Bagi yang mengenal Jamaah Tabligh, kelompok yang
‘berdakwah’ keliling dari masjid ke masjid, besar kemungkinan akan mengetahui
Kitab Fadha`il Al-A’mal, buku wajib yang dipegangi dan dijadikan rujukan
kelompok tersebut dalam ‘berdakwah’. Bagi para ‘pendakwah’ mereka ataupun
orang-orang yang ‘berlatih dakwah’ bersamanya, kedudukan kitab itu di sisi
mereka setara dengan Kitab Shahih (Al-Bukhari Muslim).
Membicarakan Fadha`il Al-A’mal, kitab yang ditulis
Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, tentu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan
sebuah kelompok shufiyyah yang para pengikutnya kini semakin menjamur di
berbagai negara, termasuk Indonesia. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama
Jamaah Tabligh. Adanya hubungan yang erat di antara keduanya karena Jamaah
Tabligh menjadikan kitab ini sebagai salah satu sandaran dalam mengamalkan
rutinitas harian mereka, baik dibaca di beberapa waktu sehabis shalat fardhu
atau menjadikannya sebagai ta’lim akhir malam sebelum tidur, tergantung
kesempatan yang diberikan masjid setempat. Atau tergantung waktu yang
memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya secara rutin. Hal ini menunjukkan
demikian pentingnya peranan kitab ini dalam membentuk fikrah dan akidah seorang
tablighi (pengikut Jamaah Tabligh –red). Sebab, apa yang mereka dengarkan
tentunya akan diupayakan untuk diwujudkan menjadi suatu amalan dalam berislam.
Sehingga kami memandang perlu untuk menjelaskan kepada
umat tentang kedudukan kitab ini berdasarkan timbangan As-Sunnah dan
memperingatkan mereka dari berbagai kesalahan dan penyimpangan yang terdapat
dalam pembahasannya.
Secara umum, kitab ini banyak memuat hadits-hadits
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang lemah, palsu, bahkan
tidak ada asalnya, dan banyak penukilan
perkataan kaum shufi yang jika seseorang meyakini hal tersebut, dapat
menjerumuskannya kepada kesesatan dan penyimpangan. Wal
‘iyadzu billah.
Asy-Syaikh Hamud bin Abdullah
At-Tuwaijiri rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’ah At-Tabligh (hal. 11-12): “Kitab terpenting bagi orang yang menjadi tablighiyyin
adalah kitab Tablighi Nishab (Fadha`il Al-A’mal), yang ditulis salah seorang
pemimpin mereka bernama Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi. Dan mereka memiliki
perhatian demikian besar terhadap kitab ini dan mengagungkannya sebagaimana
Ahlus Sunnah mengagungkan kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), dan kitab-kitab
hadits lainnya. Para tablighiyyin telah menjadikan kitab kecil ini sebagai
sandaran dan referensi baik bagi orang India, maupun bangsa ‘ajam (non-Arab)
lainnya yang mengikuti ajaran mereka. Dalam kitab ini termuat berbagai
kesyirikan, bid’ah khurafat, serta banyak sekali hadits-hadits palsu dan lemah.
Maka hakekatnya, ini merupakan kitab jahat, sesat, dan fitnah. Kaum
tablighiyyin telah menjadikannya sebagai referensi untuk menyebarkan bid’ah dan
kesesatannya, melariskan serta menghiasinya di hadapan kaum muslimin awam,
sehingga mereka lebih sesat jalannya dari hewan ternak.”(1) Adapun secara
rinci, maka pembahasan kami bagi menjadi beberapa sub bahasan:
Pertama:
Al-Kandahlawi dan Takhrij Haditsnya
Sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa kitab ini banyak memuat
hadits-hadits lemah, mungkar, palsu, bahkan tidak ada asalnya. Terkadang
sebagian riwayat tersebut diketahui penulisnya. Namun sangat disayangkan,
takhrij hadits itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya, di mana kitab ini
ditulis dalam bahasa Urdu (salah satu bahasa resmi di Asia Selatan, red.),
kemudian dibaca mayoritas kaum muslimin yang tidak mengerti bahasa Arab. Mereka
pun menganggap baik kitab ini dan menyangka bahwa semuanya boleh dijadi-kan
sebagai hujjah. Selanjutnya mereka membaca lalu menjadikannya sebagai keyakinan.
Maka terjerumuslah mereka dalam penyimpangan dan kesesatan. Demikian pula
ketika kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Malaysia, tidak
diterjemahkan takhrij haditsnya. Ini menyebabkan para tablighi dan
simpatisannya membaca kitab tersebut tanpa membedakan antara hadits-hadits yang
bisa diterima dan yang tertolak. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa contoh
tentang apa yang kami sebutkan:Perkataan ini tertulis dalam bahasa Arab, sehingga tidak pernah dibaca para pembacanya.
Di samping poin pertama yang kami sebutkan, di dalam kitab ini pun banyak sekali termuat hadits-hadits yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya dalam kitab-kitab sunnah, tanpa ada komentar sedikit pun. Padahal Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah melarang umatnya untuk meriwayatkan satu ucapan kemudian menisbahkannya kepada beliau tanpa ada penelitian tentang kebenaran riwayat tersebut, atau menukilkan pendapat para ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menghukumi suatu riwayat. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
1. Disebutkan dalam bab Fadhilah Shalat, hal. 288, hadits yang berbunyi:
“Shalat akan membuat mulut setan menjadi hitam dan akan mematahkan punggungnya.” (Jami’us Shaghir)
Padahal hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana telah diterangkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 1/173. Adapun riwayat yang shahih, dengan lafadz:
Kitab ini banyak sekali menukil afkar (pemikiran) kaum Shufiyyah yang dapat menjerumuskan kaum muslimin ke dalam berbagai penyimpangan yakni kerusakan aqidah, sikap ekstrim dalam beribadah, dan semisalnya. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika kitab ini menjadi buku pegangan seorang tablighi, dikarenakan Jamaah Tabligh merupakan kelompok yang dibangun di atas empat tarekat shufiyyah: Naqsyabandiyyah, Jusytiyyah, Sahrawardiyyah, dan Qadiriyyah.(9)
Disebutkan pada bab Fadhilah Shalat, hal. 316-317, Al-Kandahlawi berkata: Asy-Syaikh Abdul Wahid rah. a(10), seorang sufi yang masyhur, mengatakan bahwa pada suatu hari beliau didatangi rasa kantuk yang luar biasa, sehingga beliau tertidur sebelum menyelesaikan dzikir malam itu. Di dalam mimpinya beliau melihat seorang gadis berpakaian sutera hijau yang amat cantik sementara seluruh tubuh hingga kakinya sibuk berdzikir. Gadis tersebut bertanya kepada beliau, adakah keinginan beliau untuk memilikinya? Dia mencintai beliau, kemudian dibacanya beberapa bait syair. Setelah bangun dari tidurnya, beliau bersumpah bahwa beliau tidak akan tidur pada malam hari. Diriwayatkan bahwa selama 40 tahun beliau shalat shubuh dengan wudhu shalat ‘Isya.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, dia berkata: Ketika Nabi shalallahu alaihi wa sallam memasuki masjid, ternyata ada sebuah tali yang terbentang di antara dua tiang, lalu beliau bertanya, “Tali apa ini?” Mereka menjawab, “Tali ini milik Zainab11, jika ia lesu (berdiri untuk shalat), diapun bergantung dengannya.” Maka Nabi n bersabda: “Lepaskan (tali) itu. Hendaklah salah seorang kalian shalat di saat giatnya. Jika ia lesu, maka hendaklah ia tidur.”
Menetapkan wirid tertentu dengan bilangan yang telah ditetapkan, laluq menyebutkan keutamaannya, yang semuanya tidak bersumber dari pembawa syariat: Rasulullah n. Dan ini jelas merupakan bid’ah yang jahat dan menyesatkan. (silahkan baca kembali Majalah Asy-Syari’ah Vol. I/No. 07/1425 H/2004, Bid’ahnya Dzikir Berjamaah)
Apa yang disebut sebagai ahli kasyaf adalah dusta belaka. Karena
Apa yang disebut sebagai ahli kasyaf adalah dusta belaka. Karenaq tidak seorang pun yang dapat mengetahui nasib seseorang di akhirat, apakah dia pasti masuk ke dalam surga ataukah neraka, kecuali yang dikabarkan Allah k kepada hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan para rasul-Nya. Firman-Nya:
Wallahu a’lam.
1 Al-Qaulul Baligh, hal. 11-12
2 Hal. 497, versi Bahasa Indonesia, terbitan Ash-Shaff, Yogyakarta, Sya’ban tahun 1421 H.
3 Dalam cetakan tersebut terdapat kekurangan dalam penukilan lafadz Arabnya, maka disempurnakan oleh penulis dari referensi lainnya.
4 Hadits no. 32, hal. 503
5 Al-Imam Al-Bukhari tidak hanya melemahkannya, bahkan menghukuminya: munkarul hadits. Dan bila Al-Imam Al-Bukhari menghukumi seorang rawi dengan hukum ini, maka maksudnya adalah tidak dihalalkan mengambil riwayat dari perawi tersebut, sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnul Qaththan bahwa Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Semua yang aku tetapkan sebagai munkarul hadits maka tidak halal mengambil riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 1/119, tarjamah Aban bin Jabalah Al-Kufi)
6 Fadhilah Dzikr, hal 504.
7 Hal. 507, hadits ke-35
8 Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 96
9 Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir min Jama’ah At-Tabligh, Hamud At-Tuwaijiri, hal. 11
10 Demikian tertulis, maksudnya radhiallahu anhu.
11 Terjadi silang pendapat tentang Zaenab yang dimaksud dalam hadits ini. Ada yang mengatakan Zaenab bintu Jahsy, salah seorang Ummul Mukminin. Ada pula yang mengatakan Hamnah bintu Jahsy, yang memiliki nama lain Zaenab. Karena semua anak perempuan Jahsy dipanggil dengan nama Zainab. (Dalil Al-Falihin, 1/287)
12 Nishab artinya bahagian.
13 Ahli kasyaf adalah seseorang yang mampu melihat segala hal ghaib, karena hijab telah diangkat darinya. Begitulah anggapan mereka, namun hakekatnya semua itu adalah bohong belaka.
14 Yang keduanya telah ditakhrij dan ditahqiq hadits-haditsnya oleh Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
1. Disebutkan dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, bab
Fadhilah Adz-Dzikr(2) hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu
anhu berkata: Rasulullah n bersabda:
لَمَّا
أَذْنَبَ آدَمُ الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ، رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ
فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ
مُحَمَّدٍ. فَقَالَ: تَبَارَكَ اسْمُكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى
عَرْشِكَ فَإِذَا فِيْهِ مَكْتُوبٌ:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ
قَدْرًا عَمَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسْمِكَ. فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا
آدَمُ إِنَّهُ آخِرُ النَّبِيِّيْنَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ وَلَوْ لاَ هُوَ مَا
خَلَقْتُكَ(3)
Ketika Adam telah berbuat dosa, ia pun mengangkat
kepalanya ke atas langit kemudian berdoa: “Aku meminta kepada-Mu berkat wasilah
Muhammad, ampunilah dosaku.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Siapakah Muhammad
(yang engkau maksud)?” Maka Adam menjawab: “Maha berkah nama-Mu ketika engkau
menciptakan aku, akupun mengangkat kepalaku melihat Arsy-Mu, dan ternyata di
situ tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammadun Rasulullah. Maka akupun
mengetahui bahwa tidak seorang pun yang lebih agung kedudukannya di sisi-Mu
dari orang yang telah engkau jadikan namanya bersama dengan nama-Mu.” Maka
Allah berfirman kepadanya: “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi terakhir
dari keturunanmu, kalaulah bukan karena dia, niscaya Aku tidak akan
menciptakanmu.”
Hadits ini diterjemahkan begitu saja tanpa
menerjemahkan takhrij hadits yang disebutkan Al-Kandahlawi. Dia berkata setelah
itu: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, Al-Hakim, Abu Nu’aim,
Al-Baihaqi yang keduanya dalam kitab Ad-Dala`il, Ibnu ‘Asakir dalam Ad-Durr,
dan dalam Majma’ Az-Zawa`id (disebutkan): Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam
Al-Ausath dan Ash-Shaghir, dan dalam (sanad)-nya ada yang tidak aku kenal. Aku
berkata: Dan dikuatkan yang lainnya berupa hadits yang masyhur: “Kalau bukan
karena engkau, aku tidak menciptakan jagad raya ini”, Al-Qari berkata dalam
Al-Maudhu’at: “Hadits ini palsu.”
Cobalah pembaca perhatikan. Hadits ini pada hakekatnya
telah diketahui oleh penulisnya sebagai hadits yang tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah, bahkan tidak dikuatkan dengan adanya jalan (sanad) lain. Namun
ucapan ini tidak diterjemahkan, sehingga para pembaca kitab ini menyangka bahwa
hadits ini termasuk hadits yang bisa diamalkan. Rincian kedudukan hadits ini
bisa dilihat dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (1/25) dan kitab
At-Tawassul mulai hal. 105, dst. Kedua kitab tersebut karya Al-’Allamah
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, di mana beliau menghukumi hadits
tersebut sebagai hadits palsu.
2. Disebutkan pula dalam kitab tersebut, pada bab yang
sama(4), hadits dari Anas radhiallahu anhu bahwa Abu Bakar
Ash-Shiddiq radhiallahu anhu menemui Nabi shalallahu alaihi wa
sallam dalam keadaan bersedih. Maka Nabi shalallahu alaihi wa
sallam bertanya kepadanya, “Mengapa aku melihatmu bersedih?” Ia menjawab,
“Wahai Rasulullah, semalam aku berada di sisi anak pamanku, si fulan yang telah
meninggal dunia.” Maka Rasul bertanya, “Apakah engkau mentalqinnya dengan Laa
ilaaha illallah?” Ia menjawab, “Telah kulakukan, wahai Rasulullah.” Beliau
bertanya, “Ia mengucapkannya?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Telah wajib
baginya surga.” Abu Bakar bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika
orang yang masih hidup mengucapkan kalimat itu?” Beliau bersabda, “Kalimat itu
merontokkan dosa-dosa mereka. Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka.”
Hadits ini pun disebutkan tanpa diterjemahkan
takhrijnya, padahal Al-Kandahlawi mengomentari hadits tersebut dengan
mengatakan: “Diriwayatkan Abu Ya’la, dalam sanadnya terdapat Za`idah bin Abi
Raqqad, ditsiqahkan (dianggap terpercaya, red.) oleh Al-Qawariri, namun
dilemahkan Al-Imam Al-Bukhari dan yang lainnya(5). Demikian yang terdapat dalam
Majma’ Az-Zawa`id(6).”
3. Disebutkan pula pada bab yang sama(7) hadits
Abdullah bin Abi Aufa z, dia berkata: Rasulullah n bersabda: “Barangsiapa
mengucapkan:
لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ أَحَدًا صَمَدًا لَمْ يَلِدْ
وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
maka Allah akan menuliskan baginya 2.000.000
kebaikan.”
Hadits ini diterjemahkan pula maknanya tanpa
menerjemahkan komentarnya yang mengatakan: “Diriwayatkan At-Thabrani, demikian
dalam At-Targhib dan Majma’ Az-Zawa`id. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi
bernama Faid Abul Warqa, ia ditinggalkan haditsnya (matruk).” Dan hal yang
seperti ini sangat banyak kita dapatkan dalam kitab ini.
Kedua: Hadits
Lemah, Palsu dan bahkan Tidak Ada Asalnya
فَمَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka
hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari,
Muslim dan lainnya, diriwayatkan lebih dari seratus shahabat)
كَفَى
بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dianggap berdusta dengan
mengatakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)
Disebutkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i rahimahullah ketika beliau menyebutkan beberapa hal yang menjadi
kritikan atas Jamaah Tabligh: “Membacakan hadits-hadits yang lemah, palsu, dan
tidak ada asalnya. Padahal Rasulullah shalallahu alaihi wa
sallam bersabda: ‘Hindarilah banyak memberitakan hadits dariku. Maka barangsiapa
yang menisbahkan kepadaku, maka hendaklah mengucap-kan kebenaran atau
kejujuran. Barangsiapa mengada-ada sesuatu atasku yang aku tidak ucapkan, maka
hendaklah dia persiapkan tempat duduknya dalam neraka’. (HR. Al-Imam Ahmad,
dari hadits Abu Qatadah)(8)
Dan berikut ini akan kami sebutkan pula beberapa
contoh tentang hal ini:
Dalam kitab Al-Jami’ush Shagir berbunyi demikian, yang
artinya: “Shalat itu menghitamkan wajah setan, dan sedekah itu akan mematahkan
punggungnya.” Hadits ini merupakan hadits yang sangat lemah. Karena dalam
sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Wahb
Al-Hafizh. Ad-Daruquthni berkata tentangnya: “Matruk (ditinggalkan haditsnya).”
Dan ada perawi lain bernama Zafir bin Sulaiman. Adz-Dzahabi berkata tentang
dia: “Lemah sekali.” Dan hadits ini sangat dilemahkan oleh Al-Albani dalam
Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 3560.
2. Disebutkan dalam bab Fadhilah Adz-Dzikr hal. 432,
ia berkata: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa
Rasulullah shallahu alaihi wa sallam pernah bersabda: “Berpikir
sesaat lebih baik daripada beribadah enam puluh tahun.”
لَقِيَامُ
رَجُلٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ سَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةٍ سِتِّيْنَ سَنَةً
“Berdirinya seseorang di jalan Allah sesaat lebih
afdhal dari beribadah selama enam puluh tahun.” Hadits ini dishahihkan
Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1901.
3. Demikian pula yang disebutkan dalam bab Fadhilah
Al-Qur`an, hal. 644, bahwa barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur`an di siang hari,
maka malaikat akan mendoakannya hingga malam hari, dan barangsiapa yang
menamatkannya di awal malam, maka para malaikat mendoakan-nya hingga pagi hari.
Padahal hadits inipun lemah, sebagaimana telah
diterangkan Al-’Allamah Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah,
10/4591.
Ketiga: Membawa
Pemahaman Kaum Shufiyyah
Berikut ini, akan kami nukilkan pula beberapa
perkataan yang dinukilkan dari kaum Shufiyyah:
Dalam kisah ini, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
Pertama: Bahwa Allah subhanahu wa
ta’ala telah melarang kita untuk berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dalam
beribadah, dan memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sesuai dengan
kemampuan. Sehingga, agama ini menghendaki agar seorang muslim mengerjakan
ibadah tersebut dalam keadaan nasyath (giat), sehingga mampu mengerjakan ibadah
tersebut dalam keadaan khusyu’ dan sesempurna mungkin. Dan apabila ia dalam
keadaan mengantuk, maka dianjurkan baginya beristirahat hingga rasa kantuk
tersebut hilang.
Demikian pula yang diriwayatkan dari hadits
Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa
sallam bersabda:
إِذَا
نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ
النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ
يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Jika salah seorang kalian dalam keadaan mengantuk,
sementara dia shalat. Maka hendaklah ia tidur sampai hilang rasa kantuknya.
Karena sesungguhnya jika salah seorang kalian shalat dalam keadaan mengantuk,
dia tidak mengetahui. Jangan sampai dia hendak beristighfar lalu tanpa sadar ia
mencerca dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Kedua: Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Rasulullah n. Dan di antara petunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wa
sallam dalam melaksanakan shalat malam adalah apa yang beliau sebutkan
dalam haditsnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin
Al-’Ash radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa
sallam bersabda:
أَحَبُّ
الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ
يَوْمًا، وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ
اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ
“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud
alaihi sallam. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat yang
paling dicintai Allah adalah shalat Dawud alaihi sallam, beliau tidur di
pertengahan malam, bangun di sepertiga malam, dan tidur seperenam malam.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Disebutkan pula dalam kitab ini, hal. 484 dari Syaikh
Waliullah yang berkata dalam kitab Qaulul Jamil: “Ayah saya telah berkata bahwa
ketika saya baru belajar suluk, dalam satu nafas dianjurkan supaya membaca Laa
ilaaha illallah sebanyak dua ratus kali,” Syaikh Abu Yazid Qurtubhi berkata:
“Saya mendengar bahwa barang-siapa membaca kalimat Laa ilaaha illallah sebanyak
70.000 kali, ia akan terbebas dari api neraka. Setelah mendengar hal itu, saya
membaca untuk istri saya sesuai dengan nishab(12) tersebut. Tidak lupa, saya
juga membaca untuk nishab diri saya sendiri. Di dekat saya, tinggal seorang
pemuda yang terkenal sebagai ahli kasyaf(13). Dia juga kasyaf tentang surga dan
neraka. Namun saya agak meragukan kebenarannya. Pada suatu ketika, pemuda
tersebut ikut makan bersama kami. Tiba-tiba ia berkata dan meminta kepada saya
sambil berteriak, katanya: “Ibu saya masuk neraka, dan telah saya saksikan
keadaannya.” Karena melihat kegelisahan pemuda tersebut, saya berpikir untuk
membacakan baginya satu nishab bacaan saya untuk menyelamatkan ibunya, di
samping juga untuk mengetahui kebenaran mengenai kasyaf-nya. Maka, saya
membacanya sebanyak 70.000 kali sebagai nishab yang saya baca untuk diri saya
itu, guna saya hadiahkan kepada ibunya. Saya meyakini dalam hati bahwa ibunya
pasti selamat. Tidak ada yang mendengar niat saya ini kecuali Allah ta’ala.
Setelah beberapa waktu, pemuda tersebut berteriak, “Wahai paman, wahai paman,
ibu saya telah bebas dari api neraka.” Dari pengalaman itu, saya memperoleh dua
manfaat: Pertama, saya menjadi yakin tentang keutamaan membaca Laa ilaaha
illallah sebanyak 70.000 kali, karena sudah terbukti kebenarannya. Kedua, saya
menjadi yakin bahwa pemuda tersebut benar-benar seorang ahli kasyaf.”
Cobalah perhatikan kisah ini. Jika seorang muslim
membaca dan meyakini cerita khurafat ini, maka dia akan terjatuh ke dalam
berbagai penyimpangan, di antaranya:
عَالِمُ
الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلىَ غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ
رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dialah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul
yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat)
di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Dan penukilan-penukilan yang seperti ini banyak sekali
terdapat dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, karya Muhammad Zakaria tersebut.
Sehingga, hendaklah kaum muslimin berhati-hati dari kitab ini, dan mencari
kitab-kitab yang jauh lebih selamat, yang bisa mengantarkan seseorang untuk
mengamalkan Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, seperti kitab Shahih
Al-Bukhari pada kitab Ar-Raqa‘iq, Al-Adab, dan yang semisalnya. Demikian pula
Shahih Muslim pada kitab Ad-Dzikr dan Al-Bir Wash-Shilah Wal-Adab, dan
kitab-kitab sunnah yang lainnya. Atau seperti Riyadhus Shalihin, karya Al-Imam
An-Nawawi, Al-Kalim Ath-Thayyib, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah14, dan
masih banyak lagi kitab-kitab sunnah yang jauh lebih baik dan selamat dari
berbagai penyimpangan.
—————————–
footnote:
Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
masya Allah.... siapakah yang telah menuliskan fitnahan keji ini...???
BalasHapusini adalah seperti anak kelas 1 SD yang mengkritik Mahasiswa tingkat S2....
BalasHapussi penulis fitnah ini adalah anak SD itu..
sedangkan si penulis Kitab Fadha'il itu adalah Mahasiswa nya...
kenapa ?
Maulana Muhammad Zakariyya..adalah seorang muhaddist yang sudah sangat tinggi ilmunya, sudah hafiz qur'an sejak masih kecil, hafal ribuan hadist, sudah puluhan tahun mengajar di pondok pesantren +- (60 tahun)...dan sudah mengarang sekian banyak buku...
untuk lebih jelas silahkan kunjungi link ini :
http://tamanulama.blogspot.com/2008/11/maulana-zakariyya-al-kandahlawi-ulama.html
sedangkan si penulis fitnah ini udah sampai mana sih ilmunya? udah mengasilkan apa saja sih..? MasyaAllah...MasyaAllah....
sedangkan untuk menjawan sebahagian fitnahan terhadap buku Fadha'il Amal silahkan masuk disini
BalasHapushttp://jamaahdakwah.wordpress.com/2012/08/02/jawaban-atas-kritikan-terhadap-kitab-fadhilah-amal/
Jangan merasa paling benar sendiri...dong...
Abu karimah go to hell...ngaca kau!sblm nulis begini,udah gilak kau kurasa,tulisan kau ini berbau kedengkian!jgn bodoh kali kau,tajwid bacaan quranmu pun tak beres,kencingpun msh berdiri kau sdh kau kritik tulisan org.
BalasHapusSial x rasanya aku baca tulisan kritik kau ini,pinahan kau!!