Kelahiran anak laki-laki, hingga kini,
dianggap sebagai pelanggeng garis keturunan keluarga. Tak sedikit pula yang
menjadikannya penanda kehormatan. Sebaliknya, berbagai belitan kesedihan dan
rasa malu menghantui pasangan yang ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan. Padahal,
dalam Islam, jika anak-anak perempuan itu dimuliakan yang terurai dalam sikap
kasih sayang, memberikan pendidikan dan pengajaran agama yang baik, janji surga
telah menantikannya.
Perasaan kecil hati kadang menyelimuti pasangan yang
belum juga dikaruniai anak laki-laki. Bahkan tak sedikit orang tua yang lebih
mendambakan bayi yang hendak lahir ini laki-laki dibanding keinginan untuk
mendapatkan anak perempuan. Demikianlah keadaan mayoritas manusia sebagaimana
dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah
radhiyallahu 'anha:
مَنِ ابْتُلِيَ مِنَ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ، فَأَحْسَنَ
إِلَيْهِنَّ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang diberi
cobaan dengan anak perempuan kemudian ia berbuat baik pada mereka, maka mereka
akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1418 dan
Muslim no. 2629)Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai ibtila’ (cobaan), karena biasanya orang
tidak menyukai keberadaan anak perempuan. (Syarh Shahih Muslim,
16/178)Bahkan dulu pada masa jahiliyah, orang bisa merasa sangat terhina
dengan lahirnya anak perempuan. Sehingga tergambarkan dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ
وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا
بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ
مَا يَحْكُمُوْنَ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira
dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat marah.
Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah,
betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)Sementara di
dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengancam perbuatan
mengubur anak-anak perempuan. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَإِذَا الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ
قُتِلَتْ
“Dan ketika anak perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
atas dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir: 8-9)Al-Mau`udah adalah anak
perempuan yang dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyah karena kebencian
terhadap anak perempuan. Pada hari kiamat, dia akan ditanya atas dosa apa dia
dibunuh, untuk mengancam orang yang membunuhnya. Apabila orang yang dizalimi
ditanya (pada hari kiamat kelak, –pen.), maka bagaimana kiranya persangkaan
orang yang berbuat zalim (tentang apa yang akan menimpanya, –pen.)? (Tafsir Ibnu
Katsir, 8/260)Demikianlah Islam memuliakan anak perempuan. Selain dalam Al
Qur’an, dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didapati pula
larangan yang jelas dari mengubur anak perempuan. Hadits ini disampaikan oleh
Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ،
وَمَنْعًا وَهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ،
وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah
mengharamkan atas kalian durhaka pada ibu, menolak untuk memberikan hak orang
lain dan menuntut apa yang bukan haknya, serta mengubur anak perempuan
hidup-hidup. Dan Allah membenci bagi kalian banyak menukilkan perkataan, banyak
bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no.
593)Wa`dul banat adalah menguburkan anak perempuan hidup-hidup sehingga
mereka mati di dalam tanah. Ini merupakan dosa besar yang membinasakan
pelakunya, karena merupakan pembunuhan tanpa hak dan mengandung pemutusan
hubungan kekerabatan. (Syarh Shahih Muslim, 12/11)Di sisi lain, dalam agama
yang mulia ini ada anjuran agar orang tua yang dikaruniai anak perempuan
memuliakan anaknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menganugerahkan anak
perempuan telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang berbuat kebaikan kepada
anak perempuannya.‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah
mengatakan:
جَاءَتْنِي مِسْكِيْنَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا
فَأَطْعَمْتُهَا ثَلاَثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً
وَرَفَعَتْ إِلَى فِيْهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا،
فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِي كَانَتْ تُرِيْدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا،
فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا
الْجَنَّةَ وَأَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ
Seorang wanita miskin datang
kepadaku membawa dua anak perempuannya, maka aku memberinya tiga butir kurma.
Kemudian dia memberi setiap anaknya masing-masing sebuah kurma dan satu buah
lagi diangkat ke mulutnya untuk dimakan. Namun kedua anak itu meminta kurma
tersebut, maka si ibu pun membagi dua kurma yang semula hendak dimakannya untuk
kedua anaknya. Hal itu sangat menakjubkanku sehingga aku ceritakan apa yang
diperbuat wanita itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
berkata: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya surga dan membebaskannya
dari neraka.” (HR. Muslim no. 2630)Dalam riwayat dari Anas bin Malik
radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan
kedekatannya dengan orang tua yang memelihara anak-anak perempuan mereka dengan
baik kelak pada hari kiamat:
مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا
جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ -وَضَمَّ أَصَابِعَهُ-
“Barangsiapa
yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa,
maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan aku dan dia (seperti
ini),” dan beliau mengumpulkan jari jemarinya. (HR. Muslim no. 2631)Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan
seseorang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, memberikan nafkah,
dan bersabar terhadap mereka dan dalam segala urusannya. (Syarh Shahih Muslim,
16/178)Masih berkenaan dengan keutamaan membesarkan dan mendidik anak
perempuan, seorang shahabat, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ
لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ، فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ، وَأَطْعَمَهُنَّ، وَسَقَاهُنَّ،
وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ، كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ
القِيَامَةِ
“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, lalu
dia bersabar atas mereka, memberi mereka makan, minum, dan pakaian dari
hartanya, maka mereka menjadi penghalang baginya dari api neraka kelak pada hari
kiamat.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no.
56: “Shahih”)Tidak hanya itu saja, dalam berbagai riwayat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggarisbawahi hal ini. Jabir bin Abdillah
rahimahullahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثَُ بَنَاتٍ، يُؤْوِيْهِنَّ،
وَيَكْفِيْهِنَّ، وَيَرْحَمُهُنَّ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ الْبَتَّةَ.
فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَعْضِ القَوْمِ: وَثِنْتَيْنِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ:
وَثِنْتَيْنِ
“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan yang
dia jaga, dia cukupi dan dia beri mereka kasih sayang, maka pasti baginya
surga.” Seseorang pun bertanya, “Dua juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Dan dua juga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil
Mufrad no. 58: “Hasan”)Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma juga
meriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ
تُدْرِكُهُ ابْنَتَانِ، فَيُحْسِنُ صُحْبَتَهُمَّا، إِلاَّ أَدْخَلَتَاهُ
الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang muslim yang memiliki dua anak perempuan yang
telah dewasa, lalu dia berbuat baik pada keduanya, kecuali mereka berdua akan
memasukkannya ke dalam surga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Al-Adabil Mufrad no. 57: “Hasan lighairihi”)Agama yang sempurna ini juga
memberikan gambaran tentang pengungkapan sikap kasih sayang orang tua kepada
anak perempuannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh
bagi umat beliau melalui pergaulannya dengan putri beliau, Fathimah radhiyallahu
‘anha . Tentang ini, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah:
مَا رَأَيْتُ
أَحَدًا مِنَ النَّاسِ كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ. قَالَتْ:
وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ
رَحَّبَ بِهَا، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا حَتَّى
يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ، ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ
فَقَبَّلَتْهُ
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam cara bicara maupun duduk daripada
Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu
berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya hingga
beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Begitu pula apabila Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang padanya, maka Fathimah mengucapkan selamat
datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggandeng tangannya, lalu
menciumnya.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul
Mufrad no. 725)Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat beliau yang
terbaik, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu . Diceritakan oleh Al-Bara` bin
‘Azib radhiyallahu 'anhu:
دَخَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ،
فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ
أَبَا بَكْرٍ يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَالَ: كَيْفَ أَنْتِ يَا
بُنَيَّةُ؟
“Aku pernah masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya.
Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang terbaring sakit panas. Aku pun melihat Abu Bakr
mencium pipi putrinya sambil bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?”
(HR. Al-Bukhari no. 3918)Dalam hal pemberian, Islam juga mengajarkan untuk
memberikan bagian yang sama antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini
berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhu:
تَصَدَّقَ
عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ. فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لاَ
أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: أَفَعَلْتَ هذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: اتَّقُوا
اللهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلاَدِكُمْ. فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ
الصَّدَقَةَ
“Ayahku pernah memberiku sebagian hartanya, lalu ibuku,
‘Amrah bintu Rawahah, mengatakan padanya, “Aku tidak ridha hingga engkau minta
persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ayahku pun menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta persaksian beliau.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya, “Apakah ini
kau lakukan pada semua anakmu?” “Tidak,” jawab ayahku. Beliau pun bersabda,
“Bertakwalah kepada Allah tentang urusan anak-anakmu.” Ayahku pun kembali dan
mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no.
1623)Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan tentang hadits ini bahwa
semestinya orang tua menyamakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian. Dia
berikan pada seorang anak sesuatu yang semisal dengan yang lain dan tidak
melebihkannya, serta menyamakan pemberian antara anak laki-laki dan perempuan.
(Syarh Shahih Muslim, 11/29)Begitu pula dari sisi pendidikan, orang tua
harus memberikan pengajaran dan pengarahan kepada anak-anaknya, termasuk anak
perempuannya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى
الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ،
كَمَثَلِ البَهِيْمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا
جَدْعَاءَ؟
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang
ternak akan melahirkan binatang ternak yang sempurna. Apakah engkau lihat ada
binatang yang lahir dalam keadaan telah terpotong telinganya?” (HR. Al-Bukhari
no. 1385)Seorang anak yang terlahir di atas fitrah ini siap menerima segala
kebaikan dan keburukan. Sehingga dia membutuhkan pengajaran, pendidikan adab,
serta pengarahan yang benar dan lurus di atas jalan Islam. Maka hendaknya kita
berhati-hati agar tidak melalaikan anak perempuan yang tak berdaya ini, hingga
nantinya dia hidup tak ubahnya binatang ternak. Tidak mengerti urusan agama
maupun dunianya. Sesungguhnya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ada teladan yang baik bagi kita. (Al-Intishar li Huquqil Mukminat, hal.
25)Bahkan ketika anak perempuan ini telah dewasa, orang tua selayaknya tetap
memberikan pengarahan dan nasehat yang baik. Ini dapat kita lihat dari kehidupan
seseorang yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, dalam peristiwa turunnya ayat tayammum.
Diceritakan peristiwa ini oleh ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:
خَرَجْنَا مَعَ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى
إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي،
فَأَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التِّمَاسِهِ،
وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ. فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي
بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ فَقَالُوا: أَلاَ تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ؟ أَقَامَتْ
بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسِ، وَلَيْسُوا عَلَى
مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ. فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ. فَقَالَ:
حَبَسْتِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ، وَلَيْسُوا
عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَعَاتَبَنِي أَبُو
بَكْرٍ وَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلَ، وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي
خَاصِرَتِي، فَلاَ يَمْنَعُنِي مِنَ التَّحَرُّكِ إِلاَّ مَكَانُ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي. فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ أَصْبَحَ عَلََى غَيْرِ مَاءٍ، فَأَنْزَلَ اللهُ
آيَةَ التَّيَمُّمِ، فَتَيَمَّمُوا. فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ: مَا هِيَ
بِأَوَّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ. قَالَتْ: فَبَعَثْنَا البَعِيْرَ
الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ، فَأَصَبْنَا العِقْدَ تَحْتَهُ
“Kami pernah
keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu
safarnya. Ketika kami tiba di Al-Baida’ –atau di Dzatu Jaisy– tiba-tiba kalungku
hilang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun singgah di sana untuk
mencarinya, dan orang-orang pun turut singgah bersama beliau dalam keadaan tidak
ada air di situ. Lalu orang-orang menemui Abu Bakr sembari mengeluhkan,
“Tidakkah engkau lihat perbuatan ‘Aisyah? Dia membuat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tak ada air, sementara
mereka pun tidak membawa air.” Abu Bakr segera mendatangi ‘Aisyah. Sementara itu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur sambil meletakkan
kepalanya di pangkuanku. Abu Bakr berkata, “Engkau telah membuat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tidak
berair, padahal mereka juga tidak membawa air!” Aisyah melanjutkan, “Abu Bakr
pun mencelaku dan mengatakan apa yang ia katakan, dan dia pun menusuk pinggangku
dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk bergerak karena rasa sakit,
kecuali karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur di
pangkuanku. Keesokan harinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun
dalam keadaan tidak ada air. Maka Allah turunkan ayat tayammum sehingga
orang-orang pun melakukan tayammum. Usaid ibnul Hudhair pun berkata, “Ini
bukanlah barakah pertama yang ada pada kalian, wahai keluarga Abu Bakr.” ‘Aisyah
berkata lagi, “Kemudian kami hela unta yang kunaiki, ternyata kami temukan
kalung itu ada di bawahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 224 dan Muslim no.
267)Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan bahwa di dalam hadits ini
terkandung ta`dib (pendidikan adab) seseorang terhadap anaknya, baik dengan
ucapan, perbuatan, pukulan, dan sebagainya. Di dalamnya juga terkandung ta`dib
terhadap anak perempuan walaupun dia telah dewasa, bahkan telah menikah dan
tidak lagi tinggal di rumahnya. (Syarh Shahih Muslim, 4/58)Inilah di antara
pemuliaan Islam terhadap keberadaan anak perempuan. Tidak ada penyia-nyiaan,
tidak ada peremehan dan penghinaan. Bahkan diberi kecukupan, dilimpahi kasih
sayang diiringi pendidikan yang baik, agar kelak memberikan manfaat bagi kedua
orang tuanya di negeri yang kekal abadi.Wallahu ta’ala a’lamu
bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran
Makkah 'Isha - 25th December 2024
-
*Makkah Isha *
(Surah Hashr: Ayaah 18-24) *Sheikh Baleelah*
Download 128kbps Audio
4 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar