Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Senin, 21 November 2011

Kesesatan Qaradhawi - Tentang Demokrasi, Suara Mayoritas, Syura


Berpendapat Bahwa Demokrasi Adalah Syura 
Yusuf Al Qaradhawi belum merasa puas dengan ajakannya untuk mencintai Ahli Kitab dan non Muslim lainnya dengan seruannya untuk melakukan pendekatan dengan mereka. Bahkan dia banyak menghiasi otaknya dengan pemikiran orang-orang kafir yang membinasakan yang sengaja dibuat untuk menghancurkan Islam dan pemeluknya, diantara pemikiran tersebut adalah demokrasi.
Demokrasi merupakan salah satu dari tipu muslihat orang-orang Yahudi dan Nashara serta merupakan salah satu rekayasa dan makar mereka. Walaupun demikian, Yusuf Al Qaradhawi ini memberikan nama bahwa itu (demokrasi) adalah siyasah syar’iyah dan juga salah satu bab yang luas dalam fiqih Islam. Ia juga mengatakan bahwa demokrasi dan syura’ adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin pisah. Inilah perkataannya:

Demokrasi mencakup kebebasan-kebebasan dan metode-metode untuk meruntuhkan para penguasa yang tirani, demokrasi juga adalah siyasah syar’iyah yang pembahasannya sangat luas dalam fiqih Islam. Demokrasi dan syura adalah dua sisi mata uang yang tidak mungkin pisah. (Harian Asy Syarq edisi 2719, 25 Agustus 1995 M)
Lihatlah wahai para pembaca, bagaimana dia menghiasi kebathilan dan menyelubungi kebohongan dan kedustaan dengan baju Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedangkan dia diajak kepada agama Islam?” (QS. Ash Shaff: 7)
Untuk menjelaskan kebathilan ini saya katakan kepadanya:
Pertama,
perkataanmu bahwa demokrasi adalah siyasah syar’iyah dan salah satu bab yang luas dalam fiqih Islam, ini suatu masalah yang setanmu pun tidak bisa membantumu untuk bisa mendatangkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Karena suatu perkara akan disebut sebagai sesuatu yang syar’i bila bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sedangkan demokrasi ini tidak bersumber kepada keduanya. Bahkan demokrasi itu bersumber dan muncul dari negara kafir.
Permasalahan demokrasi ini akan semakin jelas jika mengetahui maknanya, kita tidak akan merujuk kepada Lisanul ‘Arab dan juga Ash Shihhah untuk membahasnya. Namun kita akan melihat makna demokrasi ini kepada yang membuatnya karena si empunya rumah lebih paham tentang isi rumahnya. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani dan tersusun dari dua lafal. Lafal pertama adalah demo yang bermakna rakyat atau penduduk sedangkan lafal kedua krasi berasal dari kata kratia yang berarti aturan hukum atau kekuasaan. Dua kata Yunani itu kalau digabung menjadi demokratia yang berarti pemerintahan dari pihak rakyat. (As Syuura Laa Ad Demokratiyyah, halaman 34)
Dalam kamus milik para pemuja demokrasi yaitu kamus Collins cetakan London tahun 1979 disebutkan bahwa makna demokrasi adalah hukum dengan perantara rakyat atau yang mewakilinya. (Lihat buku Ad Demokratiyyah wa Mauqifil Islami Minha)
Jadi, demokrasi adalah hukum dari rakyat untuk rakyat sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan Al Qur’an karena di dalam syariat Islam hukum hanya milik Allah dan rakyat tidak mempunyai hukum dan juga yang mewakilinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (QS. Yusuf: 40)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (QS. Al Maidah: 49)
Allah telah menjelaskan dalam dua ayat ini bahwa hukum itu tidak menjadi milik rakyat dan juga wakilnya di parlemen. Dan Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Allah turunkan berupa syariat. Maka, bagaimana mungkin demokrasi disebut siyasah syar’iyah padahal demokrasi pada dasarnya itu bertentangan dengan syariat Islam.
Perkataan Qaradhawi: Demokrasi dan syura adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin pisah.
Ucapan ini adalah pengaburan dan merupakan tipuan karena diantara demokrasi dan syura ada perbedaan-perbedaan yang mendasar laksana langit dan bumi. Perhatikanlah perbedaan-perbedaan tersebut:
1. Syura adalah aturan Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan orang-orang kafir.
2. Syura dipandang sebagai bagian dari agama sedangkan demokrasi adalah aturan tersendiri.
3. Di dalam syura ada orang-orang yang berakal yaitu Ahlul Halli wal ‘Aqdi (yang berhak bermusyawarah) dari kalangan ulama, ahli fiqih, dan orang-orang yang mempunyai kemampuan spesialisasi dan pengetahuan. Merekalah yang mempunyai kapabilitas untuk menentukan hukum yang disodorkan kepada mereka dengan hukum syariat Islam. Sedangkan aturan demokrasi meliputi orang-orang yang di dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan pandir sekalipun.
4. Dalam aturan demokrasi semua orang sama posisinya, misalnya : Orang alim dan bertakwa sama posisinya dengan seorang pelacur, orang shalih sama derajatnya dengan orang yang bejat, dll. Sedangkan dalam syura maka itu terjadi akan tetapi semua diposisikan secara proporsional. 
Allah berfirman:
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam: 35-36)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (QS. As Sajdah: 18)
Para pembaca yang budiman, yang telah disebutkan tadi adalah petunjuk singkat bahwa apa yang terkandung dalam demokrasi adalah kebathilan dan kekufuran serta kelacutan. Bila hakikat demokrasi telah jelas dan gamblang bagi kita maka lebih mungkar lagi ketika kita mendengar seseorang mengatakan: Sesungguhnya demokrasi itu berasal dari Islam atau dari syariat Islam atau bahwa syura dan demokrasi adalah dua sisi mata uang atau juga bahwa Islam adalah aturan demokrasi atau demokrasi Islami ataupun nama-nama lainnya seperti mencampuradukkan antara kalimat kebenaran yakni Islam dengan kalimat yang bathil yaitu demokrasi. Hingga istilah demokrasi ini seolah-olah dari Islam karena seringnya didengar.
Kami ingin menulis kata ganti dari demokrasi dengan kata yang sinonim dengannya sesuai dengan standar dalam Islam, yaitu hukum thaghut atau hukum jahiliah. Dengan demikian maka ungkapan tadi menjadi begini:
“Hukum thaghut atau hukum jahiliah dari Islam atau Islam adalah aturan thaghut atau jahiliah ataupun jahiliah Islam atau juga hukum thaghut/jahiliah dari syariat Islam. Maka apakah mungkin seorang Muslim menerima ucapan-ucapan ini?! Atau apakah mungkin ucapan seperti ini keluar dari seorang lelaki yang paham dan berakal terhadap apa yang dikatakannya?
Jawabannya tentu tidak!! (Lihat Kitab Haqiqat Ad Demokratiyyah karya Muhammad Syakir Syarif dengan sedikit tambahan)
Para pembaca yang budiman, setelah mengetahui hakikat demokrasi dan betapa jauhnya dari Islam maka tidak aneh lagi kalau Yusuf Al Qaradhawi mengaitkannya dengan syura yang Islami.
Sesungguhnya dia dan kelompoknya menjadikan Islam hanya sekadar baju untuk menyelubungi setiap pemikiran dan tujuannya yang bathil.
Menentukan Hukum Segala Sesuatu Mengikuti Pendapat Mayoritas
Melihat kepada pemikiran Yusuf Al Qaradhawi yang terinfiltrasi dengan pemikiran demokrasi dan menjadikan demokrasi tersebut bagian dari syariat maka ia juga berpendapat bahwa pendapat mayoritas adalah yang harus dipilih dalam setiap perkara yang diperselisihkan. Inilah teks ucapannya:
Sesungguhnya kesepakatan seluruh manusia dalam satu perkara adalah sesuatu yang sulit terjadi bahkan mustahil sampai mereka (manusia) itu juga tidak bersepakat atas hakikat yang paling agung, yakni iman kepada Allah saja, karena inilah maka dalam suatu perkara cukuplah apa yang disepakati oleh mayoritas. (Harian Asy Syarq edisi 2719, 25 Agustus 1995 M)
Untuk memperjelas kebathilan yang terkandung dalam ucapan Qaradhawi tadi, saya katakan:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuatkan rujukan saat terjadi perselisihan dan pertentangan, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy Syura: 10)
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam kitab Tafsir-nya tentang ayat ini:
“Kalian berselisih dalam hal apapun, ini umum pada semua perkara. Maka putusannya terserah kepada Allah maksudnya Dia yang memberi keputusan hukum dengan Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Ini adalah dalil qath’i yang menunjukkan wajibnya mengembalikan semua perselisihan yang terjadi di kalangan manusia dalam perkara agama kepada Allah dan Rasul-Nya tidak kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa yang berupaya untuk merujuk kepada selain keduanya maka berarti dia menentang perintah Allah dan barangsiapa yang pada saat terjadi perselisihan ia mengajak rujuk kepada selain hukum Allah dan Rasul-Nya maka berarti dia telah mengajak dengan ajakan gaya jahiliah. Dan seseorang tidak dikatakan beriman sehingga ia merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya jika ada perselisihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‘Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.’” (QS. An Nisa’: 59) [Lihat Kitab Risalah Taabuukiyah halaman 29]
Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya:
“Ini adalah perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala agar supaya setiap sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia baik itu masalah prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‘Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali.’ (QS. Asy Syura: 10)
Maka apa yang diputuskan oleh Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya serta disaksikan bahwa itu adalah sah maka itulah yang disebut dengan kebenaran.
‘Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.’ (QS. Yunus : 32)
Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‘Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.’ (QS. An Nisa’: 59)
Yakni mereka mengembalikan segala perselisihan dan kebodohan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan berhukum kepada keduanya saat terjadi pertengkaran.
‘Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.”
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak berhukum dengan yang demikian maka berarti dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Para pembaca yang budiman, pikirkanlah bagaimana Allah memerintahkan untuk rujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah Rasul-Nya saat terjadi perbedaan. Dan itu dijadikan sebagai bentuk kesempurnaan iman, sedangkan Yusuf Al Qaradhawi menjadikan pendapat mayoritas sebagai hukum.
Dalil-Dalil Yang Mencela Mayoritas Dan Tertipu Dengannya Serta Ucapan Ulama Dalam Masalah Ini
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al An’am 116)
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Kitab Tafsir-nya tentang ayat ini:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan tentang keadaan penduduk bumi dari kalangan Bani Adam bahwa mereka dalam kesesatan. Seperti itu juga Allah berfirman:
‘Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang dahulu.’ (QS. Ash Shaffat: 71)
Begitu pula firman Allah:
‘Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.’ (QS. Yusuf : 103)
Mereka dalam kesesatan tanpa keyakinan namun hanya sekadar persangkaan dusta dan perkiraan yang bathil belaka.
‘Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).’” (QS. Al An’am: 116)
As Sa’di rahimahullah berkata: “Ayat ini menunjukkan bahwa banyaknya pengikut tidak bisa menjadi dalil kebenaran. Dan sebaliknya, sedikitnya pengikut tidak bisa dijadikan dalil bahwa itulah yang bathil.
Bahkan kenyataan sering menunjukkan kebalikannya, pelaku kebenaran sedikit jumlahnya namun mereka besar kadar dan pahalanya di sisi Allah. Bahkan yang wajib dijadikan dalil untuk mengetahui kebenaran dan kebathilan adalah konsep-konsep yang bisa mengantarkan kepada hal itu.” (Tafsir Taisiir Kariimir Rahmaan, halaman 233)
Allah telah menyebutkan ayat-ayat yang menunjukkan kepada celaan terhadap banyaknya jumlah dan mayoritas. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 243)
“Tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari( nya).” (Al Isra’: 89)
“Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.” (QS. Al Ghafir: 59)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf: 103)
“Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40)
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu.” (QS. Az Zukhruf: 78)
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)
“Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya) .” (QS. Al Ankabut: 63)
Dan ayat-ayat yang seperti ini masih banyak sekali.
Saudaraku yang mulia, lihatlah bagaimana Allah mengabarkan tentang keadaan mayoritas manusia bahwa kebanyakan tidak beriman, tidak bersyukur, tidak mengetahui, tidak berakal, dan kebanyakan menyekutukan Allah serta benci kepada kebenaran.
Dalam ayat-ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa pelaku kebaikan dan yang taat agama itu sedikit jumlahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba- Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’: 13)
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shad: 24)
“Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dhalim.” (QS. Al Baqarah: 246)
“Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu tentulah kamu mengikut syaitan kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An Nisa’ : 83)
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Ditampakkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang Nabi bersama beberapa pengikutnya juga seorang Nabi bersama seorang lelaki dan dua orang lelaki. Dan ada juga seorang Nabi yang tidak bersama seorang pun juga.”
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengkategorikan tertipu dengan jumlah yang banyak ini termasuk salah satu kaidah jahiliah. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya termasuk dari kaidah orang-orang jahiliah adalah tertipu dengan jumlah yang terbanyak dan mereka berdalil dengan jumlah terbanyak tadi untuk menunjukkan sahnya sesuatu dan mereka juga berdalil untuk menunjukkan bathilnya sesuatu dengan jumlahnya yang sedikit dan aneh.” (Masaa’il Jaahiliyah, masalah nomor 5)
Pembaca yang budiman, ahlul bid’ah senantiasa berdalih dengan banyaknya pengikut dari kalangan manusia yang merupakan mayoritas. Mereka juga menganggap bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang mempunyai pikiran nyeleneh tanpa seorang pun pengikut, dan ungkapan sejenis lainnya. Ada juga yang menerbitkan sensus untuk menunjukkan bahwa merekalah yang mewakili dunia Islam serta lain-lainya. Tidak ragu lagi bahwa semua ini adalah akal yang picik.
Sesungguhnya mayoritas yang menyelisihi kebenaran tidak ada keharusan untuk mengikutinya karena kebenaran lebih berhak untuk diikuti walaupun sedikit pendukungnya. Barangsiapa memiliki pikiran maka lihatlah dalil dan ambillah apa yang dihasilkan oleh bukti tadi kendati sedikit orang-orang yang mengerti dan tunduk kepada dalil tersebut. (Abu Safar bin Muhammad As Sa’id, Syarh Masaa’ilil Jaahiliyah I:11/84)
Bagaimana mungkin memutuskan suatu hukum dengan pendapat mayoritas? Padahal sudah banyak diketahui bahwa mayoritas manusia sepakat di atas kekufuran kepada Allah Sang Pengatur Alam Semesta, sepakat untuk berbuat fajir/dhalim, dan sepakat dalam kebejatan akhlak. Memang begitulah! Sudah demikian keadaannya, kami tidak tahu kenapa Yusuf Al Qaradhawi mau mengucapkan ucapan ini padahal itu bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah, dan manhaj Salaf.
Memilih Imam Shalat Secara Demokratis
Majalah Al Mujtama’ edisi 1261 bulan Rabi’ul Awal 1418 H/1997 M memberitakan seminar fiqih di Paris yang dihadiri oleh Yusuf Al Qaradhawi. Muhammad Al Ghamqi yang mengutip sebagian fatwa Qaradhawi yang disampaikan pada seminar tersebut, ia (Qaradhawi) mengatakan:
Sebagaimana (Islam) membolehkan pemilihan imam shalat rawatib dan shalat Jum’at maka bila hal ini memudahkan kesepakatan dan keridhaan makmum kepada seorang imam dengan alasan karena imamah sughra (imam shalat) adalah salah satu simbol dari imamah kubra (komando politik) (Dua sistem pemilihan ini bathil dan tidak disyariatkan. ) .
Pernyataan ini adalah aplikasi dari sistem demokrasi sebelumnya, yaitu mengambil pendapat mayoritas. Jika tidak demikian maka seharusnya Qaradhawi mengambil dalil yang shahih dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam karena beliau bersabda:
“Yang menjadi imam bagi kaum Muslimin adalah yang paling benar bacaan Al Qur’annya, jika bacaan mereka sama maka yang paling mengetahui Sunnah, jika pengetahuan mereka tentang sunnah sama maka yang paling dulu hijrah, jika hijrahnya sama maka mendahulukan yang lebih dulu masuk Islam –dalam riwayat lain disebutkan yang paling tua umurnya–. Janganlah seseorang menjadi imam di tempat kekuasaan orang lain dan janganlah duduk di tempat kehormatan tuan rumah melainkan dengan seizinnya.” (HR. Muslim dari Abu Mas’ud radliyallahu ‘anhu)
Bagaimana Yusuf Al Qaradhawi berqiyas kepada qiyas yang rusak dan meruntuhkan hadits yang shahih?
Menganjurkan Pencalonan Wanita di Parlemen
Para pembaca yang budiman, berbagai pendapat Yusuf Qaradhawi tentang demokrasi yang telah lalu membuktikan bahwa dia menjadikan demokrasi sebagai bagian dari Islam. Sehingga dia mempromosikan demokrasi dan segala unsurnya, seperti pemilu, pencalonan wanita di parlemen, dan lain sebagainya. Inilah kutipan ucapannya:
Menurut saya, tidak ada halangan bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen sebagaimana bolehnya ia ikut serta dalam pemilihan anggota parlemen tersebut. (Al Wathan edisi 49, 21 Oktober 1995)
Memperkuat kebatilan, kedustaan, dan perkataannya kepada Allah yang tidak dilandasi ilmu. Qaradhawi melancarkan beberapa syubhat dalam istidlal, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf mencegah dari yang mungkar.” (QS. At Taubah: 71)
Untuk menangkis syubhat ini harus mengetahui makna al ma’ruf yang diperintahkan dan makna al munkar yang terlarang.
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Imam Al Qurthubi berkata dalam Al Jaami’ li Ahkaamil Qur’aan bahwa makna wa ya’muruuna bil ma’ruuf (menyuruh kepada yang ma’ruf) adalah beribadah kepada Allah dengan mentauhidkan- Nya serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan maksud wa yanhauna ‘anil munkar (mencegah dari yang mungkar) adalah mencegah dari peribadatan kepada berhala dan segala hal yang berkaitan dengannya.
Imam Syaukani berkata bahwa maksud ya’muruuna bil ma’ruuf (menyuruh kepada yang ma’ruf) adalah sesuatu yang ma’ruf menurut syar’i bukan mungkar. Sedangkan maksud wa yanhauna ‘anil munkar (mencegah dari yang mungkar) yakni sesuatu yang mungkar dalam agama bukan ma’ruf. (Fathul Qadiir, II:381)
Al Jurjani menerangkan bahwa maksud al ma’ruf adalah setiap yang baik menurut syar’i dan maksud al munkar adalah apa-apa yang tidak diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. (Ta’riifaat, halaman 221)
Para pembaca yang budiman, kita telah mengetahui makna al ma’ruf dan al munkar berdasarkan penjelasan para mufassir dan ulama yang mendalami kalam Allah. Selanjutnya, marilah kita lihat apakah turut sertanya seorang perempuan dalam pemilu merupakan sesuatu yang ma’ruf ataukah mungkar?
Yang terjadi dalam pemilu adalah perkara kemungkaran yang sangat jelas dan tidak samar lagi bagi setiap yang berakal dan mengerti agama. Di antaranya:
Pertama, dalam pemilu, peserta yang memilih dan orang yang dipilih harus memiliki foto dan foto itu haram hukumnya.
Kedua, terjadi ikhtilath (berbaur antara laki-laki dan perempuan), ini juga haram hukumnya.
Ketiga, pemilu tidak disyariatkan dalam Islam melainkan berasal dari sistem politik kuffar. Lantas bagaimana mungkin sistem kuffar dijadikan sebagai sesuatu yang ma’ruf dan diperintahkan? Keempat, pemilu adalah sarana kompromi dengan syariat Islam, Al Qur’an, dan As Sunnah. Karena di antara hasil pemilihan tersebut adalah adanya majelis perwakilan yang tidak menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber hukum melainkan menjadikannya sebagai pendapat (usulan) anggota dewan yang masih bisa didiskusikan dan divoting.
Seandainya hak suara di majelis perwakilan yang mengatasnamakan Islam ada 49 suara dan yang menyelisihinya juga ada 49 suara ditambah 1 suara dari wanita yang bejat dan lacut maka aspirasi yang menyuarakan hukum Al Qur’an akan kalah dan terbuang karena dikalahkan oleh suara wanita jahat tadi. Apakah perbuatan yang seperti ini disebut sebagai sesuatu yang ma’ruf ataukah munkar?
Pembaca, jelaslah bahwa ayat yang dijadikan sebagai sandaran syubhat oleh Qaradhawi justru mematahkan pendapat Qaradhawi bukan malah memperkuatnya. Ayat tersebut mewajibkan kepada Mukminin dan Mukminah untuk menjauhi dan memerangi kemungkaran agar selamat agamanya. Dan tidak ada pilihan bagi kaum Muslimin dalam masalah pemilu ini kecuali harus meninggalkan dan menyuruh orang lain untuk menjauhinya. Jika tidak, maka ia termasuk orang-orang yang memerintahkan kepada kemungkaran dan mencegah dari kebaikan. Wallahul Musta’an.
Syubhat lainnya yang dibawakan oleh Qaradhawi juga tidak samar lagi kerusakan istidlalnya bagi yang punya ilmu, walaupun minim.
Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Keikutsertaan Wanita Dalam Pemilu Dan Pencalonannya
Dalil pertama, hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu, ia berkata: “Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan kalimat yang kudengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada saat peristiwa Jamal. Hampir saja aku bergabung bersama pasukan Jamal lalu berperang bersama mereka. Tatkala sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berita bahwa penduduk Persia dipimpin oleh anak perempuan Kisra, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Tidak akan bahagia suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.” (HR. Bukhari dalam Al Maghaazi, bab ke-82)
Al Khaththabi menjelaskan makna hadits ini bahwa seorang perempuan tidak berhak memegang kendali pimpinan dan pengambil keputusan. Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama.
Sedangkan Yusuf Al Qaradhawi berusaha untuk mengaburkan pemahaman kaum Muslimin tentang hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini berlaku khusus pada kekuasaan yang luas. Pendapat Qaradhawi ini tidak benar karena dua sebab:
Pertama, perawi hadits ini, yaitu Abu Bakrah tidak memahami hadits tersebut dengan pemahaman yang demikian. Bahkan ia memahaminya secara umum dan menganjurkan untuk meninggalkan sikap memberontak bersama ‘Aisyah kendati ‘Aisyah juga tidak memegang kekuasaan, baik yang umum maupun yang khusus. Harus diakui bahwa perawi hadits lebih paham terhadap apa yang diriwayatkannya.
Kedua, pendapat yang dipegangi oleh Qaradhawi ini berseberangan dengan pemahaman jumhur ulama, para muhaddits, serta ahli fiqih. Di sini Qaradhawi melakukan penentangan terhadap kaidah yang telah ditetapkannya sendiri:
Sesungguhnya kesepakatan seluruh manusia dalam satu perkara adalah sesuatu yang sulit terjadi bahkan mustahil sampai mereka (manusia) itu juga tidak bersepakat atas hakikat yang paling agung, yakni iman kepada Allah saja karena inilah maka dalam suatu perkara cukuplah apa yang disepakati oleh mayoritas.
Mana konsekuensi Qaradhawi terhadap kaidah yang dibuatnya sendiri? Dengan tidak mengamalkan kaidahnya sendiri, otomatis menunjukkan bahwa Qaradhawi meragukan kebenaran pendapatnya –penulis tidak sependapat dengan kaidah Qaradhawi tersebut, tapi hanya sekadar mengungkap pemikirannya yang saling bertentangan–.
Diabaikannya pendapat Jumhur Ulama, lalu kaidah yang ditetapkannya sendiri tidak dipakainya pula malah dia mengambil pendapat lain yang nyeleneh. Jadi, pada hakikatnya Qaradhawi berjalan di atas hawa nafsu.
Dalil kedua, adanya hal-hal haram yang dihadapkan kepada wanita dalam pemilu, misalnya: Berfoto, ikhtilath, tabarruj (keluar rumah tanpa memakai hijab), dan lain sebagainya.
Dalil ketiga, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang orang jahiliah yang dahulu.” (QS. Al Ahzab: 33)
Yusuf Al Qaradhawi berupaya meruntuhkan dalil ini –seperti kebiasaanya– dengan berbagai syubhat (pengaburan) berikut:
Syubhat pertama, Qaradhawi menjadikan ayat ini hanya berlaku untuk istri Nabi saja, perkataan ini tidak benar karena beberapa sebab:
1. Pendapat ini tidak pernah disampaikan oleh para Salaf dan mufassir. –menurut sepengetahuan penulis–. Menafsirkan ayat ini, Al Qurthubi menjelaskan: “Makna ayat ini adalah suatu perintah agar para wanita tetap tinggal di rumah. Walaupun ayat ini tertuju kepada istri-istri Nabi tapi dari sisi makna, wanita selain istri Nabi pun termasuk di dalamnya. Hal ini berlaku kalau tidak ada dalil yang mentakhshish (mengkhususkan) semua wanita sebagaimana syariat lebih suka mereka tetap tinggal di rumah dan tidak keluar kecuali kepentingan yang darurat sekali.” (Al Jaami’ li Ahkaamil Qur’aan, XIV:179)
2. Seandainya ayat tersebut hanya berlaku khusus pada istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, pasti kita mengatakan bahwa mereka haram untuk tabarruj sedangkan seluruh wanita beriman selain istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak dilarang tabarruj dan juga tidak dilarang untuk meniru orang-orang jahiliah menurut Yusuf Al Qaradhawi ini.
3. Yusuf Al Qaradhawi telah menggugurkan pendapatnya yang mengkhususkan ayat tersebut hanya untuk para istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja. Karena pada ayat yang lain ia menjadikannya sebagai ayat umum saat berdalil bahwa suara wanita adalah aurat jika digunakan untuk mempengaruhi dan menggoda. Dalam hal ini Qaradhawi berkata:
Saya tidak berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat pada dzatnya, namun suara wanita menjadi aurat jika digunakan untuk menggoda, merayu, dan bertujuan untuk membuai, ini makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. Al Ahzab: 32)
Saudara pembaca, lihatlah bagaimana dia menjadikan ayat pertama bersifat khusus dan ayat kedua ini bersifat umum padahal kedua ayat tersebut sama-sama ditujukan kepada para istri Nabi. Itulah yang disebut hawa nafsu.
Syubhat kedua, Qaradhawi berkata:
Banyak perempuan yang keluar rumah dan pergi ke sekolah, kampus untuk berbagai aktivitas, baik menjadi dokter, guru, dosen maupun pengurus kantor. Tapi tak satu pun orang yang diakui keberadaannya melakukan pengingkaran terhadap mereka. Hal ini dapat dikategorikan sebagai ijma’ (kesepakatan) yang syar’i terhadap bolehnya wanita bekerja di luar rumahnya dengan beberapa syarat.
Ucapan Qaradhawi, tak satu pun orang yang diakui keberadaannya melakukan pengingkaran terhadap mereka ini sama sekali tidak benar! Jauh sebelumnya, para ulama telah mengingkari kebersamaan perempuan dengan lelaki di berbagai pekerjaan yang menyelisihi syar’i dan dalil lebih didahulukan dari perkataan siapapun.
Syubhat ketiga, perkataan Qaradhawi:
Meskipun ayat ini sudah ada, tapi Ummul Mukminin ‘Aisyah radliyallahu ‘anha tetap keluar dari rumahnya dan ikut serta dalam perang Jamal. Hal ini karena keinginan untuk memenuhi apa yang beliau pandang sebagai kewajiban agama baginya, yakni menuntut qishas dari pembunuhan Utsman bin ‘Affan meskipun beliau dipersalahkan atas apa yang telah diperbuatnya.
Disini Qaradhawi salah besar dalam pengambilan dalil berdasarkan qiyas kepada keluarnya ‘Aisyah radliyallahu ‘anha dari rumahnya. Bukankah Qaradhawi sendiri telah mengatakan beliau (‘Aisyah) dipersalahkan atas apa yang telah diperbuatnya?
Atas dasar ini, maka keluarnya ‘Aisyah radliyallahu ‘anha dari rumah tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan seorang perempuan turut serta dalam Pemilu.


Penulis: Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini
(Sumber: Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari’at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari www.assunnah. cjb.net)
http://www.salafy.or.id/print. php?id_artikel=644

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus