Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: “Membesar-besarkan kesalahan
ulama adalah merupakan kebiasaan banyak para pemuda. Bagaimana Syaikh dapat
memberikan pengarahan dalam sisi ini?”
Jawaban:
Saya Katakan: “Saya Memohon Kepada Allah Ta’ala Agar Menolong Ulama Kita Atas Apa Yang Mereka Peroleh Melalui Mulut-Mulut Orang Bodoh, karena ulama telah mengalami banyak hal.”
Pertama.
Kita mendengarkan apa yang disandarkan kepada sebagian ulama yang terpandang, kemudian setelah kita menelitinya ternyata persoalannya berbeda dengan hal itu. Seringkali dikatakan: Si-Fulan mengatakan begini. Namun setelah kita mengeceknya, kita menemukan perkaranya tidaklah demikian, dan ini merupakan kejahatan yang sangat besar. Bila Rasulullah bersabda:
“Artinya : Sesusungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama siapapun.” [1]
Atau yang semakna dengan ini, maka berdusta atas nama ulama dalam perkara yang berkaitan dengan syariat Allah Ta’ala tidaklah sama dengan berdusta atas seseorang dari kalangan manusia biasa, karena hal ini mengandung hukum syar’i yang disandarkan kepada sang alim yang dipercaya ini.
Oleh karena itu, semakin banyak kepercayaan manusia terhadap seorang alim itu maka kedustaan atasnya dalam perkara-perkara ini juga akan semakin banyak dan juga berbahaya ; karena jika anda katakan pada orang awam: “Si-Fulan mengatakan begini”, maka ia tidak akan menyambut anda. Namun jika anda mengatakan: “Si Fulan –dari orang yang ia percayai- mengatakan begini”, ia langsung menyambut ucapan anda. Oleh karena itu, anda akan menemukan sebagian orang yang memiliki pendapat atau pemikiran yang ia pandang benar, dan berusaha agar dipegangi orang banyak, namun ia tidak menemukan jalan selain berdusta atas nama salah seorang ulama yang dipercayai, maka ia mengatakan: “Ini adalah pendapat Syaikh Fulan.” Masalah ini sangat berbahaya, dan hal itu bukan saja jarh terhadap sang alim secara pribadi, akan tetapi ia berkaitan dengan salah satu hukum dari hukum-hukum Allah.
Kedua.
Membesar-besarkan kesalahan sebagaimana saya katakan, dan ini juga sebuah kesalahan, dan melampaui batas. Karena seorang alim adalah manusia yang bisa salah dan benar, akan tetapi jika sang alim itu melakukan kesalahan maka wajib atas kita menghubungi dan menyampaikan padanya: “Apakah anda mengatakan demikian?” Jika mengatakan: “Ya” sementara kita memandang bahwa itu salah, maka kita tanyakan padanya: “Apakah anda mempunyai dalil?” sehingga jika kita telah berdiskusi dengannya maka akan jelaslah yang haq. Dan setiap alim yang munshif (bersikap pertengahan-pen) lagi takut kepada Allah Ta’ala pasti akan merujuk kepada yang haq dan akan mengumumkan rujuknya itu.
Makanya membesar-besarkan kesalahan seorang alim lalu menyebutkan keadaannya yang paling buruk, jelas merupakan kebencian kepada terhadap saudara muslim anda, dan permusuhan hingga terhadap syariat, jika boleh saya katakanan. Karena manusia bila telah mempercayai seseorang kemudian kepercayaannya diguncang, maka kepada siapa mereka akan menuju? Apakah mereka akan dibiarkan kebingungan tanpa ada yang membimbing dengan syariat Allah? Atau dibiarkan mendatangi orang jahil yang akan menyesatkan dari jalan Allah (walaupun) tanpa disengaja? Atau mereka dibiarkan mendatangi ulama suu (jahat) yang menghalangi mereka dari jalan Allah dengan sengaja?
[Kitab “ Ash-Shahwah Al-Islamiyah ” Edisi Indonesia “ Panduan Kebangkitan Islam ” Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin BAB VII “Perbedaan Pendapat (Khilaf) di Kalangan Ulama, Menuduh dan Merendahkan Para Dai. Hal. 239-241 Darul Haq].
_________
Foote Note
[1] Bagian yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari no.1291 dalam kitab Al-Janaaiz bab Ma Yukrahu Min An-Niyahah ‘Alal Mayyit, dan Muslim no.2154,2155,2156 dalam Kitab Al-Janaaiz bab Al-Mayyit Yu’azdzabu Bi Buka’I Ahlihi ‘Alahi dari Hadist Al-Mughirah bin Syu’bah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar