Penjelasan: Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
أَرْدِفْ أُخْتَكَ عَائِشَةَ فَأَعْمِرْهَا مِنَ التَّنْعِيْمِ
فَإِذَا هَبَطْتَ اْلأَكَمَةَ فَمُرْهَا فَلْتُحْرِمْ فَإِنَّهَا عُمْرَةٌُ
مُتَقَبَّلَةٌ
“Boncengkan saudara perempuanmu ‘Aisyah, umrahkan dia dari
Tan’im. Apabila engkau
sampai di bukit maka perintahkanlah dia untuk melakukan
ihram. Sesungguhnya itu adalah umrah yang diterima.” (Shahih, HR. Al-Hakim.
Adz-Dzahabi mengatakan bahwa sanadnya kuat. Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Abu
Dawud dan lainnya, sebagaimana diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari dan Muslim dari
jalan Abdurrahman bin Abu Bakr radhiyallahu 'anhuma secara ringkas)
Dalam
riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
هَذِهِ مَكَانُ
عُمْرَتِكِ
“Ini sebagai pengganti umrahmu.”
Dalam riwayat ini ada
isyarat tentang alasan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
‘Aisyah untuk melakukan umrah setelah haji. Berikut ini
penjelasannya:
‘Aisyah telah berihram dengan niat umrah ketika hajinya
bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam… Tatkala sampai di Sarif –sebuah
tempat di dekat Makkah– ia mengalami haid, sehingga tidak dapat menyempurnakan
umrah dan tahallul dari umrah dengan melakukan thawaf di Ka’bah. Dan ‘Aisyah
telah mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya aku
telah berniat umrah, maka bagaimana yang harus aku lakukan dengan hajiku?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Lepaskanlah ikatan kepalamu,
sisirlah dan berhentilah dari umrah. Lalu niatkan haji dan lakukan seperti apa
yang dilakukan oleh jamaah haji, tetapi engkau jangan thawaf dan jangan shalat
sampai engkau suci.” ‘Aisyah pun melakukannya…
(Setelah selesai, ‘Aisyah
mengatakan, -pent): “Orang-orang kembali dengan haji dan umrah. Sementara aku
kembali dengan haji saja?” Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang memudahkan urusan, bila Aisyah menghendaki sesuatu maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurutinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun mengutusnya bersama saudara laki-lakinya, Abdurrahman, sehingga
berihram untuk umrah dari Tan’im.
Dari riwayat-riwayat yang kami sebutkan ini
–dan semuanya shahih– jelaslah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah
memerintahkan ‘Aisyah untuk melakukan umrah setelah haji sebagai ganti dari
umrah tamattu’ yang luput darinya karena haid. Oleh karena itu, para ulama
mengatakan bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lalu: “Ini
sebagai ganti umrahmu”, maksudnya umrah yang terpisah dari haji, yang mana orang
selain Aisyah telah bertahallul darinya ketika di Makkah, kemudian mereka
memulai haji tersendiri.
Bila engkau mengetahui hal ini, nampak dengan jelas
bagimu bahwa umrah ini khusus bagi orang yang haid yang tidak dapat
menyempurnakan umrah hajinya. Sehingga hal ini tidak disyariatkan untuk wanita
yang suci (tidak haid), terlebih lagi kaum lelaki. Dari sinilah nampak rahasia
mengapa ulama salaf menghindari umrah tersebut. Nampak pula sebab penegasan
sebagian ulama salaf tentang dibencinya hal itu. Bahkan tidak ada riwayat yang
shahih dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri bahwa beliau radhiyallahu 'anha
pernah mengamalkannya (lagi). Sungguh, bila beliau radhiyallahu 'anha melakukan
haji, lalu tinggal (di sana) sampai datang bulan Muharram, maka beliau pergi ke
(miqat) Juhfah dan berihram darinya untuk umrah, sebagaimana disebutkan dalam
Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (26/92).
Dan yang semakna dengan ini telah
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitabnya As-Sunanul Kubra (4/344) dari
(seorang tabi’in) Sa’id bin Al-Musayyib, bahwa ‘Aisyah radhiyallahu 'anha
melakukan umrah di akhir bulan Dzulhijjah dari (miqat) Juhfah. Sanad riwayat ini
shahih.
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al-Ikhtiyarat
Al-’Ilmiyyah (hal. 119): “Dibenci keluar dari Makkah untuk melakukan umrah
sunnah. Itu adalah bid’ah. Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya di masa beliau, baik di bulan Ramadhan
atau selainnya. Juga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan
‘Aisyah untuk melakukannya, namun sekedar mengijinkannya setelah berulang-ulang
meminta, untuk menenangkan kalbunya. Sementara thawafnya di Ka’bah (sebagai
ganti umrahnya tersebut, pent) lebih utama dari keluarnya (untuk umrah) menurut
kesepakatan (ulama). Namun hal itu boleh menurut orang yang tidak
membencinya.”
Berikut ini adalah ringkasan dari sebagian jawaban Ibnu
Taimiyyah yang tercantum dalam Majmu’ Fatawa (26/252-263), beliau mengatakan
(26/264): “Oleh karena itu, para ulama salaf dan para imam melarang perbuatan
itu. Sehingga Sa’id bin Manshur meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Thawus
–murid Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma yang paling mulia– bahwa dia mengatakan:
‘Orang yang melakukan umrah dari Tan’im, saya tidak tahu apakah mereka akan
diberi pahala atau disiksa.’ Dikatakan kepada beliau: ‘Mengapa mereka disiksa?’
Beliau menjawab: ‘Karena ia meninggalkan thawaf di Ka’bah, lalu keluar sejauh
empat mil, lalu datang lagi. Dan (seukuran) dia datang berjalan dari jarak empat
mil, (sebenarnya) ia bisa thawaf 200 putaran. Dan setiap putaran di Ka’bah
adalah lebih baik dari dia berjalan tanpa mendapat apapun.’ Riwayat ini
disetujui oleh Al-Imam Ahmad.
‘Atha` bin As-Sa`ib mengatakan: ‘Kami melakukan
umrah setelah haji, maka Sa’id bin Jubair (murid Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
'anhuma) mencela kami karena perbuatan itu.’ Ada ulama yang lain yang
membolehkan, namun mereka sendiri tidak melakukannya…”
Ibnul Qayyim dalam
kitabnya Zadul Ma’ad (1/3421): “Tidak pernah ada satu umrah pun dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara keluar dari Makkah seperti yang
dilakukan kebanyakan orang-orang di masa ini. Umrah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam semua hanyalah ketika beliau masuk ke Makkah. Dan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah tinggal di Makkah selama 13 tahun setelah turunnya wahyu
namun selama itu sama sekali tidak pernah dinukilkan bahwa beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam umrah dengan keluar dari Makkah dahulu.
Sehingga umrah yang
dilakukan dan disyariatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umrah
orang yang masuk ke Makkah, bukan orang yang berada di Makkah lalu keluar ke
tanah halal untuk melakukan umrah. Tidak ada seorang pun yang melakukan umrah
semacam ini selama masa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali ‘Aisyah
radhiyallahu 'anha sendiri, di antara seluruh orang yang bersama beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu karena ‘Aisyah telah meniatkan ihram untuk
umrah lalu ia haid. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk memasukkan haji pada umrahnya, sehingga ia melaksanakan haji qiran. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepadanya bahwa thawaf dan sa’inya
antara Shafa dan Marwah telah mewakili haji dan umrahnya. Ia pun bersedih,
karena teman-temannya (istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain, pent)
kembali dengan haji dan umrah yang terpisah, dengan melakukan haji tamattu’,
tidak haid dan tidak melakukan haji qiran. Sementara ia kembali dengan umrah
yang terkandung dalam hajinya. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan saudara laki-lakinya agar mengumrahkannya dari Tan’im untuk
menenangkan kalbunya. Sedangkan saudara laki-lakinya itu tidaklah ikut umrah
dari Tan’im dalam masa haji itu. Demikian juga orang lain yang bersama beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada yang ikut
melakukannya.”
(diterjemahkan dan diringkas dari Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah, no. 2626, juz 6 bagian pertama, hal. 255-259, oleh Qomar ZA)
Makkah 'Isha - 25th December 2024
-
*Makkah Isha *
(Surah Hashr: Ayaah 18-24) *Sheikh Baleelah*
Download 128kbps Audio
4 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar