Ini adalah anggapan batil yang tidak
berdasar sama sekali. Apalagi jika kita mengetahui lafazh bacaannya, serta
kandungan syirik yang ada di dalamnya. Secara lengkap, lafazh shalawat Nariyah
itu adalah sebagai berikut,
اَللَّهُمَّ
صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَ سَلِّمْ تَسْلِيْمًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَ تُنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَ
يُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ ، وَ تُنَالَ بِهِ الرَّغَائِبُ وَ حُسْنُ
الْخَوَاتِيْمِ ، وَ يُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَ عَلىَ آلهِ
وَ صَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُوْمِ لَكَ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat
dengan shalawat yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan keselamatan
yang sempurna untuk penghulu kami Muhammad, yang dengannya terurai segala
ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala
keinginan dan kesudahan yang baik, serta diminta hujan dengan wajahnya yang
mulia, dan semoga pula dilimpahkan untuk segenap keluarga, dan sahabatnya
sebanyak hitungan setiap yang Engkau ketahui.”
(Penjelasan)
1. Akidah tauhid yang diserukan oleh
Al-Quranul Karim dan diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
menegaskan kepada setiap muslim agar meyakini bahwa hanya Allah semata yang
kuasa menguraikan segala ikatan, yang menghilangkan segala kesedihan, yang
memenuhi segala kebutuhan, dan memberi apa yang diminta oleh manusia ketika ia
berdoa. Setiap muslim tidak boleh berdoa dan memohon kepada selain Allah untuk
menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya, walau yang dimintanya
adalah seorang malaikat yang diutus atau nabi yang dekat kepada Allah.
Al-Quran mengingkari berdoa kepada
selain Allah, baik kepada para rasul atau wali. Allah berfirman,
قُلِ
ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ
عَنْكُمْ وَلا تَحْوِيلا * أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى
رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ
عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Katakanlah, ‘Panggillah mereka yang
kalian anggap (Rabb) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan
untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memin-dahkannya.
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb
mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan
rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya; sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu
yang (harus) ditakuti.” (Al-lsra’: 56-57)
Para ahli tafsir mengatakan, ayat di
atas turun sehubungan dengan sekelompok orang yang berdoa dan meminta kepada
Al-Masih (Nabi Isa ‘alaihissalaam –pent.), malaikat dan hamba-hamba Allah yang
saleh dari jenis makhluk jin. (Hal ini disebutkan oleh Ibnu Katsir)
2. Bagaimana mungkin Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam ridha jika dikatakan bahwa beliau kuasa
menguraikan segala ikatan dan menghilangkan segala kesedihan. Padahal Al-Quran
memerintahkan dan menyeru kepada beliau,
قُلْ
لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ
أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ
أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah, ‘Aku tidak kuasa
menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali
yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku
membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.
Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman.” (Al-A’raaf: 188)
Seorang laki-laki datang kepada
Rasululllah shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu ia berkata kepada beliau,
مَا
شَاءَ اللهُ وَ شِئْتَ
‘Atas kehendak Allah dan
kehendakmu.” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَجَعَلْتَنِي
للهَ نِدًّا ؟ قُلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ
“Apakah engkau menjadikan aku
sebagai tandingan/sekutu bagi Allah? Katakanlah, “Hanya atas kehendak Allah
semata.” (HR. An-Nasaa’i, dengan sanad sahih)
Al-Nid: Yang diserupakan, sekutu.
3. Seandainya kita membuang kata
“Bihi” (dengan Muhammad), lalu kita ganti dengan kata “Bihaa” (dengan shalawat
untuk Nabi), niscaya makna lafazh shalawat itu akan menjadi benar. Sehingga
bacaannya akan menjadi seperti berikut ini:
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan
dengan keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan
keselamatan yang sempurna untuk Muhammad, yang dengannya diuraikan segala
ikatan (yaitu dengan shalawat).”
Hal itu dibenarkan, karena shalawat
untuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah ibadah, sehingga kita boleh
bertawasul dengannya, agar dihilangkan segala kesedihan dan kesusahan.
4. Kenapa kita membaca shalawat-shalawat
bid’ah yang meru-pakan ucapan manusia, kemudian kita meninggalkan shalawat
lbrahimiyah yang merupakan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
maksum?
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Jamil
Zainu
(Dinukil untuk blog www.ulamasunnah.
wordpress. com dari Manhaj Al Firqatin Najiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin
Jamil Zainu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar