Di antara maksud dan
tujuan disyariatkannya puasa adalah latihan menahan nafsu amarah (suka
marah). Orang yang mampu menahan marah lebih baik dan lebih sempurna daripada
orang yang suka marah (pemarah). Dan itulah yang disebut orang kuat.
Rasulullah
Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang
kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.”
(HR. Al Bukhari dan
Muslim)
Dalam riwayat lain,
disebutkan hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu Rasulullah bersabda:
“Siapa yang dikatakan paling kuat di antara kalian? Sahabat
menjawab: yaitu di antara kami yang paling kuat gulatnya. Beliau bersabda:
Bukan begitu, tetapi dia adalah yang paling kuat mengendalikan nafsunya
ketika marah.”
(HR. Muslim)
Al Imam Ahmad
meriwayatkan hadits dari Anas Al Juba’i, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu
menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak
makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau.”
(HR. Ahmad dengan
sanad hasan)
Al Imam Ahmad juga
meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam bersabda:
“Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah
Subhanahu wa Ta’ala.”
(Hadits shahih
riwayat Ahmad)
Al Imam Abu Dawud
rahimahullah mengeluarkan hadits secara makna dari sahabat Nabi, bahwa
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang hamba menahan kemarahan karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memenuhi baginya
keamanan dan keimanan.”
(HR. Abu Dawud dengan sanad hasan)
Hadits-hadits ini
menerangkan keutamaan menahan marah dari pada orang yang mudah marah/pemarah.
Dari itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berwasiat kepada sahabat
ketika datang pada beliau untuk meminta wasiat, beliau bersabda dengan
diulang-ulang: “Jangan mudah marah..” Lengkap haditsnya adalah sebagai berikut:
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang berkata
kepada Nabi Shalallahu alaihi wasallam: Berwasiatlah kepadaku. Beliau
bersabda: Jangan menjadi seorang pemarah. Kemudian diulang-ulang beberapa
kali. Dan beliau bersabda: Janganlah menjadi orang pemarah”
(HR. Al Bukhari)
Al Imam Ahmad
rahimahullah meriwayatkan hadits dari seseorang dari sahabat Nabi Shalallahu
alaihi wasallam dia berkata: “ Aku berkata: Ya Rasulullah Shalallahu
alaihi wasallam berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda: jangan menjadi
pemarah. Maka berkata seseorang: maka aku pikirkan apa yang beliau sabdakan,
ternyata pada sifat pemarah itu terkumpul seluruh kejelekan.”
(HR. Imam Ahmad)
Berkata Ibnu Ja’far
bin Muhammad rahimahullah: “Marah itu pintu seluruh kejelekan.”
Al Imam Ahmad
menafsirkan hadits ini dengan mengatakan: akhlak yang mulia itu dengan
meninggalkan sifat pemarah.
Al Imam Ibnu Rajab
rahimahullah menerangkan maksud hadits ini dengan mengatakan: sabda
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam: “Jangan menjadi pemarah.” Ini mengandung dua kemungkinan maksud:
1. Hadits ini
mengandung perintah melakukan sebab-sebab yang menjadikan akhlak yang mulia
seperti bersikap lembut, pemalu, tidak suka mengganggu, pemaaf, tidak mudah
marah.
2. Hadits ini
mengandung larangan melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan, mengandung
perintah agar sekuat tenaga menahan marah ketika timbul/berhadapan dengan
penyebabnya sehingga dengan demikian dia akan terhindar dari efek negatif
sifat pemarah.
Sehingga Rasulullah
Shalallahu alaihi wasallam mangajarkan cara-cara menghilangkan kemarahan dan
cara menghindari efek negatifnya, di antaranya adalah:
1. Membaca ta’awudz ketika marah.
Al Imam Al Al
Bukhari dan Al Imam Muslim rahimakumullah meriwayatkan hadits dari Sulaiman
bin Surod radhiyallahu ‘anhu:
“Ada dua orang saling mencela di sisi Nabi Shalallahu alaihi
wasallam dan kami sedang duduk di samping Nabi Shalallahu alaihi wasallam .
Salah satu dari keduanya mencela lawannya dengan penuh kemarahan sampai
memerah wajahnya. Maka Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya
aku akan ajarkan suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilang apa yang ada
padanya. Yaitu sekiranya dia mengucapkan: ‘Audzubillahi minasy Syaithani
rrajiim. Maka mereka berkata kepada yang marah tadi: Tidakkah kalian dengar
apa yang disabdakan nabi? Dia menjawab: Aku ini bukan orang gila.”
2. Dengan duduk
Apabila dengan
ta’awudz kemarahan belum hilang maka disyariatkan dengan duduk, tidak boleh
berdiri.
Al Imam Ahmad dan
Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila salah
seorang di antara kalian marah dalam keadaan berdiri duduklah, jika belum
hilang maka berbaringlah.”
Hal ini karena marah
dalam berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan kerusakan
daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk
dan berdiri.
3. Tidak bicara
Diam tidak berbicara
ketika marah merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan kemarahan, karena
banyak berbicara dalam keadaan marah tidak bisa terkontrol sehingga terjatuh
pada pembicaraan yang tercela dan membahayakan dirinya dan orang lain.
Dalam hadits
disebutkan:“Apabila di antara kalian marah maka diamlah.” Beliau ucapkan tiga kali. (HR. Ahmad)
4. Berwudhu
Sesungguhnya marah
itu dari setan. Dan setan itu diciptakan dari api maka api itu bisa diredam
dengan air, demikian juga sifat marah bias diredam dengan berwudhu.
Rasulullah
Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
”Sesungguhnya marah itu dari syaithan dan syaithan itu dicipta
dari api, dan api itu diredam dengan air maka apabila di antara kalian marah
berwudhulah.” (HR. Ahmad dan yang lainnya dengan sanad
hasan)
Adapun pemicu
kemarahan ada empat, barangsiapa yang mampu mengendalikan maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan dijaga dari syetan dan diselamatkan dari neraka.
Berkata Al Imam Al
Hasan Al Bashri rahimahullah:
“Empat hal, barangsiapa yang mampu mengedalikannya maka Allah
akan menjaga dari syetan dan diharomkan dari neraka: yaitu seseorang mampu
menguasai nafsunya ketika berkeinginan, cemas, syahwat dan marah.”
Empat hal ini yaitu
keinginan, cemas, syahwat dan marah merupakan pemicu seluruh kejelekan dan
kejahatan bagi orang yang tidak mampu mengendalikan nafsunya.
1. Keinginan, adalah
kecondongan nafsu pada sesuatu yang diyakini mendatangkan manfaat pada
dirinya, seringnya orang yang tidak mampu menguasai nafsu akan berusaha
sekuat tenaga untuk mendapatkan keinginannya itu dengan segala cara walaupun
harus dengan cara harom, dan terkadang yang diinginkan juga berupa sesuatu
yang haram.
2. Cemas, adalah
rasa takut dari sesuatu. Orang yang cemas akan berupaya untuk menolaknya
dengan segala cara walaupun harus dengan cara harom seperti meminta
perlindungan kepada selain Allah.
3. Syahwat, adalah
kecondongan nafsu pada sesuatu yang diyakini dapat memuaskan nafsunya.
Seringnya orang yang kalah dengan nafsunya memuaskan nafsu syahwatnya itu
pada sesuatu yang haram seperti zina, mencuri, minum khamer bahkan pada
sesuatu yang menyebabkan kekufuran, kebid’ahan dan kemunafikan.
4. Marah, adalah
gelagaknya darah hati untuk menolak gangguan sebelum terjadi atau untuk
membalas gangguan yang sudah terjadi. Kemarahan seringnya dilakukan dalam
bentuk perbuatan yang diharamkan seperti pembunuhan, pemukulan dan berbagai
kejahatan yang melampaui batas. Terkadang dalam bentuk perkataan yang
diharamkan seperti tuduhan palsu, mencela dan perkataan keji lainnya dan
terkadang meningkat sampai pada perkataan kufur.
Tetapi tidak semua
kemarahan itu tercela, ada yang terpuji, bahkan sampai pada tingkatan harus
marah yaitu ketika kita melihat agama Allah direndahkan dan dihinakan, maka
kita harus marah karena Allah terhadap pelakunya. Rasulullah
Shalallahu alaihi wasallam tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada
pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang
dibenci Allah maka Beliau tidak diam. Beliau marah dan berbicara.
Ketika Nabi
Shalallahu alaihi wasallam melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk
hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari
kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini.” (HR. Al Bukhari Muslim)
Nabi Shalallahu
alaihi wasallam juga marah terhadap seorang sahabat yang menjadi imam shalat
dan terlalu panjang bacaannya dan beliau memerintahkan untuk meringankannya.
Tetapi Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tidak pernah marah karena
pribadinya.
Al Imam Al Bukhari
dan Muslim meriwayatkan hadits Anas radhiyallahu anhu:
“Anas membantu rumah tangga Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam selama sepuluh tahun, maka tidak pernah beliau berkata kepada Anas:
“Ah”, sama sekali. Beliau tidak berkata terhadap apa yang dikerjakan Anas:
“Mengapa kamu berbuat ini?!” Dan terhadap apa yang tidak dikerjakan
Anas,”Tidakkah kamu berbuat begini.” (HR. Al Bukhari dan
Muslim)
Begitulah keadaan
beliau senantiasa berada di atas kebenaran baik ketika marah maupun ketika
dalam keadaan ridha/tidak marah. Dan demikianlah semestinya setiap kita
selalu di atas kebenaran ketika ridha dan ketika marah.
Rasulullah
Shalallahu alaihi wasallam bersabda: artinya:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu berbicara yang benar ketika
marah dan ridha.” (Hadits shahih riwayat Nasa’i)
Al Imam Ath Thabari
rahimahullah meriwayatkan hadits Anas:
“Tiga hal termasuk akhlak keimanan yaitu: Orang yang jika
marah kemarahannya tidak memasukkan ke dalam perkara batil, jika senang maka
kesenangannya tidak mengeluarkan dari kebenaran dan jika dia mampu dia tidak
melakukan yang tidak semestinya.”
Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya
terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melampaui
batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu dan syahwatnya menyeret
kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran.
Kesempatan baik ini
untuk melatih diri kita menuju sifat kesempurnaan dengan menghilangkan sifat
pemarah dan berupaya menjadi orang yang tidak mudah marah.
Rasulullah
Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Bukanlah puasa itu sekedar menahan makan dan minum.
Sesungguhnya puasa itu (adalah puasa) dari perbuatan keji dan sia-sia.
Apabila ada orang yang mencelamu atau membodohimu maka katakanlah:
sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Ibnu Huzaimah dengan sanad shahih)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar