Ar-Radha'
Hubungan mahram bisa terjalin dengan tiga
sebab: hubungan nasab, penyusuan, dan karena pernikahan. Kajian mahram karena
hubungan nasab dan pernikahan telah dibahas dalam edisi sebelumnya. Edisi kali
ini akan mengulas hubungan mahram karena sebab kedua, yaitu karena penyusuan.
Namun sebelumnya kami bawakan hukum penyusuan ini secara umum untuk tambahan
faidah ilmu bagi kami pribadi dan bagi pembaca, wabillahi taufiq.
Saat bayi mungil yang didamba sepasang
suami istri telah lahir menghiasi hari-hari indah keduanya,
seluruh anggota
keluarga menyambut dengan penuh suka cita. Sang ibu mendekatkan sosok mungil
itu ke dadanya maka dengan segera mulut kecilnya menempel untuk mulai menyusu.
Demikian fitrah yang Allah I ciptakan. Dengan hikmah-Nya Allah bebankan tugas
menyusui itu kepada seorang ibu, setelah sebelumnya Dia Yang Maha Kuasa
melengkapi tubuh sang ibu dengan organ menyusui.
Masalah penyusuan ini telah diatur hukum-hukumnya
dalam syariat yang mulia ini1 dan pembahasannya turut mewarnai kitab-kitab para
ulama. Allah I berfirman dalam
Tanzil-Nya yang agung :
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Dan kewajiban bagi ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang ma’ruf2. Tidaklah satu jiwa
dibebani kecuali sekadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu mengalami kemudlaratan karena anaknya3, demikian pula seorang ayah4.
Dan pewaris anak itu pun memiliki kewajiban yang sama.5 Apabila keduanya (ayah
dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan
dengan musyawarah , maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin
anak-anak kalian disusukan oleh orang
(wanita) lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan
pembayaran dengan cara yang ma’ruf. Bertakwalah kalian kepada Allah, ketahuilah bahwasanya Allah Maha Melihat
terhadap apa yang kalian kerjakan.” (Al-Baqarah: 233)
Al-Hafidz Ibnu Katsir t berkata: “Ini
merupakan bimbingan dari Allah I kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anak
mereka dengan penyusuan yang sempurna yaitu selama dua tahun sehingga setelah lewat
dua tahun tidaklah teranggap, karena itulah Allah menyatakan: “Para ibu
hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang
ingin menyempurnakan penyusuan.” (Tafsir
Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/290)
Setelah usia dua tahun, air susu ibu bukan
lagi sumber makanan bagi si anak namun ia telah berpindah kepada makanan yang
lain. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Apabila seorang
anak yang menyusu telah sempurna usianya dua tahun maka berarti telah sempurna
penyusuannya. Setelah itu jadilah air susu kedudukannya seperti makanan yang
lainnya sehingga penyusuan setelah dua tahun tidak teranggap dalam masalah
kemahraman.”6 (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 104)
Menyusui anak selama dua tahun penuh ini
bukanlah satu kemestian, sehingga boleh
menyapihnya kurang dari dua tahun sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah di
atas: “Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun
dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah, maka tidak ada dosa atas
keduanya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
3/107)
Namun keputusan untuk menyapih ini harus
datang dari kedua orang tua dan berdasarkan musyawarah keduanya dengan melihat
maslahat (kebaikan) untuk diri si anak (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291).
Allah I berfirman: “Dan jika kalian ingin
anak-anak kalian disusukan oleh orang
lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran
dengan cara yang ma’ruf.” Dari sini kita tahu bolehnya menyusukan anak pada
wanita lain. Kebiasaan menyusukan anak
pada orang lain ini telah dikenal di kalangan bangsa Arab dan merupakan sesuatu
yang lumrah bagi mereka. Rasulullah r
sendiri memiliki beberapa ibu susu, di antaranya Halimah As-Sa’diyyah.. Putra
beliau r juga disusukan pada wanita lain sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim
dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik z, ia berkata: Rasulullah r bersabda:
“Tadi malam lahir putraku, maka aku namakan dengan nama ayahku, Ibrahim”.
Kemudian beliau menyerahkan Ibrahim, putranya, kepada Ummu Saif, istri Abu Saif
seorang pandai besi.” (HR. Al-Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)
Anas bin Malik z juga berkata:
“Tidak pernah aku melihat seorang pun yang
paling penyayang kepada anak-anak daripada Rasulullah r. Adalah Ibrahim putra
beliau disusui di sebuah perkampungan yang ada di Madinah. Suatu ketika beliau
pergi menjenguk putranya dan kami ikut menyertai. Lalu beliau masuk ke rumah
orang tua susu Ibrahim yang penuh dengan asap. Karena memang suami dari ibu
susu Ibrahim seorang pandai besi. Beliau pun mengambil putranya dan menciumnya.
Setelah itu beliau kembali.” (HR. Muslim no. 2316)
Ketika Ibrahim meninggal dunia, Rasulullah
r bersabda:
“Anakku Ibrahim meninggal dalam usia
menyusui (sumber makanannya adalah air susu) dan di surga ia memiliki dua ibu
susu yang akan menyempurnakan penyusuannya.” (HR. Muslim no. 2316)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Hadits ini
menunjukkan bolehnya menyusukan anak kepada orang lain.” (Syarah Shahih Muslim,
15/76)
Ulama menyenangi agar wanita yang menyusui
si anak adalah wanita yang baik akhlaknya karena penyusuan itu dapat mengubah
tabiat (Al-Mughni, 8/155), oleh karena itu mereka membenci bila seorang anak
disusui oleh wanita kafir, fasik, jelek
akhlaknya atau menderita penyakit berbahaya/ menular. (Taisirul ‘Allam, 2/379)
Mahram karena penyusuan
Dengan disusukannya seorang anak (laki-laki)
kepada wanita lain terjalinlah hubungan mahram antara wanita tersebut selaku
ibu susu dan anak yang disusuinya (anak susu) beserta segenap keturunan dan
kerabat ibu susu, sehingga haram bagi
anak susu menikahi mereka.
Allah I berfirman:
“Diharamkan bagi kalian untuk menikahi
ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, amah-amah
(saudara perempuan ayah) kalian, khalah-khalah (saudara perempuan ibu) kalian,
anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan
(keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara perempuan kalian
sepersusuan…” (An-Nisa: 23)
Dalam ayat di atas Allah I hanya
menyebutkan dua golongan wanita yang haram dinikahi karena hubungan penyusuan,
ibu susu dan saudara wanita sepersusuan. Adapun golongan wanita yang lain
seperti anak perempuan karena susuan, bibi susu (saudara perempuannya ibu
susu/khalah dan saudara perempuannya ayah susu/amah), anak perempuan dari
saudara laki-laki sepersusuan dan anak perempuan dari saudara perempuan
sepersusuan (keponakan susu) juga haram dinikahi dengan bersandar pada sabda
Rasulullah r:
“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang
haram karena hubungan kelahiran
(nasab).”8 (HR. Al-Bukhari no. 5099 dan Muslim no. 1444)
Dengan demikian, ibu susu,9 saudara
perempuan sepersusuan, anak perempuan susu,10 saudara perempuannya ibu susu
(bibi/khalah susu), saudara perempuannya
ayah susu (bibi/amah susu), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan
(keponakan susu)11 dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan
(keponakan susu) merupakan mahram bagi seorang laki-laki.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t berkata: “Setiap
wanita yang haram (dinikahi) karena hubungan nasab maka diharamkan pula yang
semisalnya karena hubungan penyusuan. Mereka adalah para ibu, anak-anak
perempuan, saudara-saudara perempuan, amah, khalah, keponakan perempuan dari
saudara laki-laki dan dari saudara perempuan dengan bentuk yang telah kami
jelaskan dalam masalah nasab, berdalilkan sabda Nabi r:
“Apa yang haram karena nasab maka itupun
haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam riwayat lain:
“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang
haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (Al-Mughni, 7/87)
Al-Imam Al-Qurthubi t menyatakan: “Apabila
seorang wanita menyusui seorang bayi
laki-laki (yang bukan anaknya), wanita
ini menjadi haram (dinikahi) si anak (bila telah dewasa –pent.) karena
wanita ini adalah ibunya (karena susuan), haram pula bagi anak susu ini
menikahi putri ibu susunya karena merupakan saudara perempuannya, haram baginya
menikahi saudara perempuan ibu susu karena dia adalah khalahnya, haram baginya
ibunya ibu susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putrinya
ayah susu (suami ibu susu yang menjadi
sebab keluarnya air susu tersebut)
karena dia adalah saudara perempuannya, haram baginya saudara perempuan
ayah susu karena dia adalah amahnya, haram baginya ibunya ayah susu karena dia
adalah neneknya, haram baginya menikahi putri-putri dari anak laki-laki ataupun
anak perempuan ibu susu (cucunya ibu
susu) karena mereka adalah putri-putri dari saudara laki-laki dan saudara
perempuannya sepersusuan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 5/72)
Ketika Rasulullah r ditawari oleh Ali bin
Abi Thalib untuk menikahi putri pamannya, Hamzah bin Abdil Muththalib, beliau
menolak dengan menyatakan:
“Putri Hamzah tidak halal bagiku, karena
dia itu putri saudara sepersusuanku.”12 (HR. Al-Bukhari no. 2645 dan Muslim no.
1446)
Demikian pula ketika terdengar kabar bahwa
beliau akan melamar Durrah bintu Abi Salamah. Maka beliau menyangkal dengan
menyatakan bahwa Durrah tidaklah halal bagi beliau, di samping karena Durrah
adalah anak tiri beliau, putri dari istri beliau, Ummu Salamah x, juga di
karenakan Durrah ini adalah putri dari saudara lakil-laki beliau sepersusuan,
karena beliau dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah.13 (HR. Muslim no.
1449)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Hadits-hadits
(dalam masalah) ini sepakat menyatakan adanya hubungan mahram karena penyusuan.
Umatpun sepakat akan pastinya hal ini antara anak susu dan ibu susu, maka
jadilah anak yang disusui itu seperti anaknya sendiri hingga haram
selama-lamanya bagi si anak untuk menikahi ibu susunya. Dan halal bagi si anak untuk
melihat ibu susunya, berduaan dengannya dan safar bersamanya.” (Syarah Shahih
Muslim, 10/19).
Beliau t juga menyatakan: “Umat sepakat
pula tentang tersebarnya hubungan hurmah (kemahraman sehingga haram untuk
dinikahi) antara ibu susu dengan putra-putranya (keturunan) anak susu, antara
anak susu dengan anak-anaknya (keturunan) ibu susu, dengan demikian anak susu
itu keberadaannya seperti anak ibu susu secara nasab.” (Syarah Shahih Muslim,
10/19)
Kerabat-kerabat ibu susu merupakan kerabat
bagi anak susu. Adapun kerabat anak susu selain anak turunannya14 tak ada
hubungan antara mereka dengan ibu susu. (Nailul Authar, 6/370, Subulus Salam,
3/337)
Adapun dengan ayah susu, ulama berbeda
pendapat. Ibnu ‘Umar, Ibnu Az-Zubair,
Rafi‘ ibnu Khudaij, Zainab bintu Ummi Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha bin
Yasar, Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin Abdirrahman bin Auf dan selainnya
berpendapat tidak tersebar kemahraman ini ke ayah susu namun hanya terbatas di
ibu susu. Adapun jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in dan fuqaha dari
berbagai negeri seperti Al-Auza‘i dari penduduk Syam, Ats-Tsauri dan Abu
Hanifah serta murid-murid keduanya dari penduduk Kufah, Ibnu Juraij dari
penduduk Makkah, Malik dari penduduk Madinah, demikian pula Asy-Syafi‘i, Ahmad,
Ishaq, Abu Tsaur dan para pengikut mereka berpendapat tersebar kemahraman
kepada ayah susu dan kerabatnya. (Fathul Bari, 9/183, Al-Muhalla, 10/4, Aunul
Ma‘bud, 6/41, Al-Mughni, 7/87).
Pendapat jumhur inilah yang kuat, insya
Allah, dengan didukung oleh hadits-hadits yang shahih, seperti hadits-hadits
berikut ini:
Ketika ‘Aisyah x sedang bersama Rasulullah
r, ia mendengar suara seorang lelaki minta izin masuk ke rumah Hafshah. Aisyah
pun berkata: “Wahai Rasulullah, laki-laki itu minta izin untuk masuk ke
rumahmu.” Rasulullah menjawab: “Aku lihat dia adalah si Fulan (ami/paman
susunya15 Hafshah).” Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, bila Fulan masih hidup
(ia menyebut nama ami/paman susunya) apakah ia boleh masuk menemuiku?”
Rasulullah menjawab:
“Ya. Penyusuan itu menjadikan haram apa
yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (HR. Al-Bukhari no. 5099 dan
Muslim no. 1444)
Aflah, saudara laki-laki Abul Qu’ais, ayah
susunya Aisyah, pernah datang minta izin untuk bertemu dengan Aisyah, ketika
itu telah turun perintah berhijab dengan non mahram. Aisyah berkata: “Demi
Allah, aku tidak akan mengizinkan Aflah, hingga aku minta izin kepada
Rasulullah r karena bukanlah Abul Qu’ais yang menyusuiku, tapi istrinya.”
Ketika datang Nabi r, Aisyah pun berkata:
“Aflah saudara Abul Qu’ais, tadi datang minta izin untuk menemuiku, namun aku
tidak suka mengizinkannya sampai aku minta izin kepadamu.” Nabi r berkata:
“Izinkan dia masuk menemuimu.” (HR. Bukhari no. 5239 dan Muslim no. 1445). Dan
Nabi r mengatakan kepada Aisyah bahwa Aflah adalah pamannya sehingga ia tidak
perlu berhijab darinya.
Hadits di atas menunjukkan bahwa suami ibu
susu kedudukannya seperti ayah bagi anak susu dan saudara laki-laki ayah susu
kedudukannya seperti paman. Ini merupakan madzhab para imam yang empat sebagaimana
pendapat jumhur sahabat, tabi‘in dan fuqaha. (Syarhu Az-Zurqani ‘ala Muwaththa’
Imam Malik, 3/309)
Al-Hafidz Ibnu Hajar t berkata: “(Dalam
hadits Aisyah di atas menunjukkan) disyariatkannya mahram untuk minta izin bila
ingin masuk menemui mahramnya”. (Fathul Bari, 9/184). Beliau t menyebutkan
bahwa saudara laki-laki dari ayah susu adalah mahram bagi anak susu.
Al-Imam An-Nawawi t juga menegaskan hal ini
dengan menyatakan terjalinnya hubungan
mahram antara anak susu dengan ayah susunya, menurut pendapat jumhur ulama,
sehingga anak susu seperti anaknya sendiri dan putra-putrinya ayah susu menjadi
saudara si anak susu, saudara-saudaranya ayah susu baik laki-laki maupun
perempuan menjadi paman dan bibinya anak susu, dan putra-putranya (keturunan)
anak susu menjadi cucunya ayah susu. (Syarah Shahih Muslim, 10/19).
Dengan demikian bila seorang
laki-laki/suami memiliki dua istri atau dua budak wanita, lalu keduanya hamil,
melahirkan dan menghasilkan air susu,
kemudian masing-masingnya menyusui anak orang lain, misalnya yang satu anak
laki-laki sedangkan yang satu anak perempuan (kedua anak ini asalnya
ajnabi/bukan mahram) maka dengan penyusuan tersebut kedua anak tadi menjadi
mahram, haram bagi keduanya untuk menjalin hubungan pernikahan karena keduanya
telah menjadi saudara sepersusuan dari ayah susu yang sama, walaupun ibu susu
mereka berbeda. (Al-Muhalla, 10/2)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di
t berkata: “Tersebar pengharaman untuk menikah (karena hubungan mahram
persusuan) dari sisi anak susu dan ayah susu (karena ayah susu inilah yang
merupakan sebab keluarnya air susu si ibu susu dengan si ibu susu mengandung
dan melahirkan anaknya) sebagaimana hal ini tersebar dalam hubungan
kerabat/nasab. Adapun pada si anak susu hanya terbatas pada anak keturunannya
saja”. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 173)
Ibnu Taimiyyah t berkata: “Bila seorang
bayi menyusu pada seorang wanita dengan lima susuan dalam usia (belum lewat)
dua tahun, sebelum disapih, maka bayi itu menjadi anaknya dengan kesepakatan
para imam. Dan suami dari wanita itu (yang menjadi sebab keluarnya air susu
tersebut dengan melahirkan anak si suami) menjadi ayah bagi anak susu tersebut,
demikian menurut kesepakatan para imam yang masyhur. Dan jadilah semua anak dari ayah dan ibu susu
tersebut sebagai saudara anak susu, sama saja baik anak-anak tersebut dari
pihak ayah susu saja (dari istrinya yang lain), atau dari pihak ibu susu (anak
ibu susu dengan suaminya yang lain) atau anak-anak yang terlahir dari
pernikahan keduanya (ayah dan ibu susu). Tidak ada perbedaan, dengan
kesepakatan para imam, antara anak-anak yang menyusu bersama-sama anak susu
tersebut, dengan anak-anak ibu susu yang dilahirkan sebelum terjadinya
penyusuan tersebut atau sesudahnya. Maka jadilah kerabat ibu susu sebagai
kerabat anak susu. Anak-anak dari ibu susu adalah saudara-saudaranya, cucu dari
ibu susu adalah keponakannya (anak-anak dari saudara sepersusuannya adalah
keponakannya), orang tua ibu susu (dan seterusnya ke atas) adalah kakek dan
neneknya, semua saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu susu adalah paman
(khal) dan bibinya (khalah). Demikian pula kerabat bapak susu merupakan kerabat
anak susu sebagaimana terjalin kekerabatannya dengan ibu susu. Adapun kerabat anak susu dari nasab
atau penyusuan, mereka adalah ajnabi (non mahram) bagi ibu susu dan kerabat ibu
susu, karena itu dibolehkan saudara laki-lakinya sepersusuan untuk menikah
dengan saudara-saudara perempuannya dari hubungan nasab dan sebaliknya. Adapun
anak-anak perempuan dari paman dan bibi susunya (misan karena susuan), halal
untuk dinikahi oleh anak susu sebagaimana yang demikian itu halal dengan sebab
nasab. Semua hal ini disepakati oleh ulama”. (Taudlihul Ahkam, Abdullah Alu
Bassam, hal. 120, Al-Fatawa Al-Kubra, 3/159-160)
Ibnu Hazm t berkata: “Setiap wanita yang
menyusui seorang laki-laki maka wanita itu haram dinikahi lelaki tersebut
karena wanita itu adalah ibunya dengan sebab penyusuan. Diharamkan bagi lelaki
tersebut untuk menikahi anak-anak perempuan ibu susunya karena mereka adalah
saudara-saudaranya sepersusuan, sama saja apakah mereka dilahirkan sebelum
terjadinya penyusuan tersebut ataupun sesudahnya. Sebagaimana haram baginya
menikahi saudara-saudara perempuan ibu susunya karena mereka itu adalah
bibi-bibi susunya (khalah). Haram pula baginya menikahi ibu-ibu dari ibu
susunya karena mereka adalah nenek-neneknya. Demikian pula saudara-saudara
perempuan dari ayah susunya (suami ibu susu) karena mereka adalah bibi-bibinya
(amah). Diharamkan baginya menikahi ibu-ibu dari ayah susu karena mereka adalah
nenek-neneknya dari penyusuan. Diharamkan baginya menikahi setiap anak
perempuan yang menyusu dari air susu istrinya karena mereka adalah
putri-putrinya. Demikian pula diharamkan baginya menikahi wanita yang menyusui
istrinya.” (Al-Muhalla, 10/2)
Hubungan penyusuan ini berkaitan dengan
pengharaman nikah dan semua perkara yang berkaitan dengan nikah, tersebarnya
hubungan mahram dan keharaman untuk menikah antara anak susu dengan
putra-putrinya ibu susu, dan kedudukan mereka seperti kedudukan karib kerabat
dalam kebolehan memandang, khalwat (berdua-duaan) dan bolehnya bepergian jauh
(safar) bersama saudara susu. (Fathul Bari, 9/170).
Namun tidak semua hukum pertalian nasab
berlaku dalam hubungan mahram karena penyusuan, seperti anak susu dan ibu susu
tidaklah saling mewarisi, tidak wajib bagi salah satu dari dua pihak untuk
menafkahi pihak yang lain, tidak gugur dari ibu susu hukuman qishash bila ia
membunuh anak susunya, tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan dan sebagainya.
Sehingga dalam hukum ini keduanya seperti ajnabi (bukan mahram). (Fathul Bari,
9/170, Syarah Shahih Muslim, 10/19, Subulus Salam, 3/337).
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
(bersambung)
________________________________________
1
Diistilahkan dengan Ahkam Ar-Radha’ (hukum-hukum penyusuan)
2 Al-Hafidz Ibnu Katsir t berkata: “Yakni
wajib bagi ayah si anak untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf yaitu menurut kebiasaan wanita-wanita semisal mereka di
negeri mereka tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi sesuai dengan kemampuan ayah dalam
kelapangannya, pertengahan hidupnya dan kesempitannya sebagaimana Allah I
berfirman:
“Hendaklah orang yang memiliki kelapangan
memberikan infak dari kelapangannya, dan siapa yang disempitkan rizkinya maka
hendaklah ia menginfakkan dari apa yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak
membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan apa yang Allah berikan
padanya.” (Ath-Thalaq: 7) (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/291)
3 Kemudharatan yang diderita sang ibu bisa
dengan mencegahnya untuk menyusui anaknya atau si ibu tidak diberikan haknya
berupa nafkah dan pakaian atau upah menyusui. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran,
3/110, Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 104)
4 Dengan si ibu menolak untuk menyusui
anaknya karena ingin memudharatkan sang ayah atau ia menuntut tambahan dari apa
yang wajib diberikan kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 3/110)
5 Bila ayah si anak telah meninggal
sementara anak itu tidak memiliki harta, maka ahli waris anaklah yang
menanggung kewajiban seperti kewajiban sang ayah dengan memberi nafkah dan
pakaian kepada ibu yang menyusui. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.104)
6 Bila si anak disusui oleh wanita selain
ibunya
7 Dan penyusuan itu membolehkan
(menghalalkan) apa yang halal karena hubungan nasab (Fathul Bari, 9/170)
8 Yakni bila dari sisi nasab wanita itu
haram dinikahi maka demikian pula dari hubungan penyusuan, misalnya saudara
perempuan ibu (khalah) haram dinikahi oleh keponakannya, maka demikian pula
saudara perempuan ibu susu , haram dinikahi oleh keponakannya karena
susuan.
9 Termasuk pula ibunya ibu susu (nenek
susu), neneknya ibu susu dan seterusnya ke atas.
10 Termasuk pula putrinya anak perempuan
susu (cucu perempuan karena susuan) dan seterusnya ke bawah.
11 Termasuk pula cucu keponakan susu dan
seterusnya ke bawah, sebagaimana ketentuan ini berlaku pada mahram karena
hubungan nasab.
12 Rasulullah r dan Hamzah bin Abdil
Muththalib z disusui oleh ibu susu yang sama yaitu Tsuwaibah, bekas budak Abu
Lahab, sehingga selain sebagai paman, Hamzah juga saudara Rasulullah
sepersusuan
13 Tsuwaibah ini ibu susu Rasulullah r
sebelum Halimah As-Sa‘diyyah
14 Seluruh anak keturunan si anak susu ini,
baik itu anaknya, cucunya dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan
ibu susunya.
15 Ammi di sini adalah saudara laki-laki
ayah susu.
Oleh:
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar