Pertanyaan:
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly ditanya : Sebelumnya
anda nyatakan bahwa dakwah salaf menyeru kepada Islam secara menyeluruh, salaf
menyeru kepada rukun Islam, jihad dan politik. Pertanyaan kami, sejauh manakah
diperbolehkan ikut serta dalam pertarungan politik?
Jawaban:
Islam adalah agama yang paripurna (syamil) dan diridhai Allah untuk kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Agama yang diridhai Allah di sisiNya adalah Islam".
"Artinya : Barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan kelak hari kiamat dia termasuk orang-orang yang merugi”
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyeru untuk masuk kedalam Islam secara menyeluruh dengan firman-Nya:
”Artinya : Hai orang-orang yang berfiman masuklah kedalam As-Silmi (Islam) secara keseluruhan".
Dalam menafsirkan kata As-Silmi, Ibnu Abbas berkata :" As-Silmi" adalah Islam. Jadi Allah memerintahkan kita untuk masuk kedalam agama ini secara menyeluruh, atau masuk secara total kedalamnya.
Adapun "As-Siyasah"(politik) dialah hakikat Islam, karena makna siyasah sendiri adalah mengatur kemaslahatan umat dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Dalam merealisasikannya dibutuhkan suatu manhaj, ilmu ataupun orang-orang yang paham kemaslahatan umat. Para ulama Islam telah mengarang berbagai macam literatur siyasah syar'iyyah (politik dalam syariat Islam) diantaranya : Buku Al-Ahkam As-Sultaniyyah karya Al-Imam Al-Mawardi, As-Siyasah As-Syar'iyyah karya Ibn Taimiyyah dan Abu Ya'la al-Musili dan At-Turuq Al-Hukmiyyah karya Ibn Al-Qayyim dan sebagainya yang keseluruhannya menerangkan bahwa Islam memiliki manhaj da'wah, Islam merupakan agama seluruh nabi-nabi, Rasululullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Bani Israil dipimpin oleh para nabi, jika seorang nabi wafat maka akan digantikan dengan nabi lainnya".
Beliau juga bersabda :
"Artinya : Akan datang setelahku para khulafa (pemimpin), yang mampu memahami kemaslahatan suatu ummat setelah para nabi adalah para ulul amri yakni al-hukkam (para pemimpin) dan ulama”.
Merekalah yang berhak untuk masuk kedalam kancah perpolitikan ini untuk kemaslahatan umat. Para pemimipin bertugas menjalankan syari'at Allah, sedangkan para ulama bertugas mengarahkan umat dan menunjuki para umara, yang berkompeten dalam hal ini adalah orang yang berilmu dan paham dengan hukum syari'at, karena kemaslahatan umat memerlukan pemahaman agama yang sempurna.
Adapun kata "politik " yang dipahami pada zaman ini sebenarnya tidak pernah dikenal oleh Islam, karena pengertian berpolitik di era ini adalah sebatas kemampuan untuk berdebat, menggerakkan massa, kemampuan berkelit, berubah-ubah warna, kemunafikan dan selalu mengikuti kemana arah angin bertiup. Islam berlepas diri dari "politik " yang seperti ini, karena tidak akan mendatangkan kemaslahatan kepada ummat.
Inilah perbedaan makna "politik" yang diinginkan Allah dengan makna yang dipahami oleh orang-orang sekarang, yang tidak lain target utamanya agar sampai ketampuk kekuasaan, karena itu seorang politikus rela untuk bekerja sama dengan segala macam kelompok dan segala macam mazhab. Demi ambisi ini dia rela untuk ganti-ganti warna, bersikap plin-plan dan berbuat kemunafikan dengan politikus lainnya, walaupun bertentangan dengan Allah Tuhan alam semesta.
Adapun siyasah syar'iyyah akan selalu dibawah pimpinan seorang alim yang rabbani, Allah berfirman :
"Artinya : Tetapi jadilah kalian ulama yang Rabbani dengan apa-apa yang kalian ajarkan dari alkitab dan dengan apa-apa yang kalian pelajari”.
Cir-ciri alim Rabbani adalah seorang yang mendidik umat dengan masalah-masalah yang sederhana terlebih dahulu sebelum masuk kepada masalah-masalah yang besar. Dia paham betul apa yang dibutuhkan umat, karena itu, dengan cara perlahan da'i mendidik ummat hingga sampai kepada kesempurnaan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar