Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “ Dan hendaklah kalian
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau
bersyukur”.
Telah terdapat riwayat, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah
keluar pada hari raya
Idhul Fithri, beliau bertakbir, ketika mendatangi
mushalla sampai selesainya shalat, apabila shalat telah selesai, maka
beliau menghentikan takbirnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dalam al Mushannaf, al Muhamili dalam Shalatul ‘Idain dengan sanad sahih
tetapi mursal. Riwayat tersebut memiliki syahid/penguat yang menguatkan
riwayat tersebut. Lihat Silsilah al Ahadits ash Shohihah (170). Takbir
pada Idul Fithri dimulai pada waktu keluar menunaikan shalat Id].
Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani : “Dalam hadits ini ada dalil
disyari’atkannya melakukan takbir dengan suara jahr (keras) di jalanan
ketika menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin.
Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga
hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita.
Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa
mengeraskan takbir disini tidak disyari’atkan berkumpul atas satu suara
(menyuarakan takbir secara serempak dengan dipimpin seseorang -pent)
sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang.. Demikian pula setiap dzikir
yang disyariatkan untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak
disyariatkan mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas
satu suara seperti yang telah disebutkan . Hendaknya kita hati-hati dari
perbuatan tersebut[1], dan hendaklah kita selalu meletakkan di hadapan
mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua
hari raya (Kapan kaum musliminb diperintahkan takbir di kedua hari raya –
pent), maka beliau rahimahullah menjawab : “Segala puji bagi Allah,
pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para
ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah :
Hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai
akhir hari Tasyriq ( tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap
selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk
mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Ini
merupakan kesepakatan para imam yang empat”. [Majmu Al -Fatawa 24/220
dan lihat ‘Subulus Salam’ 2/71-72]
Ibnu Umar dahulu apabila pergi keluar pada hari raya Idhul Fithri dan
Idhul Adha, beliau mengeraskan ucapan takbirnya sampai ke mushalla,
kemudian bertakbir sampai imam datang. (HR Ad Daraquthni dan Ibnu Abi
Syaibah dan selain mereka dengan sanad yang shahih. Lihat Irwa ‘ul
Ghalil 650).
Aku katakan : Ucapan beliau rahimahullah : ‘(dilakukan) setelah
selesai shalat’ -secara khusus tidaklah dilandasi dalil. Yang benar,
takbir dilakukan pada setiap waktu tanpa pengkhususan. Yang menunjukkan
demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam kitab ‘Iedain dari “Shahih
Bukhari” 2/416 : “Bab Takbir pada hari-hari Mina, dan pada keesokan
paginya menuju Arafah”.
Umar Radliallahu ‘anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka
orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan
bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina
gemuruh dengan suara takbir.
Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah
shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di
tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.
Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita
bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada
malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid”.
Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir
hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang
imam. [Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya
dengan isnad yang shahih. Lihat “Irwaul Ghalil’ 650]
Sepanjang yang aku ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih
tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di
riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya.
Seperti Ibnu Mas’ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadh : Allahu
Akbar Allahu Akbar Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa
lillahil hamdu.
(Yang artinya) : “ Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar
dan untuk Allah segala pujian”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
2/168 dengan isnad yang shahih]
Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh : Allahu Akbar Allahu
Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajallu Allahu
Akbar ‘alaa maa hadanaa.
(yang artinya) : “ Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar
dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah
Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita”. [Diriwayatkan
oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih]
Abdurrazzaq -dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam “As Sunanul Kubra”
(3/316)- meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Salman Al- Khair
Radliallahu anhu, ia berkata : (yang artinya) : “ Agungkanlah Allah
dengan mengucapkan : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira”.
Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari
salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat
tanpa ada asalnya. Sehingga Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata
dalam “Fathul Bari (2/536) : “Pada masa ini telah diada-adakan suatu
tambahan dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalnya”.
Footnote :
(1). Yang lebih tragis lagi pelaksanaan takbir untuk hari raya Iedhul
Fithri khususnya, sebagian kaum muslimin di negeri-negerinya melakukan
dengan cara-cara yang jauh dari sunnah, seperti yang disebutkan di atas
dan yang lebih fatal sebagian mereka mengadakan acara takbiran – menurut
anggapan mereka – pada malam hari Lebaran sudah mengumandangkan kalimat
takbir bahkan dengan cara-cara yang penuh dengan kemaksiatan musik,
bercampurnya laki-laki dan wanita serta berjoget-joget dan kemungkaran
lainnya – yang sudah dianggap bagian dari syiar Islam. Bahkan mereka
menganggap hal itu sunnah dan kewajiban yang harus dilakukan dengan cara
yang demikian. Laa haula walaa quwwata illa billah – pent.
(Dinukil dari Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah,
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh
Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan
Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)
Makkah 'Isha - 25th December 2024
-
*Makkah Isha *
(Surah Hashr: Ayaah 18-24) *Sheikh Baleelah*
Download 128kbps Audio
4 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar