Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Selasa, 31 Juli 2012

Hampir Saja Langit Pecah


Ada dua peristiwa yang menyebabkan langit hampir pecah.
Pertama, dalam surat Maryam ayat 90-91 disebutkan:
"Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan
gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah
mempunyai anak"

Kedua, al-Qur'an menginformasikan kepada kita peristiwa lain yang juga
hampir saja membuat langit pecah, yaitu dalam surat Asy-Syura ayat 5:
"Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Tuhan)
dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan  ampun
bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah
Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dua peristiwa dengan dua sebab yang berbeda hampir saja menghasilkan
kejadian yang luar biasa, yaitu pecahnya langit. Pada persitiwa yang
pertama, langit hampir pecah karena kemurkaan Allah SWT. terhadap mereka
yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak. Ucapan atau tuduhan itu begitu
dahsyat kemungkarannya. Betapa tidak, Allah yang berbeda dengan makhluk
manapun itu --"mukhalafatu lil hawadits-- diserupakan dengan manusia (yang
mempunyai anak) yang justru diciptakan-Nya untuk beribadah kepada-Nya.
Penyerupaan ini jelas membuat Allah murka!
Peristiwa kedua terjadi justru karena kebesaran Allah. Malaikat pun
bertasbih serta memuji Allah dan memohonkan ampunan bagi penduduk bumi.
Kebesaran dan keagungan Allah tidak terkira sehingga ketika Dia diminta
Nabi Musa menampakkan wujud-Nya, bukit tempat Musa berdiri menjadi hancur dan
Musa jatuh pingsan. Kali ini Allah menampakkan kebesaran-Nya pada
langit, dan langit yang demikian luas itu hampir pecah karena tak mampu menyaksikan
kebesaran dan keagungan Allah.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah-kisah di atas?
Seringkali ketika kita berkuasa, kita bertingkah laku hendak menyerupai
Allah. Kitalah pemegang nasib bawahan kita. Hanya dengan selembar kertas
yang kita tandatangani seorang anak manusia bisa jatuh terduduk atau bisa
meloncat-loncat kegirangan. Ketika ada rakyat yang hendak datang ke
kantor, kita lempar ia dari satu meja ke meja berikutnya.
Semua kebijakan tergantung petunjuk kita; semua pengacau kekuasaan kita
Beri hadiah "azab yang pedih" dan nyawa mereka tak ada harganya bagi kita.
Senyum kita menjadi tanda tanya; apakah sedang suka atau sedang marah. Bawahan kita
sibuk menafsirkan gerak tubuh kita hanya untuk menyelami apakah kita
sedang suka atau tengah berduka. Saya khawatir pada saat kita berprilaku menyerupai kekuasaan Allah maka langit akan pecah karena murka Allah. Bukankah segala bentuk penyerupaan
harus ditiadakan; apakah itu berarti memiliki kekuasaan tiada batas, memberi
azab ataupun menentukan nyawa orang lain. Segala bentuk kesombongan dan
takabur harus dilenyapkan, karena hanya Allah yang berhak untuk takabur
 (Al-Mutakabbir).
Sementara itu, di sepuluh malam terakhir Ramadhan ini, kita menunggu langit
yang hampir pecah, saat Malaikat bertasbih memuji Allah dengan suara
yang  bergemuruh, mereka turun atas perintah Allah dan memohon ampun untuk
penduduk bumi. Kita sambut kehadiran malaikat itu dengan gemuruh suara
tasbih dan rintihan tangisan memohon ampunan Allah. Puji-pujian dari
penduduk langit kepada Allah bertemu dengan puji-pujian penduduk bumi
untuk Allah. Boleh jadi langit hampir pecah pada malam-malam akhir Ramadhan ini.
Pertanyaannya, tengoklah diri kita sekarang baik-baik. Yang mana yang kita
tunggu? apakah kita menunggu langit hampir pecah karena murka Allah atau
karena kebesaran-Nya?
tulisan: Nadirsyah Hosen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar