Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Sabtu, 14 Juli 2012

Tanda - tanda Husnul Khatimah


Kemudian Dzat pembuat syari’at Yang Maha Bijaksana telah menjadikan tanda-tanda yang jelas yang bisa dijadikan petunjuk atas husnul khatimah (pada seseorang), semoga Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan untuk kita dengan kemurahan dan karunia-Nya.Maka siapa saja yang meninggal disertai adanya salah satu di antara tanda-tanda itu berarti merupakan kabar gembira baginya. Duhai indahnya kabar gembira itu: *

Tanda pertama: Mengucapkan syahadat menjelang kematiannya. Dalam hal ini ada beberapa hadits:
“Barangsiapa yang akhir ucapannya lailahaillallah maka ia masuk jannah.”
Dikeluarkan oleh Imam Al Hakim maupun yang lain dengan sanad yang hasan dari Mu’adz radhiyallahu’anhu. Dan melalui jalan lain juga darinya dengan lafadz:
“Tidaklah suatu jiwa mat, sedangkan ia bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, yang ucapannya itu kembali ke lubuk hati yang yakin, melainkan Allah ampuni jiwa itu.”
Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad maupun yang lain dan dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban. Tetapi menurut saya sanadnya hasan sebagaimana yang saya jelaskan dalam Ash-Shahihah (2278). Hadits ini ada pendukungnya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang telah lalu pada bab talqin.
Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu ia mengatakan:“Ketika Umar melihat Thalhah bin Ubaidillah dalam keadaan berat, ia berkata: “Ada apa engkau wahai Abu Fulan? Barangkali engkau diperlakukan buruk oleh istri pamanmu wahai Abu Fulan?”
Thalhah menjawab: “tidak (dan ia memuji-muji Abu Bakr), kecuali aku mendengar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebuah hadits yang tidak ada penghalang bagiku untuk bertanya tentangnya kecuali taqdir yang menemui Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hingga beliau meninggal. Aku mendengar beliau mengatakan:
“Sesungguhnya aku benar-benar tahu sepatah kalimat. Tidaklah seorang hamba mengucapkannya ketika menjelang kematiannya, kecuali Allah akan mencerahkan warna (kulitnya) dan Allah ringankan darinya penderitaannya.”
Maka Umar berkata: “sesungguhnya aku bener-bener tahu kalimat apa itu. Apakah engkau tahu kalimat yang lebih agung dari kalimat yang Rasulullah perintahkan kepada pamannya, yaitu kalimat Lailahaillallah?
Kata Thalhah: “Engkau benar, ya kalimat itu demi Allah.”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (no.1384) dengan sanad yang shahih, Imam Ibnu Hibban (no.2) dengan sanad yang sama dan Imam Al-Hakim (1/350, 351) dan tambahannya persyaratan Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh Imam Dzahabi. Dan dalam bab ini ada beberapa hadits yang telah disebutkan dalam bab Talqin. *
Tanda kedua: Meninggal dalam keadaan berkeringat di dahi (keningnya), berdasar hadits Buraidah bin Hushaib radhiyallahu’anhu, bahwa ia di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Ternyata ia mendapatinya meninggal dan berkeringat dikeningnya. Maka ia berkata: Allahu akbar! Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Matinya seorang Mukmin itu ditandai dengan keringat di kening.”
Dikeluarkan oleh imam Ahmad (5/357, 360) dan teks hadits ini ada pada beliau. Juga oleh Imam Nasa’i (1/259), Imam Tirmidzi (2/128) dan beliau menghasankannya, Imam Ibnu Majah (1/443, 444), Imam Ibnu Hibban (730), Imam Al Hakim (1/361), Imam thayalisi (808), Imam abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/223). Imam Al-Hakim mengatakan: Shahih, memenuhi persyaratan Muslim, dan disepakati oleh Imam Dzahabi.Saya katakan: Ini perlu diperiksa! Akan tetapi bukan di sini tempat pembahasannya. Apalagi bahwa satu di antara dua sanad Imam Nasa’i shahih memenuhi persyaratan Bukhari. Hadits ini ada pendukungnya dari Hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Al-Ausath dan Al-Kabiir. Rawi-rawinya tsiqah yaitu rawi-rawi Ash-Shahih sebagaimana dalam Al-Majma’ (2/325). *
Tanda ketiga: Meninggal pada malam Jum’at atau siangnya, berdasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at kecuali Allah selamatkan dari fitnah kubur.” Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6582-6646) dan Imam Fawasi dalam Al-Ma’rifah (2/520) dari dua jalan dari Abdullah bin amr. Imam Tirmidzi dari salah satu di antara jalan itu. Hadits ini ada pendukungnya dari anas dan jabir bin abdillah maupun yang lain. Maka hadits ini dengan keseluruhannya jalannya hasan atau shahih[1]. *
Tanda keempat: Mati syahid di medan jihad, berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Ali Imran (169-170):
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapatkan rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bersenang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Ali Imran: 169-170)
Dalam bab ini ada beberapa hadits:Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Bagi orang yang mati syahid ada enam bagian di sisi Allah: diampuni baginya sejak awal kucuran darahnya, ditampakkan tempat tinggalnya di jannah, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang dahsyat, dihiasi dengan hiasan iman, dijodohkan dengan bidadari yang bermata indah dan diijinkan mensyafa’ati tujuh puluh dari karib kerabatnya.” Dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi (3/17) dan beliau menshahihkannya, imam Ibnu Majah (2/184) dan Imam Ahmad (4/131) dengan sanad yang shahih. Kemudian juga beliau mengeluarkan (4/200) dari hadits Ubadah bin Shamit dan Qais Al Judzami (4/200) dan sanad keduanya juga shahih.
Dari seorang sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa ada seorang yang berkata:
“Ya Rasulullah, mengapa orang-orang mukmin mendapat fitnah dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid? ”Rasulullah berkata: “cukup dengan kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah.” Diriwayatkan oleh Imam Nasa’i (1/289) dan diriwayatkan juga darinya oleh Al Qasim Saraqusthi dalam Gharibul Hadits (2/165/1) dan sanadnya shahih.
Catatan: Sangat diharapkan kesyahidan ini didapatkan bagi orang yang memintanya dengan ikhlas dari hatinya walaupun tidak mudah baginya mati syahid di medan perang. Hal ini berdasar kepada sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Barangsiapa minta kesyahidan kepada Allah dengan jujur, niscaya Allah sampaikan ia pada kedudukan para syuhada walaupun mati di kasurnya.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim (6/49) dan Imam Baihaqi (9/169) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini ada pendukungnya dalam Al Mustadrak (2/77). *
Tanda kelima: Mati sebagai tentara di jalan Allah. Dalam hal ini ada dua hadits:
Dari Abu hurairah radhiyallahu’anhu ia berkata:Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata para sahabat: “Apa saja yang termasuk mati syahid di antara kalian?” Mereka menjawab: “Ya Rasulullah, barang siapa terbunuh di jalan Allah dialah orang yang syahid.” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata: “Kalau begitu orang yami syahid dikalangan umatku jumlahnya sangat sedikit.” Para sahabat berkata: “Jadi mereka itu siapa saja ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah maka dia mati syahid, barang siapa yang mati di jalan (membela) Allah maka dia mati syahid, barangsiapa yang mati karena wabah Tha’un dia mati syahid, barangsiapa mati karena sakit perut[2] dia mati syahid dan orang yang mati tenggelam dia syahid.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim (6/51) dan Imam Ahmad (2/522) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Dalam bab ini ada hadits dari Umar dalam riwayat Imam Al Hakim (2/109) dan Riwayat Imam Baihaqi. Dari Abu Malik Al anshari radhiyallahu’anhu ia berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang keluar di jalan Allah lalu ia mati atau terbunuh maka ia syahid. Atau terjatuh dari kudanya atau untanya, atau disengat binatang berbisa, atau mati di kasurnya dengan sebab kematian aoa saja yang dikehendaki Allah, maka ia syahid dan ia mendapat jannah.” Dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (1/391), Imam Al Hakim (2/78) dan Imam Baihaqi (9/166) dari hadits Abu Malik Al Anshari, dinyatakan shahih oleh Imam al Hakim. Tetapi yang benar hadits ini hasan saja. Kemudian nampak bahwa saya keliru dalam hal ini, karena sesungguhnya hadits ini lemah. Bisa dilihat dalam Adh Dha’ifah (5630). *
Tanda keenam: Meninggal dengan sebab sakit tha’un (pes/sampar). Dalam masalah ini ada beberapa hadits:
Dari Hafshah bintu Sirin, ia berkata:Anan bin Malik radhiyallahu’anhu berkata kepadaku: “Apa penyebab kematian Yahya bin Abi ‘Amrah?” Saya berkata: “Dengan sebab penyakit Tha’un.” Maka Anas berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (10/156-157), Imam Thayalisi (2113) dan Imam Ahmad (3/150, 220, 223, dan 258-256).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang Tha’un. Maka Nabi memberitahu:
“sesungguhnya Tha’un adalah adzab yang Allah subhanahu wa ta’ala kirim kepada siapa saja yang dikehendaki dan Allah menjadikannya sebagai Rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidaklah seorang hamba tertimpa penyakit Tha’un, lalu ia tetap tinggal di daerahnya dengan sabar dan yakin (beriman) bahwa tidaklah hal itu menimpa dirinya kecuali dengan ketentuan Allah pada dirinya, tiada lain ia akan mendapatkan pahala seperti pahala syahid.” Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (10/157-158), Imam Baihaqi (3/376) dan Imam Ahmad (6/64, 145, 252).
Dari ‘Utbah bin ‘Abdin As Sulami ia berkata:Datang (pada hari kiamat) para syuhada dan orang-orang yang mati sebab penyakit tha’un. Orang-orang yang mati dengan sebab tha’un berkata: “Kami adalah para syuhada.’” Lalu dikatakan: “Lihatlah, apabila lukanya seperti luka para syuhada yang mengelirkan daran tetapi berbau misik berarti mereka syuhada.” Maka mereka mendapatinya memang demikian.” Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/185) dan Imam Thabrani dalam Al Kabiir (Majmu’, (6/55/2) dengan sanad yang hasan sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz (10/159) dari ‘Utbah bin ‘Abdin as Sulami radhiyallahu’anhu. Hadits ini ada pendukungnya dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu yang dikeluarkan oleh Imam Nasa’i (2/63), Imam ahmad (4/128, 129) dan Imam Thabrani (73/2), dinyatakan hasan juga oleh Al Hafidz dan memang hadits ini hasan kalau sebagai pendukung. Dalam bab ini juga ada hadits dari abu Hurairah yang telah lewat pada tanda kelima hadits yang pertama. Akan datang juga pada tanda kedelapan dan kesembilan. Juga hadits dari ‘Ubadah yang akan datang pada tanda kesepuluh.
Tanda ketujuh: Meninggal dengan sebab sakit perut, dalam hal ini ada dua hadits:
“….dan barang siapa dengan sebab sakit perut maka ia syahid.”
Diriwayatkan oleh Imam Muslim maupun yang lain, dan telah lewat dengan sempurna pada tanda yang kelima.
Dari Abdullah bin Yasar, ia berkata: Aku pernah duduk bersama Suliman bin Shurad dan Khalid bin ‘Urfuthah. Mereka menyebutkan tentang seseorang yang meninggal dengan sebab sakit perut. Tiba-tiba muncul keinginan pada mereka untuk menghadiri jenazahnya. Maka salah satu dari mereka berkata kepada yang lain: “Bukankah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah berkata: “Barangsiapa yang mati dengan sebab sakit perutnya maka ia tidak akan diadzab di dalam kuburnya?” Temannya menjawab: “Memang benar.” Dalam sebuah riwayat: “Engkau benar.” Dikeluarkan oleh Imam Nasa’i (1/289), Imam Tirmidzi (2/160) Imam Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya (no.728-Mawarid), Imam Thayalisi (1288) dan Imam Ahmad (4/262) dan sanadnya shahih.
Tanda kedelapan dan kesembilan: Meninggal karena tenggelam dan keruntuhan bangunan, berdasar kepada sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Orang yang mati syahid itu ada lima: mati karena tha’u, mati karena sakit perut, mati karena tenggelam, mati karena keruntuhan bangunan dan mati perang di jalan Allah.” Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6/33-34), Imam Muslim (6/51), Imam Tirmidzi (2/159) dan Imam Ahmad (2/325 dan 533) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Tanda kesepuluh: Seorang wanita yang meninggal di dalam masa nifasnya yaitu meninggal karena melahirkan anaknya, berdasar kepada hadits ‘Ubadah bin Shamit:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah menjenguk Abdullah bin Rawahah. (Dikatakan) Ia tidak bergeser dari tempat tidurnya. Rasulullah berkata: “Tahukah engkau siapa orang-orang yang mati syahid di antara umatku?” Ia menjawab: “Terbunuhnya seorang muslim (di jalan Allah) adalah mati syahid.” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata: “Kalau begitu orang yang mati syahid di antara umatku sangat sedikit! Seorang Muslim yang mati di jalan Allah adalah syahid, mati karena tha’un adalah syahid, seorang yang mati karena anak yang ia kandung[3] adalah syahid, (anaknya itu kelak akan menariknya dengan surorun (tali pusarnya)[4] ke jannah).”Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/201-5/208), Imam Darimi (2/208) dan Imam Thayalisi (582) dan sanadnya shahih. Juga ada jalan lain dalam Musnad Imam Ahmad (4/315, 317, 328) dan Tarikh Ibnu ‘Asakir (8/436/2). Dalam bab ini ada juga hadits dari Shafwan bin Umayyah pada Imam Darimi, Imam Nasa’i (1/289) dan Imam Ahmad (6/465-466). Juga dari ‘Uqbah bin ‘Amir pada Imam Nasa’i (2/62-636) dan Imam Bukhari dalam At Tarikh (3/1/58) tentang orang yang tenggelam. Dan dari Rasyid bin Hubais pada Imam Ahmad (3/289), rawi-rawinya tsiqah. Berkata Imam Mundziri di dalam At Targhib (2/201): Sanadnya hasan.Dalam hadits ini ada tambahan yaitu pada hadits Ubadah pada Imam Thayalisi dan Imam Ahmad. Dan dari Abdullah bin Busr yang ada pada Imam Thabrani dengan rawi-rawi yang tsiqah menurut Al Haitsami (5/301). Juga dari Jabir bin ‘Atiik yang akan datang lafadznya pada poin berikut ini.
Tanda kesebelas dan kedua belas: Meninggal dengan sebab terbakar atau sakit dzatul jambi (radang selaput dada)[5], dalam hal ini ada beberapa hadits. Yang paling masyhur dari Jabir bin ‘Atik secara marfu’:
“Orang-orang yang mati syahid selain orang yang terbunuh di jalan Allah ada tujuh: yang mati karena tha’un adalah syahid, yang mati karena tenggelam adalah syahid, yang mati karena radang selaput dada adalah syahid, yang mati karena sakit perut adalah syahid, yang mati karena terbakar adalah syahid, yang mati karena keruntuhan bangunan adalah syahid dan seorang yang mati bersama[6] karena anak yang dikandungnya adalah syahid.”Dikeluarkan oleh Imam Malik (1/232-233), Imam Abu Dawud (2/26), Imam Nasa’i (1/261), Imam Ibnu Majah ((2/186-186), Imam Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya (1616 Mawarid), Imam Al Hakim (1/352) dan Imam Ahmad (5/446). Berkata Imam Al Hakim: Sanadnya shahih. Dan disepakati oleh Imam Dzahabi. Saya tidak ragu tentang keshahihan matannya, karena hadits ini memiliki pendukungnya yang banyak. Sebagian besarnya telah lewat. Juga diriwayatkan oleh Imam Thabrani (4607) dari Rabi’ Al Anshari secara marfu’ hadits yang seperti ini, hanya saja menyebutkan tentang tenggelam. Berkata Al Mundziri dan diikuti pula oleh Al Haitsami (5/300): Rawi-rawinya dijadikan hujjah dalam Ash Shahih.
Diriwayatkan oleh Imam ahmad (4/157) dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir secara marfu’ dengan lafadz:
“Orang yang mati karena sakit radang selaput dada adalah syahid.”
Sanadnya hasan sebagai pendukung. Telah lewat kalimat di atas pada sebagian jalan hadits Abu Hurairah dalam tanda yang kelima di keluarkan oleh Imam Ahmad (2/441-442), di dalam sanadnya ada Muhammad bin Ishaq dan ia seorang mudallis, bahkan di sini ia mengungkapkannya dengan ‘an.Termasuk pendukung juga adalah hadits Jabir bin ‘Atik yang baru saja berlalu.
Tanda ketiga belas: Meninggal dengan sebab sakit paru-paru (TBC), berdasar sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Terbunuh di jalan Allah adalah syahid, mati karena mengandung adalah syahid, mati karena terbakar adalah syahid, mati karena tenggelam adalah syahid, mati karena sakit paru adalah syahid dan mati karena sakit perut adalah syahid.”Dikatakan dalam Majma’ Zawa’id (2/317 dan 5/301): Diriwayatkan oleh Imam Thabrani di dalam Al ausath dari Salman dan di dalam sanadnya ada Mandal bin ‘Ali yang banyak dibicarakan. Tetapi ditsiqahkan olehnya.
Saya katakan: Akan tetapi didukung oleh hadits Rasyid bin Hubais yang telah diisyaratkan pada tanda yang kesepuluh, dimana Imam Ahmad menambahkan padanya dalam riwayat beliau: wassilu (was sillu/sakit paru). Rawi-rawinya ditsiqahkan serta dinyatakan hasan oleh Al Mundziri sebagaimana yang lalu. Masih ada lagi pendukung yang lain di dalam Al Majma’ dari hadits ‘Ubadah bin Shamit. Pendukung yang ketiga dari hadits ‘Aisyah pada Imam Abu Nu’aim di dalam Akhbaru Ashbahan (1/217-218).
Tanda keempat belas: Meninggal dalam rangka mempertahankan harta yang akan dirampas, dalam hal ini ada beberapa hadits:Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma:
“Barangsiapa terbunuh dalam rangka mempertahankan hartanya (dalam sebuah riwayat: Barangsiapa diinginkan hartanya dengan cara yang tidak haq lalu ia memeranginya dan terbunuh) maka ia syahid.”Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (5/93), Imam Muslim (1/87), Imam Abu Dawud (2/285), Imam Nasa’i (2/173), Imam tirmidzi (2/315) dan beliau menyatakan shahih. Juga oleh Imam Ibnu Majah (2/123), Imam Ahmad (6816, 6823 dan 6829). Semuanya dengan riwayat kedua kecuali Imam bukhari dan Imam Muslim dengan riwayat pertama. Dan ini satu riwayat pada Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad (5288), semuanya dari Abdullah bin Amr kecuali Imam Ibnu Majah, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Umar.
Dalam bab ini ada hadits dari sa’id bin Zaid yang akan datang pada tanda kelima belas.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ia berkata:
Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika ada seseorang yang ingin mengambil harta saya?” Rasulullah menjawab: Jangan berikan hartamu kepadanya!” Lalu orang itu berkata lagi: “Bagaimana pendapat engkau jika ia menyerang saya?” Kata Rasulullah: “Lawan dia!” kata orang itu lagi: “Bagaimana jika ia membunuh saya?” Rasulullah menjawab: “Kamu mati syahid.” Ia berkata lagi: “Bagaimana pendapat engkau jika saya membunuhnya?” Kata Rasulullah: “Ia masuk neraka.”
Dikeluarkan oleh Imam Muslim (1/87), Imam Nasa’i (2/173) dan Imam Ahmad (1/33-360) dari jalan lain dari Abu Hurairah.
Dari Mukhariq radhiyallahu’anhu, ia berkata: “seseorang datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lalu berkata: “Bagaimana jika ada orang yang datang kepada saya mengiginkan harta saya?” Rasulullah berkata: “Ingatkan ia kepada Allah!” Orang itu berkata: “Jika ia tidak mau ingat?” Rasulullah berkata: “Mintalah pertolongan kaum muslimin yang ada di sekitarmu untuk menghadapinya!” Katanya lagi: “Jika tidak ada seorang pun dari kaum muslimin di sekitar saya?” Rasulullah menjawab: “Mintalah pertolongan kepada penguasa!” Kata orang itu lagi: “Jika penguasa itu jauh dari saya (sedangkan orang itu mendesak saya?)” Rasulullah berkata: “Berperanglah untuk mempertahankan hartamu hingga kamu menjadi di antara para syuhada di akhirat, atau kamu bisa mempertahankan hartamu (menang)!”
Dikeluarkan oleh Imam Nasa’i (5/293-295) dan tambahannya ada pada beliau dan sanadnya shahih memenuhi persyaratan Muslim.
Tanda kelima belas dan keenam belas: Meninggal dalam rangka mempertahankan agama dan jiwa, dalam hal ini ada dua hadits:
“Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid, barangsiapa terbunuh karena mempertahankan keluarganya maka ia syahid, barang siapa terbunuh karena mempertahankan agamanya maka ia syahid, barangsiapa terbunuh karena mempertahankan darahnya maka ia syahid.”[7]Dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (2/275), Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi (2/316) dan beliau menshahihkannya, dan Imam Ahmad (1652 dan 1653) dari Sa’id bin Zaid dan sanadnya shahih.
“Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan diri dari kedhaliman seseorang maka ia syahid.”Dikeluarkan oleh Imam Nasa’i (2/173-174) dari hadits Suwaid bin Muqarrin, Imam Ahmad (2780) dari Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma dan sanadnya shahih jika selamat dari keputusan antara Sa’ad bin Ibrahim bin Abdirrahman bin ‘Auf dan Ibnu ‘Abbas. Karena Al ‘Alaa’i menukil dalam Jami’it Tahshil (hal. 180) dari Ibnu Madini bahwasanya ia (Sa’ad) tidak mendengar dari seorang sahabatpun. Akan tetapi salah satu di antara dua jalannya mendukung yang lain. Dan dalam riwayat pertama ada rawi yag tidak ditsiqahkan kecuali oleh Imam Ibnu Hibban.
Tanda ketujuh belas: Mati sebagai murabith (pasukan yang berjaga di daerah perbatasan) di dalam perang di jalan Allah, kami sebutkan disini dua hadits:
“berjaga di perbatasan (fibath) sehari semalam lebih baik dari puasa sebulan penuh di tambah shalat malamnya. Jika orang yang berjaga di perbatasan itu mati, maka akan mengalir terus (pahala) amalan yang ia lakukan dan akan dialirkan terus rizki atasnya serta dijamin aman dari fitnah (kubur).”
Diriwayatkan oleh Imam Muslim (6/51), Imam Nasa’i (2/63), Imam Tirmidzi (3/18), Imam Al Hakim (2/80) (2/80) dan Imam Ahad (5/440, 441) dari Hadits Salman Al Farisi. Juga diriwayatkan oleh Imam Thabrani (6179) dengan tambahan: “Dan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai syahid” akan tetapi di dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal oleh Al Haitsami di dalam Majma’-nya (5/290). Sedangkan Al Mundziri mendiamkannya di dalam Targhib-nya (2/150).
“Semua orang yang telah mati ditutup amalannya, kecuali orang yang mati sebagai murabith (penjaga perbatasan) di jalan Allah, sesungguhnya dikembangkan terus amalannya hingga hari kiamat. Dan ia aman dari fitnah kubur.”
Dikeluarkan oleh imam Abu Dawud (1/391), Imam Tirmidzi (3/2) dan dishahihkannya, Imam Al Hakim (2/144) dan Imam Ahmad (6/20) dari Hadits Fadhalah bin ‘Ubaid radhiyallahu’anhu. Imam Al Hakim mengatakan: Shahih memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim.
Tanda kedelapan belas: Meninggal di atas amalan shalih, berdasar kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang mengucapkan laailaaha illallah dalam rangka mencari wajah Allah dan diakhiri hidupnya dengan amalan itu maka ia masuk jannah. Barangsiapa puasa satu hari dalam rangka mencari wajah Allah dan diakhiri hidupnya dengan amalan itu maka ia masuk jannah. Barang siapa bershadaqah satu shadaqah dalam rangka mencari wajah Allah dan diakhiri hidupnya dengan amalan itu maka ia masuk jannah.”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Hudzaifah radhiyallahu’anhu dengan mengatakan: Kusandarkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ke dadaku lalu beliau berkata…, lalu ia menyebutkan hadits ini dan sanadnya shahih. Al Mundziri berkata (2/61): Tidak ada masalah (dalam sanadnya).
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Fath (6/43) ketika menyebutkan sebab-sebab syahid dan cabang-cabangnya: Sesunguhnya terkumpul pada kami dari jalur-jalur yang shahih, lebih dari dua puluh cabang.
Catatan: Imam Bukhari memberi judul bab dalam Shahih-nya (6/89): Bab tentang perkataan “Si Fulan syahid” Adalah termasuk perbuatan banyak orang yang bermudah-mudahan, yaitu dengan mengatakan “Sang syahid Fulan… dan sang syahid Fulan.”
Foot note:
[1]. Lihat kembali Tuhfatul Ahwadzi dan Al Musykil (1368).
[2]. Yaitu dengan sebab sakit perut yang berupa busung air atau kembung perut. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah urus-urus. Ada pula yang mengatakan: yaitu orang yang sakit perutnya.
[3]. Yaitu wanita yang mati dalam keadaan mengandung (lihat perkataan dalam Nihayah pada footnote yang setelah ini.
[4]. Surrah/pusar adalah apa yang masih ada (di perut bayi) setelah dipotong oleh bidan. Sedangkan Surar/tali pusar adalah yang dipotong (dibuang), juga dibaca dengan ra’ didhammah (surur).
[5]. Yaitu bengkak yang panas pada selaput bagian dalam rusuk.
[6]. Disebutkan dalam Nihayah yaitu: Wanita yang mati sedangkan di dalam perutnya ada anaknya. Ada yang mengatakan: wanita yang mati ketika masih gadis. Juma artinya dikumpulkan, Al Kasaa’i membacanya jim artinya bahwasanya ia mati barang bersama sesuatu yang menyatu dengannya dan tidak terpisah darinya yang berupa kandungan atau kegadisan.Saya katakan: Adapun yang pasti dimaksud di sini adalah kandungan, berdasarkan hadits yang terdahulu pada tanda kesepuluh dengan lafadz: Mati bersama anaknya karena anak yang ia kandung.
[7]. Saya katakan: Ini jika dimutlakkan mencakup empat macam yang disebutkan dalam hadits pertama maupun yang lainnya. [Dikutip dari Kitab Ahkamul Janaiz wa Bida’uha karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Edisi Indonesia, Ahkamul Janaiz – Tuntunan Pengurusan Jenazah & Ziarah Kubur. Penerbit Ash Shaf media, halaman: 85 – 104. Ucapan terimakasih: Untuk al Akh Dzulkifli yang meminjamkan kitab ini. Mudah-mudahan Allah mencatatnya sebagai amalan yang sempurna]

oleh:
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullahu ta’ala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar