Kemudian
Dzat pembuat syari’at Yang Maha Bijaksana telah menjadikan tanda-tanda yang
jelas yang bisa dijadikan petunjuk atas husnul khatimah (pada
seseorang), semoga Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan untuk kita dengan kemurahan
dan karunia-Nya.Maka siapa saja yang meninggal disertai adanya salah satu di
antara tanda-tanda itu berarti merupakan kabar gembira baginya. Duhai indahnya
kabar gembira itu:
Tanda pertama: Mengucapkan syahadat menjelang kematiannya. Dalam hal
ini ada beberapa hadits:
“Barangsiapa yang akhir ucapannya lailahaillallah maka ia masuk jannah.”
Dikeluarkan
oleh Imam Al Hakim maupun yang lain dengan sanad yang hasan dari Mu’adz
radhiyallahu’anhu. Dan melalui jalan lain juga darinya dengan lafadz:
“Tidaklah suatu jiwa mat, sedangkan ia bersaksi bahwa tidak ada Ilah
yang haq kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, yang ucapannya itu
kembali ke lubuk hati yang yakin, melainkan Allah ampuni jiwa itu.”
Dikeluarkan
oleh Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad maupun yang lain dan dinyatakan shahih oleh
Imam Ibnu Hibban. Tetapi menurut saya sanadnya hasan sebagaimana yang saya
jelaskan dalam Ash-Shahihah (2278). Hadits ini ada pendukungnya dari
hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang telah lalu pada bab talqin.
Dari Thalhah
bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu ia mengatakan:“Ketika Umar melihat Thalhah bin
Ubaidillah dalam keadaan berat, ia berkata: “Ada apa engkau wahai Abu Fulan?
Barangkali engkau diperlakukan buruk oleh istri pamanmu wahai Abu Fulan?”
Thalhah
menjawab: “tidak (dan ia memuji-muji Abu Bakr), kecuali aku mendengar dari
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebuah hadits yang tidak ada penghalang
bagiku untuk bertanya tentangnya kecuali taqdir yang menemui Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam hingga beliau meninggal. Aku mendengar beliau
mengatakan:
“Sesungguhnya aku benar-benar tahu sepatah kalimat. Tidaklah seorang
hamba mengucapkannya ketika menjelang kematiannya, kecuali Allah akan
mencerahkan warna (kulitnya) dan Allah ringankan darinya penderitaannya.”
Maka Umar
berkata: “sesungguhnya aku bener-bener tahu kalimat apa itu. Apakah engkau tahu
kalimat yang lebih agung dari kalimat yang Rasulullah perintahkan kepada
pamannya, yaitu kalimat Lailahaillallah?
Kata
Thalhah: “Engkau benar, ya kalimat itu demi Allah.”
Dikeluarkan
oleh Imam Ahmad (no.1384) dengan sanad yang shahih, Imam Ibnu Hibban (no.2)
dengan sanad yang sama dan Imam Al-Hakim (1/350, 351) dan tambahannya
persyaratan Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh Imam Dzahabi. Dan dalam bab
ini ada beberapa hadits yang telah disebutkan dalam bab Talqin.
Tanda kedua: Meninggal dalam keadaan berkeringat di dahi
(keningnya), berdasar hadits Buraidah bin Hushaib radhiyallahu’anhu, bahwa ia
di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Ternyata ia mendapatinya
meninggal dan berkeringat dikeningnya. Maka ia berkata: Allahu akbar! Aku
mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Matinya seorang Mukmin itu ditandai dengan keringat di kening.”
Dikeluarkan
oleh imam Ahmad (5/357, 360) dan teks hadits ini ada pada beliau. Juga oleh
Imam Nasa’i (1/259), Imam Tirmidzi (2/128) dan beliau menghasankannya, Imam
Ibnu Majah (1/443, 444), Imam Ibnu Hibban (730), Imam Al Hakim (1/361), Imam
thayalisi (808), Imam abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/223). Imam Al-Hakim
mengatakan: Shahih, memenuhi persyaratan Muslim, dan disepakati oleh Imam
Dzahabi.Saya katakan: Ini perlu diperiksa! Akan tetapi bukan di sini tempat
pembahasannya. Apalagi bahwa satu di antara dua sanad Imam Nasa’i shahih
memenuhi persyaratan Bukhari. Hadits ini ada pendukungnya dari Hadits Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Al-Ausath
dan Al-Kabiir. Rawi-rawinya tsiqah yaitu rawi-rawi Ash-Shahih
sebagaimana dalam Al-Majma’ (2/325).
Tanda ketiga: Meninggal pada malam Jum’at atau siangnya,
berdasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at
kecuali Allah selamatkan dari fitnah kubur.” Dikeluarkan oleh Imam Ahmad
(6582-6646) dan Imam Fawasi dalam Al-Ma’rifah (2/520) dari dua jalan
dari Abdullah bin amr. Imam Tirmidzi dari salah satu di antara jalan itu.
Hadits ini ada pendukungnya dari anas dan jabir bin abdillah maupun yang lain.
Maka hadits ini dengan keseluruhannya jalannya hasan atau shahih[1].
Tanda keempat: Mati syahid di medan jihad, berdasar firman Allah
subhanahu wa ta’ala dalam surat Ali Imran (169-170):
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapatkan rezki. Mereka
dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada
mereka, dan mereka bersenang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di
belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Ali Imran: 169-170)
Dalam bab
ini ada beberapa hadits:Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Bagi orang yang mati syahid ada enam bagian di sisi Allah: diampuni
baginya sejak awal kucuran darahnya, ditampakkan tempat tinggalnya di jannah,
dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang dahsyat, dihiasi dengan
hiasan iman, dijodohkan dengan bidadari yang bermata indah dan diijinkan
mensyafa’ati tujuh puluh dari karib kerabatnya.” Dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi
(3/17) dan beliau menshahihkannya, imam Ibnu Majah (2/184) dan Imam Ahmad
(4/131) dengan sanad yang shahih. Kemudian juga beliau mengeluarkan (4/200)
dari hadits Ubadah bin Shamit dan Qais Al Judzami (4/200) dan sanad keduanya
juga shahih.
Dari seorang
sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa ada seorang yang berkata:
“Ya Rasulullah, mengapa orang-orang mukmin mendapat fitnah dalam kubur
mereka kecuali orang yang mati syahid? ”Rasulullah berkata: “cukup dengan
kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah.” Diriwayatkan oleh Imam Nasa’i
(1/289) dan diriwayatkan juga darinya oleh Al Qasim Saraqusthi dalam Gharibul
Hadits (2/165/1) dan sanadnya shahih.
Catatan: Sangat diharapkan kesyahidan ini didapatkan bagi orang yang memintanya
dengan ikhlas dari hatinya walaupun tidak mudah baginya mati syahid di medan
perang. Hal ini berdasar kepada sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Barangsiapa minta kesyahidan kepada Allah dengan jujur, niscaya Allah
sampaikan ia pada kedudukan para syuhada walaupun mati di kasurnya.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim (6/49)
dan Imam Baihaqi (9/169) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini ada
pendukungnya dalam Al Mustadrak (2/77).
Tanda kelima: Mati sebagai tentara di jalan Allah. Dalam hal ini
ada dua hadits:
Dari Abu
hurairah radhiyallahu’anhu ia berkata:Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
berkata para sahabat: “Apa saja yang termasuk mati syahid di antara kalian?”
Mereka menjawab: “Ya Rasulullah, barang siapa terbunuh di jalan Allah dialah
orang yang syahid.” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata: “Kalau
begitu orang yami syahid dikalangan umatku jumlahnya sangat sedikit.” Para
sahabat berkata: “Jadi mereka itu siapa saja ya Rasulullah?” Rasulullah
menjawab: “Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah maka dia mati syahid,
barang siapa yang mati di jalan (membela) Allah maka dia mati syahid,
barangsiapa yang mati karena wabah Tha’un dia mati syahid, barangsiapa mati
karena sakit perut[2] dia mati syahid dan orang yang mati tenggelam dia
syahid.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim (6/51) dan Imam Ahmad (2/522) dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu.
Dalam bab
ini ada hadits dari Umar dalam riwayat Imam Al Hakim (2/109) dan Riwayat Imam
Baihaqi. Dari Abu Malik Al anshari radhiyallahu’anhu ia berkata: Bersabda
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang keluar di jalan Allah lalu ia mati atau terbunuh maka
ia syahid. Atau terjatuh dari kudanya atau untanya, atau disengat binatang
berbisa, atau mati di kasurnya dengan sebab kematian aoa saja yang dikehendaki
Allah, maka ia syahid dan ia mendapat jannah.” Dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud
(1/391), Imam Al Hakim (2/78) dan Imam Baihaqi (9/166) dari hadits Abu Malik Al
Anshari, dinyatakan shahih oleh Imam al Hakim. Tetapi yang benar hadits ini
hasan saja. Kemudian nampak bahwa saya keliru dalam hal ini, karena
sesungguhnya hadits ini lemah. Bisa dilihat dalam Adh Dha’ifah (5630).
Tanda keenam: Meninggal dengan sebab sakit tha’un
(pes/sampar). Dalam masalah ini ada beberapa hadits:
Dari Hafshah
bintu Sirin, ia berkata:Anan bin Malik radhiyallahu’anhu berkata kepadaku:
“Apa penyebab kematian Yahya bin Abi ‘Amrah?” Saya berkata: “Dengan sebab
penyakit Tha’un.” Maka Anas berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda: “Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” Dikeluarkan oleh
Imam Bukhari (10/156-157), Imam Thayalisi (2113) dan Imam Ahmad (3/150, 220,
223, dan 258-256).
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu’anha, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam tentang Tha’un. Maka Nabi memberitahu:
“sesungguhnya Tha’un adalah adzab yang Allah subhanahu wa ta’ala kirim
kepada siapa saja yang dikehendaki dan Allah menjadikannya sebagai Rahmat bagi
orang-orang mukmin. Tidaklah seorang hamba tertimpa penyakit Tha’un, lalu ia
tetap tinggal di daerahnya dengan sabar dan yakin (beriman) bahwa tidaklah hal
itu menimpa dirinya kecuali dengan ketentuan Allah pada dirinya, tiada lain ia
akan mendapatkan pahala seperti pahala syahid.” Dikeluarkan oleh Imam Bukhari
(10/157-158), Imam Baihaqi (3/376) dan Imam Ahmad (6/64, 145, 252).
Dari ‘Utbah
bin ‘Abdin As Sulami ia berkata:Datang (pada hari kiamat) para syuhada dan
orang-orang yang mati sebab penyakit tha’un. Orang-orang yang mati dengan sebab
tha’un berkata: “Kami adalah para syuhada.’” Lalu dikatakan: “Lihatlah, apabila
lukanya seperti luka para syuhada yang mengelirkan daran tetapi berbau misik
berarti mereka syuhada.” Maka mereka mendapatinya memang demikian.” Dikeluarkan
oleh Imam Ahmad (4/185) dan Imam Thabrani dalam Al Kabiir (Majmu’,
(6/55/2) dengan sanad yang hasan sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz (10/159)
dari ‘Utbah bin ‘Abdin as Sulami radhiyallahu’anhu. Hadits ini ada pendukungnya
dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu yang dikeluarkan oleh Imam Nasa’i
(2/63), Imam ahmad (4/128, 129) dan Imam Thabrani (73/2), dinyatakan hasan juga
oleh Al Hafidz dan memang hadits ini hasan kalau sebagai pendukung. Dalam bab
ini juga ada hadits dari abu Hurairah yang telah lewat pada tanda kelima hadits
yang pertama. Akan datang juga pada tanda kedelapan dan kesembilan. Juga hadits
dari ‘Ubadah yang akan datang pada tanda kesepuluh.
Tanda ketujuh: Meninggal dengan sebab sakit perut, dalam hal ini ada
dua hadits:
“….dan barang siapa dengan sebab sakit perut maka ia syahid.”
Diriwayatkan
oleh Imam Muslim maupun yang lain, dan telah lewat dengan sempurna pada tanda
yang kelima.
Dari
Abdullah bin Yasar, ia berkata: Aku pernah duduk bersama Suliman bin Shurad dan
Khalid bin ‘Urfuthah. Mereka menyebutkan tentang seseorang yang meninggal
dengan sebab sakit perut. Tiba-tiba muncul keinginan pada mereka untuk
menghadiri jenazahnya. Maka salah satu dari mereka berkata kepada yang lain:
“Bukankah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah berkata: “Barangsiapa
yang mati dengan sebab sakit perutnya maka ia tidak akan diadzab di dalam
kuburnya?” Temannya menjawab: “Memang benar.” Dalam sebuah riwayat: “Engkau
benar.” Dikeluarkan oleh Imam Nasa’i (1/289), Imam Tirmidzi (2/160) Imam Ibnu
Hibban di dalam Shahih-nya (no.728-Mawarid), Imam Thayalisi (1288) dan
Imam Ahmad (4/262) dan sanadnya shahih.
Tanda kedelapan dan kesembilan: Meninggal karena tenggelam dan
keruntuhan bangunan, berdasar kepada sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam:
“Orang yang mati syahid itu ada lima: mati karena tha’u, mati karena
sakit perut, mati karena tenggelam, mati karena keruntuhan bangunan dan mati
perang di jalan Allah.” Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6/33-34), Imam Muslim
(6/51), Imam Tirmidzi (2/159) dan Imam Ahmad (2/325 dan 533) dari hadits Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu.
Tanda kesepuluh: Seorang wanita yang meninggal di dalam masa nifasnya
yaitu meninggal karena melahirkan anaknya, berdasar kepada hadits ‘Ubadah bin
Shamit:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah menjenguk Abdullah bin
Rawahah. (Dikatakan) Ia tidak bergeser dari tempat tidurnya. Rasulullah
berkata: “Tahukah engkau siapa orang-orang yang mati syahid di antara umatku?”
Ia menjawab: “Terbunuhnya seorang muslim (di jalan Allah) adalah mati syahid.”
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata: “Kalau begitu orang yang mati
syahid di antara umatku sangat sedikit! Seorang Muslim yang mati di jalan Allah
adalah syahid, mati karena tha’un adalah syahid, seorang yang mati karena anak
yang ia kandung[3] adalah syahid, (anaknya itu kelak akan menariknya dengan
surorun (tali pusarnya)[4] ke jannah).”Dikeluarkan oleh Imam Ahmad
(4/201-5/208), Imam Darimi (2/208) dan Imam Thayalisi (582) dan sanadnya
shahih. Juga ada jalan lain dalam Musnad Imam Ahmad (4/315, 317, 328)
dan Tarikh Ibnu ‘Asakir (8/436/2). Dalam bab ini ada juga hadits dari
Shafwan bin Umayyah pada Imam Darimi, Imam Nasa’i (1/289) dan Imam Ahmad
(6/465-466). Juga dari ‘Uqbah bin ‘Amir pada Imam Nasa’i (2/62-636) dan Imam
Bukhari dalam At Tarikh (3/1/58) tentang orang yang tenggelam. Dan dari
Rasyid bin Hubais pada Imam Ahmad (3/289), rawi-rawinya tsiqah. Berkata Imam
Mundziri di dalam At Targhib (2/201): Sanadnya hasan.Dalam hadits ini
ada tambahan yaitu pada hadits Ubadah pada Imam Thayalisi dan Imam Ahmad. Dan
dari Abdullah bin Busr yang ada pada Imam Thabrani dengan rawi-rawi yang tsiqah
menurut Al Haitsami (5/301). Juga dari Jabir bin ‘Atiik yang akan datang
lafadznya pada poin berikut ini.
Tanda kesebelas dan kedua belas: Meninggal dengan sebab terbakar
atau sakit dzatul jambi (radang selaput dada)[5], dalam hal ini ada
beberapa hadits. Yang paling masyhur dari Jabir bin ‘Atik secara marfu’:
“Orang-orang
yang mati syahid selain orang yang terbunuh di jalan Allah ada tujuh: yang mati
karena tha’un adalah syahid, yang mati karena tenggelam adalah syahid, yang
mati karena radang selaput dada adalah syahid, yang mati karena sakit perut
adalah syahid, yang mati karena terbakar adalah syahid, yang mati karena
keruntuhan bangunan adalah syahid dan seorang yang mati bersama[6] karena anak
yang dikandungnya adalah syahid.”Dikeluarkan oleh Imam Malik (1/232-233), Imam
Abu Dawud (2/26), Imam Nasa’i (1/261), Imam Ibnu Majah ((2/186-186), Imam Ibnu
Hibban di dalam Shahih-nya (1616 Mawarid), Imam Al Hakim (1/352) dan
Imam Ahmad (5/446). Berkata Imam Al Hakim: Sanadnya shahih. Dan disepakati oleh
Imam Dzahabi. Saya tidak ragu tentang keshahihan matannya, karena hadits ini
memiliki pendukungnya yang banyak. Sebagian besarnya telah lewat. Juga
diriwayatkan oleh Imam Thabrani (4607) dari Rabi’ Al Anshari secara marfu’
hadits yang seperti ini, hanya saja menyebutkan tentang tenggelam. Berkata Al
Mundziri dan diikuti pula oleh Al Haitsami (5/300): Rawi-rawinya dijadikan
hujjah dalam Ash Shahih.
Diriwayatkan
oleh Imam ahmad (4/157) dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir secara marfu’ dengan
lafadz:
“Orang yang mati karena sakit radang selaput dada adalah syahid.”
Sanadnya
hasan sebagai pendukung. Telah lewat kalimat di atas pada sebagian jalan hadits
Abu Hurairah dalam tanda yang kelima di keluarkan oleh Imam Ahmad (2/441-442),
di dalam sanadnya ada Muhammad bin Ishaq dan ia seorang mudallis, bahkan di
sini ia mengungkapkannya dengan ‘an.Termasuk pendukung juga adalah
hadits Jabir bin ‘Atik yang baru saja berlalu.
Tanda ketiga belas: Meninggal dengan sebab sakit paru-paru (TBC),
berdasar sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Terbunuh di jalan Allah adalah syahid, mati karena mengandung adalah
syahid, mati karena terbakar adalah syahid, mati karena tenggelam adalah
syahid, mati karena sakit paru adalah syahid dan mati karena sakit perut adalah
syahid.”Dikatakan
dalam Majma’ Zawa’id (2/317 dan 5/301): Diriwayatkan oleh Imam Thabrani
di dalam Al ausath dari Salman dan di dalam sanadnya ada Mandal bin ‘Ali
yang banyak dibicarakan. Tetapi ditsiqahkan olehnya.
Saya
katakan: Akan tetapi didukung oleh hadits Rasyid bin Hubais yang telah
diisyaratkan pada tanda yang kesepuluh, dimana Imam Ahmad menambahkan padanya
dalam riwayat beliau: wassilu (was sillu/sakit paru). Rawi-rawinya ditsiqahkan
serta dinyatakan hasan oleh Al Mundziri sebagaimana yang lalu. Masih ada lagi
pendukung yang lain di dalam Al Majma’ dari hadits ‘Ubadah bin Shamit.
Pendukung yang ketiga dari hadits ‘Aisyah pada Imam Abu Nu’aim di dalam Akhbaru
Ashbahan (1/217-218).
Tanda keempat belas: Meninggal dalam rangka mempertahankan harta yang
akan dirampas, dalam hal ini ada beberapa hadits:Dari Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu’anhuma:
“Barangsiapa terbunuh dalam rangka mempertahankan hartanya (dalam sebuah
riwayat: Barangsiapa diinginkan hartanya dengan cara yang tidak haq lalu ia
memeranginya dan terbunuh) maka ia syahid.”Dikeluarkan oleh Imam Bukhari
(5/93), Imam Muslim (1/87), Imam Abu Dawud (2/285), Imam Nasa’i (2/173), Imam
tirmidzi (2/315) dan beliau menyatakan shahih. Juga oleh Imam Ibnu Majah
(2/123), Imam Ahmad (6816, 6823 dan 6829). Semuanya dengan riwayat kedua
kecuali Imam bukhari dan Imam Muslim dengan riwayat pertama. Dan ini satu riwayat
pada Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad (5288), semuanya dari Abdullah
bin Amr kecuali Imam Ibnu Majah, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Umar.
Dalam bab
ini ada hadits dari sa’id bin Zaid yang akan datang pada tanda kelima belas.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu ia berkata:
Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
lalu berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika ada seseorang yang
ingin mengambil harta saya?” Rasulullah menjawab: Jangan berikan hartamu
kepadanya!” Lalu orang itu berkata lagi: “Bagaimana pendapat engkau jika ia
menyerang saya?” Kata Rasulullah: “Lawan dia!” kata orang itu lagi: “Bagaimana
jika ia membunuh saya?” Rasulullah menjawab: “Kamu mati syahid.” Ia berkata
lagi: “Bagaimana pendapat engkau jika saya membunuhnya?” Kata Rasulullah: “Ia
masuk neraka.”
Dikeluarkan
oleh Imam Muslim (1/87), Imam Nasa’i (2/173) dan Imam Ahmad (1/33-360) dari
jalan lain dari Abu Hurairah.
Dari
Mukhariq radhiyallahu’anhu, ia berkata: “seseorang datang kepada Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam lalu berkata: “Bagaimana jika ada orang yang
datang kepada saya mengiginkan harta saya?” Rasulullah berkata: “Ingatkan ia
kepada Allah!” Orang itu berkata: “Jika ia tidak mau ingat?” Rasulullah
berkata: “Mintalah pertolongan kaum muslimin yang ada di sekitarmu untuk
menghadapinya!” Katanya lagi: “Jika tidak ada seorang pun dari kaum muslimin di
sekitar saya?” Rasulullah menjawab: “Mintalah pertolongan kepada penguasa!”
Kata orang itu lagi: “Jika penguasa itu jauh dari saya (sedangkan orang itu
mendesak saya?)” Rasulullah berkata: “Berperanglah untuk mempertahankan hartamu
hingga kamu menjadi di antara para syuhada di akhirat, atau kamu bisa
mempertahankan hartamu (menang)!”
Dikeluarkan
oleh Imam Nasa’i (5/293-295) dan tambahannya ada pada beliau dan sanadnya
shahih memenuhi persyaratan Muslim.
Tanda kelima belas dan keenam belas: Meninggal dalam rangka
mempertahankan agama dan jiwa, dalam hal ini ada dua hadits:
“Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid,
barangsiapa terbunuh karena mempertahankan keluarganya maka ia syahid, barang
siapa terbunuh karena mempertahankan agamanya maka ia syahid, barangsiapa
terbunuh karena mempertahankan darahnya maka ia syahid.”[7]Dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud
(2/275), Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi (2/316) dan beliau menshahihkannya, dan
Imam Ahmad (1652 dan 1653) dari Sa’id bin Zaid dan sanadnya shahih.
“Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan diri dari kedhaliman
seseorang maka ia syahid.”Dikeluarkan oleh Imam Nasa’i (2/173-174) dari hadits
Suwaid bin Muqarrin, Imam Ahmad (2780) dari Hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu’anhuma dan sanadnya shahih jika selamat dari keputusan antara
Sa’ad bin Ibrahim bin Abdirrahman bin ‘Auf dan Ibnu ‘Abbas. Karena Al ‘Alaa’i
menukil dalam Jami’it Tahshil (hal. 180) dari Ibnu Madini bahwasanya ia
(Sa’ad) tidak mendengar dari seorang sahabatpun. Akan tetapi salah satu di
antara dua jalannya mendukung yang lain. Dan dalam riwayat pertama ada rawi yag
tidak ditsiqahkan kecuali oleh Imam Ibnu Hibban.
Tanda ketujuh belas: Mati sebagai murabith (pasukan yang berjaga di
daerah perbatasan) di dalam perang di jalan Allah, kami sebutkan disini dua
hadits:
“berjaga di perbatasan (fibath) sehari semalam lebih baik dari puasa
sebulan penuh di tambah shalat malamnya. Jika orang yang berjaga di perbatasan
itu mati, maka akan mengalir terus (pahala) amalan yang ia lakukan dan akan
dialirkan terus rizki atasnya serta dijamin aman dari fitnah (kubur).”
Diriwayatkan
oleh Imam Muslim (6/51), Imam Nasa’i (2/63), Imam Tirmidzi (3/18), Imam Al
Hakim (2/80) (2/80) dan Imam Ahad (5/440, 441) dari Hadits Salman Al Farisi.
Juga diriwayatkan oleh Imam Thabrani (6179) dengan tambahan: “Dan dibangkitkan
pada hari kiamat sebagai syahid” akan tetapi di dalam sanadnya ada rawi yang
tidak dikenal oleh Al Haitsami di dalam Majma’-nya (5/290). Sedangkan Al
Mundziri mendiamkannya di dalam Targhib-nya (2/150).
“Semua orang yang telah mati ditutup amalannya, kecuali orang yang mati
sebagai murabith (penjaga perbatasan) di jalan Allah, sesungguhnya dikembangkan
terus amalannya hingga hari kiamat. Dan ia aman dari fitnah kubur.”
Dikeluarkan
oleh imam Abu Dawud (1/391), Imam Tirmidzi (3/2) dan dishahihkannya, Imam Al
Hakim (2/144) dan Imam Ahmad (6/20) dari Hadits Fadhalah bin ‘Ubaid
radhiyallahu’anhu. Imam Al Hakim mengatakan: Shahih memenuhi persyaratan
Bukhari dan Muslim.
Tanda kedelapan belas: Meninggal di atas amalan shalih,
berdasar kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang mengucapkan laailaaha illallah dalam rangka mencari
wajah Allah dan diakhiri hidupnya dengan amalan itu maka ia masuk jannah.
Barangsiapa puasa satu hari dalam rangka mencari wajah Allah dan diakhiri
hidupnya dengan amalan itu maka ia masuk jannah. Barang siapa bershadaqah satu shadaqah
dalam rangka mencari wajah Allah dan diakhiri hidupnya dengan amalan itu maka
ia masuk jannah.”
Dikeluarkan
oleh Imam Ahmad dari Hudzaifah radhiyallahu’anhu dengan mengatakan: Kusandarkan
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ke dadaku lalu beliau berkata…, lalu ia
menyebutkan hadits ini dan sanadnya shahih. Al Mundziri berkata (2/61): Tidak
ada masalah (dalam sanadnya).
Berkata Al
Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Fath (6/43) ketika menyebutkan sebab-sebab
syahid dan cabang-cabangnya: Sesunguhnya terkumpul pada kami dari jalur-jalur
yang shahih, lebih dari dua puluh cabang.
Catatan: Imam Bukhari memberi judul bab dalam Shahih-nya (6/89): Bab
tentang perkataan “Si Fulan syahid” Adalah termasuk perbuatan banyak orang yang
bermudah-mudahan, yaitu dengan mengatakan “Sang syahid Fulan… dan sang syahid
Fulan.”
Foot note:
[1]. Lihat
kembali Tuhfatul Ahwadzi dan Al Musykil (1368).
[2]. Yaitu
dengan sebab sakit perut yang berupa busung air atau kembung perut. Ada yang
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah urus-urus. Ada pula yang mengatakan:
yaitu orang yang sakit perutnya.
[3]. Yaitu
wanita yang mati dalam keadaan mengandung (lihat perkataan dalam Nihayah pada
footnote yang setelah ini.
[4]. Surrah/pusar
adalah apa yang masih ada (di perut bayi) setelah dipotong oleh bidan.
Sedangkan Surar/tali pusar adalah yang dipotong (dibuang), juga dibaca
dengan ra’ didhammah (surur).
[5]. Yaitu
bengkak yang panas pada selaput bagian dalam rusuk.
[6].
Disebutkan dalam Nihayah yaitu: Wanita yang mati sedangkan di dalam
perutnya ada anaknya. Ada yang mengatakan: wanita yang mati ketika masih gadis.
Juma artinya dikumpulkan, Al Kasaa’i membacanya jim artinya
bahwasanya ia mati barang bersama sesuatu yang menyatu dengannya dan tidak
terpisah darinya yang berupa kandungan atau kegadisan.Saya katakan: Adapun yang
pasti dimaksud di sini adalah kandungan, berdasarkan hadits yang terdahulu pada
tanda kesepuluh dengan lafadz: Mati bersama anaknya karena anak yang ia
kandung.
[7]. Saya
katakan: Ini jika dimutlakkan mencakup empat macam yang disebutkan dalam hadits
pertama maupun yang lainnya. [Dikutip dari Kitab Ahkamul Janaiz wa Bida’uha
karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Edisi Indonesia, Ahkamul Janaiz
– Tuntunan Pengurusan Jenazah & Ziarah Kubur. Penerbit Ash Shaf
media, halaman: 85 – 104. Ucapan terimakasih: Untuk al Akh Dzulkifli yang
meminjamkan kitab ini. Mudah-mudahan Allah mencatatnya sebagai amalan yang
sempurna]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullahu ta’ala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar