Maka simaklah kajian kali ini, dengan
penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an
dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.
Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan
Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang
tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari
kebenaran. Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah
seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan
As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.
Sikap selalu mengekor dengan apa kata
orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang
tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan
apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim alaihissalam ketika mereka diseru
untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir’aun dan kaumnya,
mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima
seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah subhanahu
wata’ala binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud alaihissalam menyeru
mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar
kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh
bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)
Apa pula yang dikatakan oleh kaum
Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang
kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang
menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …”
(Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah
utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka
yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:
Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami.” (Al Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian,
mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai
dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang
ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai
petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar
mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah
dan Rasul-Nya. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu
meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan
mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan
syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan
bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini
dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)
Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada
Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah.
Rasulullah yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah.
Rasulullah yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:
الطِّـيَرَةُ
شِـرْكٌ
“Thiyarah itu adalah kesyirikan.”
(HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini
digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti
dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah
satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu
yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan,
kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur
berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada
hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang
menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau
bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu
tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah
satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah
terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang
shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan
dengan tawakkal kepada Allah.
Tawakkal yang sempurna, dengan
benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat
atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang
menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia
yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan
hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a
kepada kita:
اللَّهُمَّ
لاَ خَيْرَ
إِلاَّ خَيْرُكَ
وَ لاَ
طَيْرَ إِلاَّ
طَيْرُكَ وَ لاَ
إِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu
datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan
tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)
Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya
musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah
menghendaki kebaikan padanya.
مَنْ
يُرِدِ اللهُ
بِهِ خَيْرًا
يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki
kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa
musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri.
Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah
Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.
Namun di antara mereka ada sekelompok
orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan
tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang
darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ
الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ
يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ
وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak
minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi
panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal
kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini,
dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak
mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya
kepada kita semua. Amiin.
(Sumber: www.assalafy. org)
oleh: Tim Buletin Al-Ilmu Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar