Al Imam Al Bukhari rahimahullah menyebutkan riwayat seorang sahabat bernama Sahl bin Sa’d radhiyallahu‘anhuma, beliau berkata: ”Mereka
(para sahabat) tidaklah menghitung (awal tahun) berdasar peristiwa
diangkatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai utusan Allah dan
tidak pula peristiwa wafatnya beliau. Tidaklah mereka menghitungnya
kecuali berdasar peristiwa kedatangan beliau di kota Madinah.” [Al Bukhari]
Sedangkan kedatangan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam di kota Madinah terjadi pada bulan Muharram. Saat itu beliau sempat menjumpai orang- orang Yahudi melakukan puasa ‘Asyuura’ (puasa tanggal 10 Muharram).
Atas dasar ini maka penghitungan tahun islami (hijriah) dimulai dari bulan Muharram.
Bulan Muharram Adalah Salah Satu Arba’atun Hurum
Maksud Arba’atun Hurum adalah 4 bulan yang memiliki kehormatan. Keberadaan 4 bulan tersebut dinyatakan Allah Ta’ala dalam firman Nya (artinya) : “
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah itu ada 12 bulan . Kesemuanya
dalam ketetapan Allah di hari Dia menciptakan langit dan bumi. Diantara
(12 bulan) tersebut terdapat 4 bulan yang memiliki kehormatan...” [At Taubah : 36 ].
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjelaskan maksud 4 bulan tersebut dalam sabdanya (artinya): “...1
tahun itu ada 12 bulan. Diantara 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan
yang memiliki kehormatan. 3 diantaranya tiba berturut- turut yaitu
Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Sedangkan satunya adalah Rajab yang
merupakan bulan pilihan orang- orang Mudhar dan terletak antara bulan
Jumaada (Jumaadats Tsaniyah/ Jumadal Akhirah) dan Sya’ban…” [H.R Al Bukhari dan Muslim].
Puasa Muharram
Di bulan Muharram disunnahkan untuk menunaikan puasa beberapa hari, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam (artinya): “Puasa
yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa Muharram dan
shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” [H.R Muslim].
Puasa Tasuu’a’ Dan ‘Asyuura’
Puasa Tasuu’a’ adalah puasa yang dikerjakan pada tanggal 9 Muharram. Sedangkan puasa ‘Asyuura’ adalah puasa yang ditunaikan pada tanggal 10 Muharram.
Apabila seseorang luput dari puasa beberapa hari di bulan Muharram, maka hendaknya ia berupaya untuk mampu mengerjakan puasa Tasuu’a’ dan ‘Asyuura’.
Disebutkan oleh Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Tatkala
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menunaikan puasa ‘Asyuura’ dan
memerintah para sahabat untuk menunaikannya juga, mereka (para sahabat)
berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya hari ‘Asyuura’ itu adalah hari
yang diagungkan orang- orang Yahudi dan Nashrani. “. Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Bila tahun depan (aku
masih hidup) insya Allah kita akan melakukan puasa Tasu’a’ juga” [H.R Muslim].
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Asy Syafi’i,
para pengikut beliau, Ahmad, Ishaq, dan selain mereka menyatakan:
“Disunnahkan untuk berpuasa pada tanggal 9 sekaligus tanggal 10
Muharram karena Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menunaikan puasa
‘Asyuura’ dan berniat puasa Tasuu’a’… Sebagian ulama berkata: “Nampaknya
sebab menunaikan puasa Tasuu’a’ bersama ‘Asyuura’ agar tidak menyerupai
orang- orang Yahudi yang hanya mengerjakan puasa “Asyuura’.” [Syarh Muslim].
Keutamaan Puasa ‘Asyuura’
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah ditanya tentang puasa ‘Asyuura’ maka beliau menjawab (artinya): “Menghapus dosa- dosa (kecil -pen) yang dilakukan setahun yang lalu.” [H.R Muslim]
Faedah
1.Puasa ‘Asyuura’ pernah dilakukan Nabi Musa ‘alaihis Salaam
sebagai rasa syukur kepada Allah setelah beliau diselamatkan dari
kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. [Lihat Shahih Al Bukhari dan Shahih
Muslim].
2.Puasa ‘Asyuura’ dahulu adalah puasa wajib sebelum turunnya kewajiban puasa Ramadhan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata: “Dahulu
puasa ‘Asyuura’ dikerjakan orang- orang Quraisy di masa jahiliyah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga menunaikan hal itu di masa
jahiliyah. Tatkala beliau tiba di kota Madinah maka beliau berpuasa
‘Asyuura’ dan memerintah para sahabat untuk berpuasa juga . Ketika
diwajibkan puasa Ramadhan maka beliau meninggalkan puasa ‘Asyuura’.
Barangsiapa ingin berpuasa Asyuura’ maka silakan ia berpuasa dan bagi
yang tidak berhendak maka silakan ia meninggalkannya.” [H.R Al Bukhari dan Muslim].
Larangan Menzhalimi Diri Sendiri di Bulan Muharram
Dalam salah satu ayat Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya
bilangan bulan di sisi Allah itu ada 12 bulan. Kesemuanya dalam
ketetapan Allah di hari Dia menciptakan langit dan bumi. Di antara (12
bulan) tersebut terdapat 4 bulan yang memiliki kehormatan. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri
kalian sendiri pada bulan- bulan tersebut.” [At Taubah: 36].
Menzhalimi diri sendiri merupakan perbuatan yang dilarang di seluruh
bulan di mana dan kapan pun kita berada. Namun bila perbuatan tersebut
dilakukan di 4 bulan yang memiliki kehormatan maka keadaannya lebih
berat.
Sedangkan maksud perbuatan zhalim terhadap diri sendiri bentuknya ada 2 macam:
-Meninggalkan perintah Allah
-Melakukan larangan Allah
Allah Ta’ala sendiri menegaskan di dalam satu firman-Nya (artinya):”Dan barangsiapa melampaui batas- batas (hukum) Allah maka dia sungguh telah menzhalimi dirinya sendiri.” [Ath Thalaaq : 1].
Para pembaca –semoga Allah merahmati kita semua- perlu menjadi bahan
pelajaran bagi kita bahwa sebagian kita ternyata melalaikan perkara yang
disunnahkan di bulan Muharram berupa puasa Tasuu’a’ dan ‘Asyuura’
atau perkara yang memang diwajibkan di bulan Muharram dan bulan-bulan
lainnya seperti shalat 5 waktu berjamaah di masjid bagi pria kaum
muslimin. Di sisi lain mereka justru masih memiliki anggapan keliru
tentang bulan Muharram.
Di antara saudara-saudara kita, tidak sedikit yang masih beranggapan
-atau minimalnya ikut-ikutan- bahwa bulan Muharram yang diistilahkan
orang Jawa dengan bulan Sura merupakan bulan keramat. Atas dasar itu
mereka enggan untuk mengadakan hajatan seperti pesta pernikahan di bulan
Muharram. Mereka lebih memilih bulan Dzulhijjah (bulan Besar Jawa )
untuk mengadakan pesta pernikahan. Padahal tidak sepantasnya seorang
muslim memiliki anggapan seperti itu karena hal itu merupakan Tathayyur (Thiyarah). Tathayyur adalah anggapan sial/mujur terhadap sesuatu yang tidak ada dasarnya dari agama maupun inderawi. Tathayyur merupakan salah satu bentuk kesyirikan kepada Allah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik dan thiyarah adalah syirik.” [H.R Abu Dawud yang dishahihkan asy-Syaikh Albani dan asy-Syaikh Muqbil].
Lebih menyedihkan lagi apabila berawal dari tathayyur ini
akhirnya mendorong seseorang atau sekelompok masyarakat untuk melakukan
ritual berupa sedekah /sesaji kepada laut,benda atau tempat tertentu
yang dianggap keramat agar kampungnya selamat dari malapetaka. Padahal,
ritual semacam ini –sekalipun terlanjur dianggap tradisi atau daya tarik
wisata- merupakan bentuk persembahan ibadah kepada selain Allah Ta’ala. Sedangkan bentuk persembahan ibadah kepda selain Allah adalah perbuatan syirik kepada-Nya. Jadilah hal ini kesyirikan di atas kesyirikan. Wallahul Musta’an!
Dalam atsar yang shahih dari Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Seseorang masuk Al Jannah (surga) karena seekor lalat dan ada seseorang yang masuk An Naar (neraka) karena seekor lalat pula. “ Mereka (orang-orang yang bersama Salman) bertanya:”Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Salman menjawab:”Ada
2 orang muslim dari umat sebelum kalian melewati suatu kaum yang
memiliki sesembahan selain Allah (dalam riwayat lain: suatu kaum yang
melakukan ritual ibadah di dekat sesembahan tersebut). Siapa pun tidak
diperkenankan melewati kaum tersebut sampai mempersembahkan sesuatu
kepada sesembahan tadi. Kaum tadi berkata kepada orang
pertama:”Berikanlah sesuatu sebagai persembahan kepada sesembahan kami!”
Orang itu menjawab:”Aku tdak memiliki apa pun (untuk aku
persembahkan).” Mereka memaksa:”Berikanlah persembahan walaupun berupa
seekor lalat!” Maka orang tersebut mempersembahkan seekor lalat dan
dipersilahkan melewati mereka” Salman berkata:”Maka orang ini
masuk neraka.” Lalu kaum tadi berkata kepada orang kedua:”Berikanlah
persembahan walaupun berupa seekor lalat!” “Ternyata orang ini menjawab
:”Aku tidak akan mempersembahkan sesuatu apa pun kepada selain Allah
‘Azza Wa Jalla!” Maka kaum tersebut membunuh orang ini dan akhirnya dia
masuk surga”.
Perbuatan syirik di atas akan semakin berat keadaannya
apabila dilakukan di bulan Muharram yang merupakan salah satu bulan yang
memiliki kehormatan. Belum lagi model acara lain berupa kirab seekor
binatang yang dianggap keramat untuk diambil berkahnya.Semoga kita
benar-benar dapat mengambil pelajaran. Wallahu a’lamu bish-shawaab.
Sumber: http://assunnahmadiun.wordpress.com/tag/keutamaan-bulan-muharram/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar