Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Minggu, 22 Juli 2012

Ketinggian Hilal Harus 2 derajat ?


Oleh Ustadz Alfian
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة »
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari). (HR. Muslim 1081)

Dalam hadits tersebut sangat jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
memerintahkan untuk berpegang kepada ru`yatul hilal untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, atau apabila gagal maka ditempuh cara istikmal (menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari).
Namun bersama jelasnya hadits tersebut setiap tahun kaum muslimin selalu rebut dan berselisih. Sebagian menyatakan bahwa ketinggian hilal minimal harus 2 derajat baru dinyatakan masuk Ramadhan atau Idul Fitri, sebagian menyatakan harus 4 derajat, dan masih banyak lagi. Kebingunan ini semakin rumit, ketika sebagian pihak sudah mengumumkan kapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah sejak jauh-jauh hari. Sehingga jauh hari sebelum Ramadhan datang, sudah terbayang bahwa Ramadhan tahun tersebut atau Idul Fitri tahun tersebut akan ada dua versi atau  umat Islam pasti tidak barsamaan dalam berpuasa atau berhari raya.
Sebagian pihak menyayangkan situasi perpecahan tersebut. Mereka mengatakan mengapa umat Islam tidak mau sepakat berpegang pada ilmu hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri? karena hisab falaki merupakan ilmu yang sudah sangat canggih dan hasilnya akurat, tidak keliru. Sehingga hisab falaki bersifat qathi’i sementara ru`yah adalah zhanni.
Akurasi hisab falaki sebenarnya tidak diragukan lagi. Namun anggapan bahwa hisab falaki bersifat qath’i tidak bisa dibenarkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh pakar hisab dari LAPAN, “Pendekatan murni astronomis bisa menyesatkan bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syari’at.”
Jadi sebenarnya, hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri tidak bisa murni, harus “disesuaikan” dengan hukum-hukum syar’i. Maka tidak bisa lepas dari kriteria-kriteria tertentu supaya sesuai dengan hukum syari’at, yang itu bersifat zhanni. Sehingga hisab falaki bukanlah suatu hal qath’i lagi, namun zhanni.
Ada beberapa kriteria hisab falaki,
1. Kriteria Ijtimak (Konjungsi)
Penjelasannya sebagai berikut, sebagaimana diketahui bahwa Bulan beredar mengelilingi bumi, demikian pula Matahari dalam gerak semunya mengelilingi bumi. Peredaran Bulan lebih  cepat dibanding peredaran Matahari, sehingga Matahari selalu terkejar, dan itu terjadi berkali-kali. Pada saat Matahari terkejar oleh Bulan dan keduanya pada posisi pada garis lurus itulah yang disebut Ijtimak (konjungsi). Menurut kriteria ini, sesaat setelah ijtima’ sudah terbentuk bulan baru (hilal) meskipun tidak bisa teramati.
Tentu saja, ilmu hisab falaki dengan sangat akurat mampu menghitung peredaran Matahari dan Bulan, dan mampu menentukan secara tepat kapan ijtima’. Namun ketentuan aturan (kriteria) bahwa sesaat setelah ijtima’ itu terbentuk bulan baru (hilal) meskipun tidak bisa teramati, dari mana kriteria ini? Jelas-jelas kriteria ini mengabaikan aturan syari’at bahwa hilal harus teramati oleh mata. Pakar hisab sendiri mengatakan, “Bulan baru astronomi atau ijtimak tidak ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas bulan qamariyah.”
2. Kriteria Wujudul Hilal
Kriteria ini merupakan “penyempurna” kriteria sebelumnya. Kriteria ini menyatakan tidak cukup ijtimak, namun harus dilihat posisi Matahari dan Bulan pada senja hari setelah Ijtimak. Apabila pada senja hari tersebut Matahari tenggelam lebih dahulu, maka berarti tercapai satu kondisi bahwa Bulan sudah di atas ufuk (wujud) pada saat Matahari tenggelam, berapapun ketinggian Bulan/hilal tersebut. Maka keesokan harinya berarti telah masuk Ramadhan/Idul Fitri. Jadi yang penting menurut kriteria ini adalah posisi hilal sudah di atas ufuk ketika Matahari tenggelam paska terjadinya ijtimak. Saat itu hilal sudah wujud (ada di atas ufuk) meskipun tidak bisa teramati oleh mata. Termasuk ketika mendung sekalipun, asalkan hilal sudah di atas ufuk, maka besok sudah bisa berpuasa atau berlebaran.
Tentu saja hisab falaki dengan sangat akurat bisa menghitung posisi Bulan/hilal ketika Matahari tenggelam. Berapapun ketinggiannya, entah 20 atau kurang, yang penting sudah di atas ufuk berarti sudah Ramadhan/Idul Fitri. Namun masalahnya, kriteria ini jelas-jelas bertabrakan dengan nash hadits. Hadits mempersyaratkan hilal harus terlihat dengan mata, tidak semata-mata posisi hilal di atas ufuk.
Maka jangan heran apabila kriteria wujudul hilal pun menuai banyak kritik dari sesama praktisi hisab. Dinilai bahwa kriteria ini sudah usang, tidak ada landasan hukumnya, dan masih banyak lagi.
3. Kriteria Imkanur Ru`yah (visibilitas hilal)
Kriteria ini tidak hanya mempertimbangkan posisi hilal di atas ufuk ketika Matahari tenggelam paska Ijtimak, namun memperhitungkan faktor-faktor lain sehingga mencapai kondisi Imkanur Ru`yah, yakni hilal memungkinkan untuk dilihat, meskipun tidak harus benar-benar terlihat. Kemudian dalam menentukan faktor-faktor imkan itulah, para ahli hisab sendiri berselisih. Ada yang mempersyaratkan ketinggian minimal 20, ada yang menyatakan minimal 40.
Tentu saja hisab falaki dengan sangat akurat bisa memperhitungkan berapa ketinggian hilal tatkala Matahari tenggelam paska Ijtimak, apakah 60 , 50 ataukah 20. Namun bisa berselisih, misalnya jika hasilnya adalah 20, maka menurut pihak yang mempersyarakat ketinggian minimal adalah 40 maka belum masuk Ramadhan atau belum Hari Raya, sementara yang mempersyaratkan 20 maka besok sudah Puasa atau sudah Lebaran. Bingung?
Ada lagi yang memperhitungkan jarak sudut antara Matahari dan Bulan, ada lagi yang memperhitungkan lebar hilal, dan sekian faktor lainnya. Dari manakah aturan-aturan tersebut datangnya? Sementara dalam syariat hanya dituntut hilal harus benar-benar terlihat oleh mata. Tidak sekedar imkan/visible (mungkin). Jika tidak bisa terlihat, terhalang mendung atau lainnya, maka ditempuh cara istikmal, meskipun secara hisab falaki hilal mungkin untuk terlihat karena ketinggian dan umur hilal sudah memenuhi kriteria secara hisab.
Maka kelompok hisab versi lainnya pun mengkritik tajam kriteria ini. Dianggapnya bahwa kriteria imkanur ru`yah ini terlalu rumit.
Sehingga sama-sama hisab, hasil hitungan posisi hilal pasti sama, pasti tepat, pasti akurat. Namun menyikapi hasil hitungan yang akurat tersebut para ahli hisab sendiri berbeda-beda. Misalnya, ketika mendapati hasil hisab posisi hilal +010 38′ 40″ dan sebelum telah terjadi ijtimak pada pukul 11:25:24 WIB; maka kelompok hisab versi wujudul hilal ini sejak akhir bulan Rajab mereka sudah berani mengumumkan kapan 1 Ramadhan. Karena menurut mereka posisi hilal yang demikian berarti hilal sudah di atas ufuk ketika Matahari tenggelam.
Sementara kelompok hisab versi imkanur ru`yah akan mengatakan hasil hisab tersebut menunjukkan bahwa posisi hilal sangat rendah, sehingga mustahil untuk  bisa teramati. Jadi meskipun hilal sudah wujud namun belum imkan (belum memungkinkan) untuk dilihat/diru`yah.
Lain halnya dengan kelompok hisab versi ijtimak, bagi mereka adalah kapan ijtimak. Karena sudah diketahui ijtimak telah terjadi pada pukul 11:25:24 WIB maka mereka pun berani mengumumkan kapan 1 Ramadhan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Yang kebetulan pengumuman mereka dalam hal ini sama dengan pengumuman kelompok hisab versi wujudul hilal. Namun kalau misalnya ijtimak terjadi pada pukul 6 pagi misalnya, belum tentu sama pengumuman mereka dengan pengumuman versi wujudul hilal, karena posisi hilal sore harinya masih negatif alias masih di bawah ufuk (belum wujud). Maka lihatlah, kelompok hisab pun ribut.
Apabila hilal terhalang mendung, maka menurut para ahli hisab, selama hasil perhitungannya menyatakan hilal sudah wujud, atau sudah imkan untuk dilihat tetap masuk Ramadhan. Maka jelas-jelas ini bertentangan dengan nash hadits yang mengatakan, Apabila hilal terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari)
Apabila kita mau kembali kepada bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau hanya mengajarkan kepada kita cara ru`yatul hilal atau istikmal. Beliau sama sekali tidak menganjurkan umatnya untuk menjadikan hisab falaki sebagai patokan, dalam kondisi ilmu hisab falaki sudah ada pada masa beliau, dan sangat memungkinkan untuk mempelajari ilmu tersebut. Namun beliau justru bersabda,
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari). (HR. Muslim 1081)

Beliau juga bersabda,
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب »
Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung.
Hadits ini tidak berarti melarang umat Islam untuk belajar membaca dan menghitung. Namun makna hadits ini adalah untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, umat Islam tidak membutuhkan tulisan dan hitungan. Mereka cukup dengan syari’at yang Allah berlakukan buat mereka, yaitu menentukannya berdasarkan ru`yatul hilal. Hilal tersebut harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil/terpercaya, adapun khusus untuk Ramadhan walaupun satu saksi adil saja sudah cukup. Tidak boleh pula menjadikan ilmu hisab falaki sebagai landasan untuk menolak persaksian hilal.
Alhamdulillah, Allah memberikan taufiq kepada pemerintah negeri ini untuk senantiasa menjadikan ru`yatul hilal sebagai landasan. Sementara itu para pembela hisab terus berupaya memberikan statemen-statemen yang membenarkan hisab, di antaranya;
Mengapa menggunakan hisab, alasannya adalah:
  1. Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
  2. Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Di pihak lain, rukyat mempunyai beberapa problem:
  1. Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
  2. Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari puasa Arafah, dan justru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka bumi ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat merukyat,
  3. Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu (1) faktor geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi), (2) faktor atmosferik, yaitu keadaan cuaca dan atmosfir, (3) faktor fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan, (4) faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong canggih, hilal masih mustahil terlihat.
Sebenarnya, statemen tersebut hanya merupakan upaya justifikasi (pembenaran) tanpa ada landasan dalil syari’at. Anggapan di atas bisa dijawab sebagai berikut,
  1. Hisab dianggap lebih memberikan kepastian … dst. Namun ternyata pada prakteknya ternyata rumit. Karena hisab ternyata tidak bisa diterapkan secara murni, tidak lepas dari kriteria dan intepretasi, sebagaimana telah digambarkan di atas. Sehingga kepastian yang “ditawarkan” oleh hisab pun sulit terwujud.
  2. Hisab dianggap bisa menyatukan penanggalan. Ternyata pada prakteknya juga nihil. Justru sebalik, hisab pun tidak ada kata sepakat. Antar versi justru saling menghujat dan menyalahkan.
Maka manfaat apakah yang diharapkan dari hisab, sementara cara hisab jelas-jelas tidak ada dasar hukumnya dalam syari’at. Bahkan bertentangan dengan kesepakatan para Salaful Ummah. Maka sebagaimana ditegaskan oleh Al-Imam Malik bahwa generasi akhir umat ini tidak akan bisa menjadi baik kecuali dengan apa yang dengan generasi awal umat ini menjadi baik. Tidak cukup membela hisabnya mereka balik mencela ru`yah, yang merupakan ketetapan syari’at. Sungguh keterlaluan!! Tidakkah mereka menyadari dengan perbuatan mereka mencela ru`yah dan mengunggulkan hisab berarti mengkritik hukum Allah, berarti mengkritik Syari’at Islam yang telah sempurna, sebagaimana Allah firmankan :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah : 3).
Al-Imam Malik rahimahullah menegaskan berdasarkan ayat tersebut bahwa sesuatu yang bukan bagian dari agama pada hari tersebut (yakni pada Nabi) maka pada hari ini pun bukan bagian dari agama. Maka sebagaimana hisab bukan bagian dari ketentuan hukum/syari’at Islam untuk penentuan awal Ramadhan pada masa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam , maka pada hari ini pun hisab bukan merupakan bagian dari hukum/syari’at Islam.
Menjawab hujatan terhadap ru`yah  di atas,
  1. Ru`yah dianggap tidak bisa memastikan tanggal. … dst. Tidak ada masalah ru`yah tidak bisa memastikan tanggal. Dan praktek sistem hilal ini telah dipraktekkan oleh umat Islam sejak zaman Nabi, para khulafa`ur rasyidin, para khalifah setelahnya  selama bertahun-tahun, tidak ada masalah.
  2. Ru`yah dianggap tidak bisa menyatukan tanggal. … dst. Alhamdulillah ru`yah telah dipraktekkan oleh Umat Islam bertahun-tahun untuk menentukan Ramadhan dan Idul Fitri, dan mereka bersatu serta tidak ada masalah. Justru problem muncul tatkala sebagian pihak memunculkan ide penggunaan hisab falaki. Tanggal berbeda tidak ada masalah dalam ketentuan hukum Islam, di sana ada pembahasan mendetail dari para ‘ulama terkait hal tersebut. Yang menjadi masalah adalah penggunaan ilmu hisab falaki yang tidak ada dasarnya dalam ketentuan hukum Islam.
  3. Banyak faktor yang mempengaruhi ru’yah. Memang benar demikian adanya, oleh karena itu faktor-faktor tersebut tidak bisa dihisab. Sementara syari’at memberikan kriteria harus benar-benar terlihat, tidak sekedar wujudnya hilal di atas ufuk atau imkan/visible-nya hilal untuk dilihat walaupun tidak benar-benar terlihat. Kalau sekedar wujud atau imkan/visible ya memang bisa dihisab. Namun, kriteria yang dikehendaki dalam syari’at adalah ru`yah alias benar-benar terlihat. Meskipun secara hisab hilal sudah wujud atau imkan, namun faktanya tidak berhasil diru`yah, atau terhalang mendung maka belum masuk Ramadhan atau Idul Fitri.
Oleh karena itu, banyak faktor yang mempengaruhi ru`yah, maka ru`yah bisa berhasil bisa gagal, dan syari’at tidak mengharuskan ru`yah itu selalu berhasil. Justru syari’at memberikan alternatif ketika ru`yah gagal yaitu dengan cara istikmal. Maka menjadikan faktor geosentrik dan atmosferik sebagai poin kritik terhadap ru`yah merupakan pemutarbalikan fakta. Justru faktor tersebut merupakan di antara penghalang terbesar kenapa hisab tidak bisa dijadikan patokan untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri.
Adapun faktor halusinasi dan psikologis yang disebut-sebut sebagai penyebab kesalahan para peru`yah sebenarnya merupakan tuduhan yang dipaksakan oleh kelompok hisab. Dengan tuduhan tersebut mereka mementahkan persaksian ru`yah apabila berbeda dengan hisab. Atau sebaliknya, menihilkan faktor ini apabila bersesuaian dengan hisabnya.
Contohnya peristiwa pada Idul Fitri 1432 H / 2011 kemarin! Tatkala sampai laporan persaksian hilal, yang ketika itu hasil hisab menyebutkan ketinggian hilal hanya +010 49′ 57″. Maka kubu hisab Imkanur Ru`yah menyatakan hilal dengan ketinggian tersebut mustahil terlihat. Maka mereka menolak persaksian tersebut. Karena dinilai persaksian tersebut tidak valid, tidak ilmiah, … dst. Mengapa demikian, lagi-lagi di antaranya masalah halusinasi atau faktor psikologis para peru`yah. Sebaliknya kubu hisab wujudul hilal membela persaksian tersebut. Kata mereka, kenapa persaksian tersebut ditolak, padahal Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dulu ketika ada yang bersaksi diterima, …. dst, demikian pembelaan mereka. Sudah tidak ada lagi kekhawatiran kesalahan peru`yah karena faktor halusinasi atau faktor psikologis.
Padahal, jika kita mau objektif, masalah faktor psikologis atau halusinasi ini justru muncul karena pengaruh hisab. Karena jauh-jauh hari sudah diketahui hasil hisab, sehingga para peru`yah terpengaruh dan merasa bahwa hilal harus terlihat berdasarkan hasil hisab tersebut. Akibatnya mempengaruhi pandangan mereka tatkala melakukan observasi (proses ru`yah) di lapangan. Maka ini justru pengaruh negatif adanya hisab falaki. Sehingga menjadikan masalah ini sebagai kelemahan cara ru`yah yang ditetapkan syari’at merupakan pemutarbalikan fakta dan kesombongan!
Maka tidak ada alasan bagi kaum muslimin kecuali mereka mau kembali kepada ketetapan aturan hukum-hukum/syari’at Islam secara total. Termasuk dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, yaitu dengan cara yang telah ditetapkan oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, yaitu ru`yatul hilal atau istikmal.
Sebagaimana ditegaskan oleh banyak para ‘ulama – yang berkomitmen di atas prinsip-prinsip Ahlus Sunnah – di antaranya oleh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah bahwa Umat Islam tidak akan bersatu dalam masalah Ramadhan dan Idul Fitri kecuali dengan dua hal,
Pertama, meninggalkan hisab falaki
Kedua, komitmen pada cara ru`yatul hilal dan istikmal.
Hanya dengan dua cara tersebut Umat Islam akan bisa bersatu. Sementara sangat disayangkan, di negeri ini penggunaan hisab falaki – dengan berbagai versinya – justru banyak disuarakan oleh ormas-ormas Islam yang katanya ingin memperjuangkan dakwah Islam. Sangat disayangkan, mereka ingin memperjuangkan Islam namun dengan cara-cara yang justru bertentangan dan menginjak-injak syari’at Islam itu sendiri.
Kaum muslimin dituntukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk memulai Ramadhan dan Ber idul Fitri selalu bersama-sama dengan Jama’ah (Pemerintah) mereka. Tidak berjalan sendiri-sendiri, masing-masing menentukan Ramadhannya dan Idul Fitrinya. Namun penetapan Ramadhan dan Idul Fitri serta Idul Adha merupakan tugas dan kewenangan pemerintah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam :
« الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون »
Hari berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa (yakni bersama pemerintah), hari ‘Idul Fitri adalah hari ketika kalian semua ber’idul fitri (yakni bersama pemerintah), dan hari ‘Idul Adha adalah hari ketika kalian semua ber’idul Adha (yakni bersama pemerintah). (HR. At-Tirmidzi 697)

Maka atas segenap kaum muslimin adalah mereka mengikuti pengumuman pemerintah dalam penetapan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada pemerintah negeri untuk menjalankan sistem ru`yatul hilal atau istikmal sebagai landasan dalam mengumumkan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Alhamdulillah setiap tahunnya pemerintah senantiasa memperhatikan laporan persaksian dari berbagai titik Pos Observasi Bulan (POB) yang tersebar di sekian tempat di nusantara ini.
Apabila suatu ketika ada persaksian hilal yang ditolak oleh pemerintah, maka wewenang keputusan ada di tangan pemerintah, adapun kaum muslimin wajib mentaati keputusan pemerintah tersebut. Al-Imam Ahmad dan ‘ulama lainnya mengatakan, “Berpuasa dan beridul fitri dilaksanakan bersama penguasa dan kaum muslimin, baik ketika cerah maupun mendung.” Al-Imam juga mengatakan, “Kalau seandainya terjadi bahwa kaum muslimin berupaya melihat hilal pada malam ke-30 namun tidak berhasil, maka mereka menempuh cara istikmal 30 hari, namun ternyata kemudian sampai berita bahwa sebenarnya hilal terlihat pada sore hari malam ke-30 tersebut maka mereka mengqadha’ satu hari itu yang mereka terlanjur tidak berpuasa pada hari tersebut. Yang demikian tidak mengapa, mereka mendapat udzur bahkan mendapatkan pahala. Namun kalau seandainya mereka berpuasa berdasarkan berita dari ahli hisab, maka mereka tetap berdosa meskipun benar harinya. Karena mereka telah beramal berdasarkan sesuatu yang tidak diperintahkan.”
sumber: http://www.salafy.or.id/waqi/ketinggian-hilal-harus-20/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar