Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Rabu, 09 November 2011

Melepas Hijab di Depan Lelaki Buta


Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Ibnu Baz t berkata: “Tidak ada dosa bagi seorang wanita untuk membuka hijabnya di depan lelaki yang buta berdasarkan hadits dalam Shahih Muslim dari Fathimah bintu Qais . Ketika Fathimah ini dicerai oleh suaminya, Nabi  berkata kepadanya:

“Habiskan masa ‘iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum karena dia seorang yang buta, engkau bisa melepaskan pakaian luarmu.”1
Dalam Ash-Shahihain dari hadits Sahl bin Sa’d , Nabi  bersabda:

“Izin itu hanyalah ditetapkan karena (menjaga) pandangan mata.”


Adapun hadits Nabhan dari Ummu Salamah  yang menyatakan bahwa Ibnu Ummi Maktum pernah masuk menemui Nabi , sementara di sisi beliau ada dua istri beliau, Ummu Salamah dan Maimunah. Beliau pun memerintahkan keduanya untuk berhijab dari Ibnu Ummi Maktum. Maka keduanya berkata: “Dia lelaki yang buta tidak bisa melihat kami.”

“Apakah kalian berdua juga buta, bukankah kalian berdua dapat melihatnya?” tanya Nabi mengingkari ucapan keduanya.
Hadits ini lemah karena syadz dan karena menyelisihi hadits-hadits yang shahih, sekalipun At-Tirmidzi menganggap hadits ini hasan shahih2. Ada kaidah yang ditetapkan ulama ushul dan ulama musthalahul hadits dalam masalah ini, yaitu sebuah hadits bila shahih sanadnya namun menyelisihi hadits lain yang lebih shahih maka hadits tersebut dianggap syadz, dha’if, tidak bisa diamalkan, karena termasuk syarat hadits yang shahih adalah tidak syadz. Sementara hadits Nabhan ini syadz, kalaupun hadits ini dianggap shahih namun ia memiliki ‘illah (penyakit/cacat) yang lain yang mengharuskan dilemahkannya hadits ini, yaitu tidak ada ulama terpandang yang mentsiqahkan Nabhan. Terlebih, dia sedikit sekali meriwayatkan hadits sehingga tidak bisa dijadikan sandaran dalam semisal hadits ini.
Sebagian ahlul ilmi membawa hadits Nabhan ini sebagai kekhususan Ummahatul Mukminin dan tidak berlaku bagi wanita selain mereka. Namun hal ini tidak bisa diterima karena pengkhususan sesuatu itu butuh dalil, sementara tidak ada di sisi kita dalil yang menunjukkan pengkhususan.”

(Fatawa Al-Mar‘ah Al-Muslimah, hal. 433- 434)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar