Apakah alkohol yang digunakan untuk
disinfeksi alat-alat medis termasuk najis?
('Aisyah, Yogyakarta)
Jawab:
Alhamdulillah. Telah kita ketahui pada
pembahasan Problema Anda edisi lalu bahwa alkohol merupakan bahan memabukkan
yang merupakan inti dari khamr, sehingga haram bagi
seorang muslim untuk
memiliki alkohol dengan cara apa pun, baik dengan membuatnya sendiri,
membelinya, atau dengan cara yang lain.
Desinfeksi alat-alat medis bukanlah
alasan yang ditolerir untuk bisa menggunakan alkohol, dengan dua alasan:
1. Rasulullah n bersabda:
إِنَّهُ
لَيْسَ بِدَوَاءٍ
وَلَكِنَّهُ دَاءًٌ
“Sesungguhnya khamr itu bukan obat,
melainkan penyakit.”
Beliau mengatakan hal ini ketika
Thariq bin Suwaid Al-Ju’fi bertanya tentang pembuatan khamr untuk pengobatan.
(HR. Muslim, no. 1984)
Dan masih ada hadits-hadits lainnya
yagn menunjukkan haramnya pengobatan dengan sesuatu yang haram.
2. Kondisi darurat yang dengan itu
diperbolehkan menggunakan sesuatu yang haram, adalah jika memenuhi dua
persyaratan, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v dalam
Asy-Syarhul Mumti’ (6/330, cetakan Darul Atsar):
a. Seseorang terpaksa menggunakannya
jika tidak ada alternatif lain.
b. Ada jaminan/ kejelasan bahwa dengan
itu kondisi darurat akan benar-benar teratasi.
Padahal fakta membuktikan bahwa
penanganan medis bukanlah satu-satunya alternatif kesembuhan. Karena tidak
sedikit penderita yang sembuh tanpa penanganan medis. Melainkan hanya dengan
rutin mengkonsumsi obat-obat nabawi atau ramuan-ramuan tertentu disertai
kesungguhan dalam menghindari pantangan penyakit yang dideritanya. Anggaplah
pada kondisi darurat tertentu terkadang seseorang terpaksa harus menjalani
penanganan medis, namun –alhamdulillah– masih banyak alternatif lain selain
alkohol untuk disinfeksi alat-alat medis.
Adapun najis atau tidaknya alkohol,
maka ini kembali kepada permasalahan najis atau tidaknya khamr. Jumhur ulama,
termasuk imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad
rahimahumullah) berpendapat bahwa khamr adalah najis. Dan ini dibenarkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Mereka berdalilkan firman Allah k:
يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا
إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ
وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ
مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
hanyalah sesungguhnya khamr, judi, patung-patung yang disembah, dan azlam1
adalah rijs, merupakan amalan setan.” (Al-Ma`idah: 90)
Namun yang benar adalah pendapat
Rabi’ah (guru Al-Imam Malik), Al-Laits bin Sa’d Al-Mishri, Al-Muzani (sahabat
Al-Imam Asy-Syafi’i) dan Dawud Azh-Zhahiri, bahwa khamr tidak najis. Ini yang
dipilih oleh Al-Imam Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahumullah. Karena hukum asal segala sesuatu adalah suci kecuali
ada dalil yang menunjukkan najisnya. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan
najisnya khamr, maka kita menghukuminya dengan hukum asal.
Meskipun khamr haram namun tidak
berarti najis, karena tidak ada konsekuensi bahwa sesuatu yang haram mesti
najis. Al-Imam Ash-Shan’ani dan Al-Imam Asy-Syaukani menjelaskan kekeliruan
anggapan sebagian ulama bahwa sesuatu yang haram konsekuensinya menjadi najis.
Yang benar, hukum asal segala sesuatu adalah suci dan keharamannya tidaklah
otomatis menjadikan hal itu najis.
Sebagai contoh, emas dan kain sutera
telah disepakati dan diketahui bahwa keduanya suci, meskipun haram bagi kaum
lelaki untuk mengenakannya. Namun sebaliknya, najisnya sesuatu berkonsekuensi
bahwa sesuatu itu haram.
Adapun dalil yang digunakan oleh
jumhur ulama, maka hal itu adalah ijtihad mereka –rahimahumullah– dalam
memahami ayat tersebut. Padahal najis yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah
najis maknawi, artinya minum khamr adalah perbuatan najis (kotor) yang haram,
meskipun zat khamr itu sendiri adalah suci. Pemahaman ini didukung dua faktor:
1. Khamr dalam ayat tersebut
disejajarkan dengan najisnya alat-alat judi, berhala-berhala sesembahan, dan
anak-anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib. Padahal disepakati bersama
bahwa benda-benda tersebut adalah suci, yang najis adalah perbuatan judinya,
perbuatan menyembah berhala, dan perbuatan mengundi nasib. Demikian pula dengan
khamr. Yang najis adalah perbuatan minum khamr, bukan khamr itu sendiri.
2. Kata rijs (yang diartikan najis)
dalam ayat di atas disifati dengan kalimat berikutnya, yaitu
مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ
(merupakan amalan setan). Jadi yang
dimaksud adalah amalannya bukan zatnya.
Kesimpulannya, bahwa ayat tersebut
tidak cukup sebagai dalil untuk menggeser hukum asal tadi.
Justru terdapat hadits-hadits shahih
yang menunjukkan sucinya khamr, sehingga makin menguatkan hukum asal tersebut.
Hadits-hadits itu di antaranya:
1. Hadits Anas bin Malik z yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari v dalam Shahih-nya, Kitabul Mazhalim, Bab
Shubbil Khamri fi Ath-Thariq no. 2464, juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri z yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Musaqat, Bab Tahrimi
Bai’il Khamr no. 1578. Disebutkan dalam kedua hadits itu bahwa para shahabat
menumpahkan khamr mereka di jalan-jalan ketika diharamkannya khamr. Ini
menunjukkan bahwa khamr bukan najis, karena jalan-jalan yang dilewati kaum
muslimin tidak boleh dijadikan tempat pembuangan najis. Bila ditanyakan:
“Apakah hal itu dengan sepengetahuan Rasulullah n?” Maka dijawab: Jika Rasulullah
n mengetahuinya berarti hal itu dengan persetujuan beliau n. Berarti hadits
tersebut marfu’ secara hukum. Bila tidak diketahui oleh beliau n, maka
sesungguhnya Allah k mengetahuinya, dan Allah k tidak akan membiarkannya bila
memang hal itu adalah suatu kemungkaran, karena waktu itu merupakan masa
turunnya wahyu.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas c yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Musaqat, Bab Tahrimi
Bai’il Khamr no. 1579, bahwa seorang laki-laki menghadiahkan sebuah wadah
berisi khamr kepada Rasulullah n. Maka Rasulullah n berkata: “Tidakkah engkau
mengetahui bahwa khamr telah diharamkan?” Kemudian ada seseorang yang membisiki
laki-laki tersebut untuk menjualnya. Maka Rasulullah n bersabda:
إِنَّ
الَّذِي حَرَّمَ
شُرْبَهَا حَرَّمَ
بَيْعَهَا
“Sesungguhnya Dzat Yang mengharamkan
untuk meminumnya juga mengharamkan untuk menjualnya.”
Kemudian Ibnu ‘Abbas c berkata:
فَفَتَحَ
الْمَزَادَ حَتَّى
ذَهَبَ مَا
فِيْهَا
“Maka lelaki itu membuka wadah khamr
tersebut dan menumpahkan isinya hingga habis.”
Kejadian ini disaksikan oleh
Rasulullah n dan beliau tidak memerintahkan kepadanya untuk mencuci wadah
tersebut. Ini menunjukkan bahwa khamr tidaklah najis. Wallahu a’lam bish-shawab.
Maraji’/ Sumber Bacaan:
Al-Majmu’ lin Nawawi, 2/581-582
Subulus Salam, penjelasan hadits
kedua dari Bab Izalatun Najasah, 1/55-56
Ad-Darari Al-Mudhiyyah, hal.19-20
Tamamul Minnah, hal. 54-55
Asy-Syarhul Mumti’, 1/366-367
1 Azlam adalah tiga batang anak panah
yang tidak berbulu, tertulis pada salah satunya “Lakukan”, yang kedua “Jangan
lakukan”, dan yang ketiga kosong tanpa tulisan. Seseorang berbuat sesuai dengan
anak panah yang terambil.
Penulis
: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar