Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Kamis, 17 November 2011

Keutamaan Menahan Marah



Di antara maksud dan tujuan disyariatkannya puasa adalah latihan menahan nafsu amarah (suka marah). Orang yang mampu menahan marah lebih baik dan lebih sempurna daripada orang yang suka marah (pemarah). Dan itulah yang disebut orang kuat.

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” 
(HR. Al Bukhari dan Muslim)


Dalam riwayat lain, disebutkan hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu Rasulullah bersabda:
“Siapa yang dikatakan paling kuat di antara kalian? Sahabat menjawab: yaitu di antara kami yang paling kuat gulatnya. Beliau bersabda: Bukan begitu, tetapi dia adalah yang paling kuat mengendalikan nafsunya ketika marah.” 
(HR. Muslim)

Al Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Anas Al Juba’i, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau.”
(HR. Ahmad dengan sanad hasan)

Al Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.” 
(Hadits shahih riwayat Ahmad)

Al Imam Abu Dawud rahimahullah mengeluarkan hadits secara makna dari sahabat Nabi, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang hamba menahan kemarahan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memenuhi baginya keamanan dan keimanan.”
(HR. Abu Dawud dengan sanad hasan)

Hadits-hadits ini menerangkan keutamaan menahan marah dari pada orang yang mudah marah/pemarah. Dari itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berwasiat kepada sahabat ketika datang pada beliau untuk meminta wasiat, beliau bersabda dengan diulang-ulang: “Jangan mudah marah..” Lengkap haditsnya adalah sebagai berikut:
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shalallahu alaihi wasallam: Berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda: Jangan menjadi seorang pemarah. Kemudian diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda: Janganlah menjadi orang pemarah”
(HR. Al Bukhari)

Al Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan hadits dari seseorang dari sahabat Nabi Shalallahu alaihi wasallam dia berkata: “ Aku berkata: Ya Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda: jangan menjadi pemarah. Maka berkata seseorang: maka aku pikirkan apa yang beliau sabdakan, ternyata pada sifat pemarah itu terkumpul seluruh kejelekan.” 
(HR. Imam Ahmad)

Berkata Ibnu Ja’far bin Muhammad rahimahullah: “Marah itu pintu seluruh kejelekan.”

Al Imam Ahmad menafsirkan hadits ini dengan mengatakan: akhlak yang mulia itu dengan meninggalkan sifat pemarah.

Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan maksud hadits ini dengan mengatakan: sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam: “Jangan menjadi pemarah.” Ini mengandung dua kemungkinan maksud:

1. Hadits ini mengandung perintah melakukan sebab-sebab yang menjadikan akhlak yang mulia seperti bersikap lembut, pemalu, tidak suka mengganggu, pemaaf, tidak mudah marah.

2. Hadits ini mengandung larangan melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan, mengandung perintah agar sekuat tenaga menahan marah ketika timbul/berhadapan dengan penyebabnya sehingga dengan demikian dia akan terhindar dari efek negatif sifat pemarah.

Sehingga Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mangajarkan cara-cara menghilangkan kemarahan dan cara menghindari efek negatifnya, di antaranya adalah:

1. Membaca ta’awudz ketika marah.
Al Imam Al Al Bukhari dan Al Imam Muslim rahimakumullah meriwayatkan hadits dari Sulaiman bin Surod radhiyallahu ‘anhu:
“Ada dua orang saling mencela di sisi Nabi Shalallahu alaihi wasallam dan kami sedang duduk di samping Nabi Shalallahu alaihi wasallam . Salah satu dari keduanya mencela lawannya dengan penuh kemarahan sampai memerah wajahnya. Maka Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya aku akan ajarkan suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilang apa yang ada padanya. Yaitu sekiranya dia mengucapkan: ‘Audzubillahi minasy Syaithani rrajiim. Maka mereka berkata kepada yang marah tadi: Tidakkah kalian dengar apa yang disabdakan nabi? Dia menjawab: Aku ini bukan orang gila.”

2. Dengan duduk
Apabila dengan ta’awudz kemarahan belum hilang maka disyariatkan dengan duduk, tidak boleh berdiri.
Al Imam Ahmad dan Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian marah dalam keadaan berdiri duduklah, jika belum hilang maka berbaringlah.”
Hal ini karena marah dalam berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk dan berdiri.

3. Tidak bicara
Diam tidak berbicara ketika marah merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan kemarahan, karena banyak berbicara dalam keadaan marah tidak bisa terkontrol sehingga terjatuh pada pembicaraan yang tercela dan membahayakan dirinya dan orang lain.
Dalam hadits disebutkan:“Apabila di antara kalian marah maka diamlah.” Beliau ucapkan tiga kali. (HR. Ahmad)

4. Berwudhu
Sesungguhnya marah itu dari setan. Dan setan itu diciptakan dari api maka api itu bisa diredam dengan air, demikian juga sifat marah bias diredam dengan berwudhu.
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
”Sesungguhnya marah itu dari syaithan dan syaithan itu dicipta dari api, dan api itu diredam dengan air maka apabila di antara kalian marah berwudhulah.” (HR. Ahmad dan yang lainnya dengan sanad hasan)
Adapun pemicu kemarahan ada empat, barangsiapa yang mampu mengendalikan maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dijaga dari syetan dan diselamatkan dari neraka.

Berkata Al Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah:
“Empat hal, barangsiapa yang mampu mengedalikannya maka Allah akan menjaga dari syetan dan diharomkan dari neraka: yaitu seseorang mampu menguasai nafsunya ketika berkeinginan, cemas, syahwat dan marah.”

Empat hal ini yaitu keinginan, cemas, syahwat dan marah merupakan pemicu seluruh kejelekan dan kejahatan bagi orang yang tidak mampu mengendalikan nafsunya.

1. Keinginan, adalah kecondongan nafsu pada sesuatu yang diyakini mendatangkan manfaat pada dirinya, seringnya orang yang tidak mampu menguasai nafsu akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan keinginannya itu dengan segala cara walaupun harus dengan cara harom, dan terkadang yang diinginkan juga berupa sesuatu yang haram.

2. Cemas, adalah rasa takut dari sesuatu. Orang yang cemas akan berupaya untuk menolaknya dengan segala cara walaupun harus dengan cara harom seperti meminta perlindungan kepada selain Allah.

3. Syahwat, adalah kecondongan nafsu pada sesuatu yang diyakini dapat memuaskan nafsunya. Seringnya orang yang kalah dengan nafsunya memuaskan nafsu syahwatnya itu pada sesuatu yang haram seperti zina, mencuri, minum khamer bahkan pada sesuatu yang menyebabkan kekufuran, kebid’ahan dan kemunafikan.

4. Marah, adalah gelagaknya darah hati untuk menolak gangguan sebelum terjadi atau untuk membalas gangguan yang sudah terjadi. Kemarahan seringnya dilakukan dalam bentuk perbuatan yang diharamkan seperti pembunuhan, pemukulan dan berbagai kejahatan yang melampaui batas. Terkadang dalam bentuk perkataan yang diharamkan seperti tuduhan palsu, mencela dan perkataan keji lainnya dan terkadang meningkat sampai pada perkataan kufur.
Tetapi tidak semua kemarahan itu tercela, ada yang terpuji, bahkan sampai pada tingkatan harus marah yaitu ketika kita melihat agama Allah direndahkan dan dihinakan, maka kita harus marah karena Allah terhadap pelakunya. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang dibenci Allah maka Beliau tidak diam. Beliau marah dan berbicara.
Ketika Nabi Shalallahu alaihi wasallam melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini.” (HR. Al Bukhari Muslim)

Nabi Shalallahu alaihi wasallam juga marah terhadap seorang sahabat yang menjadi imam shalat dan terlalu panjang bacaannya dan beliau memerintahkan untuk meringankannya. Tetapi Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tidak pernah marah karena pribadinya.

Al Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Anas radhiyallahu anhu:
“Anas membantu rumah tangga Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam selama sepuluh tahun, maka tidak pernah beliau berkata kepada Anas: “Ah”, sama sekali. Beliau tidak berkata terhadap apa yang dikerjakan Anas: “Mengapa kamu berbuat ini?!” Dan terhadap apa yang tidak dikerjakan Anas,”Tidakkah kamu berbuat begini.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Begitulah keadaan beliau senantiasa berada di atas kebenaran baik ketika marah maupun ketika dalam keadaan ridha/tidak marah. Dan demikianlah semestinya setiap kita selalu di atas kebenaran ketika ridha dan ketika marah.

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda: artinya:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu berbicara yang benar ketika marah dan ridha.” (Hadits shahih riwayat Nasa’i)

Al Imam Ath Thabari rahimahullah meriwayatkan hadits Anas:
“Tiga hal termasuk akhlak keimanan yaitu: Orang yang jika marah kemarahannya tidak memasukkan ke dalam perkara batil, jika senang maka kesenangannya tidak mengeluarkan dari kebenaran dan jika dia mampu dia tidak melakukan yang tidak semestinya.”

Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melampaui batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu dan syahwatnya menyeret kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran.

Kesempatan baik ini untuk melatih diri kita menuju sifat kesempurnaan dengan menghilangkan sifat pemarah dan berupaya menjadi orang yang tidak mudah marah.

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Bukanlah puasa itu sekedar menahan makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu (adalah puasa) dari perbuatan keji dan sia-sia. Apabila ada orang yang mencelamu atau membodohimu maka katakanlah: sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Ibnu Huzaimah dengan sanad shahih)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar