عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ
يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
Dari Ummu Salamah, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabada: ”Apabila telah masuk sepuluh (hari pertama bulan
Dzulhijjah), salah seorang di antara kalian ingin berqurban, maka janganlah
sedikit pun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu)nya dan mengupas kulitnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad
dalam Musnad-nya no. 25269,
Al-Imam Muslim no. 1977, Al-Imam An-Nasa`i, 7 hal.
212, Al-Imam Abu Dawud 3/2793, Al-Imam At-Tirmidzi 3/1523, Al-Imam Ibnu Majah
2/3149, Al-Imam Ad-Darimi no. 1866. (CD Program, Syarh An-Nawawi cet. Darul
Hadits)
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits tersebut diriwayatkan dari jalan
Sa’id bin Musayyib dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Dalam riwayat hadits
ini terdapat seorang rawi yang diperselisihkan penyebutan namanya, yaitu ‘Umar
bin Muslim Al-Junda’i. Ada yang menyebutnya ‘Umar bin Muslim dan ada pula yang
menyebutnya ‘Amr bin Muslim.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu
menerangkan, riwayat ‘Umar bin Muslim dari Sa’id bin Musayyab, pada nama عمر kebanyakan riwayat
menyebutnya dengan mendhammah ‘ain (عُمر) ‘Umar, kecuali riwayat
dari jalan Hasan bin ‘Ali Al-Hulwani, menyebutkan dengan memfathah ‘ain (عَمرو)
‘Amr. Dan ulama menyatakan bahwa keduanya ada penukilannya. (lihat Syarh
Al-Imam An-Nawawi, 7/155)
Sebaliknya, Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu
menyatakan, telah terjadi perselisihan dalam penyebutan ‘Amr bin Muslim.
Sebagian menyatakan ‘Umar dan kebanyakan menyatakan ‘Amr. Beliau sendiri
menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa dia adalah ‘Amr bin Muslim bin
Ukaimah Al-Laitsi Al-Junda’i. (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/224, cet. Darul Hadits)
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Qayyim
rahimahullahu mengatakan: “Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan
manusia terhadap hadits ini, baik dari sisi riwayat maupun dirayah (kandungan
maknanya). Sebagian berkata: Tidak benar kalau hadits ini kedudukannya marfu’
(sampai kepada nabi), yang benar ialah mauquf (hanya sampai kepada shahabat).
Ad-Daruquthni rahimahullahu berkata dalam
kitab Al-‘Ilal: Telah meriwayatkan secara mauquf Abdullah bin ‘Amir Al-Aslami,
Yahya Al-Qathan, Abu Dhamrah, semuanya dari Abdurrahman bin Humaid, dari Sa’id.
‘Uqail meriwayatkan secara mauquf sebagai ucapan Sa’id. Yazid bin Abdillah dari
Sa’id dari Ummu Salamah, sebagai ucapan Ummu Salamah. Demikian pula Ibnu Abi
Dzi`b meriwayatkan dari jalan Al-Harts bin Abdurrahman, dari Abu Salamah, dari
Ummu Salamah, sebagai ucapannya. Abdurrahman bin Harmalah, Qatadah, Shalih bin
Hassan, semuanya meriwayatkan dari Sa’id, sebagai ucapannya. Riwayat yang kuat
dari Al-Imam Malik, menyatakan mauquf. Dan Al-Imam Ad-Daruquthni berkata: “Yang
benar menurut saya adalah pendapat yang menyatakan mauquf.”
Pendapat kedua menyatakan yang benar adalah
marfu’. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Imam Muslim ibn Hajjaj
rahimahullahu, seperti yang beliau sebutkan dalam kitab Shahih-nya. Demikian
pula Abu ‘Isa At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Hadits ini hasan shahih.”
Ibnu Hibban rahimahullahu juga meriwayatkan dalam Shahih-nya.
Abu Bakr Al-Baihaqi rahimahullahu berkata:
“Hadits ini telah tetap/kuat sebagai hadits yang marfu’ ditinjau dari beberapa
sisi. Di antaranya: Tidak mungkin orang yang seperti mereka (para ulama yang
menshahihkan) salah. Al-Imam Muslim rahimahullahu telah menyebutkan dalam
kitabnya. Selain mereka juga masih ada yang menshahihkannya. Telah meriwayatkan
secara marfu’ Sufyan bin Uyainah dari Abdurahman bin Humaid dari Sa’id dari
Ummu Salamah dari Nabi, dan Syu’bah dari Malik dari ‘Amr bin Muslim dari Sa’id
dari Ummu Salamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah
kedudukan Sufyan dan Syu’bah di bawah mereka yang meriwayatkan secara mauquf.
Tidaklah lafadz/ucapan hadits seperti ini merupakan ucapan dari para shahabat,
bahkan terhitung sebagai bagian dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
seperti sabda beliau (لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ) Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian dan yang
semisalnya.” (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/225 cet. Darul Hadits, Mesir)
Penjelasan Hadits
(إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ) artinya, apabila telah
masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Makna ini dipahami dari riwayat lain yang
menyebutkan:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ
”Apabila kalian telah melihat hilal di
bulan Dzulhijah.”
atau:
فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ
”Apabila telah terlihat hilal bulan
Dzulhijjah.”
(وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ)
artinya, salah seorang di antara kalian ingin berqurban.
Pada sebagian riwayat terdapat tambahan
lafadz (وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ), di sisinya (punya) hewan sembelihan. Pada lafadz yang lain (مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ), barangsiapa punya hewan sembelihan yang akan dia sembelih.
(فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا) artinya, janganlah sedikitpun ia menyentuh (memotong) rambut
(bulu) nya dan mengupas kulitnya.
Pada riwayat yang lain terdapat lafadz (فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفْرًا), Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kuku.
Pada lafadz yang lain:
(فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ)
Hendaknya ia menahan dari memotong rambut dan kukunya.
Dalam lafadz yang lain:
فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ
مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut
dan memotong kukunya sedikitpun, hingga ia menyembelih.
Sunnah yang Terabaikan
Termasuk sunnah yang terabaikan bagi
seorang yang telah memiliki hewan qurban yang akan ia sembelih adalah tidak ada
pengetahuan tentang apa yang harus ia perbuat apabila telah masuk tanggal 1
hingga 10 Dzulhijjah (hari raya qurban tiba)! Tidak/belum sampainya suatu ilmu
seringkali menjadi penyebab terabaikannya sekian banyak sunnah (kebaikan) baik
berupa perintah atau larangan. Oleh sebab itu, sepantasnya bahkan wajib bagi
setiap muslim, laki-laki maupun wanita untuk membekali kehidupan ini dengan
ilmu agama yang benar, hingga tidak berujung penyesalan hidup di kemudian hari.
Hadits yang tersebut di atas membimbing
kita, terutama bagi seorang muslim yang telah mempersiapkan hewan qurban untuk
disembelih pada hari raya qurban atau setelahnya pada hari-hari Tasyriq
(tanggal 11,12,13 Dzulhijjah). Apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah,
hendaknya ia menahan diri untuk tidak mencukur atau mencabut rambut/bulu apapun
yang ada pada dirinya (baik rambut kepala, ketiak, tangan, kaki, dan yang
lainnya). Demikian pula tidak boleh memotong kuku (tangan maupun kaki) serta
tidak boleh mengupas kulit badannya (baik pada telapak tangan maupun kaki,
ujung jari, tumit, atau yang lainnya). Larangan ini berlaku bagi yang memiliki
hewan qurban dan akan berqurban, bukan bagi seluruh anggota keluarga seseorang
yang akan berqurban. Larangan ini berakhir hingga seseorang telah menyembelih
hewan qurbannya. Jika ia menyembelih pada hari yang kesepuluh Dzulhijjah (hari
raya qurban), di hari itu boleh baginya mencukur rambut/memotong kuku. Jika ia
menyembelih pada hari yang kesebelas, keduabelas, atau yang ketigabelas, maka
di hari yang ia telah menyembelih hewan qurban itulah diperbolehkan baginya
untuk mencukur rambut atau memotong kuku.
Dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam
Shahih Muslim, ‘Amr bin Muslim pernah mendapati seseorang di kamar mandi sedang
mencabuti bulu ketiaknya menggunakan kapur sebelum hari raya qurban. Sebagian
mereka ada yang berkata: “Sesungguhnya Sa’id bin Musayyib tidak menyukai
perkara ini.”
Ketika ‘Amr bin Muslim bertemu dengan Sa’id
bin Musayyib, ia pun menceritakannya. Sa’id pun berkata: “Wahai anak saudaraku,
hadits ini telah dilupakan dan ditinggalkan. Ummu Salamah radhiyallahu 'anha,
istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepadaku, ia
berkata: Nabi telah bersabda, seperti hadits di atas.”
Kalau manusia di zaman beliau demikian
keadaannya, bagaimana dengan di zaman kita sekarang?!
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan
kita sebagai hamba-hamba-Nya yang menghidupkan Sunnah Nabi-Nya dan bukan
menjadikan sebagai orang yang memadamkan/mematikannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi
larangan dalam perkara ini. Ada yang memahami sesuai dengan apa yang nampak
dari lafadz hadits tersebut, sehingga mereka berpendapat haram bagi seseorang
untuk melakukannya (wajib untuk meninggalkannya). Di antara mereka adalah Sa’id
bin Musayyib, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin
Rahawaih, dan sebagian dari pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Adapun Al-Imam
Asy-Syafi’i dan pengikutnya berpendapat makruh (tidak dikerjakan lebih utama),
bukan diharamkam. Dan yang berpendapat semisal ini adalah Al-Imam Malik dan
sebagian pengikut Al-Imam Ahmad seperti Abu Ya’la dan yang lainnya.
Pendapat lain dalam hal ini adalah mubah
(tidak mengapa melakukannya). Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan pengikutnya.
Peringatan
Sebagian orang ada yang memahami bahwa
larangan mencukur rambut/bulu, memotong kuku, dan mengupas/mengambil kulit,
kata ganti dalam hadits di atas (-nya - bulunya, kukunya, kulitnya) kembali
kepada hewan yang akan disembelih.
Jika demikian, hadits di atas akan
bermakna: “Apabila telah masuk 10 hari awal Dzulhijjah, dan salah seorang di
antara kalian akan berqurban, maka janganlah ia mencukur bulu (hewan yang akan
dia sembelih), memotong kuku (hewan qurban), dan jangan mengupas kulit (hewan
qurban).”
Tentunya bukanlah demikian maknanya. Makna
ini juga tidak selaras dengan hikmah yang terkandung di dalam hadits itu
sendiri.
Hikmah yang Terkandung
Di samping sebagai salah satu bentuk
ketaatan dan mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, hikmah dari larangan tersebut adalah agar seseorang tetap
utuh anggota badannya kala ia akan dibebaskan dari panasnya api neraka.
Sebagian ada yang berpendapat, hikmahnya
adalah agar seorang merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang
menunaikan ibadah haji atau diserupakan dengan seorang yang telah berihram,
sehingga mereka juga dilarang dari mencukur rambut, memotong kuku, mengupas
kulit, dan sebagainya.
Namun pendapat terakhir ini ada yang tidak
menyetujuinya, dengan alasan, bagaimana diserupakan dengan seorang yang
menunaikan haji, sementara ia (orang yang akan berqurban) tidak dilarang dari
menggauli istrinya, memakai wewangian, mengenakan pakaian dan yang lainnya.
(lihat ‘Aunul Ma’bud 5/224-226, cet. Darul Hadits, Syarh An-Nawawi 7/152-155,
cet. Darul Hadits)
Hadits-hadits Lemah dalam Berqurban
1. Kesempurnaan sembelihan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُمِرْتُ بِيَوْمِ اْلأَضْحَى
عِيْدًا جَعَلَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ. قَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ
إِنْ لَمْ أَجِدْ إِلاَّ أُضْحِيَّةً أُنْثَى أَفَأُضَحِّي بِهَا؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ
تَأْخُذُ مِنْ شَعْرِكَ وَأَظْفَارِكَ وَتَقُصُّ شَارِبَكَ وَتَحْلِقُ عَانَتَكَ فَتِلْكَ
تَمَامُ أُضْحِيَّتِكَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash
radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku
diperintahkan pada hari Adha sebagai hari raya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
menghadiahkannya untuk umat ini.” Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana pendapatmu
(kabarkan kepada saya) jika aku tidak mendapatkan kecuali sembelihan hewan
betina, apakah aku menyembelihnya?” Beliau menjawab: “Jangan. Akan tetapi
ambillah dari rambut dan kukumu, cukur kumis serta bulu kemaluanmu. Itu semua
sebagai kesempurnaan sembelihanmu di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu
Dawud no. 2786)
Al-Mundziri rahimahullahu menjelaskan:
“Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa`i. Sanad hadits ini lemah di
dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama ‘Isa bin Hilal Ash-Shadafi. Tidak
ada yang menguatkan kecuali Ibnu Hibban.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
mendhaifkannya dalam Dha’if Abi Dawud. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
2. Sembelihan dikhususkan untuk orang yang
sudah meninggal
عَنْ حَنَشٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا يُضَحِّي
بِكَبْشَيْنِ فَقُلْتُ لَهُ: مَا هَذَا؟ فَقَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ
Dari Hanasy ia berkata: “Aku melihat ‘Ali
bin Abi Thalib sedang menyembelih dua ekor domba. Kemudian aku bertanya: ‘Apa
ini?’ Ali pun menjawab: ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewasiatkan kepadaku agar aku menyembelih hewan qurban untuknya, dan akupun
menyembelihkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2786, At-Tirmidzi no. 1495)
Sanad hadits ini lemah, terdapat di
dalamnya seorang rawi yang bernama Abul Hasna`, yang dia tidak dikenal. (lihat
‘Aunul Ma’bud 5/222)
3. Pahala bagi orang yang berqurban
فِي اْلأُضْحِيَّةِ لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ
شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Pada setiap hewan qurban, terdapat kebaikan di setiap rambut bagi
pemiliknya.” (HR. At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata:
“Hadits ini maudhu’ (palsu).”)
4. Hewan qurban adalah tunggangan di atas
shirath
اسْتَفْرِهُوْا ضَحَايَاكُمْ، فَإِنَّهَا
مَطَايَاكُمْ عَلىَ الصِّرَاطِ
“Perbaguslah hewan qurban kalian, karena
dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits ini lemah sekali (dha’if jiddan).
Dalam sanadnya ada Yahya bin Ubaidullah bin Abdullah bin Mauhab Al-Madani, dia
bukanlah rawi yang tsiqah, bahkan matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan oleh
para ulama). Juga ayahnya, Ubaidullah bin Abdullah, adalah seorang yang majhul.
Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/14, no. hadits 527, dan
3/114, no. hadits 1255), Dha’iful Jami’ (no. 824). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 60
dan 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
عَظِّمُوا ضَحَايَاكُمْ فِإِنَّهَا عَلَى
الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ
“Gemukkanlah hewan qurban kalian, karena
dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits dengan lafadz ini tidak ada asalnya.
Ibnu Shalah rahimahullahu berkata: “Hadits ini tidak dikenal, tidak pula tsabit
(benar datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Ahkamul Udh-hiyyah
hal. 64, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
5. Darah sembelihan jatuh di tempat
penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta'ala
أَيُّهَا النَّاسُ، ضَحُّوْا وَاحْتَسِبُوْا
بِدِمَائِهَا، فَإِنَّ الدَّمَ وَإِنْ وَقَعَ فِي اْلأَرْضِ فَإِنَّهُ يَقَعُ فِي حِرْزِ
اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai sekalian manusia, berqurbanlah dan
harapkanlah pahala dari darahnya. Karena meskipun darahnya jatuh ke bumi namun
sesungguhnya dia jatuh ke tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (HR.
Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath)
Hadits ini maudhu’ (palsu). Dalam sanadnya
ada ‘Amr bin Al-Hushain Al-’Uqaili, dia matrukul hadits, sebagaimana dinyatakan
Al-Haitsami rahimahullahu. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu
(2/16, no. hadits 530). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin
Ahmad)
Wallahu ta’ala a’lam.
Penulis : Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar