Tanya:
Ustadz, saya ingin menanyakan. Apakah puasa Ramadhan mulai pada hari Jum’at ataukah hari Sabtu? Apa dasarnya?
Terima kasih.
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan di atas, sebenarnya banyak hal yang perlu
kami jelaskan. Telah ada niatan kami untuk menyusun sebuah buku
tersendiri yang mengupas polemik yang berkaitan dengan metode penentuan
masuk dan keluarnya bulan -baik Ramadhan maupun selainnya- karena
keunikan negeri kita ini, negeri Indonesia, yang mungkin tidak terjadi
pada negeri-negeri lain akan terjadinya silang pendapat dalam penentuan
hari-hari penting umat Islam. Yang lebih disayangkan adalah bahwa silang
pendapat ini hampir terjadi setiap tahun belakangan ini, termasuk pada
tahun 1433 H ini. Semoga Allah mewujudkan niat tersebut pada masa
mendatang.
Namun, untuk pertanyaan di atas, kami akan menjawab secara ringkas dengan beberapa keterangan sebagai berikut.
Pertama, dalam Islam, penentuan masuknya bulan Ramadhan dan bulan lainnya hanyalah dikenal dengan cara melihat hilal.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“… Maka, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa ….”Al-Baqarah: 185] [
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihat (hilal) tersebut, dan
berbukalah kalian karena melihat (hilal) tersebut. Lalu, apabila
tertutupi dari (pandangan) kalian, sempurnakanlah bulan (Sya’ban)
tersebut menjadi tiga puluh (hari).” [1]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ،
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا» وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي
الثَّالِثَةِ «وَالشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا، وَهَكَذَا» يَعْنِي تَمَامَ
ثَلَاثِينَ
“Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah, kami tidak
menulis dan tidak menghitung. Bulan itu begini, begini, dan begini
-seraya beliau melipat ibu jarinya pada kali ketiga (yakni dua puluh
sembilan hari)-. Bulan itu begini, begini dan begini -yakni tiga puluh
hari secara sempurna -.” [2]
Dari dua hadits di atas -dan banyak lagi hadits lainnya- dapat
diketahui bahwa, dalam Islam, jumlah hari dalam sebulan hanyalah dua
puluh sembilan atau tiga puluh hari. Tidaklah dikenal bahwa bulan Islam
berakhir dengan tanggal 28 atau 31.
Dari ayat dan hadits-hadits di atas, kita bisa mengetahui secara
pasti bahwa penentuan masuknya bulan dalam Islam hanyalah dengan dua
cara:
- Rukyat hilal, yaitu penampakan hilal setelah matahari terbenam pada tanggal 29.
- Ikmâl ‘penyempurnaan’, yaitu menyempurnakan bulan menjadi tiga puluh hari di kala hilal tidak terlihat pada tanggal 29 setelah matahari terbenam.
Ibnu Hubairah berkata, “(Para ulama) bersepakat bahwa puasa Ramadhan menjadi wajib dengan rukyat hilal atau meng-ikmâl Sya’ban menjadi tiga puluh hari ketika tidak ada rukyat, sedang mathla’ kosong dari penghalang untuk melihat.”[3]
Demikian pula dinukil kesepakatan oleh Ibnul Mundzir sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar[4].
Kedua, penentuan masuknya bulan dengan ilmu hisab atau ilmu falak adalah hal yang tidak dikenal dalam Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya kita mengetahui
secara aksioma dalam agama Islam bahwa dalam rukyat hilal puasa, haji,
iddah, îlâ`, dan selainnya berupa hukum-hukum yang berkaitan
dengan hilal, beramal (padanya) dengan menggunakan berita ahli hisab
-bahwa hilal dilihat atau belum- adalah tidak boleh. Nash-nash mustafîdhah dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
tentang hal tersebut sangatlah banyak. Kaum muslimin telah bersepakat
tentang (ketidakbolehan penggunaan berita ahli hisab) tersebut. Sama
sekali tidaklah diketahui ada silang pendapat dalam hal tersebut – baik
dahulu maupun belakangan-, kecuali sebagian orang-orang belakangan
setelah abad ke-3 yang senang dengan ilmu fiqih. (Orang tersebut)
menyangka bahwa ahli hisab boleh beramal dengan hisab untuk dirinya
sendiri jika hisabnya menunjukkan rukyat. Bila tidak menunjukkan, hal
tersebut tidak diperbolehkan. Pendapat ini -walaupun terbatas pada
keadaan mendung dan terkhusus bagi si ahli hisab itu sendiri- adalah
pendapat yang syâdz ‘aneh, ganjil’, telah diselisihi oleh ijma’
(kesepakatan ulama) sebelumnya. Adapun mengikuti (ilmu hisab) tersebut
dalam keadaan (cuaca) tidak berawan atau memakai (ilmu hisab) sebagai
hukum umum pada segala keadaan, hal tersebut tidaklah diucapkan oleh
seorang muslim pun.”[5]
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa kerusakan penggunaan ilmu
hisab dalam penentuan masuknya Ramadhan bisa disimpulkan pada empat
perkara:
- Menyalahi ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa masuknya bulan hanyalah dengan dua cara: rukyat hilal dan ikmâl.
- Membuang jalan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam penentuan masuknya bulan dengan memakai ilmu hisab sebagai pengganti (jalan) tersebut.
- Menentang jalan dan kesepakatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum yang tidak pernah menggunakan ilmu hisab.
- Menyelisihi kesepakatan ulama yang telah diterangkan oleh Ibnu Taimiyah[6], Ibnu ‘Abdil Barr[7], dan selainnya.
Hendaknya orang-orang yang mengumpulkan empat kerusakan di atas bersiap untuk menuai ancaman Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana dalam firman-Nya,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul, sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dia kuasai itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, sedang Jahannam itu adalah seburuk-buruk
tempat kembali.” [An-Nisâ`: 115]
Namun, kami perlu mengingatkan bahwa keterangan di atas tidak
menunjukkan akan keharaman penggunaan ilmu hisab dalam hal yang
diperbolehkan. Kami hanya menegaskan kesalahan orang-orang yang
menggunakan ilmu hisab sebagai penentu final masuknya bulan.
Keempat, hilal adalah bulan sabit kecil yang muncul pada awal bulan.
Orang Arab menyebut bulan sabit kecil pada malam pertama, kedua, dan ketiga dengan nama hilal. Adapun bulan yang muncul pada malam keempat dan seterusnya, orang Arab menyebutnya dengan nama qamar[8] (bulan).
Hilal, yang dianggap sebagai tanda awal bulan, adalah bulan sabit
kecil yang tampak setelah matahari terbenam. Telah datang sejumlah atsar
dari para shahabat yang menunjukkan bahwa hilal yang teranggap sebagai
awal bulan adalah yang terlihat setelah matahari terbenam[9]. Bahkan, Ibnu Hazm menukil kesepakatan ulama tentang hal tersebut[10].
Dari penjelasan di atas, bisa diketahui dua kesalahan yang sering terjadi:
- Menganggap bahwa hilal mungkin terlihat sebelum matahari terbenam.
Anggapan tersebut telah kita jumpai pada kejadian Kamis sore kemarin,
19 Juli 2012, yaitu bahwa seseorang orang menganggap telah melihat
hilal pada pukul 17:53, padahal waktu Maghrib di wilayah tersebut masih
beberapa menit lagi.
2. Pembatasan bahwa tinggi hilal ketika dilihat hanya sah bila berada pada dua derajat atau lebih.
Ini adalah pembatasan yang tidak benar karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah memberi tuntunan dengan hitungan ketinggian dua derajat,
tetapi beliau memberi tuntunan umum bagi siapa saja yang melihat hilal,
yakni pada ketinggian berapapun setelah matahari terbenam.
Kelima, penentuan masuknya bulan adalah wewenang pemerintah (Ulil Amri).
Imam Ibnu Jamâ’ah Asy-Syâfi’iy menjelaskan tentang wewenang
pemerintah, yang merupakan kewajibannya kepada rakyat, “Wewenang Ketiga:
penegakan simbol-simbol Islam, seperti shalat-shalat wajib, shalat
Jum’at, shalat berjamaah, adzan, iqamah, khutbah, dan keimaman. Juga
mengawasi urusan puasa, berbuka, hilal, haji ke Baitullah, dan umrah.
Juga memperhatikan hari-hari Id ….”[11]
Oleh karena itu, saat pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa 1
Ramadhan 1433 H jatuh pada Sabtu, 21 Juli 2012 M, karena seluruh titik
pemantauan hilal dari lembaga pemerintah maupun pihak-pihak lainnya
tidak melihat hilal pada Kamis sore, 19 Juli 2012 M, maka pemerintah
menetapkan ikmâl Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Putusan tersebut telah benar dan telah berdasarkan petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam penentuan masuknya bulan.
Kewajiban kita, selama pemerintah tidak memerintah dalam hal yang
mungkar, adalah taat kepada mereka dalam hal yang ma’ruf. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, serta taatlah kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” [An-Nisâ`: 59]
Dari ‘Ubâdah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
((دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعْنَا عَلَى
السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا، وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا،
وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ
أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحاً عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ
فِيْهِ بُرْهَانٌ)).
“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memanggil kami, lalu
kami membaiat beliau, dan di antara (janji) yang beliau ambil atas kami
adalah, ‘Kami berbaiat untuk mendengar dan menaati (pemimpin) dalam
keadaan semangat dan terpaksa, serta dalam keadaan mudah dan susah,
meski terjadi pementingan hak pribadi terhadap kami, serta kami tidak
boleh menggugat perkara itu dari pemiliknya, kecuali bila kalian melihat
kekufuran yang sangat nyata, yang kalian memiliki argumen tentang
(kekufuran) itu di sisi Allah.’.”[12]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
((إِسْمَعْ وَأَطِعْ فِيْ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ، وَمَنْشَطِكَ
وَمَكْرَهِكَ، وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ، وَإِنْ أَكَلُوْا مَالَكَ، وَضَرَبُوْا
ظَهْرَكَ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ مَعْصِيَةً)).
“Dengar dan taatlah pada waktu susah dan mudah serta dalam
keadaan bersemangat dan terpaksa, meski terjadi pementingan hak pribadi
terhadapmu, juga walaupun mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu,
kecuali jika hal tersebut merupakan suatu maksiat.” [13]
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas sangatlah banyak.
Keenam, terjadi silang pendapat di kalangan ulama
bahwa, bila hilal telah terlihat pada suatu negeri, apakah rukyat hilal
tersebut berlaku juga untuk penduduk negeri yang lain?
Terdapat silang pendapat di kalangan ulama baik terdahulu maupun
belakangan- tentang hal tersebut. Walaupun pendapat yang menyatakan rukyat hilal tersebut berlaku untuk seluruh negeri
itu lebih kuat, hal tersebut lebih berlaku tatkala seluruh kaum
muslimin dipimpin oleh seorang pemimpin atau pada keadaan-keadaan
tertentu.
Adapun keberadaan pemerintah kita yang telah menetapkan masuknya
Ramadhan berdasarkan rukyat hilal dan telah diikuti oleh kebanyakan
manusia, tidak ada alasan bagi rakyat untuk menyelisihi ketetapan
tersebut. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa itu adalah hari kalian berpuasa. Berbuka itu adalah hari kalian berbuka. Adh-hâ itu adalah hari kalian ber-udh-hiyah.” [14]
Setelah meriwayatkan hadits di atas, Imam At-Tirmidzy berkata,
“Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan perkataannya,
‘Sesungguhnya maknanya adalah bahwa berpuasa dan berbuka itu
(dilaksanakan) bersama jamaah dan kebanyakan manusia.’.”
Pada akhir jawaban ini, kami mengingatkan kaum muslimin akan etika dan adab agung dari para ulama dalam hal berbeda pendapat.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallâhu ‘anhu, beliau mengerjakan shalat di Mina secara sempurna tanpa mengqashar. Oleh karena itu, Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu berbeda pendapat dengan Utsman seraya berargumen bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta Abu Bakr dan Umar radhiyallâhu ‘anhumâ mengerjakan shalat dengan qashar. Namun, ketika Utsman mengimami shalat, Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu
-yang bermakmum kepada Utsman- ikut mengerjakan shalat secara sempurna
bersama Utsman. Ketika hal tersebut ditanyakan kepada Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, beliau menjawab,
الْخِلَافُ شَرٌّ
“Perbedaan pendapat adalah kejelekan.” [15]
Juga perhatikanlah bagaimana Ali bin Abi Thalib melaksanakan haji
Qirân karena diperintah oleh Utsman bin Affan, padahal Ali sendiri
berpendapat dengan haji Tamattu’[16].
Semoga Allah menyatukan kaum muslimin di atas Al-Qur`an dan
As-Sunnah, serta menghindarkan mereka dari segala sebab perselisihan dan
perpecahan. Amin.
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ.
[3] Al-Ifshâh 4/89 dengan perantara makalah Al-Hisâb Al-Falaky fî Dhuhûl Ramadhân wa Khuhûjihi Qaulun Syâdzun Muthrah karya Dr. Abdul Aziz Ar-Rayyis.
[4] Fath Al-Bâry 4/123.
[5] Majmû Al-Fatâwâ 25/132-133.
[6] Sebagaimana yang telah berlalu.
[7] At-Tamhîd 14/352
[8] Ash-Shihâh 4/1851 dan Al-I’lâm 5/172 karya Ibnul Mulaqqin.
[9] Bacalah atsar-atsar shahabat tersebut dalam buku Ma’rifah Auqâth Al-‘Ibâdât 2/12-13, 16 karya Khalid Al-Musyaiqîh.
[10] Al-Muhallâ 6/239.
[11] Tahrîr Al-Ahkâm Fî Tadbîr Ahl Al-Islâm hal. 66.
[12] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim.
[13] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbân dari Ubâdah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu ‘anhu.
[14] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. Dikuatkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shahîhah no. 224 dan dalam Irwâ`ul Ghalîl 4/13.
[15] Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahîh Sunan Abi Dawûd.
[16] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim.
sumber: http://dzulqarnain.net/berpuasa-pada-hari-jumat-atau-hari-sabtu.html
sumber: http://dzulqarnain.net/berpuasa-pada-hari-jumat-atau-hari-sabtu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar