Alhamdulillahi
Rabbil ‘Alamin. Al-‘Allamah
Hujjatul Islam Abu Ja’far Al-Warraq Ath-Thahawi-di
Mesir-berkata: “Inilah penuturan
keterangan tentang aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menurut mahdzab para ahli fiqih Islam:
Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari dan Abu
Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani
Ridwanallahu ‘alaihim ajma’in,
beserta
pokok-pokok keagamaan yang mereka yakini dan mereka gunakan untuk
beribadah kepada Allah Rabbil ‘alamin.”1
1. Kami menyatakan
tentang tauhid kepada Allah, berdasarkan keyakinan semata-mata berkat
taufiq Allah: Sesungguhnya Allah
itu Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya.
2. Tiada sesuatupun
yang menyamai-Nya.
3. Tiada sesuatupun
yang dapat melemahkannya.
4. Tiada yang
berhak untuk diibadahi selain diri-Nya.
5. Yang Maha
Terdahulu tanpa berawal, yang Maha Kekal tanpa pernah berakhir.
6. Tak akan pernah
punah ataupun binasa.
7. Tak ada
sesuatupun yang terjadi, melainkan dengan kehendak-Nya.
8. Tak dapat
digapai oleh pikiran, tak juga dapat dicapai oleh pemahaman.
9. Tidak menyerupai
makhluk-Nya.
10. Yang Maha Hidup
tak pernah mati, yang Maha Terjaga dan tak pernah tertidur.
11. Mencipta tanpa
merasa membutuhkan (kepada ciptaan-Nya), membagi rezeki tanpa
mengharapkan imbalan.
12. Mematikan tanpa
gentar dan Membangkitkan (setelah mati) tanpa kesulitan.
13. Dia telah
memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum mencipta. Dengan terciptanya
para makhluk, tak bertambah
sedikitpun sifat-sifat-Nya. Yang selalu tetap dengan sifat-sifat-
Nya semenjak dahulu tanpa
berawal, dan akan terus kekal dengan-Nya, sifat-sifat-Nya
selamanya.
14. Nama-Nya Al-Khaliq
sebagai Pencipta, tidaklah disandang-Nya baru setelah Dia menciptakan
makhluk-makhluk-Nya. Dan namanya Al-Bari
(Yang Menjadikan) tidaklah diambil baru
seusai Dia menjadikan
hamba-hamba-Nya.
1 Mukaddimah ini dikutip dari matan Al-Aqidah
Ath-Thahawiyah dengan syarah dan komentar Syaikh Al-Albany.
15. Dia-lah pemilik
sebutan Al-Rabb (Pemelihara), dan bukanlah Dia Marhub atau yang
dipelihara. Dia juga pemilik sebutan
Al-Khaliq dan bukanlah Dia sebagai makhluk.
16. Sebagaimana Dia
adalah Dzat yang menghidupkan segala yang mati (Al-Muhyi), Dia-pun
berhak atas sebutan itu, dari
sebelum menghidupkan mereka. Demikian juga Ia berhak
menyandang sebutan Al-Khaliq sebelum
menciptakan mereka.
17. Untuk itulah,
Dia-pun berkuasa atas segala sesuatu, sementara segala sesuatu itu berharap
kepada-Nya. Segala urusan
bagi-Nya mudah, dan Dia tidaklah membutuhkan sesuatu.
Firman-Nya: “Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha
Melihat.”
(QS. Asy-Syura : 11).
18. Dia menciptakan
makhluk dengan ilmu-Nya.
19. Dia menentukan
takdir atas mereka.
20. Dia menuliskan
ajal kematian bagi mereka.
21. Tiada sesuatupun
yang tersembunyi bagi-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Bahkan Dia
mengetahui apa yang akan mereka
kerjakan, juga sebelum menciptakan mereka.
22. Dia
memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk ta’at dan melarang mereka melakukan
maksiat.
23. Segala sesuatu
berjalan sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya, sedangkan kehendak-Nya
itu pasti terlaksana. Tidak ada
kehendak bagi hamba-Nya melainkan memang apa yang
dikehendaki-Nya. Apa yang Dia
kehendaki, pasti terjadi. Dan apa yang tidak Dia kehendaki
tak akan terjadi.
24. Dia memberi
petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki, memelihara dan mengayominya
karena keutamaan-Nya. Dia juga
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, menghinakan
seseorang dan menghukumnya
berdasarkan keadilan-Nya.
25. Seluruh makhluk
berada di bawah kendali kehendak Allah di antara kemurahan, keutamaan,
dan keadilan-Nya.
26. Dia mengungguli
musuh-musuh-Nya dan tak tertandingi oleh lawan-lawan-Nya.
27. Tak seorang pun
mampu menolak takdir-Nya, menolak ketetapan hukum-Nya, atau
mengungguli urusan-Nya.
28. Kita mengimani
semua itu, dan kita pun meyakini bahwa segalanya datang daripada-Nya.
29. Sesungguhnya
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba-Nya yang terpilih,
Nabi-Nya yang terpandang, dan
Rasul-Nya yang diridlai.
30. Sesungguhnya
beliau adalah penutup para Nabi ‘Alaihimu As-Sallam.
31. Dia pemimpin
orang-orang bertakwa.
32. Dia penghulu
para Rasul.
33. Kekasih Rabb
sekalian alam.
34. Segala pengakuan
sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.
35. Beliau diutus
kepada golongan jin secara umum dan kepada segenap umat manusia, dengan
membawa kebenaran, petunjuk dan
cahaya yang terang.
36. Sesungguhnya
Al-Qur’an adalah Kalamullah; berasal dari-Nya sebagai ucapan yang tak
diketahui kaifiyah (bagaimana)nya,
diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Diimani
oleh kaum mukminin dengan
sebenar-benarnya. Mereka meyakininya sebagai kalam Ilahi
yang sesungguhnya. Bukanlah
sebagai makhluk sebagaimana ucapan hamba-Nya.
Barangsiapa yang mendengarnya
(mendengar bacaan Al-Qur’an) dan menganggap itu
sebagai ucapan makhluk, maka ia
telah kafir. Allah sungguh telah mencelanya,
menghinanya, dan mengancamnya
dengan Naar (Neraka) Saqar. Allah berfirman:
“Aku akan memasukkan ke dalam
(Naar) Saqar.” (QS. Al-Muddatsir: 26). Allah mengancam
mereka dengan Naar Saqar tatkala
mereka mengatakan:
“Ini (Al-Qur’an) tidak lain
hanyalah perkataan manusia.” (QS. Al-Muddatsir : 25). Dengan itu
kita pun mengetahui bahwa Al-Qur’an
itu adalah kalam (ucapan) Pencipta manusia dan
tidak menyerupai ucapan manusia.
37. Barangsiapa yang
mensifati Allah dengan kriteria-kriteria manusia, maka dia sungguh telah
kafir. Barangsiapa yang memahami
hal ini niscaya dia dapat mengambil pelajaran. Akan
dapat menghindari ucapan yang
seperti perkataan orang-orang kafir, dan mengetahui bahwa
Allah dengan sifat-sifat-Nya
tidaklah seperti makhluk-Nya.
38. Melihat Allah
adalah hak pasti (benar adanya) bagi Ahli Jannah (penduduk surga) tanpa
dapat dijangkau oleh ilmu
manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana memahami
hal itu sebagaimana dinyatakan
Rabb kita dalam Al-Qur’an:
“Wajah-wajah (orang mukmin)
pada waktu itu berseri-seri. Mereka betul-betul memandang kepada
Rabb mereka.” (QS.
Al-Qiyamah: 22-23).
Pengertian (sebenar)nya, adalah
sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui oleh Allah.
Setiap hadits shahih yang
diriwayatkan dalam persoalan itu, pengertian sesungguhnya
adalah sebagaimana yang
dikehendaki Allah. Tidak pada tempatnya kita terlibat untuk
. 4
mentakwilkannya dengan
pendapat-pendapat kita, atau menduga-duga saja dengan hawa
nafsu kita.
39. Sesungguhnya
seseorang tidak akan selamat dalam agamanya, sebelum ia berserah diri
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
menyerahkan ilmu yang belum jelas baginya kepada orang
yang mengetahuinya.
40. Sesungguhnya
Islam hanyalah berpijak di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan
kepada Allah.
41. Barangsiapa yang
mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya
untuk pasrah, maka ilmu yang
dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya untuk
memurnikan tauhid, menjernihkan
ilmu pengetahuan dan membetulkan keimanan.
42. Maka menjadilah
ia orang yang terombang-ambing antara keimanan dan kekufuran,
pembenaran dan pendustaan,
pengikraran dan pengingkaran. Selalu kacau, bimbang, tidak
bisa dikatakan ia membenarkan dan
beriman, tidak juga dapat dikatakan kafir dan ingkar.
43. Tidak sah
keimanan seseorang yang mengimani bahwa penghuni jannah akan memandang
Rabb mereka, yang semata-mata
ditegakkan di atas prasangka (keragu-raguan)
menganggapnya sebagai ‘praduga’
atau takwil dengan pemikirannya. Karena penafsiran
‘penglihatan’ itu, dan
juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb,
haruslah tanpa mentakwilkannya
dan dengan kepasrahan diri. Itulah sandaran
dien/keyakinan kaum muslimin.
44. Barangsiapa yang
tidak menghindari penafian Asma’ dan shifat Allah atau
menyerupakan-
Nya dengan makhluk-Nya, dia akan
tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri.
45. Sesungguhnya
Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat Wahdaniyah
(Maha Tunggal), tersifati dengan
sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari
hamba-Nya yang menyamai
sifat-sifat tersebut.
46. Maha suci
diri-Nya dari batas-batas dan dimensi makhluk atau bagian dari makhluk,
anggota tubuh dan perangkat-Nya.
Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah yang
mengungkungi makhluk ciptaan-Nya.
47. Mi’raj (naiknya Nabi ke
Sidratul Muntaha) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan
dan dinaikan (ke langit) dengan
tubuh kasarnya (jasmani) dalam keadaan sadar, dan juga ke
tempat-tempat yang dikehendaki
Allah di atas ketinggian. Allah-pun memuliakan beliau dan
mewahyukan kepadanya apa yang
hendak Dia wahyukan.
“Tidaklah hatinya mendustakan
apa yang dilihatnya.” (QS. An-Najm: 11).
. 5
Semoga Allah melimpahkan shalawat
dan salam atas diri beliau di dunia dan di akhirat.2
48. Haudh (telaga)
Al-Kautsar yang dijadikan Allah kemuliaan baginya -dan pertolongan bagi
umatnya- adalah benar adanya.
49. Syafa’at yang
diperuntukkan Allah bagi mereka adalah benar adanya sebagaimana
diriwayatkan dalam banyak hadits.
50. Perjanjian yang
diikatkan Allah atas diri Adam dan anak cucunya (sebelum mereka
dilahirkan-pent.) adalah benar
adanya.
51. Semenjak zaman
yang tak berawal, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya yang akan
masuk Jannah dan yang akan masuk
Naar secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan
bertambah atau berkurang.
Demikian juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah
Allah ketahui apa yang akan
mereka perbuat itu (juga tak akan berubah).
52. Setiap pribadi
akan dimudahkan menjalani apa yang sudah menjadi kodratnya, sedangkan
amalan-amalan itu (dinilai)
bagaimana akhirnya. Orang yang bahagia adalah orang yang
berbahagia dengan ketentuan
kodratnya. Demikian juga orang yang celaka adalah yang
celaka dengan ketentuan
kodratnya.
53. Asal dari takdir
adalah rahasia Ilahi yang tak diketahui hamba-hamba-Nya. Tak dapat
diselidiki baik oleh malaikat
yang dekat dengan-Nya, ataupun Nabi yang diutus-Nya.
Memberat-beratkan diri
menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga
keharaman, dan mempercepat
penyelewengan.
Waspadai dan waspadailah seluruh
pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikanbisikan
tentang takdir tersebut.
Sesungguhnya Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar
tidak diketahui makhluk-Nya dan
melarang mereka untuk mencoba menggapainya.
Sebagaimana yang difirmankan-Nya:
“Dia (Allah) tidak ditanya
tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya.”
(QS. Al-Anbiyaa’: 23).
Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa
Dia lakukan itu?”, berarti ia menolak hukum Al-
Qur’an. Barangsiapa menolak hukum
Al-Qur’an, berarti ia termasuk orang-orang kafir.
54. Inilah sejumlah
persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang hatinya terang dari
kalangan para wali Allah. Itulah
derajat orang-orang yang sudah mendalam ilmunya. Karena
ilmu itu ada dua macam, yaitu:
ilmu yang dapat digapai makhluk (ilmu agama-pent.) dan ilmu
yang terselubung baginya (ilmu ghaib).
Mengingkari ilmu yang pertama berarti kekufuran.
Dan mengaku-aku memiliki ilmu
yang kedua juga kekufuran. Keimanan itu hanyalah
2 Tambahan ini berasal dari matan Al-Aqidah
Ath-Thahawiyyah dengan komentar Al-Albani
. 6
terpatri dengan menerima ilmu
yang harus digapai manusia, dan menghindarkan diri dari
mencari ilmu yang terselubung.
55. Kita juga
mengimani adanya Al-Lauh Al-Mahfudz, Al-Qalam, dan segala yang
tercatat di
dalamnya.
56. Seandainya
seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan
untuk terjadi, agar urusan itu
batal, mereka tak akan mampu untuk mengubahnya.
Sebaliknya seandainya mereka
berkumpul menghadapi urusan yang telah Allah tetapkan
untuk tidak terjadi, agar urusan
itu terjadi, merekapun tidak akan mampu mengubahnya.
Qalam (catatan) Allah
telah ditetapkan untuk segala sesuatu yang akan terjadi sampai
datangnya Hari Kiamat.
57. Sesuatu yang
-ditakdirkan- tidak akan menimpa seorang hamba, maka tidak akan
menimpanya. Dan yang akan
mengenainya, maka tidak akan meleset.
58. Hendaknya
seorang hamba tahu bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu yang
akan terjadi pada makhluk-Nya.
Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak bisa
berubah. Tak ada seorang makhluk
pun baik di langit maupun di bumi yang dapat
membatalkan, meralatnya,
menghilangkannya, mengubahnya, menggantinya, mengurangi,
ataupun menambahnya.
59. Itulah
buhul ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an
dan ke-Rububiyyah-an Allah
‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang difirmankan dalam Al-Qur’an:
“Dan Dia telah menciptakan
segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya.” (QS.
Al-Furqan : 2). Dan firman-Nya:
“Dan ketetapan Allah itu suatu
ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab : 38).
60. Maka celakalah
orang yang betul-betul menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya.
Dan mengikutsertakan hatinya yang
sakit untuk membahasnya.3
Karena
lewat praduganya ia
telah mencari-cari dan
menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi.
Akhirnya ia kembali dengan
membawa dosa dan kedustaan.
61. ‘Arsy dan Kursiy-Nya
adalah benar adanya.
3 [Ungkapan ini terdapat juga dalam
naskah aslinya sebagai berikut: “Celakalah orang yang sesat dalam memahami
takdir-Nya karena hatinya
yang sakit.” Dalam naskah
yang lain “Celakalah orang yang hatinya sakit dalam memahami takdirnya.”
Yang tertulis di sini berasal dari
matan AL-Aqidah
Ath-Thahawiyyah dengan syarah Al-Albany.].
. 7
62. Dia tidak
membutuhkan ‘Arsy-Nya itu dan apa yang ada di bawahnya. Dia menguasai
segala
sesuatu dan apa-apa yang ada di
atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada
makhluk-Nya untuk menguasai
segala sesuatu.
63. Kita juga
menyatakan dengan penuh keimanan dan penyerahan diri bahwa sesungguhnya
Allah telah menjadikan Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam sebagai kekasih-Nya, dan mengajak Nabi
Musa ‘alaihis salam untuk
berbicara dengan sebenar-benarnya.
64. Kita mengimani
para Malaikat, para Nabi, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para
Rasul. Kita pun bersaksi, bahwa
mereka berada di atas kebenaran yang nyata.
65. Kita menyebut
mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum
muslimin dan kaum mukminin selama
mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah
shallallahu
'alaihi wa sallam dan
membenarkan segala apa yang beliau ucapkan dan beritakan.
66. Kita tidak
mempergunjingkan Allah dan tidak membantah (ajaran) dien Allah.
67. Kita tidak
menyanggah Al-Qur’an, dan bersaksi bahwa ia adalah Kalam Rabbul ‘Alamin,
diturunkan dengan perantaraan Ruhul
Amin (Malaikat Jibril), lalu diajarkan kepada Penghulu
para Nabi yaitu Muhammad shallallahu
'alaihi wa ‘ala alaihi ajma’in (salaaman tasliman katsiran).
Ia adalah Kalam Ilahi yaitu yang
tak akan dapat diserupakan dengan ucapan makhlukmakhluk-
Nya. Kita pun tidak mengatakannya
sebagai makhluk dan (dengan itu) tidak akan
menyelisihi Jama’ah kaum
muslimin.
68. Kita tidak
mengafirkan Ahli Kiblat (kaum muslimin) hanya karena suatu dosa, selama dia
tidak menganggapnya sebagai
sesuatu yang dihalalkan. Namun kita juga tidak mengatakan
bahwa dosa itu sama sekali tidak
berbahaya bagi orang yang melakukannya selama ia masih
beriman.
69. Kita
mengharapkan agar orang-orang yang berbuat fajir dari kalangan mukminin
dapat
diampuni dosa-dosa mereka dan
dimasukkan Jannah karena rahmat-Nya, namun kita tidak
menganggap mereka aman dari
siksa-Nya.
70. Merasa aman dari
siksa, atau putus asa dari ampunan Allah, keduanya dapat mengeluarkan
dari Islam. Jalan yang benar bagi
orang Islam adalah antara keduanya
71. Seorang hamba
hanya akan keluar dari keimanannya kalau ia mengingkari apa yang telah ia
imani.
72. Iman adalah
[pembenaran dalam hati], pengakuan dengan lidah, dan pembuktian dengan
(amalan) anggota badan.
73. Seluruh yang
diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berupa
ajaran syari’at adalah benar
adanya.
. 8
74. Iman itu adalah
satu bentuk. Pemilik keimanan tersebut dilihat dari asal imannya4 adalah
sama.
Keutamaan di antara mereka diukur
dengan ketakwaan, rasa takut kepada Allah,
menghindari hawa nafsu, dan
melakukan sesuatu yang lebih utama.
75. Kaum mukminin
seluruhnya adalah wali-wali Ar-Rahman.
76. Yang paling
mulia di antara mereka adalah yang paling taat dan paling ittiba’ dengan
ajaran
Al-Qur’an.
77. Pengertian Iman
adalah: Beriman kepada Allah, para Malaikat, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-
Nya, Hari Akhir, dan Takdir baik
maupun buruk, manis maupun pahit. Dan bahwa
kesemuanya berasal dari Allah.
78. Kita mengimani
semua itu. Kita tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para Rasul.
Kita membenarkan mereka semua
beserta apa yang mereka bawa.
79. Para pelaku dosa
besar di kalangan umat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (bisa)
masuk Naar, namun mereka
tak akan kekal di dalamnya kalau mereka mati dalam keadaan
bertauhid. Meskipun mereka belum
bertaubat namun mereka menemui Allah (mati) dengan
menyadari dosa mereka. Mereka
diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau
Dia menghendaki, maka mereka
dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan
keutamaan-Nya, sebagaimana yang
difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla:
“Dan Dia mengampuni dosa
selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48,
116).
Dan jikalau Dia menghendaki,
mereka diadzab-Nya di Naar dengan keadilan-Nya.
Kemudian Allah akan mengeluarkan
mereka dari dalamnya dengan rahmat-Nya dan
syafa’at orang yang berhak
memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu
mereka pun diangkat ke Jannah-Nya.
Hal itu karena Allah adalah Wali bagi siapa yang
berma’rifah kepada-Nya, maka Dia
pun tidak menjadikan keadaan mereka di dunia dan di
akhirat sama seperti mereka yang
tidak berma’rifah kepada-Nya. Yaitu mereka yang luput,
tak mendapatkan petunjuk-Nya, dan
tidak dapat memperoleh hak kewalian-Nya. Wahai
Dzat yang menjadi Wali bagi Islam
dan pemeluknya, teguhkanlah kami bersama Islam
sehingga kami datang menghadap ke
haribaan-Mu.
4 [Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam
komentarnya terhadap Matan Al-Aqidah Ath-Thahahiwah menyatakan: ‘Ucapan
beliau “Pemilik
keimanan itu
dilihat dari asal al-imannya adalah sama” perlu diteliti lagi. Bahkan jelas
kebatilannya. Justru mereka bertingkat–tingkat
dengan perbedaan yang mencolok.
Iman para Rasul tidaklah dapat disamakan dengan iman selain mereka. Demikian
juga imannya
para khulafa’ur rasyidun dan para
sahabat lainnya, tidaklah sama dengan generasi belakangan. Iman orang yang
betul–betul beriman
juga tak sama dengan iman orang
fasik. Keterpautan itu, didasari dengan perbedaan apa yang di dalam hati,
berupa pengenalan
terhadap Allah, Asma’ dan Shifat-Nya
dan apa–apa yang disyari’atkan bagi hamba-Nya. Itulah pendapat Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Berseberangan dengan pendapat
Al-Murji’ah dan yang sependapat dengan mereka, Wallahul Musta’an.
. 9
80. Kami menganggap
sah shalat (jama’ah) di belakang Imam, baik yang shalih maupun yang
fasik dari kalangan Ahli Kiblat.
Dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara
mereka.
81. Kita tak dapat
memastikan mereka, masuk Jannah atau Naar.
82. Kita tak bisa
bersaksi bahwa mereka itu kafir, musyrik, maupun munafik, selama semua itu
tidak tampak nyata dari diri
mereka. Kita menyerahkan rahasia hati mereka kepada Allah
Ta’ala.
83. Kita tidak boleh
mengangkat pedang (berperang/menumpahkan darah) terhadap seorang
pun dari ummat Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam, kecuali terhadap mereka yang wajib
diperangi.
84. Kita juga tidak
membolehkan memberontak terhadap pemimpin-pemimpin dan Ulul ‘Amri
kita, meskipun mereka berbuat
lalim. Kita tidak menyumpahi mereka dan tidak berlepas diri
dengan tidak taat kepada mereka.
Kita berkeyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang
dalam ketaatan kepada Allah
adalah wajib, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat.
Kita tetap mendoakan kebaikan
untuk mereka dan agar mereka dikaruniai kebaikan jasmani
maupun rohani.
85. Kita tetap
mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah, menghindari sesuatu yang aneh,
perselisihan (yang didasari
menyelisihi Al-Jama’ah-pent.) dan
menghindari perpecahan.
86. Kita mencintai
orang yang adil dan menjaga amanah serta membenci orang yang zhalim dan
khianat.
87. Terhadap sesuatu
yang masih samar ilmunya bagi kita, kita mengucapkan Allahu A’lam.
88. Kita berpendapat
disyari’atkannya mengusap khuff (sepatu) baik di waktu mukim maupun
safar (bepergian).
Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat.
89. Jihad dan ibadah
haji dilakukan bersama Ulul ‘Amri, baik yang shalih maupun yang fasik,
hingga hari kiamat. Keduanya tak
dapat dibatalkan dan dirusak oleh segala sesuatu.
90. Kita mengimani
para Malaikat yang Mulia, pencatat amal manusia. Sesungguhnya Allah
telah menjadikan mereka sebagai
pengawas bagi kita.
91. Kita juga
mengimani Malaikat Maut yang diberi tugas mencabut nyawa para makhluk
hidup.
92. Kita pun
mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya dan juga
pertanyaan Malaikat Munkar dan
Nakir kepadanya di dalam kubur tentang Rabb dan
agamanya berdasarkan
riwayat-riwayat dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta para
sahabat Ridwanullahu ‘alaihim
ajma’in. Alam kubur adalah taman-taman Jannah atau
kubangan-kubangan Naar.
. 10
93. Kita juga
mengimani Hari Ba’ats dan balasan amal perbuatan pada hari kiamat, kita
juga
mengimani pendedahan
(penyingkapan) amal perbuatan, hisab, pembacaan catatan amal,
ganjaran baik dan siksa, shirat
dan al-mizan di Hari Kiamat.
94. Jannah dan Naar adalah
dua makhluk Allah yang kekal, tak akan punah dan binasa.
Sesungguhnya Allah telah
menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluk lain dan
Allah-pun menciptakan penghuni
bagi keduanya.
95. Barangsiapa yang
dikehendaki-Nya untuk masuk Jannah, maka itu adalah keutamaan dari-
Nya. Dan barangsiapa yang
dikehendaki-Nya untuk masuk Naar, maka itu adalah keadilan
dari-Nya. Masing-masing akan
beramal sesuai dengan apa yang menjadi ketetapan dari-Nya
dan akan kembali kepada apa yang
menjadi kodratnya. Kebaikan dan keburukan seluruhnya
telah ditetapkan atas
hamba-hamba-Nya.
96. Kemampuan, yang
dengan wujudnya datang kewajiban amal adalah semacam taufik yang
bukan merupakan kriteria mahkluk.
Adapun kemampuan dalam arti kesehatan tubuh,
potensi, kekuatan, dan selamatnya
diri dari bermacam musibah, adalah persiapan sebelum
melakukan amalan. Dengan itulah
hukum tersebut digantungkan, sebagaimana yang
difirmankan Allah:
“Tidaklah Allah membebani
seseorang melainkan sebatas kesanggupannya.“ (QS. Al-Baqarah: 286).
97. Amal perbuatan
hamba adalah makhluk Allah, namun juga hasil usaha hamba itu sendiri.
98. Allah hanya
membebani mereka sebatas yang mereka mampu. Dan mereka pun memang
tidak akan mampu melainkan
sebatas apa yang dibebankan Allah atas mereka. Itulah
pengertian kalimat Laa
haula wa laa quwwata illa billah. Kita mengatakan: tiada jalan bagi
seorang hamba dan tidak pula ia
memiliki kebebasan beraktivitas, dan beranjak
meninggalkan maksiat melainkan
dengan pertolongan Allah. Dan seorang pun tidak
memiliki kekuatan untuk
melaksanakan dan bertahan dalam ketaatan kepada Allah,
melainkan dengan taufik-Nya.
99. Segala sesuatu
berlaku menurut kehendak, ilmu, keputusan dan takdir-Nya. Dia berbuat
sekehendak-Nya, namun tidaklah
sekali-kali Dia mendzhalimi hamba-Nya.
“Tidaklah Dia ditanya tentang
apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang
(apa yang mereka
perbuat).”
(QS. Al-Anbiyaa’: 23).
100. Do’a dan sedekah
orang yang hidup dapat bermanfaat bagi mereka yang sudah mati.
101. Allah Ta’ala mengabulkan
segala do’a dan memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya
. 11
102. Dia-lah yang
memiliki segala sesuatu namun tidak dimiliki oleh sesuatu. Tidak sekejappun
(hamba-hamba-Nya) lepas dari rasa
butuh kepada-nya. Barangsiapa yang merasa tak butuh
kepada Allah sekejappun, dia
telah kafir dan termasuk orang yang binasa.
103. Allah Subahanahu
wa Ta’ala juga Murka dan Ridhla, namun tidak menyerupai satupun dari
makhluk-Nya.
104. Kita mencintai
para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun tidak berlebihan
dalam
mencintai salah seorang di
antaranya. Tidak juga kita bersikap meremehkan terhadap
seorang pun dari mereka. Kita
membenci siapa-siapa yang membenci mereka dan siapa-siapa
yang menyebutkan mereka dengan
kejelekan. Kita pun hanya menyebut mereka dalam
kebaikan. Mencintai mereka adalah
pengamalan ad-dien (agama), keimanan, dan ihsan.
Sementara membenci mereka adalah
kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.
105. Kita mengakui
kekhalifahan sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang
pertama adalah Abu Bakr
As-Shiddiq radliyallahu 'anhu sebagai sikap mengutamakan dan
mengunggulkan dirinya atas semua
umat Islam.
106. Kemudian ‘Umar
bin Al-Khattab radliyallahu 'anhu.
107. Setelah itu ‘Utsman
bin ‘Affan radliyallahu 'anhu.
108. Kemudian ‘Ali
bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu.
109. Merekalah yang
disebut dengan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun dan para imam yang mendapat
petunjuk.
110. Sepuluh orang
sahabat yang disebut-sebut Nabi dan diberi kabar gembira sebagai penghuni
Jannah, kita akui
sebagai penghuni Jannah berdasarkan persaksian Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dan perkataan
beliau yang benar. Mereka adalah: Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali,
Thalhah [bin ‘Ubaidillah],
Az-Zubeir [bin Al-Awwam], Sa’ad [bin Abi Waqqas], Sa’id [bin
Zaid], Abdurrahman bin ‘Auf, dan
Abu ‘Ubaidah Al-Jarrah --orang tepercaya umat ini--
radliyallahu
'anhum.
111. Barangsiapa yang
membaguskan ucapannya terhadap para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, istri-istri beliau
yang bersih dari segala noda, serta anak cucu beliau yang suci dari
segala najis, maka orang itu
telah selamat dari kemunafikan.
112. Para ‘ulama
As-Salaf terdahulu [para sahabat-pent.] dan yang sesudah mereka dari kalangan
Tabi’in adalah pelaku kebaikan
dan ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul. Mereka semuanya
harus disebutkan kebaikannya.
Barangsiapa yang menjelek-jelekkan mereka, maka dia tidak
berada di atas jalan mereka (para
sahabat).
113. Kita tidak
mengutamakan salah seorangpun di antara para wali Allah di atas seorang Nabi
‘Alaihi
As-Sallam.
Bahkan kita mengatakan bahwa seorang saja dari para Nabi itu lebih utama
dibanding seluruh para wali.
114. Kita mengimani
adanya karomah-karomah mereka dan segala riwayat tentang mereka yang
dinukil dari para perawi yang
tepercaya.
115. Kita juga
mengimani adanya tanda-tanda hari kiamat berupa keluarnya Ad-Dajjal dan
turunnya Nabi ‘Isa ‘Alaihis
Sallam dari langit. Kita juga mengimani terbitnya matahari dari
barat dan keluarnya Ad-Daabbah
[salah satu tanda kiamat yaitu binatang yang dapat
berbicara seperti manusia-pent.] dari
kediamannya.
116. Kita tidak
mempercayai (ucapan) dukun maupun peramal, demikian juga setiap orang yang
mengakui sesuatu yang menyelisihi
Al-Kitab dan As-Sunnah serta Ijma’ kaum muslimin.
117. Kita meyakini
bahwa Al-Jama’ah adalah haq dan kebenaran, sementara Al-Furqah adalah
penyimpangan dan siksaan.
118. Ad-Dien (agama) Allah di
langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu dienul Islam, Allah
berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang
diridhlai) di sisi Allah hanyalah Al-Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 19).
Dia
juga berfirman:
“Dan telah Aku ridlai Islam
sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3).
Dan Islam itu berada di antara
sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan, antara
menyerupakan sifat-sifat Allah
dengan sifat-sifat makhluk dan menafikkan (meniadakan)
sifat-sifat itu, antara Jabriyah
(kaum yang bersandar kepada takdir saja) dan Al-Qadariyah
(kaum yang menolak takdir), dan
antara yang merasa aman dari siksa Allah dan yang putus
asa dari rahmat Allah.
119. Inilah agama dan
keyakinan kami lahir maupun batin. Kami berlepas diri --dengan kembali
kepada Allah-- dari setiap yang
menyelisihi apa yang kami sebutkan dan kami jelaskan. Kita
memohon kepada Allah untuk
menetapkan diri kita di atas keimanan, mematikan kita
dengan keyakinan itu, memelihara
kita dari pengaruh hawa nafsu yang bermacam-macam,
dan dari pendapat-pendapat yang
beraneka ragam, dan mahdzab-mahdzab yang jelek,
seperti: Mu’tazilah,
Al-Jahmiyyah, Al-Jabriyyah, Al-Qadariyyah, dan lain-lain, dari kalangan
mereka yang menyelisihi Al-Jama’ah
dan bersanding dengan kesesatan. Kita berlepas diri dari
mereka. Dan mereka menurut kami
adalah orang-orang sesat dan jahat. Wa billahi Al-‘Ishmatu
wa At-Taufiq.
Oleh: Abu Ja’far At-Thahawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar