Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Kamis, 05 Juli 2012

Berdalil Dalam Islam

Berdalil itu maknanya ialah berargumentasi dalam beragama dengan Islam sebagai agama Allah Ta’ala. Islam menuntunkan kepada kita, bahwa beragama itu haruslah bersifat argumentatif dan tidak boleh ikut-ikutan. Argumentasi itu haruslah bersifat ilmiyah dan bisa diuji nilai akurasinya dengan manhaj (metodologi) yang diajarkan oleh Allah dan RasulNya. Maka dalam hal ini ada beberapa prinsip yang perlu dimengerti dan diyakini :

1. Kebenaran itu ialah sesuatu yang datang dari Allah Ta’ala semata. Oleh karena itu, segala perkara yang telah dapat dipastikan secara ilmiyah bahwa ia memang datang dari Allah Ta’ala, barulah sesuatu itu dikatakan sebagai kebenaran. Dan segala perkara yang tidak dapat dipastikan datangnya dari Allah Ta’ala, maka ia adalah kebatilan yang datangnya dari syaithan. Allah Ta’ala berfirman :
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka janganlah kamu menjadi termasuk golongan orang-orang yang ragu”. (Al Baqoroh: 147)
Yang dapat dipastikan sebagai kebenaran yang datang dari Allah, hanyalah Al Qur’an dan Al Hadits. Sehingga segala yang selain keduanya harus dicocokkan dengan keduanya. Bila mencocoki keduanya maka ia itu adalah kebenaran dan bila menyelisihi keduanya maka ia itu adalah kebatilan. 

2. Islam adalah satu-satunya agama yang benar dalam pandangan Allah Ta’ala dan selain Islam adalah kebatilan semata. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya :

“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah itu hanyalah Islam”.  (Al Imran: 19)
Juga firmanNya :
“Dan barang siapa yang menghendaki selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima segala amalannya dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi”. (Al Imran 85)
3. Islam bukanlah hasil budaya atau pemikiran siapapun, akan tetapi ia adalah semata-mata wahyu dari Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya sebagai berikut :
“Agama ini bukanlah dari angan-angan kalian dan bukan pula dari angan-angan Ahlil Kitab”. (An Nisa`: 123)
4. Islam mengajarkan agar orang jangan beragama dengan ikut-ikutan, akan tetapi beragama dengan berdasarkan ilmu. Hal ini telah diterangkan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya sebagai berikut :
“Dan janganlah kalian mengikuti satu perkara yang kalian tidak ada ilmu padanya. Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan akal pikiran, semua itu adalah nikmat yang akan dimintai pertanggungan jawabnya di sisi Allah Ta’ala”. (Al Isra’ 36)
Bahkan Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menanyakan kepada ahlinya bila kita tidak mengerti suatu keterangan tentang perkara agama dan perkara lainnya, sehingga kita terhindar dari sikap ikut-ikutan dalam beragama. Allah Ta’ala berfirman :
“Maka tanyailah para ahlinya bila engkau tidak mengerti suatu masalah”. (Al Anbiya’: 7)
Al ‘Allamah Muhammad bin Ali As Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir jilid 3 halaman 399 menerangkan : “Dan sebagian orang ada yang berdalil dengan ayat ini bahwa bertaqlid (yakni mengikut tanpa ilmu) itu boleh. Pendapat yang demikian ini adalah salah. Sebab kalau ditilik dari maknanya yang benar, ayat ini memerintahkan untuk menanyai mereka para Ulama’ tentang dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah (yakni Al Hadits), bukan sebaliknya bertanya tentang pandangan pikiran semata. Sedangkan yang dinamakan taqlid itu ialah menerima pendapat orang lain tanpa hujjah (yakni tanpa dalil)”.
5. Al Qur’an adalah omongan Allah Ta’ala yang telah pasti dijamin olehNya dari segala kemungkinan salah atau tersusupi perkara yang bathil. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam beberapa firmanNya berikut ini :
“Dan sesungguhnya Al Qur’an itu adalah Kitab yang agung. Tidak akan didatangi kebatilan dari depannya dan tidak pula dari belakangnya. Ia turun dari Dzat Yang Maha Sempurna HikmahNya dan Maha Terpuji”. (Fusshilat: 41 – 42)
Disamping jaminan tersebut di atas, Allah Ta’ala juga menjamin pemeliharaannya dari segala kemungkinan kerusakan dengan “tangan-tangan kotor” manusia. Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami jualah yang memeliharanya”. (Al Hijr: 9)
Al Imam Al Baghawi rahimahullah dalam Ma’alimut Tanzil Fit Tafsir Wat Ta’wil jilid 3 hal. 393 – 394,  menerangkan : “Kamilah (yakni Allah Ta’ala) yang memelihara Al Qur’an dari upaya syaithan untuk menambah padanya atau mengurangi daripadanya atau mengganti kata-kata padanya dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana pernyataan Allah dalam surat Fusshilat ayat 42, bahwa Al Qur’an itu tidak akan didatangi kebatilan dari depannya dan tidak pula dari belakangnya. Yakni iblis tidak akan dapat menambahi padanya ayat yang bukan darinya, dan tidak akan dapat mengurangi ayat yang sesungguhnya adalah daripadanya”.
 
6. Omongan dan perbuatan Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam selalu dibimbing wahyu Allah Ta’ala, sehingga bila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh beliau sebagai manusia biasa, dengan segera turun teguran dari Allah Ta’ala dan teguranNya itu disampaikan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam sebagai ayat Qur’an dan tercantum dalam Al Qur’an sampai hari kiamat. Sehingga telah pasti, omongan dan perbuatan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam selalu dalam kebenaran dan tidak mungkin salah, kecuali bila ada teguran dari Allah Ta’ala. Hal ini dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya berikut ini :

“Tidaklah teman kalian ini sesat dan tidak pula menyimpang. Dan tidaklah dia berbicara dari hawa nafsunya. Tidak ada lain pembicaraannya adalah dari wahyu Allah yang diwahyukan kepadanya”. ( An Najm: 2-3)
Bahkan Allah Ta’ala memastikan, bahwa mustahil RasulNya akan membuat omongan palsu atas nama Allah di dalam Al Qur’an maupun dalam Al Hadits. Hal ini dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya sebagai berikut :

“Maka sungguh Aku bersumpah dengan makhluq yang kalian lihat dan dengan makhluq yang tidak kalian lihat. Sesungguhnya Al Qur’an itu disampaikan kepadanya dari Allah melalui perkataan utusanNya yang mulia (yakni Malaikat Jibril ‘Alaihis salam). Dan tidaklah Al Qur’an itu sebagai omongan tukang sya’ir. Sedikit sekali yang kalian imani. Dan bukan pula Ia sebagai omongan tukang tenung. Sedikit sekali yang kalian ingat. Ia turun dari Tuhan sekalian alam. Seandainya Nabi Muhammad itu membikin omongan palsu atas nama Kami, niscaya Kami akan sambar dia dengan kekuatan Kami yang Maha dahsyat, sehingga Kami putuskan darinya urat lehernya. Maka tidak akan ada dari kalian yang akan mampu menghalangi adzab Allah terhadapnya”.  (Al Haaqqah: 38 –47)
Dengan demikian, telah pasti tidak akan ada dari perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang salah atau dari hawa nafsunya atau bahkan dipalsukan atas nama Allah Ta’ala.
7. Perkataan dan perbuatan siapapun selain Al Qur’an dan Al Hadits, ada kemungkinan benar dan salah. Oleh karena itu mungkin diterima dan mungkin pula ditolak. Yang benar dari perkataan dan perbuatan itu ialah yang mencocoki Al Qur’an dan Al Hadits, sehingga harus diterima sebagai kebenaran. Sedangkan yang salah daripadanya ialah yang menyelisihi keduanya, dan harus ditolak sebagai kebatilan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam berikut ini :
“Semua anak Adam banyak berbuat salah dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat salah adalah yang banyak bertaubat kepada Allah”. (HR. Imam Malik bin Anas rahimahullah)
Dan Imam Malik rahimahullah menyatakan :
“Semua omongan bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali omongan penguhuni kubur ini”. Sambil beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ke kubur Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam.


Pengertian Dalil Dan Fungsinya Dalam Berislam :
Dalil itu ialah segala perkara yang menunjukkan kepada kebenaran suatu keyakinan, perkataan, ataupun perbuatan dengan pasti. Dalam kaitannya dengan agama, tentu yang dikatakan sebagai dalil itu ialah segala yang menunjukkan kepada kebenaran Islam. Al Allamah Abus Sa’adaat Ibnul Atsir rahimahullah dalam An Nihayah Fi Gharibil Hadits Wal Atsar jilid 2 hal. 130 – 131, menerangkan tentang makna dalil itu ialah sesuatu yang telah diketahui dengan yakin, sehingga dengan itu diajarkanlah kepada manusia oleh yang mengetahuinya itu. Karena si empunya pengetahuan itu sendiri adalah sebagai penunjuk bagi sekalian manusia.
Al ‘Allamah As Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarhu Tsalatsatil Ushul hal. 14 – 15 menerangkan: “Dalil itu ialah segala apa yang menunjukkan kepada apa yang diinginkan, dan dalil itu ada dua macam. Yaitu Sam’iyyah dan Aqliyyah. Maka dalil yang dikatakan As Sam’iyyah ialah dalil yang didapatkan kepastiannya dengan wahyu, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan dalil Aqliyyah ialah dalil yang didapatkan kepastiannya dengan pandangan akal dan upaya penelitian”.
Dengan pengertian dalil yang demikian ini, maka kita perlu mengerti pula, apa sesungguhnya fungsi dalil itu dalam Islam, agar kita selamat dari perbuatan mengabaikan dalil dalam berislam. Maka beberapa fungsi dalil itu adalah sebagai berikut :
1. Menyelamatkan diri dari bahaya kedustaan atas nama Allah Ta’ala dan RasulNya. Karena kalau orang berbicara atas nama agama Allah tanpa dalil yang benar dari Al Qur’an dan Al Hadits, berarti berdusta atas nama Allah dan RasulNya. Dan berdusta atas nama Allah dan RasulNya adalah dosa yang paling besar dan sangat berbahaya. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dan RasulNya sebagai berikut :
“Katakanlah, sesungguhnya hanyalah yang diharamkan oleh Tuhanku adalah kekejian yang tampak dan kekejian yang tidak tampak, dan perbuatan dosa besar dan perbuatan dzhalim tanpa jalan yang benar dan kalian berbuat syirik (menyekutukan Allah dengan yang lainNya) dengan sesuatu yang Allah tidak pernah turunkan hujjah untuknya dan kalian berbicara atas nama Allah dalam perkara yang kalian tidak ada ilmu padanya”. (Al A’raf: 33)
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah dalam I’lamul Muwaqqi’in An Rabbil Alamin jilid 1 hal. 38 menerangkan : “Allah menyusun tingkatan  yang diharamkanNya dengan empat tingkatan. Dia memulai penyebutannya dengan tingkatan keharaman yang paling ringan, yaitu fawahisy (yakni kemaksiyatan), kemudian yang kedua ialah keharaman yang lebih besar keharamannya dari yang pertama, yaitu al Itsma wal baghya  (yakni berbuat dosa dan dzalim). Kemudian Allah menyebutkan tingkatan ketiga yaitu keharaman yang lebih dahsyat daripada keharaman yang kedua, yaitu berbuat syirik (yakni menyekutukan) Allah yang Maha Suci. Kemudian Allah menyebutkan tingkatan keempat dari keharaman, yang lebih dahsyat dari keharaman pada tingkat ketiga dan merupakan keharaman yang paling dahsyat dari semua tingkatan keharaman yang disebutkan sebelumnya. Yaitu berbicara atas nama agama Allah tanpa ilmu, baik dalam perkara Nama-nama Allah, dalam perkara sifat-sifatNya, perbuatanNya, dan dalam perkara agamaNya dan Syari’atNya”.
     
Disamping Allah Ta’ala memberitakan betapa besar dosanya orang yang berkata-kata tentang agamaNya tanpa ilmu, juga Allah Ta’ala dengan tegas melarang perbuatan demikian :

Dan janganlah kalian menyatakan apa yang diungkapkan oleh lisan kalian dengan dusta: Ini halal dan yang itu haram, sehingga kalian dengan demikian memalsukan omongan atas nama Allah dengan dusta. Sesungguhnya orang-orang yang membikin kepalsuan atas nama Allah dengan cara dusta, mereka tidak akan bahagia. Mereka hanya mendapatkan kesenangan dunia yang sedikit dan mereka ini akan merasakan adzab Allah yang sangat menyakitkan”. (An Nahl 116–117)     
       
Maka berbicara tentang agama dengan berdasarkan dalil yang benar dan cara pendalilan yang benar pula, akan menyelamatkan kita dari perbuatan memalsukan keterangan tentang agama Allah yang diancam dengan adzabNya.

2. Bebicara tentang agama dengan dalil yang benar, juga akan menyelamatkan kita dari sikap taqlid atau dengan kata lain akan menyelamatkan kita dari sikap ikut-ikutan dalam beragama. Sementara sikap ikut-ikutan dalam beragama itu amat mengerikan akibatnya terhadap nasib kita di dunia dan akherat. Allah Ta’ala memberitakan tentang nasib orang-orang  yang ikut-ikutan :
“Ingatlah pada hari itu orang-orang yang diikuti, berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya. Dan mereka sama-sama melihat adzab dan terputuslah dari mereka segala hubungan (yakni segala hubungan kekeluargaan dan pertemanan). Dan berkatalah orang-orang yang mengikut itu, seandainya kami punya kesempatan lagi (yakni hidup di dunia), niscaya kami akan berlepas diri dari mereka (yakni mereka para pemimpin itu) sebagaimana sekarang mereka berlepas diri dari kami. Demikianlah Allah telah tunjukkan amalan-amalan mereka, untuk membuat penyesalan pada mereka. Dan mereka tidak akan keluar dari neraka”. (Al Baqoroh: 166–177)
        
Demikianlah nasib orang yang ikut-ikutan dalam beragama, dia akan ikut masuk ke neraka bila tokoh yang diikutinya itu masuk ke neraka. Dan yang demikian itu akan menimbulkan penyesalan yang mendalam.

3. Berbicara tentang agama dengan dalil yang benar, akan menumbuhkan keyakinan yang pasti tentang kebenaran agama Allah dan RasulNya. Karena agama Allah dan RasulNya itu adalah kepastian yang tidak ada celah keraguan padanya dari segala keraguan. Karena itu kita diperintah oleh Allah dan RasulNya untuk mencapai kepastian ilmiyah dalam beragama dengan cara merujuk kepada dalil yang benar. Allah Ta’ala berfirman :
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka janganlah kamu menjadi termasuk golongan orang-orang yang ragu”. (Al Baqoroh: 147)
Maka kita harus mencapai keyakinan dengan cara ilmiyah dan tidak memberi peluang sedikitpun bagi keraguan terhadap agama Allah ini.  


Dalil-dalil Syar’i Dalam Pandangan Islam :
Yang dimaksud dengan dalil-dalil Syar’i itu ialah dalil yang diakui kebenarannya oleh Syari’at. Dan yang dimaksud dengan Syari’at di sini ialah agama Allah yang meliputi bidang Aqidah (keyakinan), Ibadah, dan Akhlaq (perangai dan tingkah laku). Sedangkan yang dikatakan agama Allah itu, hanyalah agama Islam. Maka dalam pembahasan di sini, yang dikatagorikan dalil-dalil Syar’i itu ialah sebagai berikut :
1. Al Qur’an, yang merupakan Wahyu dan Kalam (yakni omongan) Allah Ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam.  Allah Ta’ala berfirman :
“Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada di dadamu rasa keberatan terhadapnya. Supaya kamu memberi ancaman akan datangnya adzab Allah dengan kitab itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti selainnya sebagai pimpinan. Hanya sedikit yang kalian ingat”. (Al A’raf: 2–3)
2. As Sunnah; yaitu semua perkataan, perbuatan dan taqrir (persetujuan) Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam terhadap perkataan dan perbuatan para Shahabat beliau. Perkataan dan perbuatan serta taqrir beliau yang dikatagorikan As Sunnah itu ialah sejak beliau diutus sebagai Nabi dengan turunnya wahyu pertama di gua Hiro’, sampai beliau wafat. Hal ini dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya sebagai berikut :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. Yaitu bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat dan banyak berdzikir kepada Allah”. (Al Ahzab: 21)
Juga Allah Ta’ala berfirman :
“Dan apa yang diberikan oleh Rasul itu maka ambillah ia dan apa yang apa yang dilarang olehnya maka tinggalkanlah”. (Al Hasyr: 7)
3. Pemahaman para Khulafa’ Ar Rasyidin yang menunjukkan ijma’ (kesepakatan) para Shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam. Hal ini karena adanya sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam sebagai berikut :
“Wajib atas kalian untuk berpegang dengan Sunnahku (yakni ajaran Rasulullah) dan Sunnah para Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin sepeninggalku. Gigitlah Sunnah Khulafa’ur Rasyidin itu dengan gigi gerahammu”. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Abi ‘Ashim)
Pengertian Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin itu adalah para penguasa Islam dari kalangan Shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang mereka ini berkuasa sepeninggal Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam. Mereka dinamakan Ar Rasyidin oleh Nabi dalam sabda beliau ini, karena mereka terbimbing dengan Al Qur’an dan As Sunnah dalam menjalankan kekuasaannya. Dan mereka dinamakan Al Mahdiyyin, karena mereka menjalankan kekuasaannya dengan bimbingan hidayah Allah Ta’ala. Sedangkan yang dikatakan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin ini ialah sebagaimana yang diriwayatkan penjelasannya oleh Abu Dawud As Sijistani  dalam Sunannya sebagai berikut :
“Dari Safinah Maula Rasulillah Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, beliau memberitakan bahwa Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda : Khilafah Nubuwah (yakni penguasa yang dibimbing Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam) sepeninggalku adalah tiga puluh tahun”. HR. Abu Dawud dalam Sunannya. Kemudian Abu Dawud menyertakan keterangan Safinah perawi hadits ini sebagai berikut : “Aku menghitung masa kekuasaan sepeninggal Nabi. Bahwa Abu Bakar As Siddiq berkuasa dua tahun, Umar Bin Al Khoththob berkuasa sepuluh tahun, Utsman Bin ‘Affan berkuasa dua belas tahun, dan Ali Bin Abi Tholib berkuasa enam tahun. Maka genaplah masa kekuasaan mereka tiga puluh tahun speninggal Nabi Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam”.
Berpegang dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin itu ialah berpegang dengan keputusan-keputusan mereka yang telah disepakati oleh para Shahabat Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam. Karena kesepakatan para Shahabat Nabi yang dipimpin oleh para Khulafa’ur Rasyidin itu telah dipastikan oleh Nabi sebagai kebenaran dan tidak mungkin mereka bersepakat dalam perkara yang salah. Nabi Muhammad sallallahu alaihi waaalihi wasallam telah bersabda :
“Ummatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan”.
Adapun berbagai keputusan para Khulafa’ur Rasyidin yang masih ditentang oleh para Shahabat Nabi yang lainnya, maka keputusan-keputusan demikian itu tidak termasuk dalam katagori Sunnah Khulafa’ur Rasyidin.     
      
Demikianlah dalil-dalil Syar’i yang diakui dalam Islam. Selain ketiga dalil tersebut tidak bisa dikatakan sebagai dalil syar’i. Perkataan para Shahabat Nabi dan perkataan para Tabi’in (murid-murid Shahabat Nabi) bukanlah dalil Syar’i, demikian pula perkataan para Ulama’ juga bukan termasuk dalil Syar’i.

Penutup:
Dengan keterangan ini maka untuk memutuskan berbagai keputusan agama, haruslah dengan dalil-dalil Syar’i tersebut. Berbagai ijtihad yang tidak berdasarkan dalil Syar’i tersebut tidak dapat memutuskan keputusan apapun dalam agama Islam. Keputusan-keputusan agama itu contohnya ialah keputusan tentang halal dan haramnya sesuatu, sunnah atau bid’ahnya sesuatu perkara, tauhid dan syiriknya sesuatu perkara atau baik dan buruknya sesuatu perkara, juga benar dan salahnya sesuatu perkara. Semua perkara tersebut harus diputuskan dengan dasar dalil-dalil syar’i tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar