Ada dua peristiwa yang menyebabkan langit hampir pecah.
Pertama, dalam surat Maryam ayat 90-91
disebutkan:
"Hampir-hampir langit pecah karena
ucapan itu, dan bumi belah, dan
gunung-gunung runtuh, karena mereka
mendakwa Allah Yang Maha Pemurah
mempunyai anak"
Kedua, al-Qur'an menginformasikan kepada kita
peristiwa lain yang juga
hampir saja membuat langit pecah, yaitu dalam
surat Asy-Syura ayat 5:
"Hampir saja langit itu pecah dari
sebelah atasnya (karena kebesaran Tuhan)
dan malaikat-malaikat bertasbih serta
memuji Tuhannya dan memohonkan ampun
bagi orang-orang yang ada di bumi.
Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah
Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."
Dua peristiwa dengan dua sebab yang berbeda
hampir saja menghasilkan
kejadian yang luar biasa, yaitu pecahnya
langit. Pada persitiwa yang
pertama, langit hampir pecah karena kemurkaan
Allah SWT. terhadap mereka
yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak.
Ucapan atau tuduhan itu begitu
dahsyat kemungkarannya. Betapa tidak, Allah
yang berbeda dengan makhluk
manapun itu --"mukhalafatu lil hawadits--
diserupakan dengan manusia (yang
mempunyai anak) yang justru diciptakan-Nya
untuk beribadah kepada-Nya.
Penyerupaan ini jelas membuat Allah murka!
Peristiwa kedua terjadi justru karena
kebesaran Allah. Malaikat pun
bertasbih serta memuji Allah dan memohonkan
ampunan bagi penduduk bumi.
Kebesaran dan keagungan Allah tidak terkira
sehingga ketika Dia diminta
Nabi Musa menampakkan wujud-Nya, bukit tempat Musa
berdiri menjadi hancur dan
Musa jatuh pingsan. Kali ini Allah menampakkan
kebesaran-Nya pada
langit, dan langit yang demikian luas itu
hampir pecah karena tak mampu menyaksikan
kebesaran dan keagungan Allah.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari
kisah-kisah di atas?
Seringkali ketika kita berkuasa, kita
bertingkah laku hendak menyerupai
Allah. Kitalah pemegang nasib bawahan kita.
Hanya dengan selembar kertas
yang kita tandatangani seorang anak manusia
bisa jatuh terduduk atau bisa
meloncat-loncat kegirangan. Ketika ada rakyat
yang hendak datang ke
kantor, kita lempar ia dari satu meja ke meja
berikutnya.
Semua kebijakan tergantung petunjuk kita;
semua pengacau kekuasaan kita
Beri hadiah "azab yang pedih" dan nyawa
mereka tak ada harganya bagi kita.
Senyum kita menjadi tanda tanya; apakah sedang suka atau
sedang marah. Bawahan kita
sibuk menafsirkan gerak tubuh kita hanya untuk
menyelami apakah kita
sedang suka atau tengah berduka. Saya khawatir pada saat
kita berprilaku menyerupai kekuasaan Allah maka langit akan pecah karena
murka Allah. Bukankah segala bentuk penyerupaan
harus ditiadakan; apakah itu berarti memiliki
kekuasaan tiada batas, memberi
azab ataupun menentukan nyawa orang lain.
Segala bentuk kesombongan dan
takabur harus dilenyapkan, karena hanya Allah
yang berhak untuk takabur
(Al-Mutakabbir).
Sementara itu, di sepuluh malam terakhir
Ramadhan ini, kita menunggu
langit
yang hampir pecah, saat Malaikat bertasbih
memuji Allah dengan suara
yang bergemuruh,
mereka turun atas perintah Allah dan memohon ampun untuk
penduduk bumi. Kita sambut kehadiran malaikat
itu dengan gemuruh suara
tasbih dan rintihan tangisan memohon ampunan
Allah. Puji-pujian dari
penduduk langit kepada Allah bertemu dengan
puji-pujian penduduk bumi
untuk Allah. Boleh jadi langit hampir pecah pada
malam-malam akhir Ramadhan
ini.
Pertanyaannya, tengoklah diri kita sekarang
baik-baik. Yang mana yang kita
tunggu? apakah kita menunggu langit hampir
pecah karena murka Allah atau
karena kebesaran-Nya?
tulisan: Nadirsyah Hosen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar