinan telah terwujud…maka wajib bagi rakyat seluruhnya untuk membai’atnya untuk patuh dan ta’at untuk menegakkan kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka barangsiapa yang tidak berbai’at karena udzur dia diberi udzur/maaf dan barangsiapa yang tanpa udzur maka dia dipaksa (untuk berbai’at), agar kesatuan kaum muslimin tidak terpecah.
Demikianlah syar’inya bai’at, lantas apa hukuman bagi mereka yang tidak berbaiat?
Tentu ia telah meninggalkan sesuatu yang disyariatkan.
Apa hukumannya kafir atau berdosakah dia?
Kalau berdosa tentu, namun untuk dikatakan kafir apa dalilnya?
Barangkali ada orang mengatakan dalilnya adalah Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang meninggal dan pada lehernya tidak terdapat baiat (tidak berbai’at) maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyyah. [Shahih, HR Muslim no:4770 cet:darul ma’rifah]
dimana Nabi mengatakan mati jahiliyyah, berarti kafir.
1. Menjawab pernyataan itu kami katakan bahwa perlu dipahami hal-hal berikut:
Secara umum kata jahiliyyah itu sendiri tidak menunjukan kufur karena makna Jahiliyyah terambil dari kata (
الجَهْل ) jahl yang berarti bodoh. Jaman jahiliyyah adalah jaman kebodohan, yang dimaksud dalam istilah syariat kita adalah keadaan yang ada padanya orang-orang arab sebelum Islam dari kebodohan terhadap Allah, para Rasul-Nya dan syariat-Nya.
Kebodohan yang dimaksud mencakup beberapa hal:
a. Tidak tahu yang haq.
b. Meyakini lawan dari al haq.
c. Mengatakan sesuatu yang tidak benar apakah dia tahu kebenaran atau tidak.
d. Semua yang menyelisihi apa yang dibawa Rasul termasuk yahudi dan nasrani.[lihat: Iqtidho’ Shiraatil mustaqim:1/256-259 dan Kitabut Tauhid karya Shalih al Fauzan:21-22]
Oleh karenanya sebagian dosa disebut jahiliyyah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi tidak bararti bahwa dosa itu kekafiran sama sekali. Contohnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الفًخْرُ فِي الأَحْسَابِ وِ الطَّعْنُ فِي الأَنْسَابِ وَ الإِسْتِسْقاَءُ بِالنُّجُوْمِ وَ النِّيَاحَةُ
Ada empat perkata pada umatku termasuk karakter jahiliyyah mereka tidak akan meninggalkannya: berbangga dengan kebanggaan nasab, mencela nasab, minta hujan dengan bintang dan meratapi mayat [Shahih, Hadits Riwayat Muslim dari Abu Malik al Asy’ari]
Sehingga kalau hadits diatas ditafsiri kufur hanya karena kata jahiliyyah maka tidak benar.
2. Bahwa kata miitah (مِيْتَةً ) dengan mengkasrohkan mim seperti dikatakan Imam an Nawawi (wafat: 676 H) dalam syarah Muslim (juz :12 hal: 441) Isim ini dalam ilmu nahwu menunjukkan Hai’ah, maksudnya adalah menunjukan keadaan. Jadi artinya:…mati seperti keadaan jahiliyyah. Nah, kesamaan dengan jahiliyyah disini dalam hal apanya? Karena kita tahu bahwa keadaan jahiliyyah itu mencakup banyak hal, kalau dikatakan semua keadaannya sama, tentu tidak benar. Kalau dikatakan sebagian keadaannya, maka pada keadaan yang mana? Untuk mengetahuinya kita perlu kembali kepada penjelasan para Ulama bukan dengan menafsiri hadits semau kita demi kepentingan kita baik secara pribadi atau jama’ah. Untuk itu saya akan nukilkan ucapan para ulama dalam menafsirkan hadits itu.
Imam Nawawi mengatakan maksud hadits itu: Maksudnya seperti keadaan matinya orang jahiliyyah dari sisi mereka itu kacau tidak punya imam [syarh Shahih Muslim:12/441]
Ibnu Hajar (wafat:852 H) mengatakan: Yang dimaksud (mati dalam keaadaan jahiliyyah) adalah keadaan matinya seperti matinya orang jahiliyyah yakni diatas kesesatan tidak punya imam yang ditaati karena mereka dulu tidak tahu yang demikian. Bukan yang dimaksud ia mati kafir, bahkan (maksudnya) mati dalam keadaan maksiat…[fathul bari syarah Shahih Bukhari:13/7]
As Suyuthi (wafat: 911 H) mengatakan: Yakni seperti matinya orang-orang jahiliyyah diatas kesesatan dan perpecahan [Zahrurruba, syarah Nasa’I juz:7-8/139]
As Sindi (wafat:1138 H) mengatakan: Yang dimaksud seperti matinya orang-orang jahiliyyah diatas kesesatan bukan yang dimaksud kekafiran [hasyiah/catatan kaki pada Nasa’I juz:7-8/139]
Jadi, dari penjelasan para ulama pada Syarah Bukhari, Muslim dan Nasa’i kita tahu bahwa tidak satupun dari mereka manafsiri kata jahiliyah itu dengan makna kafir, oleh karenanya ambillah keterangan dari mereka.
Barangkali juga ada orang berdalil dengan hadits berikut, untuk mengatakan bahwa orang yang keluar dari jama’ah dan tidak berbai’at kafir, yaitu hadits:
من فارق الجماعة شبرا فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه
Barangsiapa yang memisahkan dari jama’ah sejengkal, maka ia telah melepas kalung Islam dari lehernya [Shahih, HR Abu Dawud dengan lafadz ini dan dishahihkan oleh syekh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud:4758 dari sahabat Abu Dzar]
Apa sesungguhnya makna ‘ia melepas kalung Islam dari lehernya’ apakah artinya kafir?
Secara ringkas kita katakan: Tidak, karena kita melihat ancaman/vonis yang sama dengannya dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من تولى غير مواليه فقد خلع ربقة الإيمان من عنقه
Barangsiapa (budak) yang berwali kepada selain tuan yang membebaskannya maka Ia telah melepas kalung keimanan dari lehernya [Shahih, HR ahmad dalam musnadnya:3/332 dan dishahihkan oleh syekh al Albani dalam Silsilah ash Shahihah no:2329 dan dalam Shahih Jami’ as Shaghir no: 6181 dengan lafadz : ربقة الإ سلام ‘kalung keislaman’ ]
Al Imam an Nawawi menerangkan hadits yang semakna dengannya dalam syarah shahih muslim katanya: Di dalamnya terdapat larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang budak yang dibebaskan untuk berwali kepada selain yang membebaskan dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknatinya …dan ini haram karena ia menelantarkan hak orang yang memberikan nikmat padanya [syarah Shahih Muslim :10/388, cet Darul ma’rifah]
Demikian pula ancaman yang sama ada dalam ucapan Abdullah Ibnu Abbas seperti yang diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dari Sufyan ats Tsauri dari Ibrahim Ibnul Muhajir dari Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa ia menawarkan kepada budaknya kebutuhan pernikahan dan beliau mengatakan: Siapakah diantara kalian yang mau kebutuhan nikah? sesungguhnya tidaklah seorang pelaku zina melakukan zina kecuali Allah akan cabut darinya kalung Islam maka jika Allah ingin mengambalikannya Allah akan kembalikan dan jika Allah tidak ingin mengembalikannya maka tidak Allah kembalikan. [Riwayat Abdurrazzaq dalam al Mushonnaf :7/417]
Pada dua riwayat diatas terdapat vonis ‘ia telah melepas kalung Islam dari lehernya’ bagi dua pelaku dosa yaitu seorang budak yang tidak berwali kepada yang membebaskannya dan seorang yang melakukan perbuatan zina. Sedangkan kita ketahui bersama dalam pandangan ahlussunnah wal jama’ah bahwa dua perbuatan itu adalah dosa yang tidak mencapai derajat kekafiran dan pelakunya tidak dikafirkan (dipertegas dengan hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang lain bahwa beliau bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang mengatakan Lailaha illallah lalu mati diatas kalimat itu maka ia akan masuk surga.” Abu Dzar mengatakan, “walaupun berzina dan mencuri ?” Nabi mengatakan “walaupun berzina dan mencuri” . Abu Dzar mengatakan,”walaupun berzina dan mencuri ?” nabi mengatakan, “walaupun berzina dan mencuri.” sampai ia katakan tiga kali dan yang keempat kalinya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan: “walaupun abu Dzar tidak suka.” kemudian Abu Dzar keluar dan mengatakan, “walaupun Abu Dzar tidak suka”. [HR Muslim no:269 cet Darul Ma’rifah] - pen). Sehingga vonis di atas tidak menunjukkan kekafiran.
Demikian pula ketika vonis itu diberikan kepada orang yang tidak berbai’at maka sama saja maknanya yakni tidak keluar dari Islam menuju kekafiran, namun jatuh dalam pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah, sebagaimana kita akan lihat penjelasan ulama pada kata خلع ربقة الإسلام من عنقه ‘ia telah melepas kalung Islam dari lehernya’.
Mari kita melihat keterangan para ulama:
Nu’aim bin Hammad mengatakan kepada Sufyan bin ‘Uyainah: apa pendapatmu tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Barangsiapa yang meninggalkan jama’ah maka ia telah menanggalkan kalung Islam dari lehernya’ maka Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: Barangsiapa yang meningalkan jama’ah ia telah menanggalkan ketaatan kepada Allah dan tidak berserah diri kepada perintah-Nya, kepada Rasul dan kepada pimpinan dan saya tidak mengetahui seseorang diberi hukuman lebih dari hukuman mereka ……Ini pada orang-orang Islam [at Tamhid karya Ibnu Abdil bar 21:283]
Al Khattabi (wafat:388 H) mengatakan:”Ribqoh artinya sesuatu yang dikalungkan di leher binatang..(Maksudnya) dia telah tersesat dan binasa dan menjadi seperti binatang jika dilepaskan dari kalungnya yang terikat padanya maka binatang tersebut tidak aman dari binasaan dan hilang [Aunul ma’bud syarh sunan Abu Dawud:13/72-73]
Al Mubarakfuri mengatakan: Ribqoh…maksudnya apa yang diikatkan oleh seorang muslim pada dirinya dari ikatan Islam yakni batasan-batasannya, hukum-hukumnya, perintah-perintah dan larangannya. Sebagian mengatakan: ia telah membuang perjanian Allah, membatalkan tangung jawabnya yang melekat pada leher-leher hamba. [ tuhfatul Ahwadzi syarah sunan at Tirmidzi :8/131]
Al Munawi mengatakan: (Maksudnya) menyepelekan aturan-aturan Allah, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya serta meninggalkannya secara keseluruhan [faidhul Qodir:6/11]
As Suyuthi mengatakan: Maksudnya apa yang diikatkan oleh seorang muslim pada dirinya dari ikatan Islam yakni batasan-batasannya, hukum-hukumnya, perintah-perintah dan larangannya. [Syarh Suyuthi pada sunan an Nasa’i:8/65]
Demikian kata para ulama, tidak terdapat dari mereka tafsir bahwa maksudnya kafir dan keluar dari Islam.
Tata cara berbai’at
Tata cara berbai’at kepada Imam adalah sebagaimana dijelaskan oleh al Ubbi dalam bukunya Syarah Muslim: 4/44, katanya: Barangsiapa yang termasuk anggota ahlul halli wal Aqd dan yang masyhur maka bai’atnya dengan ucapan dan bersalaman dengan tangannya jika dia hadir, atau dengan ucapan saja serta dipersaksikan jika dia tidak hadir. Dan cukup bagi yang tidak dikenal dan tidak diketahui hanya dengan meyakini bahwa ia berkewajiban untuk mentaati pimpinan tersebut serta tunduk dan taat padanya baik dalam keadaan tersembunyi atau terang-terangan serta tidak meyakini sebaliknya (yakni lawan dari keyakinan yang disebutkan,pent), kalau ia menyembunyikan keyakinan itu (tidak berbai’at) lalu mati, maka matinya seperti keadaan jahiliyyah, karena ia tidak menjadikan pada lehernya bai’at. [dinukil dari fiqih siasah syariyyah:157]
Kepada Siapa Kita Berbai’at
Ini yang sangat perlu kita ketahui karena banyak terjadi kesalahpahaman sehingga demikian banyak bai’at-bai’at di dunia ini, banyak kelompok-kelompok menjadikan pimpinannya sebagai amir lalu membai’atnya dengan berdalil hadtis-hadits nabi tentang bai’at. Oleh karenanya akan kami nukilkan disini penjelasan sebagian ulama dalam hal ini.
Syekh Shaleh al Fauzan ditanya tentang bai’at, jawabnya: Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyul amr-nya (penguasa) kaum muslimin adapun bai’at-baiat yang ada ini adalah bid’ah itu akibat dari adanya ikhtilaf, yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang mereka berada di satu negara atau satu kerajaan hendaknya bai’at mereka cuma satu dan untuk satu pimpinan …[Fiqh as Siyasah as Syar’iyyah:281]
Syekh Abu Zaid mengatakan: Bahwa bai’at dalam Islam hanya satu, yaitu dari orang-orang yang memiliki kekuatan (ahlul hali wal ‘aqdi) untuk waliyul amr/pimpinan dan penguasa kaum muslimin [Hukmul intima:163]
Nah, bagaimana jika kaum muslimin tidak punya khalifah yang menguasai mereka diseluruh dunia ini, lantas kepada siapa mereka berbai’at?
Jawabnya bahwa bai’at itu diberikan kepada pimpinan kaum muslimin yang muslim di masing-masing negara atau kerajaan mereka, yakni kita sebagai rakyat bisa berbai’at dengan cara meyakini berkewajiban untuk mentaati pemimpin tersebut serta mendengar dan taat padanya baik dalam keadaan tersembunyi atau terang-terangan serta tidak meyakini sebaliknya, semampu kita pada perkara yang baik menurut syari’at dan tidak mengandung maksiat.
Yang demikian ini dibenarkan karena ini keadaan darurat. Memang pada asalnya kaum muslimin mestinya punya satu pimpinan tapi jika itu tidak bisa terwujud di suatu saat maka hukumnya lain, sebagaimana keterangan para ulama berikut ini:
Ibnu Taimiyyah (wafat: 728 H) menjelaskan: Sunnahnya kaum muslimin itu memiliki satu imam (Yakni –Wallahu a’lam- khalifah yang memimpin kaum muslimin sedunia - pen) dan yang lain itu adalah para wakilnya. Seandainya jika sebuah umat keluar/memisah darinya karena perbuatan maksiat dari sebagian umat itu atau karena adaya kelemahan dari yang lain sehingga umat itu memiliki beberapa imam. (Sehingga kaum muslimin terpisah-pisah, masing-masing dengan pimpinan negaranya atau kerajaannya di negeri-negeri mereka. Wallahu a’lam. - pen) Maka wajib atas setiap imam (pimpinan negara) untuk menegakkan hukum-hukum had dan memenuhi hak-hak…ini di saat para amir/imam (pimpinan negara) itu berpecah dan berbilang. [Majmu’ Fatawa :34/175]
As Shan’ani (wafat: 1182 H) mengatakan ketika menerangkan hadits: “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah lalu mati maka matinya seperti mati jahiliyyah.” [HR Muslim] ‘keluar dari ketaatan’ : Maksudnya ketaatan kepada khalifah yang disepakati, seolah-olah (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maksudkan khalifah/pimpinan daerah manapun dari daerah-daerah yang ada, karena manusia (sejak) di masa daulah Abbasiyyah tidak bersepakat pada satu orang khalifah diseluruh negeri-negeri Islam bahkan penduduk setiap daerah menyendiri dengan pimpinan yang mengurusi urusan mereka. Dimana kalau hadits itu dibawa/difahami kepada satu orang khalifah yang telah disepakati orang Islam (seluruhnya, pent) maka faedah hadits itu tentu menjadi kecil. [Subulussalam:3/499 dinukil dari buku Mu’amalatul hukkam:35]
Asy Syaukani (wafat: 1255 H) mengatakan: Adapun setelah tersebarnya Islam dan meluasnya daerahnya serta ujungnya berjauhan, maka dimaklumi bahwa jadilah kekuasaan di tiap daerah dari daerah-daerah untuk seorang Imam atau penguasa, demikian pula pada daerah yang lain. Dimana perintah dan larangan sebagian pimpinan itu tidak terlaksana pada selain wilayahnya atau beberapa wilayah yang dibawah kepemimpinannya. Oleh karenanya tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa (bukan hanya satu pimpinan). Dan atas penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan-pent) pimpinan tersebut, wajib mentaati pimpinannya. Demikian pula keadaannya pada daerah yang lain. Serta tidak wajib bagi penduduk daerah lain untuk mentaatinya (selain pimpinannya) dan tidak pula (wajib) masuk dalam kepemimpinannya…ketahuilah hal ini! karena itulah yang sesuai dengan kaedah-kaedah syari’at dan sesuai dengan dalil-dalil [As Sailul Jarror:4/512 dinukil dari Mu’amalatul hukkam:37 dan ar Raudhatun Nadiyyah: 2/774-775]
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat:1206 H) juga mengatakan: Para Imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka penguasa itu memperoleh hukum imam dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak karena manusia sejak waktu yang lama sebelum Imam Ahmad sampai hari ini mereka tidak sepakat pada seorang imam/pimpinan. Demikian pula mereka tidak mengetahui seorangpun dari ulama menyatakan bahwa sesuatu dari sebuah hukum tidak akan sah kecuali dengan imam terbesar (khalifah seluruh kaum muslimin). [Ad Durar as Saniyyah:7/239 dinukil dari mu’amalatul hukkam:34 lihat pula dalam masalah ini iklilul karamah:127]
Siapa Imam yang dimaksud ?
Apakah setiap yang mengaku imam dimanapun ia berada berarti dia Imam/pimpinan yang boleh kita berikan bai’at padanya? Tentu tidak. Sebagaimana kata Shiddiq Hasan Khan: “Tidak terdapat di dalam kitab (al Qur’an), sunnah (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), ucapan sahabat ataupun Ijma’ bahwa seseorang yang mengajak manusia untuk membai’atnya kemudian ia dianggap sebagai Imam sekedar dengan itu, yang harus ditaati dan haram diselisihi. Bahkan yang ada dalam hadits itu (bunyinya) orang yang berbai’at kepada seorang Imam maka ia wajib mentaatinya dan haram menyelisihinya, demikian pula yang terjadi pada para Khulafaurrasyidin (para Khalifah yang diberi petunjuk, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, red) sesungguhnya tidak seorangpun dari mereka mengajak (manusia) kepada dirinya dan mengatakan: ‘Aku adalah Imam aku mengajak kalian untuk taat kepadaku dan berbai’at kepadaku’. Bahkan mereka membenci yang demikian…”[Iklilul Karamah:127]
Pimpinan yang dimaksud wajib ditaati adalah pimpinan yang ada pada negara atau kerajaan, yang diketahui serta yang memiliki kekuasaan dan kekuatan. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentaati para pimipinan yang ada dan diketahui (keberadaanya) yaitu yang punya kekuasaan (dan) mampu dengan kekuasaan itu untuk mengatur manusia (masyarakatnya), bukan mentaati orang yang tidak ada atau tidak diketahui keberadaanya bukan pula orang yang tidak punya kekuasaan dan kemampuan atas sesuatu sama sekali [Minhajussunnah Nabawiyyah:1/115 dinukil dari Mu’amalatul Hukkam:39] yakni yang punya kekuatan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kepemimpinan, jika dia memerintahkan untuk mengembalikan hasil perbuatan dhalim maka akan dikembalikan dan jika seandainya ia memberikan hukum had maka akan ditegakkan, serta jika memberikan hukuman ta’zir (Ta’zir adalah hukuman yang tidak ada ketentuan tetapnya, bahkan hukuman yang disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggarannya dan pelanggarannya itu sendiri dan ditentukan sesuai kebijakan hakim- pen) akan diterapkan pula pada rakyatnya [Mu’amalatul hukam:40, perhatikan pula ucapan-ucapan ulama sebelumnya]
Pada Perkara Apa Ditaati
Tentu ketaatan itu sebatas pada perkara yang baik menurut syari’at, apakah dengan tegas dinyatakan baik oleh syari’at atau pada perkara yang tidak secara tegas dinyatakan baik namun menurut kaedah-kaedah umum dalam syari’at bahwa itu baik. Adapun perintah maksiat maka tidak perlu didengar dan ditaati. Sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لاَ طاَعَة لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ خَالِقٍ
Tidak ada ketaatan pada makhluq dalam bermaksiat kepada Khaliq [Shahih, HR Ahmad, at Thabrani, al Hakim dan yang lain dengan lafadz at Tabrani disahihkan oleh syekh al Albani dalam Silsilah ash Shahihah:179]
لا طاَعَة فِي المَعْصِيَةِ َ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي اْلمَعْرُوْفِ
Tidak ada ketaatan pada maksiat, ketaatan itu hanya dalam kebaikan [Shahih, HR Bukhari dan Muslim]
فَإِنْ أَمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Maka jika diperintahkan dengan perbuatan maksiat maka tidak dipatuhi dan tidak ditaati [Shahih, HR Muslim]
Bagaimana jika berbuat kejam?
Walaupun jahat, dhalim, bermaksiat, fasiq, mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok atau kepentingan asing, tapi selama ia masih muslim dan belum keluar dari keislamannya maka wajib ditaati pada perkara yang baik. Berdasarkan sabda Nabi berikut ini:
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَ يُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ . قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ:لاَ مَا أَقَامُوْا فِيْكُمْ الصَّلاَة َوَ إِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Sejelek-jelek pimpinan kalian adalah yang kalian membencinya dan mereka membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati kalian. Dikatakan kepada beliau; Wahai Rasulullah tidakkah kita melawannya dengan pedang (senjata)? Beliau mengatakan: “Jangan! selama ia mendirikan shalat pada kalian, dan jika kalian melihat pada pimpinan kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan [Shahih, HR Muslim]
Ubadah bin ash Shamit mengatakan:
بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَ عُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَ اَثَرَةٍ عَلَيْنا وَ أَلاَّ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ ، قَالَ إِلاَّ أَنْ تَرَوا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ
Kami berbaiat kepada Rasulullah untuk patuh dan taat baik dalam keadaan kami giat atau terpaksa, susah atau mudah dan dalam keadaan mereka mengutamakan diri mereka dari pada kami dan agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) dari pemiliknya. Beliau bersabda: Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti tentangnya dari Allah [Shahih, HR Bukhari dan Muslim]
Bai’at model lain
Dengan kita mengetahui bai’at yang Sunnah maka semua yang selain itu seperti baia’tnya Ikhwanul muslimin, Jama’ah Tabligh, NII, LDII, dan kelompok-kelompok lain kecil maupun besar adalah bid’ah sebagaimana dikatakan oleh syekh Shalih al Fauzan: “Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyul amr-nya (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-baiat yang ada ini adalah bid’ah itu akibat dari adanya ikhtilaf, yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang mereka berada di satu negara atau satu kerajaan hendaknya bai’at mereka cuma satu dan untuk satu pimpinan…”[dinukil dari Fiqh as Siyasah as Syar’iyyah:281]
Demikian pula dikatakan oleh syekh Abu Zaid: “Bai’at ini (bai’at sufi atau bai’at kelompok-kelompok) adalah bai’at bid’ah dan baru.” [Hukmul intima’:162]
Mengapa dihukumi bid’ah? Karena alasan-alasan berikut ini:
1. Kaum muslimin terutama generasi awal umat ini dan setelahnya dari para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in tidak mengetahuinya dan tidak mengenalnya, mereka hanya kenal satu bai’at yaitu untuk pimpinan kaum muslimin sebagimana keterangan di atas.
Said bin Zubair –seorang Tabi’in- mengatakan: Sesuatu yang tidak diketahui oleh para ahli Badr (sahabat ahli badar) maka bukan bagian dari agama [Fatawa:4/5 dinukil dari Hukmul Intima’:165]. Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang semasa sahabat bukan sebagai agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” [idem]
2. Islam telah melarang berbilangnya bai’at, yakni tatkala di sebuah negeri telah dibai’at seorang pimpinan maka dilarang membai’at yang lain apa lagi yang lain itu hanya seorang yang mengaku imam dan tidak punya kekuasaan, bahkan ia dikuasai oleh pimpinan di negeri tersebut. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إذا بويع لخليفين فاقتلوا الآخر منهما
Jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya [Shahih, HR Muslim dari Abu Said]
3. Tidak memiliki dalil dari al Quran maupun as Sunnah ataupun Ijma’. Kalaupun mereka mendasari dengan hadits maka tentu itu berdalil bukan pada tempatnya karena hadits-hadits bai’at itu berkaitan dengan waliyyul arm- muslimin (penguasa) sebagaimana keterangan diatas bukan pada pimpinan jama’ah dan sejenisnya. Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan bukan atas perintah/agama kami maka itu tertolak.” [Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah]
4. Pengingkaran para ulama terhadapnya dan itu memperkuat bahwa bai’at mereka tidak bersandar pada dalil, di antara ulama yang mengingkari mereka adalah Ibnu Taimiyyah, beliau mengatakan: Dan tidaklah boleh bagi seorangpun dari mereka untuk mengambil janji setia dari seorang yang lain untuk sepakat dengannya dalam segala apa yang ia inginkan dan untuk berloyal pada orang yang berloyal padanya, serta untuk memusuhi orang yang memusuhinya. Bahkan orang yang melakukan demikian itu berarti ia sejenis dengan Jenghiz Khan dan semacamnya yang menjadikan orang yang sepakat dengan mereka sebagi teman yang loyal dan yang menyelisihi mereka sebagai musuh yang jahat. [Majmu’ Fatawa:28/16].
Bahkan jauh sebelumnya diriwayatkan bahwa seorang Tabi’in bernama Mutharrif bin Abdillah bin Syikhkhir mengingkari Zaid bin Shouhan dalam hal tulisan perjanjian yang ia siapkan untuk orang lain. Mutharrif mengatakan:”…Saya mendatanginya (Zaid bin Shouhan) di suatu hari dan mereka (yang bersama zaid) sudah menuliskan sebuah tulisan serta sudah mereka rapikan redaksinya sebagaimana berikut ini: Sesungguhnya Allah Rabb Kami Muhammad Nabi kami, al Qur’an Imam kami dan barangsiapa bersama kami maka kami mendukungnya dan barangsiapa yang menyelisihi kami, maka tangan kami akan melawannya dan kami… dan kami…. Lantas ia sodorkan tulisan itu kepada seorang demi seorang dan mereka mengatakan: “Apakah engkau sudah mengikrarkannya wahai fulan?”, sehingga sampai pada giliran saya maka mereka pun mengatakan: “Apakah kamu sudah mengikrarkannya wahai anak?” Akupun menjawab: “Tidak!.” Zaid bin Shouhan mengatakan (kepada petugasnya, pent): “Jangan kalian terburu-buru pada anak ini, apa yang kamu katakan wahai anak?” Saya katakan: “Bahwa Allah telah mengambil janji atas diriku dalam kitab-Nya, maka saya tidak akan mengambil janji lagi selain janji yang Allah telah ambil atas diriku.” Maka kaum itupun akhirnya tidak seorangpun dari mereka mengikrarkannya. [Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya:2/204 dengan sanadnya sampai kepada Mutharrif] dan jumlah mereka saat itu kurang lebih 30 orang.
5. Pendahulu mereka yang melakukan bai’at ini adalah aliran sufi dimana merekalah yang dikenal mengunakan cara ini untuk mengikat murid-muridnya.
6. Baiat bid’ah ini menyebabkan sekian banyak pelanggaran syari’at, diantaranya apa yang disebut dalam penjelasan setelah ini.
Akibat jelek dari bai’at yang bid’ah:
Banyak sekali akibat jelek darinya diataranya:
1. Berwala’ dan bara’ bukan karena Islam tapi karena kelompok
2. Menyebabkan terpecahbelahnya umat.
3. Menyebabkan permusuhan antar sesama muslim bahkan antar kerabat, lebih dari itu tak jarang sampai saling mengkafirkan.
4. Berbuat bid’ah dan menyalahi hadits-hadits yang shahih.
5. Merendahkan muslimin yang lain dan tidak memberikan hak sesama muslim bahkan bersikap keras terhadap mereka.
6. Menimbulkan kesombongan pada diri mereka seolah merekalah yang paling benar.
7. Membuat fitnah diumat ini semakin panjang.
8. Fanatik/ta’ashub kepada Imamnya.
9. Membuka jalan bagi orang yang berkepentingan pribadi atau kelompok untuk menggunakan bai’at ini sebagai sarana memenuhi kebutuhannya.
10. Mengungkung pengikutnya dalam ruang yang sempit.
11. Hilangnya atau berkurangnya kewibawaan pemerintah.
12. Tidak ditaati atau dipatuhi penguasa yang sebenarnya.
13. Taklid buta pada amir jama’ah-jama’ah sempalan.
Bagaimana dengan yang terlanjur bai’at ?
Disebutkan dalam buku Hukmul Intima’ : 164 bahwa: “Semua bai’at yang tidak ada asal usulnya dalam syari’at maka janjinya tidak harus (ditaati), atas dasar itu tidak ada dosa untuk ditingalkan dan dibatalkan, bahkan dosa itu tertimpa pada pengikat janji tersebut, hal itu karena beribadah kepada Allah dengannnya merupakan perkara yang baru/bid’ah dan tidak ada asalnya (dalam syari’at)”.

Al-Ustadz Qomar Su’aidi hafizahullah Ta’ala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar