Syaikh Muhammad Al-Imam bercerita sepulang dari menunaikan haji:
Ada pelarangan pengajaran hafalan Al-Qur’an disebagian tempat di Makkah.
Dengan alasan mereka lebih mengedepan dan lebih memilih para pengajar yang
memiliki keterkaitan dengan pelaku pengeboman dan terorisme, atau kalau mau
bisa kita sebut dengan pengikut
Al-Qaidah. Namun mereka juga mengatakan bahwa
pelarangan ini bukanlah maksudnya bahwa pelajaran menghafal Al-Qur’an akan
ditiadakan, akan tetapi mereka akan melihat para pengajar yang memang warga
negara Sa’udi sendiri.
Intinya, perkara dan tindakan ini tidaklah benar. Keberadaan individu yang
mengajarkan Al-Qur’an dan mereka punya keterkaitan dengan kelompok dan unsur
yang dikenal berbackground kejelekan dan fitnah, bukanlah sebagai alasan untuk
melarang pengajaran hafalan Al-Qur’an.
Sikap yang benar adalah: negara memiliki kesatuan intelejen seperti biji
yang bertabur di mana-mana. Negara Sa’udi dan negara yang lain memiliki
intelejen yang tersebar di mana-mana. Maka siapa yang terbukti di mata mereka
bahwa suatu individu atau kelompok memiliki keterkaitan dengan pihak terorisme
maka sepantasnya memang tidak diijinkan untuk melakukan pengajaran, khutbah
ataupun ceramah.
Namun menyama-ratakan kesalahan lalu menghukum semua orang yang memberikan
pengajaran sampai yang tidak terkait sekalipun maka ini tidaklah benar.
Tindakan seperti inilah, yaitu menyama-ratakan hukuman inilah yang dimaukan
oleh musuh-musuh islam. Musuh-musuh islam seperti Amerika dan orang-orang barat
berbicara tentang terorisme dan para pelakunya, sehingga kaum muslimin
menyangka bahwa mereka memerangi pelaku teror semata, padahal kenyataannya
mereka itu hendak menghancurkan islam dengan perantara alasan memerangi terorisme,
memerangi kelompok teror yang ada di tengah-tengah kaum muslimin.
Maka kami menasehatkan kepada semua pemerintah kaum muslimin agar tidak
melakukan tindakan yang menyempitkan kaum muslimin, atau melakukan tindakan
yang memang itu yang diinginkan musuh-musuh islam. Maka siapa yang beriman
kepada Allah تعالى dan hari akhir untuk mengambil tindakan yang akan
memudharatkan kaum muslimin, dan melimpahkan kesalahan individu kepada semua
orang secara merata, yaitu terhadap orang-orang yang tidak bersalah.
Sebagian pemerintah mengetahui bahwa negaranya memiliki kelompok dan partai
yang banyak yang berbeda-beda dalam hal berpegang teguhnya dengan agama. Kalau
orang yang shalih juga dihukum karena orang yang jahat, orang yang tidak
bersalah ikut serta dihukum karena kesalahan orang lain, maka ini adalah
kezhaliman yang besar.
Dan bisa jadi tindakan pelarangan itu bukan atas nama negara namun hanya
tindakan individu petugas atau pejabat yang memiliki tujuan tertentu.
Pertanyaan: Kalau di antara kami ada yang mengetahui bahwa di suatu tempat
ada orang atau kelompok yang terkait dengan aksi pengeboman dan tenidakan
teror, apakah boleh kami melaporkan pada pihak intelejen atau keamanan?
Jawab: Sebenarnya para intelejen tidaklah meninggalkan celah sedikitpun, mereka
lebih dahulu tahu dari pada kita. Dan mereka tidak butuh kepada informasi kita,
informasi di tangan mereka lebih lengkap dan banyak. Maka lebih baik kita
menjauhi fitnah. Akan tetapi demi mengamalkan agama kita, maka kita harus
memperingatkan umat dari tindakan pengeboman dan terorisme. Di dalam khutbah,
atau ceramah, atau tulisan dan sebagainya. Bahwa tindakan pengeboman bukan dari
islam, tindakan itu salah dan tidak benar. Bukan merupakan bagian dakwah kepada
islam, dan tindakan itu membawa kerusakan bagi kaum muslimin dan tidak
memberikan kebaikan keadaan. Bahkan menambah fitnah di tengah-tengah kaum
muslimin.
Dan kita tentunya juga tidak rela untuk menjadi mata-mata, tidak untuk
memata-matai para pengebom atau memata-matai kelompok bid’ah yang lain.
Pertanyaan: Apakah Syaikh bertemu dengan para ulama Sa’udy?
Jawab: Alhamdulillah, kami bertemu dengan sebagian ulama seperti Syaikh Rabi’,
Syaikh ‘Ubaid, Syaikh Abdullah Al-Bukhary, dan ulama yang lain. Namun kami
terluput dari Syaikh Fauzan, karena sempitnya waktu dan tidak ada yang
membuatkan janji dengan beliau. Kita tahu para ulama sangat sibuk dengan banyak
perkara. Semoga ditahun depan kami bisa bertemu dengan para ulama.
Pertanyaan: Apakah antum mengadakan pelajaran di sana?
Jawab: Kami di tempat travel sempat mengadakan pelajaran setiap ba’da ‘Ashr
selama beberapa hari. Dan kami juga mengadakan beberapa ceramah di beberapa
tempat.
Al-Akh Jabr salah satu pengawal Syaikh mengabarkan: Bahwa Syaikh Muhammad
Al-Imam dan Syaikh Abdurrahman Al-’Adny selalu bersam, entah ketika pergi atau
duduk atau acara yang lain. Bahkan ketika ada orang yang bertanya Syaikh
Muhammad selalu mengalihkannya kepada Syaikh Abdurrhman, “Silahkan tanya kepada
Syaikh Abdurrahman.”. Sehingga kedua Syaikh ini seakan tidak terpisah. Syaikh
Muhammad, Syaikh Abdurrahman dan Syaikh Abdullah ‘Utsman mengadakan ceramah
pada tempat yang sama secara bergantian di Mina, pada hari Tarwiyah. Demikian
juga di Mina pada hari Tasyriq Syaikh Muhammad dan Syaikh Abdurrahman
memberikan ceramah secara bergantian. Dan juga terjadi ijtima’ (pertemuan) para
ulama di Jeddah yang dihardiri oleh Syaikh Muhammad Al-Wushaby, Syaikh Muhammad
Al-Imam, Syaikh Abdurrahman, Syaikh Abdullah ‘Utsman, Syaikh Abdul ‘Aziz
Al-Bura’y. Dan yang memberikan ceramah adalah Syaikh Muhammad Al-Wushaby dan
Syaikh Muhammad Al-Imam. (Lihat terkait pertemuan ini di www.wahyain.com).
Pertanyaan: Ada orang pergi haji dan dia shalat di sana, namun ketika balik
dia tidak shalat lagi. Bagaimana dia?
Jawab: Pada saat dia shalat maka terhitung muslim pada saat dia tidak shalat
terhitung kafir.
Pertanyaan: Apakah hajinya diterima?
Jawab: Orang seperti ini perlu ditegakkan padanya hujah. Apa yang menjadikan dia
berbuat seperti itu. Apakah dia mendapatkan keracuan dari orang-orang sesat
atau apa? Intinya: hukum terkait orang tertentu dibutuhkan penegakkan hujah,
terpenuhi syaratnya dan terlepas penghalangnya.
Adapun hukum secara umum bahwa orang yang haji dan dia tidak shalat saat
haji atau saat sudah pulang maka yang nampak hajinya tidak diterima. “Sesungguhnya
Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.” Dan orang ini
tergolong kafir, jadi bukan orang yang bertakwa. Namun jika dia meninggalkan
shalatnya setelah pulang haji maka ini adalah masalah yang lain, hal ini
terkait dengan apakah amalan itu terhapus dengan terjatuhnya seseorang pada
dosa atau terhapus sesuai kondisi dia saat mati. Jika dia mati dalam keadaan
kafir maka terhapus amalannya, dan jika mati dalam keadaan telah bertaubat maka
amalanya tetap sebagaimana adanya. Maka ini adalah masalah yang kedua berbeda
dengan yang pertama.
Disampaikan oleh Syaikh Muhammad
17 Dzul Hijjah 1431 H
Darul Hadits Ma’bar, Yaman
Diterjemahkan oleh
‘Umar Al-Indunisy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar