Ada yang mesti berubah ketika kita berumah
tangga. Kita tak lagi bisa seenaknya menentukan sendiri apa yang hendak kita
lakukan hari ini, esok, atau lusa karena hidup kita telah menjadi bagian dari
hidup orang lain. Ada tanggung jawab yang mesti diemban dan ada hak yang mesti
kita tunaikan.
Memutuskan untuk berumah tangga berarti siap untuk hidup
berbagi dan siap menerima
perubahan. Bagaimana tidak? Setelah sebelumnya seorang
lelaki atau seorang wanita hidup sendiri tanpa pasangan, masing-masingnya bebas
menentukan apa yang diinginkannya, mulai dari bangun tidur sampai hendak tidur
kembali. Namun dengan berlalunya hari setelah terucapnya ijab qabul telah ada
teman hidup yang mendampingi, yang berarti ada kebiasaan yang harus diubah, ada
kewajiban yang harus diemban, dan ada yang harus dibagi. Tentunya keegoisan dan
ke”aku”an selamanya tak dapat dikedepankan bila tak ingin mahligai yang dibangun
goncang hingga akhirnya berujung kehancuran.Dalam berumah tangga memang
harus memperhatikan dan menjaga keseimbangan antara diri sendiri dengan pasangan
hidup. Seimbang dalam artian, diri ini punya hak, teman hidup pun punya hak.
Maka berikan hak diri namun jangan lupakan hak orang lain apatah lagi dia adalah
orang yang terdekat, sebagaimana bimbingan dalam hadits yang
mulia:
فَأَعْطِ كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ
“Berikanlah hak dari
setiap pemilik hak.”Demikianlah, masalah menjaga keseimbangan di antara
hak-hak yang ada termasuk hak pasangan hidup, memiliki landasan dalam syariat
kita yang mulia ini. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih1-nya
membawakan hadits Abu Juhaifah radhiyallahu 'anhu yang menyatakan:
آخَى
النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي
الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ فَرَاى أُمَّ الدَّرْدَاءِ
مُتَبَذِّلَةً، فَقَالَ لَهَا: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: أَخُوْكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ
لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا. فَجَاءَ أَبُوْ الدَّرْدَاء فَصَنَعَ لَهُ
طَعَامًا فَقَالَ لَهُ: كُلْ. قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ. قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ
حَتَّى تَأْكُلَ. قَالَ: فَأَكَلَ. فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو
الدَّرْدَاءِ يَقُوْمُ. قَالَ: نَمْ. فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُوْمُ، فَقَالَ:
نَمْ. فَلَمَّا كَانَ مِن آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ: قُمِ اْلآنَ.
فَصَلَّيَا، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا،
وَلِنَفْسِكَ علَيَكْ َحَقًّا، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِيْ
حَقٍّ حَقَّهُ. فَأَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذلِكَ
لَهُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ
سَلْمَانُ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara
Salman dan Abud Darda’2. Suatu ketika Salman berziarah ke rumah Abud Darda’, ia
melihat Ummud Darda’ –istri Abud Darda’-, memakai pakaian yang telah
lusuh/usang. Maka Salman berkata kepadanya: “Ada apa denganmu3?” Ummud Darda’
menjawab: “Saudaramu Abud Darda’ tidak berhajat dengan apa yang ada di dunia
ini.”4Datanglah Abud Darda’, lalu dibuatkan makanan untuknya.Salman
berkata pada Abud Darda’: “Makanlah.”“Aku sedang puasa,” jawab Abud Darda’
.“Aku tidak akan makan makanan ini sampai engkau mau makan,” sergah
Salman.Pada akhirnya Abud Darda’ membatalkan puasanya lalu menyantap
hidangan yang telah disiapkan bersama Salman. Malam itu Salman menginap di
kediaman Abud Darda’. Ketika Abud Darda’ hendak bangkit untuk shalat (di awal)
malam, Salman mencegahnya5: “Tidurlah dulu,” katanya.Abud Darda’ pun tidur,
namun tak berapa lama ia bangkit lagi untuk mengerjakan shalat. Kembali Salman
mencegahnya: “Tidurlah kembali,” ucapnya.Ketika datang akhir malam, Salman
berkata membangunkan Abud Darda’: “Bangunlah sekarang”. Keduanya lalu menunaikan
shalat malam. Setelahnya Salman menasihati saudaranya: “Sesungguhnya Rabbmu
memiliki hak terhadapmu. Jiwamu pun punya hak terhadapmu sebagaimana istrimu
memiliki hak terhadapmu6, maka tunaikanlah hak dari setiap yang memiliki
hak.”Abud Darda’ mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
menceritakan hal tersebut kepada beliau, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menanggapinya dengan ucapan beliau: “Benar apa yang dikatakan Salman
tersebut.”Ketika melihat saudaranya Abud Darda’ tidak menjaga keseimbangan
hak yang harus ditunaikan dalam hidupnya, Salman berusaha menasihati setelah
sebelumnya setengah memaksa Abud Darda’ untuk membatalkan puasa sunnahnya.
Demikian pula ketika Abud Darda’ tak ingin berbaring tidur karena hendak
menghabiskan malamnya untuk shalat, Salman meminta untuk tidur sampai datang
akhir malam. Salman mengingatkan bahwa semuanya punya hak yang harus ditunaikan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala punya hak terhadap diri hamba, namun bukan berarti
Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki si hamba melalaikan hak-hak yang lain.
Bahkan penetap syariat membenarkan bahwa jiwa punya hak dan istri pun punya hak.
Sehingga masing-masingnya harus diberikan haknya. Terlebih lagi pada kesempatan
lain terucap sendiri dari lisan beliau yang mulia Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ
حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
“Karena tubuhmu memiliki hak
terhadapmu, matamu pun punya hak terhadapmu, demikian pula istrimu memiliki hak
terhadapmu….” (HR. Al-Bukhari no. 1975 dan Muslim no. 2722)Sebelum berlanjut
ke hadits berikutnya, kita tengok dahulu beberapa faedah yang dapat diambil dari
hadits di atas. Di antaranya:- disyariatkannya istri berhias untuk suaminya
- istri punya hak untuk mendapat pergaulan yang ma‘ruf dari suaminya-
istri punya hak untuk di-”datangi” karena dalam hadits
disebutkan:
لأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
“…istrimu memiliki hak
terhadapmu…”Dalam riwayat Ad-Daraquthni disebutkan:
وَائْتِ
أَهْلَكَ
“…dan ‘datangi’-lah istrimu.”7Faedah lain yang dapat dipetik
adalah bolehnya melarang seseorang mengerjakan amalan yang mustahab (sunnah)
apabila dikhawatirkan amalan itu akan mengantarkannya kepada kejenuhan dan
kebosanan, atau dikhawatirkan akan melalaikannya dari hak-hak yang wajib yang
seharusnya ditunaikannya, ataupun melalaikannya dari hak-hak yang sunnah (tidak
wajib) namun lebih tinggi kedudukannya bila dilaksanakan dibanding amalan
mustahabbah yang dikerjakannya. (Fathul Bari, 4/269)Rasul yang mulia
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memberikan bimbingan kepada
shahabatnya, Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu 'anhuma, untuk menjaga
keseimbangan di antara hak-hak yang ada termasuk hak istri. Abdullah sendiri
mengisahkannya untuk kita:
قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: يَا عَبْدَ اللهِ! أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُوْمُ النَّهَارَ
وَتَقُوْمُ الليْلَ؟ فَقُلْتُ: بَلَى، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَلاَ تَفْعَلْ،
صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ
لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku: “Wahai Abdullah, bukankah
telah dikabarkan kepadaku bahwa engkau biasa puasa di (setiap) siang hari dan
shalat di (sepanjang) malam hari?” “Iya, wahai Rasulullah,” jawabku. Beliau lalu
memberikan nasihat: “Jangan engkau lakukan lagi. Puasalah dan berbukalah8.
Bangunlah untuk shalat dan tidurlah9. Karena tubuhmu memiliki hak terhadapmu.
Matamu pun punya hak terhadapmu. Demikian pula istrimu memiliki hak
terhadapmu….” (HR. Al-Bukhari no. 1975 dan Muslim no. 2722)Dalam Fadha`ilul
Qur’an dari kitab Shahih-nya10, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu membawakan
hadits ini dari jalan Mujahid dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhuma, ia
berkata:
أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ، فَكَانَ يَتَعَاهَدُ
كَنَّتَهُ، فَيَسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا. فَتَقُوْلُ: نِعْمَ الرَّجُلُ مِنْ
رَجُلٍ لَمْ يَطَأْ لَنَا فِرَاشًا وَلَمْ يُفَتِّشْ لَنَا كَنَفًا مُنْذُ
أَتَيْنَاهُ. فَلَمَّا طَالَ ذلِكَ عَلَيْهِ ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَلْقِنِي بِهِ. فَلَقِيْتُهُ بَعْدُ
Ayahku
menikahkan aku dengan seorang wanita dari keturunan orang mulia. Beliau pernah
mengunjungi menantunya ini lalu bertanya tentang keadaan suaminya. Maka si
menantu (istri Abdullah) berkata: “Dia adalah sebaik-baik lelaki, hanya saja ia
tidak pernah menginjak tempat tidur kami11 dan tidak pernah memeriksa pakaian
yang menutupi kami12 sejak kami mendatanginya.” Ketika hal ini berlangsung lama,
sang ayah mengadukannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam13, beliau pun
memerintahkan: “Pertemukan aku dengannya.” Abdullah pun menemui beliau setelah
itu.Kita lihat dalam hadits di atas bagaimana bimbingan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhuma
untuk bersikap pertengahan dalam ibadah. Tidak berlebih-lebihan namun tidak pula
mengurang-ngurangi, sehingga hak-hak yang lain tidak tersia-siakan14.Ibnu
Baththal berkata sebagaimana dinukilkan Ibnu Hajar Al-’Asqalani: “Tidak
sepantasnya seorang suami memaksa diri dalam beribadah sehingga ia lemah untuk
menunaikan hak istrinya berupa jima’ dan mendapatkan penghidupan (nafkah).”
(Fathul Bari, 9/371).Demikian sedikit yang dapat kami sampaikan kepada
pembaca tentang menjaga keseimbangan dari hak-hak yang ada. Dengan begitu tak
sepantasnya seorang suami menghabiskan seluruh waktunya, siang dan malam, untuk
beribadah sementara istrinya terabaikan. Bila untuk beribadah saja tidak
diperkenankan oleh syariat, apatah lagi jika sang suami menghabiskan waktunya
untuk kepentingan dunianya sementara hak istrinya terbengkalai.Sebaik-baik
contoh bagi para suami adalah Ar-Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau
merupakan manusia yang paling sempurna dalam menunaikan hak Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Namun demikian, beliau juga memberikan hak kepada tubuhnya, kepada
umatnya dan kepada orang-orang terdekat yang tinggal seatap dengan beliau, yakni
para istrinya. Kisah teladan yang bergulir dari rumah tangga nubuwwah, yang
dituturkan oleh ummahatul mukminin, cukuplah menjadi saksi dan sebagai suatu
aksioma bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suami yang terbaik.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Kitab Ash-Shaum, bab Man Aqsama ‘ala
Akhihi li Yufthira fit Tathawwu‘ wa lam Yara ‘alaihi Qadha’an Idza Kana Aufaqa
Lahu, no. 1968.2 Dua kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mempersaudarakan para shahabatnya:Pertama: sebelum hijrah, beliau lakukan di
antara kaum Muhajirin secara khusus agar mereka saling memberikan kelapangan dan
saling menolong. Di antaranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mempersaudarakan Zaid bin Haritsah dengan Hamzah bin ‘Abdil
Muththalib.Kedua: setelah hijrah, ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah tiba di Madinah beliau mempersaudarakan antara kaum Muhajirin
dengan Anshar. (Fathul Bari, 4/267)3 Salman mempertanyakan apa sebabnya
Ummud Darda’ berpakaian usang sementara sebagai istri seharusnya ia berhias
untuk suaminya. Di sini juga ada dalil bolehnya seorang lelaki mengajak bicara
wanita ajnabiyyah/bukan mahramnya bila memang ada kebutuhan. (Fathul Bari,
4/269)4 Dalam riwayat Ad-Daraquthni disebutkan:
لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ
فِي نِسَاءِ الدُّنْيَا
“Abud Darda’ tidak berhajat pada wanita
dunia.”Ibnu Khuzaimah menambahkan:
يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ
اللَّيْلَ
“Ia puasa di siang hari dan shalat sepanjang malam.”5
Perbuatan Salman melarang Abud Darda’ untuk shalat tidaklah tercela. Adapun
ancaman yang ada dalam syariat bila melarang orang mengerjakan shalat
dikhususkan bagi yang melarang karena bermaksud berbuat zalim dan melampaui
batas. (Fathul Bari, 4/270)6 Dalam riwayat Ad-Daraquthni
disebutkan:
فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَصَلِّ وَنَمْ، وَائْتِ
أَهْلَكَ
“Berpuasa dan berbukalah, shalat dan tidurlah, dan ‘datangi’-lah
istrimu.”7 Ulama berbeda pendapat tentang seorang suami yang menahan diri
dari menggauli istrinya. Al-Imam Malik berkata: “Bila ia melakukan hal itu tanpa
ada sebab yang darurat maka ia diharuskan untuk men”datangi” istrinya atau
keduanya dipisah.” Pendapat yang semacam ini juga dinyatakan oleh Al-Imam
Ahmad.Adapun pendapat yang masyhur dari madzhab Syafi’iyyah adalah si suami
diwajibkan men”datangi” istrinya. Ada yang menyatakan: “Ia wajib mendatanginya
sekali.” Sebagian salaf mengatakan: “Suami wajib mendatangi istrinya di setiap
empat malam.” Sebagian lagi mengatakan: “Sekali di setiap masa suci.” (Fathul
Bari, 9/371)8 Yakni jangan engkau terus berpuasa setiap siang hari, namun
hendaknya ada hari di mana engkau berpuasa dan ada pula hari di mana engkau
tidak berpuasa.9 Janganlah shalat sepanjang malam, tapi sempatkan pula untuk
istirahat.10 Hadits no. 505211 Maksudnya: ia tidak pernah tidur bersama
kami.12 Si istri memaksudkan bahwa suaminya tidak pernah menggaulinya.
(Fathul Bari, 9/120)13 Setelah sebelumnya mencela putranya atas perbuatannya
tersebut, namun ketika keadaan putranya tidak berubah, sang ayah khawatir
putranya berdosa karena menyia-nyiakan hak istrinya. Maka sang ayah pun
mengadukan putranya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Fathul
Bari, 9/120)Disebutkan dalam riwayat An-Nasa’i, Abdullah
berkata:
زَوَّجَنِي أَبِي امْرَأَةً فَجَاءَ يَزُوْرُهَا، فَقَالَ: كَيْفَ
تَرَيْنَ بَعْلَكِ؟ فَقَالَتْ: نِعْمَ الرَّجُلُ مِنْ رَجُلٍ، لاَ يَنَامُ
اللَّيْلَ وَلاَ يُفْطِرُ النَّهَارَ. فَوَقَعَ بِي، وَقَالَ: زَوَّجْتُكَ
امْرَأَةً مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَعَضَلْتَهَا. قَالَ: فَجَعَلْتُ لاَ أَلْتَفِتُ
إِلَى قَوْلِهِ، مِمَّا أَرَى عِنْدِي مِنَ الْقُوَّةِ وَاْلإِجْتِهَادِ، فَبَلَغَ
ذلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَكِنِّي أَنَا
أَقُوْمُ وَأناَمُ وَأَصُوْمُ وَأَفْطِرُ، فَقُمْ وَنَمْ وَصُمْ
وَأَفْطِرْ...
Ayahku menikahkan aku dengan seorang wanita, lalu beliau
mengunjungi menantunya ini dan bertanya: “Bagaimana yang engkau lihat dari
suamimu?” Si menantu menjawab: “Dia adalah sebaik-baik lelaki, tidak pernah
tidur di waktu malam dan tidak pernah berbuka di waktu siang (selalu puasa).”
Ayahku pun memarahiku dan mengatakan: “Aku nikahkan engkau dengan seorang wanita
dari kalangan muslimin lalu engkau menyengsarakannya.” Abdullah berkata: “Aku
tidak peduli dengan ucapan ayahku karena aku memandang kekuatan dan
kesungguh-sungguhanku dalam melakukan ibadah tersebut. Lalu sampailah hal itu
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun bersabda: “Aku sendiri
bangun malam untuk shalat namun aku juga tidur. Aku puasa di siang hari namun
ada saatnya aku berbuka (tidak puasa). Karena itu shalatlah di waktu malam namun
tidurlah juga. Berpuasalah di siang hari namun ada waktunya pula engkau tidak
puasa…”. (Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
An-Nasa’i)14 Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menasehati Abdullah:
فََإِنَّكَ، إِذَا فَعَلْتَ ذلِكَ، هَجَمَتْ
عَيْنَاكَ، وَنَفِهَتْ نَفْسُكَ، لِعَيْنِكَ حَقٌّ، وَلِنَفْسِكَ حَقٌّ،
وَلأَهْلِكَ حَقٌّ...
“Bila engkau melakukan hal itu, kedua matamu akan
sakit dan lemah, jiwamu pun akan kepayahan. Matamu punya hak, jiwamu punya hak
dan istrimu pun punya hak….” (HR. Al-Bukhari no. 1977 dan Muslim no.
2730)
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Makkah 'Isha - 25th December 2024
-
*Makkah Isha *
(Surah Hashr: Ayaah 18-24) *Sheikh Baleelah*
Download 128kbps Audio
5 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar