Dari: Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur
BAB 16
Kapan Dibolehkan Atau Diwajibkannya Menerangkan Keadaan Seseorang
146. Hamdun Al Qashshar ditanya : “Kapankah waktu membicarakan seseorang?”
Ia menjawab : “Jika telah pasti baginya untuk menunaikan kewajiban Allah ini berdasarkan ilmunya atau ia khawatir orang banyak celaka karena bid’ah itu dan ia berharap agar Allah menyelamatkannya.” (Al I’tisham 1/127)
147. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
[ Jika nasihat itu adalah kewajiban bagi kemaslahatan agama secara khusus maupun umum seperti penukilan hadits yang mereka bersalah atau berdusta sebagaimana kata Yahya bin Sa’id :
Kapan Dibolehkan Atau Diwajibkannya Menerangkan Keadaan Seseorang
146. Hamdun Al Qashshar ditanya : “Kapankah waktu membicarakan seseorang?”
Ia menjawab : “Jika telah pasti baginya untuk menunaikan kewajiban Allah ini berdasarkan ilmunya atau ia khawatir orang banyak celaka karena bid’ah itu dan ia berharap agar Allah menyelamatkannya.” (Al I’tisham 1/127)
147. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
[ Jika nasihat itu adalah kewajiban bagi kemaslahatan agama secara khusus maupun umum seperti penukilan hadits yang mereka bersalah atau berdusta sebagaimana kata Yahya bin Sa’id :
Saya bertanya kepada Imam Malik dan Ats Tsauri dan Al Laits bin Sa’d --saya menduganya Al Auza’iy-- tentang seseorang yang tertuduh dalam periwayatan hadits atau tidak hafal. Mereka mengatakan :
“Terangkan keadaannya itu.”
Dan sebagian ada yang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Sesungguhnya berat bagiku mengatakan bahwa Fulan begitu, Fulan begini.”
Maka kata beliau : “Jika kamu dan saya diam dalam masalah ini maka kapan orang yang jahil itu tahu mana hadits yang shahih dan mana yang cacat?! Dan seperti imam-imam ahli bid’ah yang memiliki berbagai pendapat dan ibadah yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan manusia dari mereka adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin (Ahli Ilmu).”
Sampai dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Seseorang berpuasa, shalat, i’tikaf lebih Anda cintai ataukah jika ia menerangkan keadaan ahli bid’ah?”
Beliau berkata : “Jika ia puasa, shalat, dan i’tikaf maka itu untuk dirinya sendiri sedangkan apabila ia menerangkan keadaan ahli bid’ah maka ini adalah untuk kebaikan kaum Muslimin dan ini lebih utama maka menerangkan perkara ini agar berguna bagi kaum Muslimin dalam agama mereka termasuk salah satu jihad di jalan Allah sebab membersihkan jalan Allah dan agama, manhaj, dan syariat-Nya serta menghalau kejahatan ahli bid’ah dan permusuhan mereka adalah Fardlu Kifayah menurut kesepakatan kaum Muslimin. Dan apabila tidak ada orang yang Allah bangkitkan untuk menolak bahaya ahli bid’ah ini benar-benar akan hancurlah agama ini. Dan kerusakannya jauh lebih besar daripada kerusakan akibat penjajahan musuh dari kalangan orang-orang yang kafir yang mesti diperangi. Sebab mereka ini jika berkuasa belum tentu mampu merusak hati manusia yang dijajahnya kecuali pada kesempatan berikutnya sedangkan ahli bid’ah ini jika mereka berkuasa akan merusak hati lebih dahulu.” ] (Majmu’ Fatawa 28/231 dan 232)
(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed. Diambil dari www.assunnah.cjb.net.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar