Adab membaca Al-Qur`an dan yang berkaitan
dengan Al-Qur`an
Allah ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkan adz-Dzikr dan
sesungguhnya Kami
yang akan menjaganya “ ( Al-Hijr : 9 )
“Apakah mereka tidak
memikirkan Al-Qur`an. Sekiranya
Al-Qur`an datangnya
dari selainAllah, niscaya mereka
akanmendapatkan perselisihan yang sangat banyak “ (
An-Nisaa` : 82 )
“Mengapakah mereka tidak
memikirkan Al-Qur`an ataukah
hati-hati mereka
“Ataukah tambahkanlah dari
waktu itu –
pengerjaan shalat malam
– dan
lantunkanlah Al-Qur`an dengan bacaan yang
tartil “ ( Al-Muzammil : 4 )
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “… Dan tidaklah sebuah kaum
berkumpul
disalah satu rumah
dari rumah-rumah Allah,
mereka membaca
Kitabullah,
dan mempelajari Sunnah
Nabi mereka, kecuali
akan diturunkan
kepada
mereka ketenangan, dan
mereka akan diliputi
dengan rahmat Allah,
para
malaikat akan mengelilingi
mereka, dan Allah
akan menyebut-menyebut
mereka kepada malaikat yang berada
disisi-Nya “1
Dan
beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Dan sebaik-baik diantara
kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an
dan mengajarkannya “2
Dan
beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Seorang yang fasih
dalam
membaca
Al-Qur`an akan bersama
dengan para malaikat
yang mulia dan
berbakti
dan yang membaca
Al-Qur`an dengan terbata-bata,
dan dia kesulitan
dalam membacanya, maka baginya dua pahala
“3
1
Diriwayatkan oleh Muslim ( 2699 )
2
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5027 )
3
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 4937 ) dan Muslim ( 798 ) dan lafazh
diatas lafazh pada riwayat Muslim.
Adab-adab membaca Al-Qur`an
1.
Memperhatikan niat ikhlas
disaat mempelajari Al-Qur`an
dan ketika
membacanya.
Dikarenakan
membaca Al-Qur`an adalah
ibadah yang dengan
ibadah
tersebut
bertujuan untuk bertemu
dengan wajah Allah.
. Setiap amal
ibadah
untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa
disertai dua syarat diterimanya
amal – yaitu ikhlas dan sesuai tuntunan
syariat – maka amalan tersebut akan
tertolak.
An-Nawawi
mengatakan: Yang pertama
kali diperintahkan bagi
seorang
Qari’
Al-Qur`an adalah keikhlasan
dalam membaca Al-Qur`an,
dan hanya
menghendaki
perjumpaan dengan wajah Allah subhanahu
wata’ala dari
bacaan
Al-Qur`an tersebut, dan
tidak menghendaki pencapaian
sesuatu
selain
itu”4. Yang dikatakan
oleh An-Nawawi ini
adalah suatu yang
benar,
karena diantara para Qari’ ada yang membaca
Al-Qur`an dengan tujuan agar
perhatian
kaum manusia tertuju
kepadanya, dan agar
mereka mendatangi
majlis-nya,
menyanjungnya dan menghormatinya – Kami memohon
kepada
Allah
keselamatan dan ‘afiah
-. Dan cukuplah
sebagai peringatan bagi
Qari’
tersebut,
agar dia mengetahui
siksa bagi seseorang
yang mempelajari Al-Qur`an agar dikatakan sebagai seorang
Qari’ Al-Qur`an. Imam Muslim telah
meriwayatkan sebuah
hadits didalam kitab
Shahih beliau, dari
hadits Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
Saya telah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “ Sesungguhnya orang yang paling
pertama kali dijatuhkan putusannya pada
hari kiamat, adalah seseorang yang
mati
syahid. Lalu diapun
didatangkan dan dikabarkan
nikmat-nikmat
baginya
lalu diapun mengetahuinya. Allah
berfirman kepadanya: “Apakah
4
Al-Adzkaar hal. 160 Daar Al-Huda, cet. Ketiga 1410 H
yang
telah engkau kerjakan
bagi segala nikmat
tersebut? “. Dia
menjawab:
Saya berperang karena Engkau hingga saya
mendapatkan mati syahid.
Allah
berfirman: ”Engkau telah
berdusta, akan tetapi
engkau berpernag
agar
engkau dikatakan sebagai
seorang yang gagah
berani, dan itu
telah
dikatakan
bagimu”. Kemudian diapun
dilerintahkan untuk diseret
kehadapan
wajahnya lalu dia
dicampakkan kedalam api
neraka. Dan
seseorang
yang mempelajari ilmu
lalu mengajarkannya dan
membaca Al-Qur`an. Kemudian
dia dihadapkan, dan
dikabarkan nikmat-nikmat baginya
lalu
diapun mengetahuinya. Allah
berfirman: “Apakah yang
telah engkau
kerjakan
bagi segala nikmat
tersebut? “ Dia
berkata: Saya mempelajari
ilmu
dan
mengajarannya dan membaca
Al-Qur`an karena Engkau.
Allah
berfirman:
“Engkau telah berdusta,
akan tetapi engkau
mempelajari ilmu
agar engkau dikatakan sebagai seorang yang
alim, dan engkau membaca Al-Qur`an agar engkau dikatakan sebagai seorang Qari’,
dan itu telah dikatakan
bagimu. Kemudian diapun diperintahkan untuk
diseret kehadapan wajahnya
lalu dia dicampakkan kedalam api neraka. “
al-hadist5
2.
Mengamalkan kandungan Al-Qur`an
Yaitu
menghalalkan segala yang
dihalalkan didalam Al-Qur`an,
mengharamkan segala
yang diharamkannya, berhenti
pada setiap yang
dilarangnya, mengerjakan setiap perintahnya
dan mengamalkan setiap ayat-ayatnya
yang muhkam dan beriman dengan
ayat-ayat yang mutasyabih.
Menegakkan
setiap hukum-hukumnya dan
huruf-hurufnya. Telah ada
larangan yang sangat keras bagi seseorang
yang Allah berikan kepadanya Al-Qur`an
lantas dia tidak mengamalkannya Didalam
Shahih Al-Bukhari dari
penggalan
hadits mimpin Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam - darisebuah
hadits
yang panjang -
, disebutkan: “Keduanya
mengatakan: Pergilah. Maka
kamipun
beranjak pergi hingga
kami menjumpai seseorang
yang berbaring
5
Hadits no. 1905
terlentang
diatas tengkuknya, dan
seseorang yang berdiri
diatas kepalanya
dengan sebuah pemukul atau sebuah batu
besar lalu orang itu memecahkan
kepala orang yang berbaring tersebut. Dan
sewaktu dia memukulkan batu itu
kekepalanya, batu
tersebut terguling, kemudian
dia pergi mengambil
batu
tersebut,
dan tidaklah dia
kembali kepada orang
ini hingga kepalanya
telah
sembuh
dan kembali seperti
sedia kala, lalu
diapun kembali memukulkan
batu
tersebut kekepalanya. Saya
berkata : Siapakah
ini ? .
Keduanya
mengatakan
: “ Pergilah
“ ( Kemudian
hal itu ditefsirkan
kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau
berkata ) : Dan orang yang engkau lihat
kepalanya dipukulkan dengan batu besar,
adalah seseorang yang Allah telah
ajarkan
kepadanya Al-Qur`an, namun
dimalam hari dia
tidur tidak
membacanya
dan tidak mengamalkan
Al-Qur`an disiang ahrinya,
akan
diperbuat hal demikian pada dirinya pada
hari kiamat “6
3.
Anjuran untuk selalu
mengingat Al-Qur`an dan
memperbarui bacaan
Al-Qur`an.
Mengingat-ingat Al-Qur`an
maksudnya adalah dengan
membiasakan diri
membaca
Al-Qur`an dan selalu
berupaya mengingatnya. Adapun
memperbaruinya adalah
dengan memperbaharui untuk
konsisten
mempelajarinya dan membacanya7.
Seseorang yang telah memfokuskan dirinya
ntuk menghafal Kitab Allah, dan
yang
telah menghafalkannya, apabila
dia tidak menjaganya
dengan
mempelajari
dan mengingat-ingatnya kembali,
maka hafalannya dia
akan
mudah terlupakan. Al-Qur`an sangatlah mudah
lepas dari dalam dada, oleh
karena
itu mesti memperbanyak
perhatian dan lebih
sering mempelajarinya
dan membacanya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberikan
sebuah
pemisalan bagi kita
akan hal seorang
penyandang Al-Qur`an yang
6
No. ( 1386 )
7
Lihat didalam Fathul Baari ( 8 / 697 – 699 ) , cet. Daar Ar-Rayyan
lit-Turats
memperhatikan Al-Qur`an dan seseorang yang melalaikannya. Ibnu Umar –
radhiallahu
‘anhuma telah meriwayatkan
bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya pemisalan seorang
penyandang
Al-Qur`an
bagaikan pemilik onta
yang lagi terikat.
Apabila dia
memperhatikannya baik-abik
tentu dia akan
memegangnya dengan erat
namun apabila dia melepaskannya maka onta
tersebut akan lari darinya “8
Dan
dari hadits Abu
Musa –radhiallahu ‘anhu,
beliau berkata :
Bahwa Nabi
Shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda : “
Jagalah Al-Qur`an, Demi
Dzat
yang
mana jiwaku berada
didalam genggaman-Nya, sesungguhnya
Al-Qur`an sangat mudah
lepas daripada seekor
onta yang ebrada
dalam
ikatannya “9
Al-Hafidz
Ibnu Hajar mengatakan
– dalam menerangkan
perumpamaan
yang
disampaikan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam - :
“ Beliau
menyerupakan sirnanya
Al-Qur`an dengan berangsur-angsur dan
kontinyuitas dalam membaca Al-Qur`an seumpama ikatan pada seekor unta
yangdikhawatirkan lepas
pergi. Kapan penjagaan
Al-Qur`an ini ada,
maka
hafalan Al-Qur`an pun jug tetap ada,
sebagaimana halnya seekor unta, kapan
unta
tersebut diikat erat
dengan tali maka
unta tersebut akan
tetap terjaga.
Dan
pengkhususan penyebutan unta
pada hadits diatas,
dikarenakan unta
adalah
hewan peliharaan manusia
yang paling mudah
lepas, dan sangatlah
sulit untuk menemukan hewan tersebut
apabila hewan ini telah lepas10.
4.
Janganlah anda mengatakan
: Saya telah
lupa – ayat
atau surah Al-Qur`an
– akan tetapi
katakanlah : Saya
telah terlupakan, terjatuh
hafalanku atau dilupakan.
Dalil
akan hal itu,
ada pada sebuah
hadits yang diriwayatkan
oleh Ummul
Mukminin
Aisyah –radhiallahu ‘anha
-, beliau berkata
: Rasulullah
8
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5031 dan Muslim ( 789 )
9
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5033 )
10
Fathul Baari 8 / 697, 698 )
Shallallahu
‘alaihi wa sallam
telah mendengar seseorang
yang membaca
sebuah surah didalam Al-Qur`an pada waktu
malam, lalu beliau bersabda : “
Semoga Allah merahmatinya, sungguh dia
telah mengingatkan aku akan ayat
ini dan ayat ini, yang sebelumnya saya
telah terlupakan bahwa ayat tersebut
berada
pada surah ini
dan surah ini
“. Pada riwayat
Muslim lainnya : “…
Sungguh
dia telah mengingatkan
aku sebuah ayat
yang saya telah
jatuhkan
penyebutannya dari surah ini dan surah ini
“11
Dan
pada hadits Abdullah
bin Mas’ud, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam
bersabda: “ alangkah
buruknya seseorang diantara
mereka yang
mengatakan
: Saya telah
lupa ayat ini
dan ayat ini,
tetapi sesungguhnya dia
telah terlupakan “12.
An-Nawawi mengatakan: “Pada hadits tersebut, menunjukkan tercelanya
perkataan
: lupa akan
ayat ini, dan
celaan ini sifatnya
suatu yang makruh,
dan perkataan : saya terlupakan bukan suatu
yang tercela. Adapun larangan
mengatakan : saya lupa ayat ini ,
dikarenakan mengandung sikap memudah-mudahkan dan melailaikan ayat-ayat
tersebut. Allah ta’ala berfirman:
“Dan ayat-ayat Kami telah datang kepada-mu
lalu kamu melupakannya “
Al-Qadhli ‘Iyadh mengatakan: “Penafsiran
yang paling tepat terhadap hadits
tersebut
bahwa maknanya adalah
celaan yang ditujukan
pada keadaan
sipengucap,
bukan pada ucapannya,
yakni saya lupa
keadaan tersebut,
keadaan
dalam mengahafal Al-Qur`an
lalu diapun lalai
hingga
melupakannya “13
Masalah
: Apakah hukum
seseorang yang menghafal
satu bagian dari
Al-Qur`an lantas dia melupakannya ?
Jawab
: Al-Lajnah Ad-Daimah
mengatakan : …
Tidaklah pantas bagi
seseorang
yang menghafal Al-Qur`an
lalu dia lalai
membacanya dan tidak
pantas paula dia melalaikan penjagaan
Al-Qur`an. Melainkan sepatutnya dia
11
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5038 ) dan Muslim ( 788 )
12
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5039 ) danMuslim ( 790 )
13
Syarh Muslim ( jilid ketiga - 6 / 63 ), cet. Daar Al-Fikr
menyediakan
suatu waktu bagi
dirinya untuk membaca
bacaan tertentu
setiap
harinya yang akan
membantu dia menguatkan
hafalannya dan
menghalanginya dari
kelupaan dengan mengharapkan
phala serta faedah
dari
hukum-hukum yang terdapat
didalam Al-Qur`an baik
dalam
permasalahan aqidah
atau muamalah. Akan
tetapi siapa saja
yang telah
menghafal salah satu bagian dari Al-Qur`an
lantas dia melupakannya akibat
kesibukan
atau kelalaiannya, dia
tidaklah berdosa. Adapun
hadits-hadits
yang menyebutkan tentang ancaman bagi yang
lupa akan hafalan Al-Qur`an
yang telah dihafalnya tidaklah shahih dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
. Wabillahu taufiq14.
5.
Wajib menghayati kandungan Al-Qur`an
Sekian
banyak nash-nash syara’
yang mengharuskan penghayatan
kandungan
ayat-ayat Al-Qur`an Al-‘Aziz.
Beberapa diantaranya telah
dikemukakan sebelumnya. Dan juga pada
firman Allah ta’ala :
“
Apakah mereka tidak
memikirkan Al-Qur`an. Sekiranya
Al-Qur`an datangnya
dari selainAllah, niscaya mereka
akanmendapatkan perselisihan yang sangat banyak
“ (An-Nisaa` : 82 )
Ibnu
Sa’diy mengatakan :
“ Allah ta’ala
memerintahkan untuk
menghayati
Kitab-Nya yaitu dengan
menelaah makna-makna yang
terkandung
didalamnya, memikirkannya lebih
mendalam, tentang hal-hal
yang
prinsipil serta perkara-perkara yang
mengikutinya dan hal-hal
yang
berkaitan
erat dengan hal
itu. Dikarenakan penghayatan
akan Kitabullah
merupakan
kunci pembuka bagi
setiap ilmu dan
pengetahuan, dan akan
menghasilkan setiap kebaikan dan setiap
ilmu akan dapat disadur dari Kitab-Nya. Dan dengan penghayatan ini akan
menambah keamanan didalam hati,
dan
akan mengokohkan pohon
keamanan tersebut. Dan
dengan itu, akan
14
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daa`imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyah waal-Ifta’ ( 4/ 64
), cet. Ar-Riasah Al-‘Ammah li-Idaraat Al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa
Ad-Da’wah wa Al-Irsyad.
diketahui
Siapakah Ar-Rabb Al-Ma’buud
– yang disembah
dengan haq - ,
beserta
sifat-sifat-Nya yang sempurna
dan sifat-sifat yang
kurang mesti
dijauhkan
dari-Nya. Dan dengan
itu juga, akan
dikenali jalan yang
akan
mengantarkan kepada-Nya,
sifat kaum yang
meniti jalan tersebut,
dan
balasan
pahala bagi mereka
setelah tiba dihadapan-Nya. Dan
juga akan
dikenali
musuh Al-Qur`an, musuh
Al-Qur`an yang sebenarnya,
dan jalan
yang
akan mengantarkan kepada
siksa, dan sifat
kaum yang berada
diatas
jalan tersebut, serta apa saja yang
ditimpakan bagi mereka disaat sebab-sebab
datangnya
adzab ada pada
mereka. Dan setiap
kali seorang hamba
semakin
menelaah
kandungan Al-Qur`an, maka
akan bertambah ilmu,
amal dan
keyakinannya. Oleh
karena itulah Allah
ta’ala memeritahkan hal
itu,
menganjurkanya dan
Allah ta’ala telah
mengabarkan, bahwa inilah
maksud
dengan diturunkannya Al-Qur`an, sebagaimana
firman Allah ta’ala :
“
Inilah Kitab yang Kami telah turunkan kepada engkau , kitab yang penuh berkah,
agar
suapay mereka memperhatikan
ayat-ayat-Nya dan agar
supaya orang-orang
yang berpikir merenunginya “15 ( Shad : 29
)
Ulama As-Salaf dari generasi sahabat –radhiallahu ‘anhum – dan generasi
setelahnya telah mempraktikkan hal itu
dalam amal perbuatan mereka. Imam
Ahmad
telah meriwayatkan dari
Abu Abdirrahman, beliau
berkata : Telah
menceritakan kepada kami salah seorang
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam
yang membacakan Al-Qur`an
kepada kami ,
bahwa mereka – para
sahabat – mengambil bacaan Al-Qur`an dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam
sebanyak sepuluh ayat, dan mereka tidaklah mengambil sepuluh ayat
berikutnya
sebelum mereka mengetahui
kandungan ilmu dari
ayat-ayat ini
kemudian mengamalkannya. Mereka berkata :
Maka kami mempelajari ilmu
Al-Qur`an dan mengamalkannya16.
15
Taisir Al-Karim Ar-Rahman fii Tafsir Kalam Al-Mannan ( 2 / 112 ) cet.
Ar-Riasah Al-‘Ammah li-Idaraat Al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa Al-Ifta’.
16
Al-Musnad ( 22971 )
Dan
pengecualian dari itu
juga, dengan hadits
yang diriwyatkan oleh Malik
didalam
Al-Muwaththa’ beliau dari
jalan Yahya bin
Sa’id, bahwa beliau
berkata
: Saya dan
Muhammad bin Yahya
bin Hibban pernah
duduk , lalu
Muhammad memanggil seseorang, dan
mengatakan : Kabarkanlah kepadaku
apa
yang telah engkau
dengan dari bapakmu.
Orang itu berkata
: Bapaku
telah
mengabarkan kepadaku bahwa
dia telah mendatangi
Zaid bin Tsabit,
lalu
berkata kepadanya :
Bagaiman pendapatmu mengenai
seseorang yang
membaca Al-Qur`an dalam tujuh hari. Zaid
berkata : Suatu yang baik, namun
saya membacanya dalam setengah buan atau
dalam waktu sepuluh hai lebih
saya
sukai daripadanya, dan tanyakan
kepadaku mengapa demikian
? . Dia
berkata : Saya bertanya kepada engkau ?
Zaid mengatakan : Agar saya dapat
menghayatinya dan memahaminya17.
6.
Bolehnya membaca Al-Qur`an
sambil berdiri, berjalan,
berbaring dan
diatas kendaraan.
Dalil akan hal itu adalah firman Allah
ta’ala :
“
Mereka yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri dan duduk, Dan dalam
keadaan berbaring “ (Ali Imran : 191 )
Dan firman Allah ta’ala :
“
Supaya kamu duduk
diata punggungmu kemudian
kalian ingat nikmat
Rabb
kalian,
apabila kalian telah
duduk diatasnya. Dan
suapaya kalian mengucapkan
:Maha
suci Dia yang
telah menundukkan semua
ini bagi kami,
padahal kami
sebelumnya tidak mampu menguasainya “
(Az-Zukhruf : 13 – 14 )
Dan
As-Sunnah juga telah
menerangkan hal ini
seluruhnya. Dari hadits
Abdullah
bin Mughaffal –radhiallahu
‘anhu, beliau berkata
: Saya telah
melihat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam paha
hari penaklukan
17
Al-Muwaththa’ Malik ( 320 ) ( 1 / 136 ) cet. Daar Al-Kitab Al-‘Arabi
Makkah,
dimana beliau sedang
membaca surah al-Fath
diatas tunggangan
beliau “18
Dan
dari hadits Aisyah
Ummul mukminin –radhiallahu
‘anha – beliau
berkata : Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersandar
di
kamarku dan saya dalam
keadaan haidh, lalu
beliau membaca Al-Qur`an
“19
Adapun
bagi seorang yang
sedang berjalan, dapat
dianalogikan kepada
seseorang
yang sedang berada
diatas kendaraan dan
keduanya tidak ada
perbedaan.
Faedah
: Pada hadits
Aisyah radhiallahu ‘anha,
menunjukkan bolehnya
membaca
Al-Qur`an di kamar
seorang wanita yangtengah
haidh atau nifas.
Dan
yang dimaksud dengan
bersandar disini adalah
meletakkan kepala
dikamar.
Ibnu Hajar mengatakan
: Pada hadits
ini menunjukkan bolehnya
membaca Al-Qur`an didekat tempat yang
najis, sebagaimana dikatakan oleh
an-Nawawi20.
7.
Tidak menyentuh Al-Qur`an kecuali dalam keadaan suci
Dalil akan hal tersebut adalah firman Allah
ta’ala :
“
Tidaklah ada yang menyentuhnya selain kaum yang suci “ ( Al-Waqi’ah : 79 )
Dan
larangan menyentuh Al-Qur`an
kecuali bagi seseorang
yang telah
bersuci
dengan tegas disebutkan
pada sebuah kitab
yang ditulis oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amru bin Hazm, dan paa kitab
tersebut
tercantum : “
Dan janganlah seseorang
menyentuh Al-Qur`an
kecuali dia dalam keadaan bersih/suci “21
18
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5034 ) dan Muslim ( 794 )
19
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 297 ) dan Muslim ( 301 )
20
Fathul Baari ( 1 / 479 )
21
Diriwayatkan oleh Malik didalam Al-Muwaththa’ eliau ( 468 ). Kitab ini
adalah kitab yang dituliskan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amru bin Hazm bagi penduduk Yaman
tentang sunnah-sunnah,
permasalahan warisan, dan pembayaran diyat.
Ibnu Abdil Barr berkatan tentang kitab ini : Kitab ini adalah
kitab yang populer dikalangan ulama dan
ketenaran kitab ini telah mencukupkan dari sanad periwayatannya
Masalah : Apakah boleh membawa mushaf
Al-Qur`an jika menggunakan
pembungkus (kantung)22 atau diantara kain
bagi seorang yang berhadats?
Jawab
: Iya, diperbolehkan
membawa Al-Qur`an dengan
menggunakan
pembungkus/kantung, karena
yang seperti itu
tidak termasuk menyentuh.23
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Dan barang siapa yang membawa
mushaf , maka sebaiknya dia membawanya
diantara kainnya, yang terletak pada
pelananya
maupun barang bawaannya.
Dan tidak dibedakan
apakah kain
tersebut teruntuk bagi kaum laki-laki ,
wanita ataukah anak kecil dan walau kain
tersebut berada diatasnya atau dibawahnya,
wallahu a’lam.”24
Faedah
: Bolehnya membawa
mushaf dengan meletakkannya
pada saku, dan
tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk
masuk wc dengan membawa mushaf.
Akan
tetapi dia harus
meletakkan mushaf pada
tempat yang sesuai
dengannya
dalam rangka mengagungkan kitabullah dan
menghormatinya. Akan tetapi jika
terpaksa
masuk ke wc
dan takut mushhaf
tersebut akan dicuri
jika ditinggal di
luar,
boleh baginya masuk
wc dengan membawa
mushaf dengan alasan
darurat.25
8. Boleh membaca Al-Qur`an dari hafalannya
bagi orang yang berhadats kecil.
Adapun
orang-orang yang junub,
maka tidak diperkenankan
baginya
membaca
Al-Qur`an dalam keadaan
bagaimanapun. Hal ini
sesuai dengan
hadits
yang diriwayatkan oleh
Ali radhiallahu ‘anhu
yang mengatakan : “
( At-Tamhid 17 / 396 ) cet. Daar
Ath-Thayyibah. Al-Albani telah menshahihkan hadits ini didalam Al-Irwa’ (
122
), dan beliau
menyebutkan bahwa Imam
Ahmad telah menjadikannya
sebagai hujjah dan
Ishaq bin
Rahawaih juga menshahihkannya ( 1 / 158 )
cet. Al-Maktab Al-Islami.
22 ‘Ilaqah, dengan dikasrah, seperti
ungkapan ‘ilaqah as-saif – pedang- dan as-sauth – cambuk -. Yang
dimaksud dengan ‘ilaqah as-sauth adalah
sesuatu yang dipergunakan untuk menaruh cambuk didalam
perjalanan. Demikian pula dengan ‘ilaqah
al-qadh – bejana – , mushhaf dan al-qauus – cerek – dan lain
sebagainya. A’laqa as-sauth, al-mushhaf,
as-saif wa al-qadh maknanya adalah membuat gantungan bagi
barang-barang tersebut.
23 Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no.557
(4/76)
24 Fatwa An-Nisa` halaman 21 terbitan Daar
Al-Qalam.
25 Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no.2245
(4/40)
Dahulu Rasulullah biasa membacakan kepada
kami ayat-ayat Al-Qur`an selama
beliau tidak dalam keadaan junub.”26
Jika
hadatsnya hanya sekedar
hadats kecil, maka
boleh membaca Al-Qur`an
melalui hafalannya, hal
ini sesuai dengan
hadits dari Ibnu
Abbas
radhiallahu ‘anhuma ketika beliau menginap dibibi beliau Maimunah
istri Nabi
Shallallahu
‘alaihi wa sallam,
beliau berkta, “Hingga
ketika sampai pada
pertengahan
malam kurang atau
lebih, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam
terjaga lalu beliau duduk dan mengusap
wajahnya dengan kedua tangan beliau,
kemudian
beliau membaca sepuluh
ayat terakhir dari
surat Ali Imran,
lantas
beliau
bangun dan menuju
ketempat air yang
tergantung lalu berwudhu`
darinya dan membaguskan wudhu`nya”.27
Bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , setelah beliau terbangun
dari
tidur dan belum
berwudhu` adalah dalil
diperbolehkannya membaca Al-Qur`an
bagi orang yang
berhadats kecil seperti
kencing, buang air
besar, atau
tidur.
Sedangkan yang lebih
utama dan sempurna
adalah membaca Al-Qur`an
dalam keadaan suci dari hadats.
Tidak ada celaan maupun pengingkaan bagi
seseorang yang membaca Al-Qur`an
dalam keadaan seperti
ini. Bahkan celaan
tertuju bagi orang
yang
mengingkari
masalah ini dan
kepada orang-orang yang
menolak sunnah yang
shahih
yang menerangkan perkara
ini. Diriwayatkan didalam
Al-Muwaththa`
karya Imam Malik bahwa Umar bin Khaththab
sedang berada pada suatu kaum
dan
mereka sedang membaca
Al-Qur`an. Kemudian beliau
buang hajat dan
kembali
lalu membaca Al-Qur`an.
Maka berkatalah salah
seorang diantara
mereka
: “ Wahai
Amirul Mu`minin, apakah
engkau membaca Al-Qur`an
26 HR. Ahmad (627), dan pentahqiqnya
mengatakan :”Sanadnya hasan”, dan meyebutkan perkataan Al-Hafidz :”Yang benar,
dia itu pada tingkatan hasan yang dapat dipakai sebagai hujjah.” Lihat
Al-Musnad
Imam Ahmad cetakan Muasasah Ar-Risalah
halaman 61, 62. HR. At-Tirmidzi (131) dan beliau mengatakan
:”Hadits hasan shahih.”
27 HR. Al-Bukhari (183) dan Muslim
(673)
sedangkan engkau tidak berwudhu`?”, maka
Umar mengatakan :”Siapakah yang
memberimu fatwa seperti itu? Apakah
Musailamah?”28
Masalah
: Apakah boleh
bagi orang yang
berhadats kecil membaca
Al-Qur`an
dari mushaf?
Jawab
: Al-Lajnah Ad-Daimah
dalam salah satu
jawabannya mengatakan
:”Tidak
diperbolehkan bagi orang
yang sedang junub
membaca Al-Qur`an
sampai dia mandi. Baik membaca dengan
mushaf maupun dari hafalannya. Juga
tidak
boleh baginya membaca
Al-Qur`an memakai mushaf
kecuali setelah suci
secara sempurna dari hadats besar maupun
kecil.29
Masalah
: Manakah yang
lebih utama, membaca Al-Qur`an
dari hafalan atau
dengan mushaf?
Jawab
: Terdapat perbedaan
pendapat diantara ulama
tentang hal ini.
Sebagian
mereka
mengutamakan membaca Al-Qur`an
dari hafalan dari
pada membaca
melalui
mushaf. Ulama lainnya
menolak pendapat ini,
mereka mengatakan
:”Sesungguhnya membaca
melalui mushaf lebih
utama, karena dengan
begitu
berarti
mencermati Al-Qur`an. Akan
tetapi pendapat ini
didukung oleh atsar-atsar yang tidak shahih. Ulama lainnya
lagi merinci permasalahan ini.
Ibnu
Katsir mengatakan :
”Sebagian ulama mengatakan,
inti perkara ini
adalah
masalah kekhusyu’an. Jika
membaca Al-Qur`an melalui
hafalan lebih
khusyu’,
maka ini yang
utama. Sedangkan jika
membaca dengan mushaf
lebih
khusyu’,
maka inilah yang
utama. Jika membaca
dengan hafalan sama
khusyu’nya
dengan membaca menggunakan
mushaf, maka membaca
melalui
mushaf
lebih utama. Karena
akan lebih cermat
dan mendapatkan kelebihan
dengan melihat mushaf.
28 Al-Muwaththa` (469).
29 Fatawa Al-Lajnah Ad-Daa`imah (5/328),
fatwa no. 8859.
Abu
Zakariya An-Nawawi rahimahullah
dalam kitab At-Tibyan
mengatakan
: ”Zhahir perkataan
dan amalan ulama
Salaf dapat dipahami
dengan perincian ini.30
Ibnul
Jauzi mengatakan :
”Sudah sepantasnya bagi
orang-orang yang memiliki
mushaf
untuk membaca setiap
hari ayat-ayat yang
mudah agar tidak
menjadikan Al-Qur`an terabaikan.31
9. Bolehnya Membaca Al-Qur`an bagi
perempuan yang sedang haidh maupun
nifas.
Hal
ini dikarenakan tidak
dijumpai dalil yang
menunjukkan secara
langsung
tentang pelarangannya, akan
tetapi harus membaca
dengan tanpa
menyentuh
mushaf. Al-Lajnah Ad-Daimah
menyatakan :”Adapun bagi
perempuan
haidh maupun nifas,
tidak mengapa membaca
Al-Qur`an dengan
tanpa
menyentuh mushaf. Ini
menurut pendapat yang
paling shahih dari
para
ulama, dikarenakan tidak tsabitnya dalil
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang melarang perempuan haid maupun nifas
untuk membaca Al-Qur`an.”32
10.
Disunnahkan membersihkan mulut
sebelum membaca Al-Qur`an
dengan
siwak.
Yaitu
dalam rangka beradab
dengan Kalamullah. Maka
sesungguhnya
seorang
qari’ ketika menghendaki
untuk membaca Kalamulah,
sangat baik
baginya
jika membarsihkan dan
membuat harum mulutnya
dengan siwak atau
dengan apa saja yang bisa dipakai untuk
membersihkan mulut.
Tidak
ada keraguan bahwa
hal ini merupakan
perilaku penuh adab
terhadap
kalamullah. Rasulullah mencontohkan
hal ini sebagaimana
dalam
hadits Hudzaifah yang menyatakan :”Apabila
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
30 Fadhail Al-Qur`an hal. 212. Pentahqiq : Abu Ishaq Al-Huwaini,
cetakan Maktabah ibnu Taimiyah.
31 Al-Adab Asy-Syar’iyah Ibnu Muflih
(2/285) cetakan Muasasah Ar-Risalah.
32 FatawaAl- Lajnah Ad-Daa`imah no. 3713
(74/4)
bangun
untuk shalat tahajjud
pada malam hari,
beliau membersihkan mulut
beliau dengan siwak.”33 34
11.
Merupakan sunnah, membaca
isti’adzah dan basmalah
ketika memulai
membaca Al-Qur`an.
Termasuk
sunnah, membaca isti’adzah
(ta’awwudz) sebelum membaca
Al-Qur`an sebagaimana firman Allah :
”
Apabila kamu membaca
Al Quran hendaklah
kamu meminta perlindungan
kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”
(An-Nahl : 98).
Juga
dari hadits yang
diriwayatkan Abu Said
al Khudri yang
mengatakan:
” Apabila Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdiri untuk
shalat malam, beliau bertakbir kemudian
membaca :
(Maha
Suci Engkau, ya
Allah, segala puji
bagimu, maha suci
namaMu, maha
tinggi
keagunganMu, dan tiada
ilah selainMu). Kemudian
membaca : (Tiada
ilah
yang
berhak diibadahi dengan
benar kecuali Engkau)
sebanyak tiga kali,
kemudian
membaca
: (Allah Maha
Besar) tiga kali,
kemudian membaca: (Aku
berlindung
kepada
Allah yang maha
mendengar lagi maha
mengetahui dari syetan
yang terkutuk,
dari godaannya, dari kesombongannya, dan
pengaruhnya)35 kemudian baru membaca
surah (Al-Qur`an)36.
33 HR. Al-Bukhari (1136), Muslim (255),
Ahmad (22802), An-Nasa’I (2), Abu Dawud (55), Ibnu Majah (286),
dan Ad-Darimiy (685).
34 Lihat Al-Adzkar Imam An-Nawawi hal. 160.
35
Hamzihi : hamaza
asy-syaithan al-insaana hamazan,
maknanya: meniupkan didalam
hatinya perasaan
was-was. Hamzaah asy-syaithan : Adalah
segala was-was yang terbersit didalam hati seorang manusia. (
Lihat Lisan Al-‘Arab 5 / 426 ), bahasan: [1]ه.
Nafkhihi: an-nafkhu maknanya adalah
keangkuhan. Pada sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Saya
berlindung
dari hamzihi, wa
nafkhihi wa naftsihi
, … dikarenakan seorang yang
angkuh merasa tinggi hati
dan
menyatukan hawa nafsu dan
kehendaknya yang dia sombongkan.
( Lisan Al-‘Arab 3
/ 64 ),
bahasan:
Naftsihi:
Sedangkan an-naftsu, penafsiran
kalimat ini didalam
hadits diatas adalah
sya’ir. Abu ‘Ubaid
mengatakan:
Dan an-naftsu ditafsirkan
sebagai sya’ir dikarenakan
seumpama sesuatu yang
dilontarkan
yang ada padanya seperti juga halnya dengan ruqyah. ( Al-Lisan 2 / 196 )
bahasan:
Dari ayat dan hadits diatas dapatlah kita
ketahui dua sighat al-isti’adzah,
yaitu:
1.
A’udzu billahi min asy-syaithan ar-rajiim
2.
A’udzu billah as-samii’
al-‘aliim min asy-syaithan
ar-rajiim min
hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi.
3.
A’udzu bis-samii’ al-‘aliim min asy-syaithan ar-rajiim 37
Dan
disunahkan bagi orang
yang membaca al-Qur`an
untuk mengamal
sighat isti’adzah yang pertama dan juga
yang berikutnya.
Faedah
Isti’adzah: Untuk menjauhkan
syaithan dari hati-hati
manusia, disaat
seseorang
membaca kitabullan hingga
seseorang mencapai tadabbur
Al-Qur`an
dan
dapat memahami maknanya,
dan mengambil manfaat
dari Al-Qur`an
tersebut.
Karena akan ada
perbedaan jikalau anda
membaca Al-Qur`an dengan
hati
khusyu’ dan disaat
anda membaca Al-Qur`an
sementara hati anda
yang
lalai. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu
Utsaimin rahimahullah.38
Adapun
membaca basmalah ketika
memulai membaca Al-Qur`an
merupakan
amalan yang sunnah
saja. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh
Anas
radhiallahu ‘anhu dia
berkata: “ Pada
suatu hari setelah
shalat dzhuhur,
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berada disisi
kami dan beliau
Shallallahu
‘alaihi wa sallam
tengah mengantuk lalu
beliau mengangkat kepala
beliau
dan tersenyum. Lalu
kami bertanya kepada
beliau, “Apa yang
menyebabkan anda tertawa, wahai
Rasulullah?”
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “
Baru saja diturunkan
kepadaku sebuah surat yang mulia” ,
kemudian belaiu membaca
36
HR. Abu Daud ( 775 ), Al-Albani mengatakan: Shahih. Ibnu Katsir
mengatakan: Hadit sini telah
diriwayatkan oleh para penulis As-Sunan
yang empat. At-Tirmidzi mengatakan: Hadist ini yang paling
populer dalam pembahasan ini . ( Tafsir
Al-Qur`an Al-‘Adzhim 1 / 13 ). Cet. Maktabah Al-Harmiy
37 Telah dijelaskan oleh Abu Daud tentang
bentuk kalimat ta'aawudz pada no.785 dan Imam Al-Albaniy
belum menshahihkan riwayat ini, dan Syeikh
Utsaimin memberikan syahid (penguat terhadapnya) dalam
Syarh Al-Mumti’ ‘ala matni Zaad
Al-Mustaqani’ yang menujukkan atas shahihtnya riwayat ini menurut beliau.
Lihat Asy-Syarh (3/71) terbitan Mu`asasah
Aasaam.
38 Asy-Syarh Al Mumti’ (3/71)
“
Sesunguhnya Kami telah
memberikan kepadamu al-kautsar
– telaga disurga.
Maka
shalatlah
kepada Rabb-mu dan
berkurbanlah. Sesungguhnya yang
membencimu adalah
orang yang terputus “ (Al-Kautsar), al-hadits”.39
Pertanyaan
: Telah menjadi
kebiasaan kaum muslimin
ketika selesai membaca
Al-Qur`an
mereka mengucapkan “Shadaqallahul ‘Adziim”
apakah ini ada
dalilnya yang shahih?
Jawab
: Tidak ada
dalil untuk mengucapkan
“Shaqallahul ‘Adziim” ketika
selesai
membaca Al-Qur`an. Walaupun
ini amalan sebagian
besar kaum
muslimin,
akan tetapi amalan
mayoritas bukanlah dalil
bahwa amalan tersebut
benar.
Allah ta’ala berfirman :
“
Dan tidaklah sebagian
besar kaum manusia
, walaupun engkau
berupaya , akan
beriman “ (Yusuf: 103 )
Demikian
pula ada pendapat
yang sangat mengesankan
dari Al-Fudhail bin
‘Iyadh rahimahullah:
“
Janganlah engkau merasa
kesepian dengan jalan-jalan
petunjuk hanya karena
sedikitnya
yang mengikuti jalan
tersebut. Dan janganlah
engkau terpedaya
dengan banyaknya orang-orang yang meniti
jalan kebinasaan “.
Akan
tetapi sesungguhnya dalil
menguatkan pendapat yang
menolak
penutupan
bacan Al-Qur`an dengan
ucapan ini. Diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari
dan Muslim dan
selain mereka dari
hadits Ibnu Mas’ud
radhiallahu
‘anhu
beliau berkata: “Rasululla
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Bacakanlah
–Al-Qur`an- untukku” Ibnu
Mas’ud berkata: “
Saya bertanya:
Akankah
saya membacakan Al-Qur`an
untukmu sedangkan kepadamu
Al-Qur`an itu diturunkan?”
Nabi bersabda: “Sesungguhnya aku suka untuk
mendengarkan Al-Qur`an
dari orang lain”.
Ibnu
Mas’ud berkata: “
Maka saya pun
membacakan surat An-Nisaa`
hingga
saya sampai pada ayat:
39 HR.Muslim (400)
“
Dan Bagaimanakah jikalau
Kami mendatangkan bagi
masing-masing umat seorang
saksi, dan kami datangkan engkau sebagai
saksi atas mereka semua “ (An-Nisaa` : 41 )
Beliau
berkata kepadaku: “Cukup
atau tahan bacaanmu”,
dan aku melihat
kedua mata beliau meneteskan air”.40
Dan
demi ayah dan
ibuku yang menjadi
jaminannya, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyuruh Ibnu Mas’ud untuk mengucapkan
“Shadaqallahul’adzim” dan
beliau tidak menetapkan
hal itu dan
tidak pula
dilakukan
oleh orang-orang generasi
pertama dari umat
ini semoga Allah
meridhai
mereka bahwa mereka
tidak pernah mengucapkan
hal itu ketika
mereka
selesai membaca Al-Qur`an.
Begitu juga tidak
pernah diketahui bahwa
Salaf Ash-Shalih yakni orang-orang yang
hidup setelah generasi sahabat bahwa
mereka
telah mengamalkannya. Tidak
ada yang dapat
dikatakan selain kita
bahwa amalan tersebut adalah amalan yang
muhdats – diada-adakan - dan tidak
ada sunnah yang membolehkan dzikir ini.
Al-Lajnah
Ad-Daimah berfatwa: “
Seseorang mengatakan
“shadaqallahul’adzim “
ucapan ini pada
dasarnya adalah ucapan
benar. Akan
tetapi
apabila ia mengucapkannya setelah
selesai membaca Al-Qur`an
dengan
terus
menerus, maka ini
termasuk perbuatan bid’ah.
Dikarenakan bacaan itu
tidak
pernah dilakukan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan
para
Khulafa`
Ar-Rasyidin sebatas yang
kami ketahui, sementara
mereka seringkali
membaca Al-Qur`an. Dan telah shahih
driwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa
sallam bahwa beliau
bersabda: “Barang siapa
yang beramal dengan
sebuah
amalan
yang tidak ada
baginya perintah dari
kami, maka amalan
itu tertolak”.
Dan pada riwayat lain: “Barangsiapa yang
membuat perkara baru dalam urusan
agama yang hal tersebut bukan merupakan
urusan dari kami, maka tertolak”.41
Faedah : An-Nawawi menyebutkan dalam kitab
beliau Al-Adzkar, bahwa beliau
berkata: “ Disunnahkan bagi orang yang
membaca Al-Qur`an jika ia memulainya
40 HR. Al-Bukhari no.5055 dan lafazh ini
lafazh riwayat beliau, Muslim no.800
41 Fatwa no.4310 (4/118) dan kami telah
meringkas masalah ini dan menyebarkannya kepada orang-orang
yang melakukannya dengan penjelasan yang
sejelas-jelasnya. Wallahulmusta’an.
dari
pertengahan surat hendaklah
ia memulainya dari
awal kalimat-kalimat
saling berkaitan sebagian dengan sebagian
lainnya. Demikian pula hendaklah ia
berhenti
pada tempat berhenti
pada kalimat yang
berkaitan, atau pada
akhir
kalimat.
Dan janganlah dia
bergantung dalam masing-masing
tempat berhenti ,
ketika memulai, atau ketika berhenti pada
setiap juz, atau setiab hizb bacaan, atau
pada setiap ‘usyr juz. Karena sebagian
besar tempat-tempat tersebut berada pada
pertengahan
kalimat … Kemudian
beliau berkata, “
Dan semakna dengan
pernyataan
ini sesuai dengan
perkataan ulama: “
Membaca Al-Qur`an dengan
menyempurnakan setiap
surat itu lebih
utama dari pada
sebagian surah pada
surah-surah
yang panjang. Dikarenakan
penyesuaian bacaan ayat
telah
tersamarkan
bagi mayoritas kaum
muslimin atau bahkan
paling banyaknya
diantara mereka dia pada beberapa keadaan dan tempat”.42
12.
Disunnahkan membaca Al-Quran
dengan tartil dan
makruh membaca al
quran secara cepat.
Allah
memerintahkan kepada kita
untuk membaca Al-Qur`an
secara
tartil, sebagaimana firman-Nya :
“
Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil “ (Al-Muzammil : 4 ).
Adapun yang dimaksud dengan tartil dalam
membaca adalah membaca dengan
teratur dan pelan-pelan serta dengan suara
yang jelas tanpa salah. Ibnu Abbas
ketika menjelaskan tafsiran surah ini
“
Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil “ (Al-Muzammil : 4 ).
Beliau
mengatakan, “Membaca Al-Qur`an
itu dengan sejelas-jelasnya.” Abu
Ishaq mengatakan, “Bacaan yang jelas tidak
mungkin terwujud dengan tergesa-gesa
ketika membaca, adapun
untuk mewujudkannya adalah
dengan cara
mencermati
setiap huruf yang
dibaca dan memenuhi
hak-haknya
(ketentuan-ketentuan hukum qira’ah).”43
Sedangkan faedah yang
bisa diambil dari
42 Al-Adzkar hal.163
43 Liasn Al ‘Arab Karangan Ibnu Mandzur
(11/265) cetakan Daar Ash-Shaadir.
membaca
Al-Qur`an dengan cara
tartil adalah mengajak
kita untuk memahami
makna dari ayat-ayat Al-Qur`an tersebut.
Mayoritas
para salaf dari
kalangan para sahabat
maupun yang sesudah
mereka, sangat membenci orang yang membaca
Al-Qur`an dengan cara terburu-buru.
Penyebab ketidak senangan
mereka adalah karena
kemaun para qari’
untuk
membaca dalam jumlah
banyak dan dalam
waktu singkat adalah
merupakan
kelalaian, dikarenakan ingin
mendapat pahala besar
tapi hilang
mashlahat
yang lebih besar
yaitu tadabbur atau mepelajari serta
memahami
makna
dari ayat-ayat Al-Qur`an,
mengambil faedah darinya,
dan pengaruh
bacaan Al-Qur`an yang nampak jelas pada
diri qari’ itu sendiri. Tidak diragukan
lagi
bahwa seseorang yang
membaca Al-Qur`an sedangkan
dia memikirkan
ayat-ayatnya dan
menghadirkan atau berusaha
memahami makna-maknanya,
hal
ini jelas lebih
baik dari pada
orang yang membacanya
dengan tergesa-gesa
karena
ingin cepat menyelesaikan
bacaannya atau selesai
dan banyak jumlah
yang dibaca.
Ibnu
Mas’ud memiliki perkataan
yang berisikan kritikan
beliau terhadap
orang
yang membaca Al-Qur`an
dengan tergesa-gesa, diriwayatkan
dari Abi
Wail
beliau berkata: “
Seorang laki-laki datang
menjumpai beliau yang
dikenal
dengan
nama Nuhaik bin
Sinan, lalu orang
tersebut berkata: “
Wahai Abu
Abdurrahman
Bagaimanakah anda membaca
huruf ini, apakah
dengan huruf
aliif
atau dengan huruf
yaa` , yaitu
pada firman Allah
ta’ala:
ataukah dengan:
ٍ[1]ِ
?
Dia berkata: “ Berkata Abdullah: “ Semua
ayat-ayat Al-Qur`a telah anda hitung
selain ayat ini? “
Dia
berkata: “ Sesungguhnya
aku membaca surah
al-mufashshal pada satu
raka’at. “
Maka
Abdullah berkata: “Ini
adalah pemenggalan sebagaimana
pemenggalan
sebuah sya’ir ? Sesungguhnya ada sekelompok
kaum yang mereka membaca Al-
Qur`an,
akan tetapi tidak
sampai melewati kerongkongan
mereka. Akan tetapi
apabila
mereka meresapinya dalam
hati dan merasakan
manfaatnya serta
mengambil faedah padanya, barulah mereka
berlalu ...”44
Diriwayatkan dari Abu Jamrah mengatakan: “Aku berkata kepada Ibnu
Abbas,
Sesungguhnya aku sangat
cepat membaca Al-Qur`an
dan aku dapat
menyelesaikannya dalam
tiga hari.” Maka
Ibnu Abbas mengatakan,
“
Sesungguhnya aku
membaca Al-Baqarah dalam
semalam dengan
mentadaburinya dan
mentartilnya, dan aku
lebih menyukainya dari
pada aku
membaca sebagaimana yang engkau katakan
“.
Dalam
riwayat lainnya Ibnu
Abbas berkata: “Jika
kamu memang mesti
melakukannya dengan
demikan (cepat), maka
hendaklah kamu membacanya
dengan bacaan yang dapat didengar oleh
telingamu dan dipahami hatimu.”45
Ibnu
Muflih mengatakan: “
Ahmad berkata: Saya
menyukai bacaan Al-Qur`an
yang mudah dan saya membenci bacan
Al-Qur`an dengan cepat. “
Harb berkata: “ Saya bertanya kepada Ahmad
tentang bacaan Al-Qur`an dengan
cepat, dan beliau tidak menyukainya,
kecuali apabila lisan orang tersebut seperti
itu.
Ataukah dia tidak
dapat membacanya perlahan.
Lalu ada yang
bertanya:
Apakah seperti itu berdosa?
Beliau
menjawab: Adapun tentang
dosanya, saya tidak
berani untuk
mengomentarinya “46
Masalah: Manakah yang lebih utaman bagi
seseorang yang membaca Al-Qur`an,
membacanya
dengan tenang dan
tadabbur ataukah membacanya
dengan cepat,
namun tanpa mengabaikan sedikitpun
huruf-huruf dan harat-harakatnya ?
Jawab:
Apabila bacaan yang
cepat tersebut tidak
sampai mengabaikan aturan
qira’ah,
sebagian ulama telah
mengutamakan bacaan dengan
cepat seperti itu
44 HR. Al-Bukhari no.775 dan Muslim no722
dan lafazh ini adalah lafazh pada riwayat beliau..
45 Dikeluarkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab
Fadhaail Al Qur’an hal.236. Muhaqqiq
berkata, “Isnadnya
Shahih. Dan Al-Baihaqy menambahkan dalam
Asy-Sya’bi dari hadits Syu’bah. Dan berkata Muhaqqiq Al-Fadhaail, sanadnya
shahih. Lihat al-Hasyiah hal.237.
46
Al-AdabAsy-Syar’iyah ( 2 / 297 _
dengan
harapan banyaknya pahala
yang akan diperolehnyadenganbanyaknya
bacaan
Al-Qur`an. Sementara sebagian
ulama lainnya lebih
mengutamakan
bacaan yan tartiil dan tenang.
Ibnu
Hajar mengatakan: “
Pendapat yang tepat,
bahwa masing-masin baik
itu
bacaan
yang cepat dan
juga bacaan yang
tartil memiliki keutamaan
tersendiri.
Dengan
syarat bahwa bacaan
yang cepat tersebut
tidak sampai mengabaikan
hak
huruf-huruf bacaan beserta
harakat-harakatnya, sukun serta
hal-hal wajib
lainnya.
Jadi tidak ada
halangan dalam mengutamakan
slaah satu diantara
keduanya
atau menyatakan keduanya
sama dalam hal
keutamaan. Karena
seseorang yang membaca Al-Qur`an dengan
tartil dan menelaah ayat demi ayat,
layaknya
seseorang yang mendermakan
sebuah permata yang
sangat bernilai.
Dan
yang membaca dengan
cepat layaknya seseorang
yang mendermakan
beberapa permata dengan harga yang senilai.
Terkadang nilai permata yang satu
melebihi nilai permata yang banyak dan
terkadang malah sebaliknya “47
13.Disunnahkan memanjangkan bacaan
Al-Qur`an.
Hal
ini shahih keterangannya
dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa
sallam.
Anas radhiallahu ‘anhu
ditanya tentang bacaan
Al-Qur`an Rasulullah,
maka
Anas menjawab :
”Beliau memanjangkannya, kemudian
membaca
basmallah, maka beliau memanjangkan
bismillah, memanjangkan ar-rahman, dan
memanjangkan ar-rahim.”48
14.
Disunnahkan membaguskan suara
ketika membaca Al-Qur`an
dan
larangan membaca menyerupai orang
bernyanyi.49
47
Fathul Baari ( 8 / 707 )
48 HR. Al-Bukhari no.5145
49 Yang dimaksud menyerupai orang bernyanyi
yaitu yang mirip dengan nyanyian, dan pada zaman kita
sekarang ini, sebagian imam masjid
kebanyakan seperti ini, sedang mereka ada yang mengetahui dan ada
yang tidak, dan kamu akan terbuai oleh
khayalan ketika mendengar bacaan mereka.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bara’
radhiallahu ‘anhu, bahwa
beliau berkata :
”Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
“Wattini waz Zaitun,” pada shalat
‘isya’.
Tidaklah
saya mendengar seorang
pun lebih bagus
suaranya atau bacaannya
dari beliau.”50
Adapun
tentang disunnahkannya membaguskan
suara ketika membaca,
beberapa hadits-hadits shahih telah
menerangkannya, diantaranya, sabda beliau
Shallallahu
‘alaihi wa sallam
: ”TidaklahAllah mendengarkan
sesuatu
sebagaimana Allah mendengarkan Nabi-Nya
melagukan Al-Qur`an “51
Ibnu
Katsir mengatakan :”Maknanya
adalah bahwa Allah
tidak mendengar
sebagaimana
Allah mendengar bacaan
Nabi yang mana
beliau mengeraskan
bacaannya
dan membaguskannya. Hal
ini disebabkan pada
bacaan para Nabi
terkumpul
suara yang bagus
karena kesempurnaan ciptaan
mereka serta rasa
khusyu’
yang sempurna. Inilah
tujuan dari hal
itu semua. Allah
mendengar
suara
selurh hamba-Nya, yang
taat maupun yang
ingkar. Imam Ahmad
mengatakan
: ”Seorang qari’
sepatutnya membaguskan suara
bacaan Al-Qur`annya, membacanya
dengan penuh penghayatan, dan mentadaburinya, dan
inilah
makna sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : ”TidaklahAllah
mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah
mendengarkan Nabi-Nya melagukan
Al-Qur`an “52
Dalil yang lain adalah sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Bukan
golongan kami orang yang tidak melagukan
Al-Qur`an.”53
Juga dari hadits Al-Barra’ bin ‘Azib yang
berkata: ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: ”Perbaguslah suara
kalian dengan bacaan Al-Qur`an!”54
50 HR. Al-Bukhari no.769
51 HR. Al-Bukhari no.5023 dan Muslim (7920
52 Fadhaail Al-Qur`an hal.179,180
53 HR. Abu Daud (1469) Al-Albani berkata
“shahih”
54 HR. Abu Daud (1468) Al-Albani berkata
“shahih”
Yang
dimaksud membaguskan suara
disini yaitu memperindah,
menghayati,
dan khusyu’ ketika
membacanya. Demikian yang
dikatakan oleh
Ibnu
Katsir mengatakan. Ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendengar
bacaan
Abu Musa Al Asy’ary, beliau
mengatakan kepadanya: ”
Seandainya
engkau
menyaksikanku disaat saya
mendengar bacaanmu semalam
! Sungguh
engkau telah diberi keindahan suara
sebgaiman keindahan suara Daud”.55
Pada
salah satu riwayat
yang diriwayatkan oleh
Abu Ya’la terdapat
tambahan
dari eprkataan Abu
Musa: “ Sekiranya
saya mengetahui keberadaan
anda,
niscaya saya memperbagusnya untuk
anda “. Perkataan
Abu Musa
menunjukkan
bolehnya berusaha membaguskan
suara ketika membaca
Al-Qur`an, akan tetapi
perkataan ini berarti
mengeluarkan bacaan Al-Qur`an
dari
ketentuannya yang
disyariatkan, seperti berlebihan
memanjangkan bacaan,
menyambung
ayat tanpa jeda,
dan berlebih-lebihan sampai
terjadi lahn dalam
bacaannya.
Yang demikian ini
sama sekali tidak
disyariatkan. Imam Ahmad
membenci
membaca Al Qur’an
dengan bacaan yang
lahn, bahkan beliau
mengatakan :”Yang seperti itu
bid’ah.”56
Asy-Syaikh
Taqiyuddin mengatakan :”Membaca
al Qur’an dengan
cara
melagukannya/lahn seperti
nyanyian adalah makruh
yang bid’ah sebagaimana
disinyalir
dalam perkataan Imam
Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad
bin Hambal, dan
para imam selain mereka.57
15. Menangis ketika membaca al Qur’an atau
ketika mendengarnya.
Kedua hal ini telah disebutkan didalam
As-Sunnah. Yang pertama sesuai
dengan
hadits riwayat Abdullah
bin Syuhair radhiallahu
‘anhu, bahwasannya
beliau berkata: ”Saya mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan
beliau
sedang shalat, dan
dari dalam tenggorokan
beliau terdengar suara
55 HR.Muslim (793) dan Al-Bukhari (5048)
syarat yang kedua darinya saja.
56 Al-Adab Asy-Syar’iyah (2/301)
57
Al-Adab ( 2 / 302 )
mendesis
seperti berdesisnya periuk.
Ternyata beliau sedang
menangis.” 58
Abdullah
bin Syadat mengatakan
:”Aku mendengar Umar
radhiallahu ‘anhu
tersedu-sedu, sedangkan
aku berada di
shaf terakhir, beliau
(Umar radhiallahu
‘anhu) membaca :
“ Sesungguhnya saya mengadukan kegundahan
dan kesedihanku kepada Allah “
(Yusuf : 86 ).
Yang
kedua (menangis ketika
mendengar) adalah sebagaimana
yang
diriwayatkan oleh
Ibnu Mas’ud radhiallahu
‘anhu, dia mengatakan
: ”Nabi
Shallallahu
‘alaihi wa sallam
berkata kepadaku :“Bacakanlah
Al-Quran
untukku!”
Lalu aku berkata
:”Ya Rasulullah, aku
membaca al Qur’an
untukmu
sedangkan
Al-Qur`an diturunkan kepadamu?”
Beliau berkata :”Ya.”
Maka aku
membaca surat an Nisa’, dan ketika aku
sampai pada ayat :
“
Dan bagaimanakan apabila Kami
mendatangkan kepada masing-masing umat
seorang saksi dan Kami datangkan engkau
sebagai saksi atas mereka “ (An-Nisaa` : 41 ),
beliau
berkata:”Cukup!”. Kemudian beliau
berpaling dan kedua
mata beliau
bercucuran air mata.”59
Adapun
yang sebagian orang
lakukan pada hari
ini berupa teriakan,
ratapan,
dan menangis keras-keras,
maka ini telah
keluar dari jalan
yang lurus.
Akan tetapi jangan sampai setiap orang
menyangka bahwa kami menempatkan
hukum
ini secara umum,
sekali-kali tidak !
Bahkan kami katakan,
diantara
mereka
ada yang benar,
tapi ada juga
yang tidak seperti
itu. Yang sangat
mengherankan pada
diri orang-orang yang
berlebih-lebihan tersebut, bahwa
mereka mencurahkan ibarat demi ibarat
ketika mendengarkan doa imam ketika
membaca
doa qunut, akan
tetapi air mata
boleh dikatakan tidak
keluar sama
58 Syarh As-Sunnah oleh Al-Baghawiy (729)
Muhaqqiq berkata, “Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Asy-Syamaail, dan Ahmad,
Abu Daud dan An-Nasa’I dan sanadnya kuat” (3/245) terbitan Al-Maktab Al-Islami
59 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam
Shahih beliau secara mu’allaq, dan menempatkannya pada judul
bab. Idzaa Bakaa Al-Imam fii Ash-Shalat.
Ibnu Hajar : “ Atsar ini diriwayatkan oleh
Sa’id bin Manshur dari Ibnu ‘Uyainah dari Isma’il bin Muhammad
bin Sa’ad, beliau telah mendengar Abdullah
bin Syaddad hadits ini dan menambahkannya: Pada shalat
shubuh “ ( Fathul Baari 2 / 241, 242 )
sekali dari lekuk mata mereka ketika mendengarkan
Kalamullah dan ayat-ayat-Nya ! Kami katakan kepada mereka yang berlebih-lebihan
ini: Hendaknya kalian
memperhatikan,bahwa sesungguhnya
manusia yang paling
sempurna
keadaannya adalah mereka yang Allah
sifatkan dalam firmannya :
“
Dialah Allah yang telah menurunkan perkataan yang paling baik, yakni sebuah
Kitab
yang serupa ayat-ayatnya
lagi berulang-ulang. Kulit
orang-orang yang takut
kepada Rabb mereka akan gemetar karenanya
dan menjadi tenang dan hati mereka akan
kembali mengingat Allah “(Az-Zumar : 23
).
Dan
orang yang paling
sempurna adalah orang
yang keadaannya seperti
Nabi
Shallallahu
‘alaihi wa sallam,
yaitu yang tangisannya
mendesis seperti
berdesisnya periuk.
Akan
tetapi jika ada
yang berdalih/beralasan bahwasannya
sebagian
orang
terdahulu mereka pingsan
bahkan meninggal ketika
dibacakan kepada
mereka
Al-Qur`an atau mereka
mendengarkan bacaannya. Dan
jawaban atas
alasan
ini adalah bahwa
sesungguhnya kami tidak
mengingkari cerita itu
dari
sebagian
generasi terdahulu seperti
tabi’in dan generasi
setelah mereka, akan
tetapi
tidak diketahui apakah
para sahabat semoga
Allah meridhainya
melakukannya. Dan
sebab dari itu,
karena yang menyentuh –
hati mereka –
adalah
sesuatu yang kuat
, dan menghantam
tempat yang sangat
lemah yakni
hati
mereka, sehingga tidak
mampu menahannya, maka
terjadilah apa yang
terjadi.
Mereka adalah orang-orang
yang benar dari
apa yang mereka
hayati,
dan mereka juga diberi udzur.
Ibnu Muflih berkata: “Keadaan ini
seringkali terjadi pada Imam baik dari
sisi
ilmu maupun amal
– yaitu syaikh
Imam Ahmad –
yakni Yahya bin
Al-Qahthan. Imam Ahmad berkata, “Apabila seseorang mampu menahannya maka
niscaya
Yahya akan sanggup
menahannya. Dan hal
itu juga telah
terjadi pada
selain
mereka. Di antara
mereka ada yang
benar pada keadaan
mereka da ada
juga
yang selain itu.
Dan saya bersumpah,
bahwa yang bberlaku
jujur diantara
mereka
sungguh dia mendapatkan
kedudukan yang adung.
Karena jika bukan
disebabkan
hati yang hidup
dan mengetahui makna
yang dibacanya serta
kedudukannya, serta
menghadirkan makna yang
dibacanya tersebut lalu
diresapi,
hal itu tidak
akan tercapai. Akan
tetapi keadaan generasi
awal jauh
lebih
sempurna. Dimana seseorang
akan mencapai segala
yang mereka capai,
bahkan
lebih agung lagi,
bersamaan dengan keteguhan
hati mereka serta
kekuatan sanbari mereka. Semoga Allah
meridhai mereka semua.60
Faedah
: Dsunnahkan meminta
untuk dibacakan Al-Qur`an
dari Qari’
yang baik bacaannya (tajwidnya) lagi bagus
suaranya. Hal ini akan semakin jelas
dengan
perintah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam
kepada Ibnu Mas’ud
untuk
membacakan
Al-Qur`an. Ibnu Mas’ud
mengatakan :”Nabi berkata kepadaku
:”Bacakanlah (Al-Qur`an)
untukku!” Aku berkata
: ”Aku membaca
Al-Qur`an
untukmu
sedangkan Al-Qur`an diturunkan
kepadamu?” Beliau Shallallahu
‘alaihi
wa sallam bersabsa
: ”Aku senang
jika aku mendengarnya
dari
selainku.”61
Adapun
Ibnu Mas’ud adalah
sahabat yang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata tentang diri beliau :
”Barang siapa yang hendak membacakan Al-Qur`an
dengan jelas lagi
merdu sebagaimana ketika
Al-Qur`an diturunkan,
maka
hendaklah dia membacanya
sebagaimana Ibnu Ummi
‘Abdin
membacanya.”
Ibnu
Mas’ud termasuk salah
satu dari empat
sahabat yang Nabi
Shallallahu
‘alaihi
wa sallam perintahkan
untuk mengambil Al-Qur`an
dari mereka. Nabi
Shallallahu
‘alaihi wa sallam
berkata :”Mintalah bacaan
Al-Qur`an dari empat
orang,
Abdullah Ibnu Mas’ud,
Salim maula Hudzaifah,
Ubay bin Ka’ab,
dan
Mu’adz bin Jabbal!”62
60
Al-Adab Asy-Syar’yah ( 2 / 305 )
61 HR. Al-Bukhari no.5056
62 HR. Ahmad dalam Musnadnya (35) muhaqqiq
berkata, “sanadnya hasan (1/211) terbitan Muasasah Ar-Risalah.
16.
Disunnahkan untuk mengeraskan
bacaan Al-Quran jika
tidak
mendatangkan mafsadah.
An-Nawawi
mengatakan dalam kitab
Al-Adzkar : ”Sejumlah
atsar
tentang
keutamaan menjahrkan (mengeraskan
suara) dan mensirrkan
(membaca
dengan
suara yang sangat
pelan) ketika membaca
Al-Qur`an. Para ulama
mengatakan
: Untuk menyelaraskan
kedua hadits tersebut,
bahwasannya
membaca
dengan sirr akan
menjauhkan seseorang dari
sifat riya’. Dan ini
lebih
utama
ketika seseorang khawatir
akan terjatuh kepada
hal itu. Apabila
tidak
ditakutkan
akan terkena sifat
riya’, maka mengeraskan
suara itu lebih
utama,
dengan syarat, tidak mengganggu orang lain
yang mungkin sedang shalat, tidur,
atau
selainnya.” Mengeraskan bacaan
Al-Qur`an ini merupakan
amalan yang
sangat
besar karena akan memberikan manfaat
kepada orang yang
mendengarnya dan akan memantapkan hati
orang yang membacanya serta akan
dapat
menyatukan segala keinginannya
untuk memikirkan Al-Qur`an
dan
pendengarannya tertuju
kepada bacaan Al-Qur`an.
Dan bacaan itu
dapat
mengusir
kantuk serta akan
menambahkan sifat rajin
dan giat. Apabila
salah
satu
dari sekian niat
ini menyertai bacaan
Al-Qur`an dengan keras,
maka
membaca dengan jahr lebih utama.63
Akan
tetapi ada baiknya
bagi kami untuk
mengisyaratkan kepada suatu
perkara
yang penting, yaitu
bahwa seseorang yang
menjaharkan bacaan Al-Qur`an
sepatutnya memperhatikan orang-orang
yang ada di
sekitarnya seperti
orang yang sedang shalat, atau orang yang
sedang membaca Al-Qur`an dan atau
orang yang sedang tiduragar jangan sampai
mengganggu mereka dengan bacan
yang diekraskan tersebut..
Telah
diriwayatkan oleh Abu
Said radhiallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah
Shallallahu
‘alaihi wa sallam
sedang I’tikaf di
masjid. Lalu beliau
mendengar
orang
orang membaca Al-Qur`an
dengan suara yang
keras. Lalu beliau
menyikap
tabir dan mengatakan,
“Ketahuilah, sesungguhnya masing-masing
63 Al-Adzkar halaman 162.
kalian itu sedang bermunajat kepada
Rabb-nya, maka janganlah kalian sebagian
diantara
kalian mengganggu sebagian
lainnya, dan janganlah
sebagian dari
kalian
mengeraskan bacaannya hingga
mengganggu bacaan sebagian
yang lain
“.Atau dengan tambahan beliau bersabda
:”Ketika sedang shalat.”64
Catatan
penting : Tidak
boleh bagi seorang
perempuan membaca Al-Qur`an
dengan
jahar, sementara ada
laki-laki lain (bukan
muhrim) didekatnya. Karena
dikhawatirkan akan mendatangkan fitnah
kepada wanita tersebut. Syariat Islam
telah
mengutamakan sadd adz-dzaraa’I
– yakni menutup
segala wacana – yang
akan mengantarkan kepada suatu yang
haram.65
Faedah:
Seahrusnyalah seseorang mengucapkan
dan melnatunkan bacaan
Al-Qur`an agar memperoleh
pahala. Adapun sebagian
kecil kaum muslimin
yang
membaca
Al-Qur`an tanpa menggerakkan
kedua bibirnya (yakni
membaca
dalam hati. pent) tidak akan mendapatkan
keutamaan membaca Al-Qur`an.
Asy-Syaikh
Ibnu Baaz rahimahullah
dalam salah satu
fatwa beliau,
mengatakan:
“Tidak mengapa seseorang
memandang Al-Qur`an tanpa
membacanya
dengan tujuan tadabbur,
menelaah dan memahami
maknanya.
Akan
tetapi dia tidak
tergolong sedang membaca
Al-Qur`an dan tidak
mendapatkan
pahala keutamaan membaca
Al-Qur`an kecuali apabila
dia
melafazhkan bacaan Al-Qur`an walau dia
tidak memperdengarkan orang-orang
yang berada disekitarnya. Berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Bacalah oleh kalian Al-Qur`an, sesugguhnya
dia akan datang pada hari kiamat
sebagai
syafa’at bagi para
pembacanya.” Diriwayatkan oleh
Imam Muslim .
Yang
dimaksud oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “
para pembacanya “,
adalah mereka mengamalkannya sebagaimana
yang terdapat pada dalam hadits
lain,
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Barang siapa membaca
satu
huruf
dari Al-Qur`an maka
baginya satu kebaikan.
Dan satu kebaikan
sama
dengan sepuluh kebaikan.” Diriwayatkan oleh
Tirmidzi, dan Ad-Darimi dengan
64 HR. Abu Dawud no.1332, Al-Albani
mengatakan :”Hadits ini shahih.”
65 Fatwa Al-Lajnah ad-Daa`imah no.5413.
(4/127)
sanad
shahih. Seseorang itu
tidak termasuk membaca
Al-Qur`an jika tanpa
melafazhkannya. Sebagaimana hal ini
dinyatakan oleh ulama. Wallahu waliyyut-taufik.66
17. Batasan yang disukai dalam
mengkhatamkan Al-Qur`an.
Kebiasaan
ulama salaf telah
berbeda didalam memberi
batasan
penghitungan waktu
mengkhatamkan Al-Qur`an. Diantara
mereka ada yang
menghatamkan Al-Qur`an
selama dua bulan,
sebulan, sepuluh malam,
seminngu, dan inilah yang paling banyak
dilakukan. Imam Nawawi mengatakan
dalam
Al-Adzkar67, “Dan diantara
mereka ada yang
menghatamkan Al-Qur`an
kurang
dari tiga hari.
Dan diantara mereka
juga ada yang
menghatamkan Al-Qur`an pada
setiap malam jum’at.
Dalam hal ini
telah ada kisah
yang sangat
masyhur
dari Abdullah bin
Amr radhiallahu ‘anhuma,
beliau berkata:”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda
kepadaku, “Bacalah Al-Qur`an itu pada satu bulan.” Aku berkata
:”Sesungguhnyaa saya mampu kurang
dari itu (sebulan).” sehingga beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda:”Maka
bacalah Al-Qur`an itu dalam satu minggu,
dan janganlah kurang dari seminggu
itu.”68
Maka
sebagian dari mereka
menjadikan satu minggu
itu sebagai batasan
yang paling minimal untuk menghatamkan
Al-Qur`an. Dan sebagian dari (para
ulama) menjadikan tiga hari sebagai batasan
tercepat dalam menghatamkan Al-Qur`an
berdasarkan hadits yang
telah diriwayatkan oleh
Abu Daud dan
selainnya
dari Abdullah bin
Amr radhiallahu ‘anhuma
, bahwasannya beliau
berkata
: ”Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam
berkata kepadaku :”Bacalah
Al-Qur`an
itu pada satu
bulan”. Kemudian Abdullah
bin Amr berkata
66 Majalah Al Buhuts Al-Islamiyah no.51.
Tahun 1418H hal.140.
67 Lihat pada kitab Al-Adzkar hal. 153.
68 HR. Al-Bukhari no.5054
:”Sesungguhnya aku
bisa lebih kuat
dari itu.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :”Bacalah olehmu pada tiga
hari.”69
Diriwayatkan dari
Imam Ahmad bahwasanya
mengkhatam Al-Qur`an
tidak
mempunyai batasan tertentu,
akan tetapi disesuaikan
dengan kerajinan
dan kekuatan. Dikarenakan telah diriwatkan
dari Utsman bin Affan radhiallahu
‘anhu.
Bahwa beliau menghatamkan
Al-Qur`an hanya dalam
semalam. Dan
telah diriwayatkan juga hal itu dari
beberapa ulama salaf. Ibnu Muflih70 berkata
:”Pendapat
yang terpilih menurut
kami – Mazhab
Hanabilah – sebagaimana
pendapat
yang terpilih oleh
An-Nawawi : Bahwa
batasan mengkhatam Al-Qur`an
berbeda menuruti orang
yang membacanya. Maka
barangsiapa yang
memiliki
bakat kemampuan untuk
menganalisa detail hakikat
dnakandungan
makna,
hendaknya dia membatasinya
sesuai dengan ukuran
pencapaian
pemahaman
atas apa yang
dibacanya. Begitu juga
dengan orang yang
sibuk
menyebarkan
ilmu, atau menyelesaiakan pertikaian
ditengah-tengah kaum
muslimin
atau kesibukan-kesibukan lainnya
yang berkenaan dengan
urusan
agama
dan kemaslahatan umum
kaum muslimin. Seharusnya
dia membatasi
sesuai
dengan ukuran yang
mana tidak menyebabkan
pengabaian tujuan
sebenarnya
yang hendak dia
capai dan tidak
juga meninggalkan
kesempurnaannya. Adapun
selain dari mereka
yang disebutkan diatas,maka
hendaknya
dia memperbanyak bacaan
yang memungkinkan baginya
tanpa
menyebabkan kebosanan atau membacanya dengan terburu-buru.71
Peringatan
: Tidak satupun
riwayat tentang adanya
do’a khusus yang
dipakai
ketika
menghatamkan Al-Qur`an. Adapun
do’a-do’a yang tersebar
dikalangan
manusia saat ini, maka hal itu tidak
mempunyai dalil atas pensyariatannya, dan
tidak ada pula ada nash secara marfu’
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam
yang dapat dijadikan argumen bagi orang senantiasa berdo’a dengan doa
69 HR. Abu Dawud no.1391. Al-Albani berkata
: Hadits ini hasan shahih.”
70 Al-Adab Asy- Syar’Iyah (2/282)
71 Al-Adzkar hal.154
tertentu ketika mengkhatamkan Al-Qur`an
Al-‘Adzhim. Dan do’a yang masyhur
yang telah tersebar dikalangan manusia saat
ini adalah doa mengkhatamkan Al-Qur`an yang disandarkan kepada Syaikh Al-Islam
Ibnu Taymiyah rahimahullah
yang
sama sekali tidak
benar penyandaranya kepada
beliau. Sedangkan Syaikh
Abdurrahman
bin Qasim rahimahullah
mewasiatkan agar tidak
memasukkan
do’a
ini kedalam fatwa
beliau, kaena keraguan
beliau terhadap penisbatan
doa
ini kepada Syaikh Al-Islam Ibnu
Taimiyah.72
Masih
dalam penjelasan kami
berkaitan dengan doa
khatam Al-Qur`an ,
kami
akan tambahkan sebuah
faedah yaitu kesimpulan
yang telah dicapai
oleh
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullah
dalam risalah beliau yang diberi nama
(
Marwiyatu Du’aa’I Khatamil
Qur’ani ). Beliau
berkata: “Kesimpulannya: Bahwa
sesungguhnya hasih
yang sarat dengan
hikmah pada dua
tempat dan terbagi
pada dua perkara:
1.
Sesungguhnya berdo’a bagi
orang yang menghatamkan
Al-Qur`an itu
diluar
shalat, dan pengucapan
do’a ketika itu,
amalan yang didapati
sejumlah
atsar dari perbuatan
As-Salaf Ash-Shaleh pada
generasi awal
umat
ini. Sebagaimana yang
telah dikemukakan didepan
dari amalan
Anas
radhiallahu ‘anhu serta
diikuti oleh beberapa
tabi’in, salah satu
riwayat
dari Imam Ahmad,
Harb, Abul Harits
dan Yusuf bin
Musa
rahimahumulahu ajma’in.
Dikarenakan do’a khatam
Al-Qur`an itu
termasuk
bagian dari do’a
yang disyariatkan. Telah
pula dikemukakan
pendapat
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah
tentang perkara ini:
“ Tempat
ini
adalah tempat pengucapan
doa yang paling
tepat dan tempat
dikabulkannya”.
2.
Bahwa do’a khatam
Al-Qur`an itu ketika
dalam shalat, baik
ketika
bersama
imam maupun ketika
shalat sendirian yang dilakukan
sebelum
ruku’
atau setelahnya. Dalam
shalat tarawih atau
selainnya. Akan tetapi
tidak
diketahui satupun hadits
yang musnad tentang
perkara ini dari
72 Lihat Al-Ajzaa`u Al-Haditsiyah oleh
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid hafidzahullah hal.239
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam begitu pula
dari para sahabat
beliau
radhiallahu ‘anhu .73
18.
Disunnahkan untuk menghentikan
membaca Al-Qur`an ketika
diserang
rasa kantuk.
Dalil
permasalahan ini adalah
sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam
dari
hadits Abi Hurairah
radhiallahu ‘anhu: “Apabila
seseorang dari kalian
bangun pada malam hari maka Ista’jamal
Qur’an (lisannya tidak akan fasih ketika
membaca
ayat Al-Qur`an) dan
ucapannyapun tidak akan
baik serta pikirannya
masih lemah”.74
Makna
dari ista’jamal Qur’an
adalah kelu lidahnya
sehingga tidak akan
keluar dari lidahnya itu ungkapan yang
baik/fasih. An-Nawawi berkata tentang
ini, “ Sebab perintah untuk menghentikan
bacaan Al-Qur`an ketika diserang rasa
kantuk
ini telah dijelaskan
oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam
pada hadits
Aisyah
Ummul Mukminin radiallahu
‘anha dimana beliau
bersabda: “Apabila
seseorang
dari kalian mengantuk
ketika shalat, hendaklah
ia pergi untuk
tidur,
dan jika salah seorang dari kalian
mengantuk sedangkan dia sedang shalat, bisa
jadi
dia berkehendak untuk
beristighfar (memohon ampun
kepada Allah)
namun malah memaki dirinya”.75
Dan
ini adalah merupakan
pengarahan yang sangat
lembut dari Nabi
Shallallahu
‘alaihi wa sallam,
karena seseorang jika
ia dalam keadaan
mengantuk,
biasanya perkataannya akan
tidak beraturan. Sehingga
seseorang
yang
membaca Al-Qur`an atau
sedang shalat diperintahkan
untuk menahan
shalat
dan bacaanya, agar
supaya dia tidak
mendoakan keburukan kepada
dirinya
sedangkan dia tidak
menyadarinya. Dan agar
Al-Qur`an terjaga dari
perkataan yang keliru dan ucapan yang
asing.
73 Al-Ajzaau Al-Haditsiah (Marwiyatu
Du’aa’I Khatam Al-Qur’an) hal.290
74 HR. Muslim no.787
75 HR.Muslim no.786
Faedah : Sepatutnya bagi orang yang membaca
Al-Qur`an untuk berhenti ketika
dia sudah mulai menguap mengantuk. Karena
apabila dia meneruskan bacaanya
dikhawatirkan akan
keluar kata-kata atau
suara yang mengganggu
dan
menggelikan. Untuk
itu hendaklah ia
menjaga dan mensucikan
Al-Qur`an dari
hal itu.
19.
Disunahkan untuk menyambung
bacaan Al-Qur`an dan
tidak sepotong-sepotong.
Ini
adalah adab yang
disunahkan bagi orang
yang membaca Al-Qur`an
untuk
mengamalkan adab ini.
Disaat dia telah
memulai membaca Al-Qur`an
agar tidak memotongnya kecuali pada
perkara-perkara yang mendesak, sebagai
bentuk
adab kepada Kalamullah,
untuk tidak memotong
bacaan Al-Qur`an
karena
perkara duniawiyah. Oleh
karena itu dilarang
memotong bacaan Al-Qur`an
hanya karena urusan
dunia. Sungguh merupakan
perkara yang
mengherankan dari
sebagian orang yang
menunggu shalat di
Masjid dengan
membaca
Al-Qur`an, akan tetapi
dengan mudah mereka
memotong/menghentikan bacaan
mereka berulang kali,
hanya karena urusan
duniawiyah.
Sungguh syaithan tidak
pernah menginginkan kebaikan
kepada
kaum Muslimin selama-lamanya.
Dan
saya akan menyertakan
pemaparan kami diatas
dengan atsar yang
diriwayatkan oleh
tabi’in yang mulia
yaitu Nafi’, beliau
berkata: “Apabila Ibnu
Umar
radhiallahu ‘anhuma sedang
membaca Al-Qur`an, maka
ia tidak akan
berbicara
sampai ia menyelesaikan
bacaannya. Dan beliau
membaca surah Al-Baqarah
pada suatu hari
hingga berhenti pada
satu tempat dan
berkata,
“Tahukah
kamu kepada siapa
ayat ini diturunkan?”.
Aku berkata, “Tidak”.
Kemudian beliau menjelaskan, “Ini
diturunkan pada ini dan ini kemudian beliau
meneruskan bacaanya”.76 Itulah kebiasaan Ibnu Umar ra beliau tidak
memotong
76 HR.Al-Bukhari no.4526
bacaan
Al-Qur`annya kecuali dengan
tujuan dan bermaksud
untuk
menyampaikan ilmu, dimana hal itu merupakan
sebuah ibadah pula.
20.
Disunnahkan untuk mengucapkan
tasbih (subhanallah) ketika
membaca
ayat-ayat
tasbih, atau berta’awwuz
(A’udzubillahi minas syaithanir
rajiim)
ketika
membaca ayat-ayat tentang
azab dan memanjatkan
doa ketika
membaca ayat-ayat rahmat.
Dijelaskan
didalam hadits Hudzaifah
disaat beliau mengerjakan
shalat
bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Hudzaifah
berkata: “ … -
setelah
beliau memulai shalat
dengan takbir dan
membaca iftitah kemudian
membaca
al-fatihah -, lalu
beliau membaca surah
Ali Imran dan
membacanya
dengan tartil. Ketika beliau membaca
ayat-ayat tasbih maka beliaupun bertasbih,
jika
membaca ayat-ayat do’a
maka beliaupun berdo’a
dan jika beliau
membaca
ayat-ayat ta’awwudz beliaupun berta’awwudz
… al-hadits”.77
An-Nawawi
berkata: “ Bacaan-bacaan
tersebut merupakan sunnah
yang
dianjurkan
bagi orang yang
membaca Al-Qur`an baik
dalam shalat maupun
diluar shalat.78
21. Disunnahkan untuk sujud ketika membaca
ayat-ayat as-sajadah.
Dalam
Al-Qur`an al-Karim terdapat
sekitar lima belas
ayat-ayat as-sajadah, disunnahkan
bagi seseorang yang
membaca Al-Qur`an, apabila dia
melewati
ayat-ayat as-sajadah untuk
sujud dan berdzikir
sebagaimana yang
telah
ditunjukkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang hal
itu. Dan
hendaklah dia membaca, “Ya Allah buanglah
dariku dosa-dosa, dan tetapkanlah
untukku
pahala dan jadikalah
pahala itu sebagai
tabungan disisi-Mu”. At-
77 HR. Muslim no. 727
78 Syarah Muslim Jilid 2 (2/52)
Tirmidzi
menambahkan , “Dan
terimalah sujudku ini
disisi-Mu sebagaimana
Kau menerimanya dari Daud
disisi-Mu”.79
Atau hendaklah ia mengucapkan: “ Yaa Allah,
telah sujud wajahku kepada yang
menciptakannya dan
yang menempatkan pendengaran
dan penglihatannya
dengan segala daya dan kekuatannya “
Atau
mengucapkan: “Ya Allah
hanya kepada-Mu aku
bersujud dan hanya
kepada-Mu
aku beriman serta
hanya kepada-Mu aku
memohon keselamatan,
serta
sujud kepada Allah
yang telah menciptakan
bentuknya, memberikan
pendengran serta penglihatan, Tabarakallahu
ahsanul Khaaliqin”.80
Akan tetapi hal ini bukan merupakan perkara
yang wajib, namun sekedar
sunnah
saja. Jadi apabila
dilakukan maka akan
mendapat pahala dan
tidak
mengapa
jika meninggalkannya. Tetapi
tidak sepantasnya bagi
orang yang
beriman
untuk meninggalkan dan
lalai amalan-amalan ini.
Adapun dalil yang
menunjukan
bahwa hal itu
hanyalah sunnah saja
tidak sampai kederajat
wajib
adalah
bacaan Zaid bin
Tsabit radhiallahu ‘anhu
dihadapan Rasulullah
Shallallahu
‘alaihi wa sallam
dan beliau tidak
sujud ketika membaca
ayat-ayat
as-sajadah.
Diriwayatkan dari ‘Atha’
bin Yasar dari
Zaid bin Tsabit
ia berkata:
“Saya membacakan surat An-Najm dihadapan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan aku tidak sujud ketika melalui
ayat-ayat sajadah”.81
Dan
begitu pula yang
dilakukan oleh Umar
bin Khaththab radhiallahu
‘anhu
ketika beliau sedang
berkhuthbah diatas mimbar
pada hari Jum’at
dan
beliau
membaca surat an-Nahl
kemudian beliau sujud
ketika membaca ayat
sajadah.
Pda jum’at berikutnya,
dan ketika beliau
membaca An-Nahl, dan
sewaktu
berada pada ayat
as-sajadah, beliau berkata:
“Wahai sekalian manusia
sesungguhnya kita telah melewati ayat-ayat sajadah ketika membaca
Al-Qur`an,
79 HR. At-Tirmidzi no. 3424, Ibnu Majah no.
1053 dan lafazh ini adalah lafazh riwayat beliau, Al-Albany
berkata hadits ini hasan pada no.872/1062.
80 HR. Abu Daud no.1414 dan lafazh ini
milik beliau dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albany no.1255,
dan diriwayatkan juga oleh Ahmad no.23502,
An-Nasaa`i no.1129, dan At-Tirmidzi no.3425.
81 HR. Al-Bukhari no.1037 dan Muslim
no.577, Ahmad no.21081, At-Tirmidzi no.576 dan An-Nasaa`i no.960
Abu Daud no.1404.
, barang siapa yang melakukan sujud tilawah
maka akan mendapat pahala dan
bagi yang tidak melakukanya tidak ada dosa
baginya”.
Dan
Nafi’ dari Ibnu
Umar radhiallahu ‘anhu
menambahkan,
“Sesungguhnya Allah
tidak mewajibkan kepada
kita untuk sujud
at-tilawah
ketika kita membaca ayat-ayat sajadah
kecuali jika kita menginginkannya”.82
Masalah:
Apakah sujud at-tilawah
ketika membaca Al-Qur`an
itu diharuskan
padanya
syarat-syarat sebagaimana sujud
ketika shalat yang
diawali dengan
takbir
dan diakhiri dengan
salam serta harus
dengan bersuci dan
menghadap
kiblat dan selainya?
Jawab : Sujud tilawah ketika membaca
Al-Qur`an tidak ada diharuskan adanya
suatu
permulaan dan penutup.
Ini adalah Sunnah
yang telah makruf
dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan
diamalkan oleh seluruh ulama As-Salaf. Dan
telah
menjadi pernyataan resmi
pada imam yang
populer. Dengan demikian
amalan
ini bukanlah sebuah
shalat, sehingga tidaklah
disyaratkan pada amalan
ini
syarat-syarat shalat. Bahkan
diperbolehkan dikerjakan walau
tanpa
thaharah/bersuci, sebagaimana halnya Ibnu
Umar yang melakukan sujud tanpa
mesti
bersuci, akan tetapi
dengan melakukan syarat-syarat
shalat jauh lebih
utama.
Dan sepatutnya hal
itu tidak terabaikan
kecuali karena adanya
udzur.
Inilah pendapat yang dikatakan oleh Ibnu
Taimiyah.83
Faedah
Pertama : Disunnahkan
untuk sujud tilawah
bagi orang yang
mendengarkan bacaan
Al-Qur`an dengan baik
dan tidak bagi
orang yang
mendengarnya sambil
lewat. Karena ada
perbedaan antara keduanya.
Bahwa
orang yang mendengarkan Al-Qur`an dengan
seksama adalah orang yang diam
pada
sesuatu untuk mendengarkannya, sedangkan
yang satunya adalah
seseorang
yang mendengar bacaan
sambil berlalu. Walaupun
diantara kedua
orang ini sama-sama mendengarkan bacaan
Al-Qur`an. Akan tetapi yang kedua
ini
yakni orang yang
medengar sambil berlalu
hanya melewati tempat
dimana
82 HR. Al-Bukhari no.1077
83 Al-Fatawa no 23/165
ada orang yang sedang membaca Al-Qur`an
atau yang lainnya. Kemudian orang
yang membaca Al-Qur`an itu sujud sewaktu
membaca ayat as-sajadah, dan pada
keadaan
ini, disunnahkan seseorang
yang menyimak bacaan
Al-Qur`an untuk
turut sujud namun tidak bagi yang
mendengarnya sambil lalu..
Dikarenakan
orang yang mendengarkan
dengan seksama dihukumi
seperti
membaca Al-Qur`an sedangkan orang yang
berlalu tidak. Hal ini lebih jelas lagi
dalam firman Allah ta’ala kepada Musa dan
Harun alaihimassalam
“
Dan doa kalian berdua telah dikabulkan maka berlaku luruslah “ (Yunus : 89)
Sedangkan
yang berdoa hanyalah
Musa, hanya saja
ketika Harun
mengaminkan
doa Musa, maka
beliaupun menempati hukum
seorang yang
berdoa dan tercakup dalam ayat diatas.84
Faedah:
Tidak sepantasnya hanya
mencukupkan dengan dzikir
yang
disunnahkan
dibaca pada sujud
tilawah, bahkan diwajibkan
utnuk membaca
dzikir sebagaimana bacaan sujud dalam
sahalat. (Subhana Rabbi A’la) Dan inilah
yang
utama. Kemudian bagi
orang yang sujud
hendaklah dia membaca
dzikir
sesuai
yang dikehendakinya. Bahkan
sebagian ulama mengkategorikan
pembatasan itu termasuk perkara
al-muhdats ( bid’ah ).85
22. Makruh mencium mushaf dan
menempelkannya di antara dua mata.
Sungguh
orang yang tidak
memiliki pengetahuan akan
mengatakan,
“Mengapa
dibenci mencium mushaf
dan menempelkannya diantara
dua mata,
padahal hal itu dalam rangka mengagungkan
dan mensucikan Kalamullah?”
Maka
kita jawab :
Bahwasannya mencium mushaf
dan meletakkannya di
anta
dua mata atau
dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah.
Sedangkan
cara
mendekatkan diri kepada
Allah terhenti pada
shahihnya suatu dalil
yang
tidak
ada dalil lain
yang bertentangan dengannya.
Dan kami menolak
amalan
mencium
mushhaf sebagai bentuk
pengagungan kepada Allah
dan Kalamullah
84 Lihat Asy-Syarah Al-Mumti’ Oleh
Asy-Syaikh Utsaimin 4/131-133.
85 Lihat Tashhih Ad-Du’a oleh Asy-Syaikh
Bakr Abu Zaid, hal.293 certakan Daar Al-‘Ashimah, Maktabah Al-‘Arabiyah
As-Su’udiyah. Cetakan pertama tahun 1419H.
dan
juga sebagai manifestasi
pengagungan kami terhadap
Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah
kita ketahui dari periwayatan yang tidak
diragukan
lagi bahwa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: ”Barang
siapa
yang membuat perkara
baru dalam agama
yang tidak ada
contohnya,
maka
dia tertolak.” Maksudnya
perbuatan tersebut dikembalikan
kepada
pelakunya.
Dari
Imam Ahmad ketika
ditanya sejumlah riwayat
yang menerangkan
masalah
ini, beliau mendiamkannya
Al Qadhi berkata
didalam kitab Jami’
Al-Kabir mengenai riwayat ini: Bahwa
sesunguhnya diamnya Imam Ahmad
terhadap masalah itu, walau terkandung
pengkultusan dan pemuliaan, karna
semua
cara mendekatkan diri
kepada Allah tidak
diperbolehkan branalogi
didalamnya dan
tidak disenangi perbuatan
tersebut walaupun terkandung
pengagungan
kecuali dengan mberhenti
pada dalil. Tdakkah
anda
memperhatikan bahwa
Umar ketika melihat
Hajar Aswad beliau
berkata :
Tidaklah
engkau mendatangkan mudharat
dan tidak juga
manfaat,
seandainya
bukan karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah
menciummu
niscaya saya tidak
akan menciummu. Demikian
pula yang
dilakukan Muawiyah ketika thawaf, beliau
mencium semua rukunya. Hal ini
lalu
diingkari oleh Ibnu
Abbas, beliau berkata:
”Tidak ada sesuatupun
pada
rumah
ini yang harus
dihormati.” Beliau mengatakan
:”Sesungguhnya ini –
kembali
kepada - Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Maka
beliau
mengingkari tambahan atas perbuatan yang
telah dilakukan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam”.86
Ketika
Ibnu Musayyab melihat
sesorang memanjangkan ruku`nya
dan
sujud
setelah shalat fajar,
maka beliau melarangnya,
lalu orang tersebut
mengatakan
:”Wahai Abu Muhammad, apakah
Allah akan mengadzabku
86 Al-Adab Asy-Syar’iyah oleh Ibnu Muflih.
karena
mengerjakan shalat?” Dia
menjawab :”Tidak, akan
tetapi adzab itu
karena menyelisihi sunnah.” 87
Al-Lajnah Ad-Daimah berfatwa : “Kami tidak
mengetahui adanya dalil yang
mensyariatkan utnuk
mencium Al-Quran, adapun
Al-Quran itu diturunkan
untuk dibaca, dipelajari, dan beramal
dengannya.”88
23. Makruh menaggantungkan ayat-ayat di
dinding dan selainnya.
Telah tersebar dibanyak rumah-rumah
sebagian orang menggantung atau
menggambar
surat-surat atau ayat-ayat
Al-Quran, baik di
dinding maupun
di
ruangan serta di
lorong-lorong rumah. Diantara
mereka ada yang
menggantungnya dalam
rangka mencari berkah,
dan ada yang
hanya
sekedar
menjadikannya sebagi hiasan.
Dan sebagian mereka
memperindah
tempat
perdagangan mereka dengan
ayat-ayat yang bersesuaian
dengan
perdagangan. Diantara mereka juga ada yang
menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an
itu pada kendaraan
mereka baik dalam
rangka untuk digunakan
sebagai
penangkal ataupun dalam
rangka mencari berkah
dan sebagian
mereka
juga menggantungkan ayat-ayat
Al-Qur`an pada kendaraannya
dalam rangka untuk mengingat dan
menghafal.
Al-Lajnah
Ad-Daa`imah telah menyatakan
sebuah fatwa yang
sangat
panjang
tentang perkara ini,
intinya mereka menyatakan
terlarang untuk
menggantungkan ayat-ayat
Al-Qur`an pada dinding
atau tembok atau
pada
tempat-tempat perdagangan
dan lain-lainnya. Kesimpulan
yang dapat
diambil dari fatwa yang panjang itu adalah
sebagi berikut :
1.
Bahwasannya menggantungkan ayat-ayat
Al-Qur`an pada dinding
atau
selainnya
merupakan bentuk penyimpangan
dari fungsi diturunkannya
Al-Qur`an
sebagai petunjuk, nasihat
yang baik, serta
menjaga dengan
membacanya.
87 At-Tamhid oleh Ibnu Abdil Barr. (20/104)
Cetakan Daar Ath-Thayyibah.
88 Al-Fatawa no. 8852 juz 3 hal 122.
2.
Bahwasannya hal itu
merupakan penyelisihan terhadap
Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah
Khulafa Ar-Rasyidin.
3.
Dan larangan ini
dalam rangka mencegah
pelakunya dari perbuatan
syirik dan menjadikan sebagai wasilah
kesyirikan berupa penangkal dan
jimat walaupun hal itu diambil dari al
Quran.
4.
Bahwasannya al Quran
diturunkan untuk dibaca
dan bukan untuk
di
ambil sebagai pencari keuntungan dalam
perdagangan.
5.
Sesungguhnya dalam perbuatan
ini akan menempatkan
ayat-ayat Allah
sebagai
penguji dan merusaknya
disaat memindahkanny dari
satu
tempat ketempat lainnya dan lain
sebagainya..
Kemudian Al-Lajnah Ad-Daa`imah berfatwa
:”Secara umum, hendaklah kita
menutup pintu-pintu keburukan dan mengikuti
para Imam yang telah diberi
petunjuk dari generasi pertama yang mana
mereka menyaksikan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
kebaikan dan menyelamatkan aqidah kaum
muslimin, dan menyelamatkan seluruh hukum
agama mereka dari perbuatan
bid’ah yang tidak diketahui akhir
keburukanya .89
89 Al-Fatawa no.2078 (4/30-33). Dan kami
menasehatkan untuk amembaca fatwa ini karena didalamnya
terdapat banyak faedah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar