Iman adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib disyukuri dan dijaga.
Sehingga ketika ada orang yang meminta nasihat kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau menasihatkan untuk istiqamah di atas iman.
Dari Abu ‘Amr –ada yang menyatakan pula Abi ‘Amrah– Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
Dari Abu ‘Amr –ada yang menyatakan pula Abi ‘Amrah– Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا
لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ
اسْتَقِمْ
Aku berkata kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku satu perkataan yang aku tidak akan
bertanya lagi setelahnya kepada selainmu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Katakanlah aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.”
(HR. Muslim)
Di antara keyakinan Ahlus Sunnah wal
Jamaah, iman seseorang bisa bertambah dan berkurang. Hal ini berdasarkan banyak
dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا
لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيلُ
“Orang-orang (yang menaati Allah dan
rasul), ada yang berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya manusia (yakni kaum
musyrikin) telah berkumpul untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada
mereka’. Maka perkataan itu (justru) menambah keimanan mereka dan mereka
menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ
وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ
إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman (dengan iman yang hakiki) ialah mereka yang bila disebut nama Allah,
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Allah lah mereka bertawakal.” (Al-Anfal:
2)
وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ
رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat,
di antara mereka ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kalian yang bertambah
imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman maka
surat ini menambah imannya dan mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 125)
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا
وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا
إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin
melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: ‘Inilah yang
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.’
Yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.”
(Al-Ahzab: 22)
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ
الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dia-lah yang telah menurunkan
ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di
samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara
langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(Al-Fath: 4)
وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا
جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ ءَامَنُوا إِيمَانًا
“Dan tiada Kami jadikan penjaga
neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan
mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya
orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman
bertambah imannya.” (Al-Muddatstsir: 31)
Adapun hadits-hadits yang
menunjukkan masalah ini banyak sekali. Di antaranya hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ،
فَإِنْ لـَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لـَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ،
وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian
melihat satu kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu
maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah
selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ
الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Tidaklah aku melihat ada orang yang
kurang akal dan agamanya yang membuat goyah hati lelaki yang kokoh selain salah
seorang kalian (kaum wanita).”
Di antara dalil masalah ini adalah hadits Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
Di antara dalil masalah ini adalah hadits Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
كُنَّا مَعَ النَّبـِيِّ n
وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا
الْإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ
فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا
“Kami bersama Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika itu kami para pemuda yang sebaya. Kami belajar iman
sebelum belajar Al-Qur`an. Kemudian kamipun belajar Al-Qur`an dan bertambahlah
iman kami.” (HR. Ibnu Majah).
Asy-Syaikh Al-Hakami rahimahullahu
berkata: “Ini adalah ijma’ para imam yang teranggap ijma’nya. Mereka menyatakan
bahwa iman itu bertambah dan berkurang.” (Ma’arijul Qabul)
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Ajurri bahwa Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Iman itu ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang.” Saudara beliau, Ibrahim bin ‘Uyainah berkata: “Wahai Abu Muhamad (nama kunyah Sufyan bin Uyainah, red.), jangan engkau katakan bertambah dan berkurang.” Ibnu ‘Uyainah pun marah dan berkata: “Diamlah wahai anak kecil! Bahkan iman bisa berkurang hingga tidak tersisa di hatinya sedikitpun.”
Sebagian salaf berkata: “Di antara wujud pemahaman seseorang adalah senantiasa menjaganya dari kekurangan. Di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu apakah imannya bertambah atau berkurang. Dan di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu godaan setan yang mendatanginya.” (Syarah Nuniyyah)
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Ajurri bahwa Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Iman itu ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang.” Saudara beliau, Ibrahim bin ‘Uyainah berkata: “Wahai Abu Muhamad (nama kunyah Sufyan bin Uyainah, red.), jangan engkau katakan bertambah dan berkurang.” Ibnu ‘Uyainah pun marah dan berkata: “Diamlah wahai anak kecil! Bahkan iman bisa berkurang hingga tidak tersisa di hatinya sedikitpun.”
Sebagian salaf berkata: “Di antara wujud pemahaman seseorang adalah senantiasa menjaganya dari kekurangan. Di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu apakah imannya bertambah atau berkurang. Dan di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu godaan setan yang mendatanginya.” (Syarah Nuniyyah)
Bertambahnya Iman dengan Ketaatan
Menurut keyakinan Ahlus Sunnah, bertambahnya iman seseorang itu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semakin dia taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka semakin kuat keimanannya.
Menurut keyakinan Ahlus Sunnah, bertambahnya iman seseorang itu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semakin dia taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka semakin kuat keimanannya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu berkata: “Sebab bertambahnya iman ada empat:
1. Mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Karena, semakin seorang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama-nama, serta sifat-sifat-Nya akan semakin bertambah keimanannya.
2. Melihat ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kauniyah maupun syar’iyah.
3. Banyak berbuat taat dan kebaikan. Karena amalan termasuk dalam iman, sehingga banyak melakukan amal baik akan memperbanyak/meningkatkan keimanan.
4. Meninggalkan maksiat dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Diringkas dari Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
1. Mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Karena, semakin seorang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama-nama, serta sifat-sifat-Nya akan semakin bertambah keimanannya.
2. Melihat ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kauniyah maupun syar’iyah.
3. Banyak berbuat taat dan kebaikan. Karena amalan termasuk dalam iman, sehingga banyak melakukan amal baik akan memperbanyak/meningkatkan keimanan.
4. Meninggalkan maksiat dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Diringkas dari Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Sebab Lemahnya Iman
Menurut keyakinan Ahlus Sunnah, berkurangnya iman disebabkan maksiat yang dilakukan seseorang. Semakin banyak maksiat dilakukannya, akan semakin mengurangi keimanannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Menurut keyakinan Ahlus Sunnah, berkurangnya iman disebabkan maksiat yang dilakukan seseorang. Semakin banyak maksiat dilakukannya, akan semakin mengurangi keimanannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
(Al-Muthaffifin: 14)
Setiap kali seseorang berbuat
maksiat, akan dititik hitam di hatinya sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kami akan sebutkan beberapa perkara yang sangat berpengaruh dalam turunnya keimanan seseorang.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sebab berkurangnya iman ada empat:
1. Berpaling dari mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.
2. Berpaling dari melihat ayat-ayat Allah kauniyah dan syar’iyah, karena hal itu akan menyebabkan kelalaian dan kerasnya hati.
3. Kurang beramal shalih.
4. Berbuat maksiat.” (Diringkas dari Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Kami akan sebutkan beberapa perkara yang sangat berpengaruh dalam turunnya keimanan seseorang.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sebab berkurangnya iman ada empat:
1. Berpaling dari mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.
2. Berpaling dari melihat ayat-ayat Allah kauniyah dan syar’iyah, karena hal itu akan menyebabkan kelalaian dan kerasnya hati.
3. Kurang beramal shalih.
4. Berbuat maksiat.” (Diringkas dari Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Perlu diketahui di sini, ada
amalan-amalan yang sangat memengaruhi keimanan seseorang namun dianggap sepele
oleh banyak orang. Di antaranya:
1. Jauh dari lingkungan dan suasana iman.
1. Jauh dari lingkungan dan suasana iman.
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ
لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya. Kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
Lingkungan merupakan faktor terpenting dalam memelihara dan memupuk keimanan. Lingkungan yang beriman akan menambah keimanan, dan lingkungan yang jelek akan merusak keimanan seseorang.
Dalil yang paling menunjukkan akan hal ini adalah disyariatkannya hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Lingkungan merupakan faktor terpenting dalam memelihara dan memupuk keimanan. Lingkungan yang beriman akan menambah keimanan, dan lingkungan yang jelek akan merusak keimanan seseorang.
Dalil yang paling menunjukkan akan hal ini adalah disyariatkannya hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي
أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي
اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا
فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ
مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ
يَهْتَدُونَ سَبِيلاً. فَأُولَئِكَ عَسَى اللهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ
اللهُ عَفُوًّا غَفُورًا
“Sesungguhnya orang-orang yang
diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya
(kepada mereka): ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami
orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata:
‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’
Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita
ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya serta tidak mengetahui jalan
(untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Namun disayangkan, banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengindahkan masalah ini dan justru melakukan amalan yang membahayakan iman mereka dan anak-anak mereka, yakni lebih memilih dan senang tinggal di negeri kafir.
Namun disayangkan, banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengindahkan masalah ini dan justru melakukan amalan yang membahayakan iman mereka dan anak-anak mereka, yakni lebih memilih dan senang tinggal di negeri kafir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin rahimahullahu menerangkan: “Sesungguhnya tinggal di negeri kafir
bahayanya amatlah besar terhadap agama seseorang. Membahayakan akhlak, tingkah
laku, dan adabnya. Kami dan selain kami telah menyaksikan penyimpangan
orang-orang yang tinggal di negeri kafir. Mereka pulang (dengan aqidah) yang berbeda
ketika berangkat, pulang dalam keadaan sebagai orang fasik. Sebagian mereka
pulang dalam keadaan murtad dari agamanya….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan berkata: “Diharamkan bagi seorang muslim menjadikan dirinya sebagai pembantu/pelayan orang kafir, karena dalam amalan tersebut terdapat unsur kekuasaan dan penghinaan orang kafir atas seorang muslim. Tinggal terus-menerus di negeri kafir juga haram karena akan membahayakan aqidah seorang muslim.” (Kitabut Tauhid, lishafil awal al-’ali hal.107)
Termasuk dalam masalah ini adalah bepergian ke negeri kafir untuk berlibur/melancong atau acara hiburan lainnya. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Bepergian ke negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali dengan tiga syarat:
1. Dia mempunyai ilmu untuk menolak syubhat (pemikiran yang menyimpang).
2. Dia punya agama yang mencegahnya dari syahwat.
3. Dia membutuhkannya.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka dia tidak diperbolehkan bepergian ke negeri kafir. Karena bepergian ke negeri kafir mengandung fitnah (cobaan), khawatir fitnah dan menghamburkan harta, karena seorang yang bepergian ke sana akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit.” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan berkata: “Diharamkan bagi seorang muslim menjadikan dirinya sebagai pembantu/pelayan orang kafir, karena dalam amalan tersebut terdapat unsur kekuasaan dan penghinaan orang kafir atas seorang muslim. Tinggal terus-menerus di negeri kafir juga haram karena akan membahayakan aqidah seorang muslim.” (Kitabut Tauhid, lishafil awal al-’ali hal.107)
Termasuk dalam masalah ini adalah bepergian ke negeri kafir untuk berlibur/melancong atau acara hiburan lainnya. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Bepergian ke negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali dengan tiga syarat:
1. Dia mempunyai ilmu untuk menolak syubhat (pemikiran yang menyimpang).
2. Dia punya agama yang mencegahnya dari syahwat.
3. Dia membutuhkannya.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka dia tidak diperbolehkan bepergian ke negeri kafir. Karena bepergian ke negeri kafir mengandung fitnah (cobaan), khawatir fitnah dan menghamburkan harta, karena seorang yang bepergian ke sana akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit.” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
2.Menjauh dari majelis ilmu (syar’i)
Dari Hanzhalah: Abu Bakr berjumpa denganku dan berkata: “Bagaimana kabarmu, wahai Hanzhalah?” Aku katakan: “Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan!” Beliau berkata: “Subhanallah, apa yang kau ucapkan?” Aku katakan: “Ketika kita ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kita melihat dengan mata kepala kita. Tapi jika kita pulang dari majelis Rasulullah, kita sibuk dengan istri dan anak serta mata pencaharian, maka kitapun banyak lupa.” Abu Bakr berkata: “Demi Allah, kitapun merasakan hal tersebut.” Maka akupun berangkat bersama Abu Bakr hingga masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku katakan: “Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan, wahai Rasulullah!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Ada apa ini?” Aku katakan: “Wahai Rasulullah, ketika kami ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kami melihat dengan mata kami. Tapi jika kami pulang dari majelis Rasulullah, kami sibuk dengan istri dan anak serta mata pencaharian, maka kamipun banyak lupa.” Rasulullah berkata: “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, jika kalian terus merasakan seperti keadaan berada di sisiku dan terus berdzikir, niscaya malaikat akan menyalami kalian di tempat tidur dan jalan-jalan. Akan tetapi wahai Hanzhalah, sesaat, sesaat.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Al-Hakami rahimahullahu mengatakan: “Jika menjauh dari majelis ilmu berpengaruh kepada iman seseorang, lebih-lebih lagi jika tersibukkan dengan ilmu yang terkontaminasi oleh pemahaman kufur yang sengaja disusupkan.”
Dari Hanzhalah: Abu Bakr berjumpa denganku dan berkata: “Bagaimana kabarmu, wahai Hanzhalah?” Aku katakan: “Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan!” Beliau berkata: “Subhanallah, apa yang kau ucapkan?” Aku katakan: “Ketika kita ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kita melihat dengan mata kepala kita. Tapi jika kita pulang dari majelis Rasulullah, kita sibuk dengan istri dan anak serta mata pencaharian, maka kitapun banyak lupa.” Abu Bakr berkata: “Demi Allah, kitapun merasakan hal tersebut.” Maka akupun berangkat bersama Abu Bakr hingga masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku katakan: “Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan, wahai Rasulullah!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Ada apa ini?” Aku katakan: “Wahai Rasulullah, ketika kami ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kami melihat dengan mata kami. Tapi jika kami pulang dari majelis Rasulullah, kami sibuk dengan istri dan anak serta mata pencaharian, maka kamipun banyak lupa.” Rasulullah berkata: “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, jika kalian terus merasakan seperti keadaan berada di sisiku dan terus berdzikir, niscaya malaikat akan menyalami kalian di tempat tidur dan jalan-jalan. Akan tetapi wahai Hanzhalah, sesaat, sesaat.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Al-Hakami rahimahullahu mengatakan: “Jika menjauh dari majelis ilmu berpengaruh kepada iman seseorang, lebih-lebih lagi jika tersibukkan dengan ilmu yang terkontaminasi oleh pemahaman kufur yang sengaja disusupkan.”
3. Teman yang jelek
Teman sangatlah berpengaruh pada keimanan seseorang. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
Teman sangatlah berpengaruh pada keimanan seseorang. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
الْـمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ
“Seseorang di atas agama temannya.”
Di antara kesalahan kaum muslimin
adalah menyerahkan pendidikan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga yang tidak
mementingkan aqidah. Bahkan sebagian mereka “menitipkan” anak mereka ke lembaga
pendidikan yang notabene kafir atau mengirim anak mereka belajar di negeri
kafir. Innalillahi wa inna ilahi raji’un. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin rahimahullahu menjelaskan:
“Macam kelima: Tinggal di negeri kafir untuk belajar. Ini sama dengan tinggal karena suatu kebutuhan, namun lebih berbahaya dan lebih dahsyat kerusakannya bagi agama dan akhlak pelakunya. Karena seorang pelajar akan merasa rendah derajatnya dan tinggi kedudukan gurunya. Sehingga menyebabkan dia mengagungkan guru-guru serta merasa puas dengan pemikiran, pendapat, dan perilaku guru-guru mereka serta kemudian mengikutinya, kecuali orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dan yang seperti ini sedikit jumlahnya. Kemudian pelajar merasa butuh kepada gurunya sehingga menyebabkan dia mencari simpati dan basa-basi dengannya, dalam keadaan gurunya di atas penyimpangan dan kesesatan. Demikian juga, seorang pelajar di tempatnya belajar mempunyai teman-teman yang dijadikannya sahabat dekat. Dia mencintai, loyal, dan mengambil akhlak mereka….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Demikianlah sebagian sebab menurunnya iman seseorang. Perlu diketahui pula bahwa berkurangnya iman, jika sampai menyebabkan meninggalkan perkara wajib atau melakukan perkara haram, merupakan keadaan yang berbahaya. Pelakunya tercela dan wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersegera untuk mengobati dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Macam kelima: Tinggal di negeri kafir untuk belajar. Ini sama dengan tinggal karena suatu kebutuhan, namun lebih berbahaya dan lebih dahsyat kerusakannya bagi agama dan akhlak pelakunya. Karena seorang pelajar akan merasa rendah derajatnya dan tinggi kedudukan gurunya. Sehingga menyebabkan dia mengagungkan guru-guru serta merasa puas dengan pemikiran, pendapat, dan perilaku guru-guru mereka serta kemudian mengikutinya, kecuali orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dan yang seperti ini sedikit jumlahnya. Kemudian pelajar merasa butuh kepada gurunya sehingga menyebabkan dia mencari simpati dan basa-basi dengannya, dalam keadaan gurunya di atas penyimpangan dan kesesatan. Demikian juga, seorang pelajar di tempatnya belajar mempunyai teman-teman yang dijadikannya sahabat dekat. Dia mencintai, loyal, dan mengambil akhlak mereka….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Demikianlah sebagian sebab menurunnya iman seseorang. Perlu diketahui pula bahwa berkurangnya iman, jika sampai menyebabkan meninggalkan perkara wajib atau melakukan perkara haram, merupakan keadaan yang berbahaya. Pelakunya tercela dan wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersegera untuk mengobati dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ،
فَمَنْ كَانَتْ شِرَّتُهُ إِلَى سُنَّتـِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ
فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
“Setiap amalan ada masa semangatnya,
dan masa semangat ada masa jenuhnya. Barangsiapa kejenuhannya dipalingkan
kepada sunnahku berarti dia telah berbahagia, dan barangsiapa yang kejenuhannya
tidak membawa dia kepada yang demikian maka dia telah binasa.” (HR. Ahmad,
lihat Shahih At-Targhib)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa
Ta’ala senantiasa menjaga iman kita serta memberi taufiq kepada kita untuk
senantiasa beramal shalih dan istiqamah di jalan-Nya. Allahumma amin.
Ditulis pada Senin,2 Februari
2009 oleh as sunnah madiun
Oleh : Al-Ustadz Abu
Abdillah Abdurrahman Mubarak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar