‘Id atau Hari Raya dalam Islam hanya ada 3, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, kemudian yang ketiga adalah Hari Jum’at.
Tidak ada hari raya lain dalam Islam selain ketiga hari tersebut.
Maka jika ada hari lain yang diklaim sebagai hari raya, maka bukanlah
Hari Raya yang diakui oleh syari’at
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa penentuan
Hari Raya merupakan wewenang syari’at, tidak bisa ditetapkan kecuali
oleh syari’at.
Dinamakan ‘Id yang bermakna kembali atau berulang, karena memang hari
raya tersebut senantiasa kembali dan berulang setiap tahunnya.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah,
beliau mendapati penduduk Madinah bergembira pada dua hari yang mereka
jadikan sebagai Hari Raya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata :
قد أبدلكم الله بهما بخير منهما يوم الأضحى ويوم الفطر
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari
raya yang lebih baik dari dua hari raya kalian, yaitu Hari ‘Idul Fithri
dan ‘Idul Adh-ha.” HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i dengan sanad shahih.
Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2021.
Ini di antara yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak ingin ada hari raya dalam Islam kecuali ‘Idul Fithri dan
‘Idul Adh-ha.
Pada hari tersebut Allah berikan kepada kaum muslimin kenikmatan
berupa syi’ar-syi’ar ibadah dan anugrah kebaikan dan kebahagiaan yang
mereka tampakkan pada dua hari tersebut. Di antaranya nikmat kembali
boleh makan, minum, dan jima’ setelah sebelumnya dilarang selama sebulan
penuh, keluasaan merayakan hari tersebut dengan hal-hal yang mubah dan
kesenangan yang diperbolehkan. Di antaranya juga kenikmatan merayakan
hari tersebut dengan lantunan takbir, tahlil, dan tahmid, kemudian
shalat, serta menyempurnakan pelaksanaan manasik haji di negeri yang
suci, dan bertaqarrub kepada-Nya dengan menumpahkan darah hewan qurban.
● Hukum Shalat ‘Id
Di antara syi’ar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha adalah
pelaksanaan shalat ‘id, yang dilakukan di tempat lapang dan terbuka,
yang dihadiri oleh kaum muslimin. Para ‘ulama sepakat bahwa Shalat ‘Id
masyru’. Namun para ‘ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah
sunnah, fardhu kifayah, ataukah fardhu ‘ain.
1. Pendapat Pertama : Sunnah Mu`akkad.
Dalilnya adalah :
a. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang arab
badui yang bertanya tentang hal-hal yang wajib dalam agama, maka jawaban
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خمس صلوات كتبهن الله على عباده
Shalat lima waktu yang telah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya.
Kemudian si arab badui tersebut bertanya lagi, “Apakah ada lagi kewajiban lain atasku?”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Tidak.
b. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz tatkala
beliau memberikan pengarahkan kepada Mu’adz yang hendak beliau utus ke
Yaman sebagai da’i. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
kepada Mu’adz kewajiban-kewajiban yang harus disampaikan kepada ahlul
kitab Yaman, di antaranya :
فإن هم أطاعوك لذلك، فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في يوم وليلة
“Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu (yakni mau memenuhi
ajakan kepada tauhid/syahadatain) maka berikutnya ajarkan kepada mereka,
bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam
sehari dan semalam.”
Sisi pendalilan : pada hadits di atas, dengan tegas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa yang wajib adalah shalat lima waktu
saja. Berarti semua shalat selain shalat lima waktu maka hukumnya adalah
sunnah atau tidak wajib.
Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan
shalat ‘id, maka tingkat sunnah di sini adalah sunnah mu`akkad.
Namun pendalilan di atas kurang tepat. Karena jawaban Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan kewajiban shalat yang
bersifat harian. Karena tidak diragukan ada shalat-shalat lain yang
hukumnya wajib di luar shalat lima waktu. Misalnya shalat Jum’at, Shalat
Kusuf (Gerhana), dan Shalat Tahiyyatul Masjid.
2. Pendapat Kedua : Fardhu / Wajib.
Berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada semua
kaum muslimin, baik pria maupun wanita, bahkan wanita yang padanya ada
halangan sekalipun.
Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha berkata :
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ
وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ
وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا
أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk
mengeluarkan mereka pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, yaitu
para gadis, wanita-wanita yang sedang haidh, dan para wanita pingitan.
Adapun para wanita haidh maka dia harus menjauhi shalat. Hendaknya
mereka semua menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.
Maka aku (Ummu ‘Athiyyah) berkata : Wahai Rasulullah, ada di antara kami tidak memiliki jilbab?
Maka beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menjawab :
Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya. Muttafaqun ‘alaihi
Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para
wanita untuk keluar, sampai wanita yang sedang haidh pun beliau perintah
untuk turut serta juga, bahkan yang tidak punya jilbab beliau perintah
untuk dipinjami agar ia bisa turut serta juga, kecuali karena untuk
perintah yang bersifat fardhu ‘ain.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
“Perintah tersebut menunjukkan kewajiban. Jika keluar (menuju
mushalla ‘id) adalah wajib, maka tentu shalat lebih wajib lagi,
sebagaimana itu sudah sangat jelas.
Maka yang benar adalah wajibnya (shalat ‘id) bukan sekedar sunnah.
Dan di antara dalil yang menunjukkan wajib adalah bahwa shalat ‘Id bisa
menggugurkan shalat Jum’at apabila jatuh pada hari yang sama. … ”
(Tamamul Minnah)
● Fardhu ‘Ain ataukah Fardhu Kifayah?
Sebagian ‘ulama berpendapat hukum fardhu di sini adalah fardhu kifayah.
Sebagian lagi berpendapat Fardhu ‘Ain. Pendapat ini lebih kuat,
karena perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita,
seandainya fardhu kifayah, maka cukup kaum pria yang diperintah untuk
mengerjakan. Tapi ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kaum wanita, bahkan yang tidak punya jilbab diperintahkan
untuk dipinjami. Pendapat terakhir ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Perhatian :
1. Namun yang perlu menjadi catatan penting adalah, bahwa keluarnya
kaum wanita untuk shalat ‘Id adalah harus tetap memperhatikan ketentuan
syari’at, yaitu harus mengenakan hijab syar’i, tidak berhias,
menghindari ikhtilath (campur baur antara kaum pria dan kaum wanita),
dll.
2. Wanita haidh harus menjauhi tempat shalat.
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berkata :
“Shalat ‘Id hukumnya fardhu kifayah menurut kebanyakan ‘ulama, boleh
untuk tidak mengerjakannya bagi sebagian orang. Namun hadir dan turut
serta (shalat ‘Id) bersama saudara-saudaranya kaum muslimin merupakan
sunnah yang ditekankan yang tidak sepantasnya ditinggalkan kecuali
karena adanya ‘udzur (alasan) syar’i.
Sementara itu, sebagian ‘ulama lainnya berpendapat bahwa Shalat ‘Id
hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana Shalat Jum’at. Tidak boleh bagi seorang
mukallaf pun dari kalangan pria merdeka penduduk setempat untuk tidak
mengerjakannya. Pendapat ini lebih kuat dalilnya dan lebih dekat kepada
kebenaran. Dan disunnahkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat ‘id
juga, namun dengan tetap memperhatikan hijab, menutup aurat, dan tidak
mengenakan wewangian. Hal berdasarkan hadits yang sah dalam Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anhu
berkata : “Kami diperintah (oleh Nabi) mengajak keluar pada hari raya
‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, para gadis, wanita-wanita yang sedang
haidh, dan para wanita pingitan. Agar mereka juga bisa turut menyaksikan
kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Adapun para wanita haidh maka dia
harus menjauhi tempat shalat.
Pada sebagian riwayat :
Salah seorang wanita berkata : Wahai Rasulullah, ada di antara kami tidak memiliki jilbab?
Maka beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menjawab :
Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya. Muttafaqun ‘alaihi
Tidak diragukan, bahwa hadits ini menunjukkan ditekankannya bagi kaum
wanita untuk turut hadir dalam shalat ‘Id agar mereka juga bisa
menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.” (Majmu Fatawa wa Maqalat
Mutanawwi’ah XIII/7-8).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Shalat ‘Id merupakan sunnah yang wajib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkannya, bahkan beliau juga memerintahkan kaum wanita
untuk hadir pula dalam shalat ‘Id. Namun tidak boleh bagi wanita untuk
mendatangi tempat shalat ‘id dalam keadaan berdandan, atau memakai
wewangian, atau berhias, atau terbuka wajahnya. Karena itu semua haram.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Wanita manapun yang memakai bukhur (salah satu jenis wewangian) maka jangan hadir shalat ‘Isya’ bersama kami (di masjid).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita yang memaki
bukhur, maka bagaimana dengan wanita yang memakai wewangian paling
wangi, lalu datang ke masjid? Maka dia berdosa, sejak ia keluar rumah
sampai ia kembali lagi ke rumah.
Maka wajib atas kaum wanita untuk keluar (untuk shalat ‘Id) dengan
penampilan yang diizinkan oleh syari’at. Yaitu keluar tidak dengan
berhias, tidak memakai wewangian, tidak pula bersolek. Berjalan dengan
sopan, tidak berbicara dengan pria. Karena itu termasuk fitnah.
Kaum wanita hadir shalat ‘id hanyalah dalam rangka barakah dari
berkumpulnya kaum muslimin dalam menjalankan ketaatan dan peribadatan
kepada Allah, dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. (Majmu’
Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/165)
● Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Id
Shalat ‘Id dilaksanakan di Mushalla, yaitu tempat terbuka dan lapang di pinggir kota, desa, atau perkampungan.
Berdasarkan hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى
Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha menuju mushalla. Muttafaqun ‘alaihi
Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ‘ulama,
bahwa shalat ‘Id dikerjakan di mushalla, kecuali jika ada ‘udzur seperti
hujan atau lainnya, maka ketika itu dikerjakan di masjid.
Adapun ‘ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa Shalat ‘Id lebih utama
dikerjakan di masjid jika masjidnya memang luas. Karena masjid merupakan
tempat yang paling mulia dan paling bersih dari pada tempat-tempat
lainnya. Namun jika masjidnya sempit maka ketika itu baru dikerjakan di
mushalla.
Namun pendapat Jumhur ‘ulama lebih tepat. Karena itulah yang sesuai
dengan sunnah dan cara pelaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
menjelaskan permasalahan ini secara panjang lebar, diiring dengan
argumentasi-argumentasi ilmiah nan kokoh dalam risalah beliau berjudul
Shalatul ‘Idain fil Mushalla hiyas Sunnah (Shalat Dua Hari Raya di
Mushalla itulah Sunnah).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya :
Apa hukum shalat ‘Id di masjid?
Maka beliau rahimahullah menjawab :
“Tuntunan Sunnah dalam pelaksanaan Shalat ‘id adalah dilaksanakan di
tempat terbuka dan lapang. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dulu keluar untuk Shalat ‘Id ke tempat terbuka dan lapang,
padahal beliau sendiri yang telah memberitakan tentang nilai shalat di
Masjid Nabawi “lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain.”
Meskipun demikian beliau meninggalkan shalat ‘Id di Masjid Nabawi, dan
beliau memilih keluar menuju mushalla, mengerjakan shalat ‘Id di situ.
Atas dasar ini, maka sunnah adalah kaum muslimin keluar menuju tanah
terbuka dan lapang dalam melaksanakan shalat ‘Id, yang merupakan salah
satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam.
Namun berbeda dengan di dua tanah haram (Makkah dan Madinah) sejak
dulu. Shalat ‘Id dilaksanakan di Masjidil Haram (Makkah), dan juga di
Masjid Nabawi. Demikianlah praktek kaum muslimin sejak masa lalu.”
* * *
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah juga ditanya :
Apakah Shalat ‘Id di tanah lapang terbuka afdhal (lebih utama)
walaupun di Makkah dan Madinah? Ataukah Al-Haram (Masjidil Haram dan
Masjid Nabawi) lebih utama?
Beliau rahimahullah menjawab :
“Shalat ‘Id di mushallah lebih utama. Namun di Makkah sudah
berlangsung praktek sejak dahulu bahwa kaum muslimin shalat ‘Id di
Masjdil Haram. Demikian juga di Madinah kaum muslimin sejak dahulu
shalat ‘Id di Masjid Nabawi.
Untuk Madinah, tidak diragukan shalat ‘Id di mushalla lebih utama,
sebagaimana praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Khalafa`ur Rasyidini radhiyallahu ‘anhum. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengerjakan Shalat ‘Id di mushalla.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/142)
* * *
Hukum-Hukum dan Adab-adab
terkait Hari Raya
1. Mengenakan Pakaian yang Bagus
Dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :
كان يلبس يوم العيد بردة حمراء
Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Id mengenakan
burdah merah. HR. Ath-Thabarani. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 1279.
Perhatian :
a. Mengenakan Pakaian Bagus ini berlaku hanya bagi pria. Adapun kaum
wanita tidak diperkenankan mengenakan pakaian yang indah ketika
berangkat ke mushalla. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang kaum wanita yang keluar ke masjid, “namun hendaknya
mereka keluar dengan tidak mengenakan wewangian.” HR. Abu Dawud, yakni
dengan mengenakan pakaian biasa, bukan pakaian berdandan atau bersolek.
Haram bagi kaum wanita keluar dalam keadaan memakai wewangian dan
berdandan.
b. Pakaian bagus di sini bukan berarti baju yang baru, apalagi baju mewah yang mahal.
2. Mandi
Sebagian ‘ulama berpendapat disunnahkan mandi terlebih dahulu sebelum
berangkat shalat ‘Id. Hal ini diriwayatkan dari sebagian Salaf.
3. Makan terlebih dahulu Sebelum Berangkat menuju Shalat ‘Idul Fithri
Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لَا يَغْدُو يَوْمَ اَلْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berangkat pada
Hari ‘Idul Fithri (menuju shalat ‘id) sebelum beliau memakan beberapa
kurma terlebih dahulu. HR. Al-Bukhari
Dalam riwayata lain dengan tambahan keterangan : Memakan kurma dalam
jumlah ganjil. HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Bukhari secara mu’allaq.
4. Adapun Pada ‘Idul Adh-ha Mengakhirkan Makan, dan Baru Makan setelah Kembali.
كَانَ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – لَا يَخْرُجُ يَوْمَ
اَلْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ, وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ اَلْأَضْحَى حَتَّى
يُصَلِّي
Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada
hari ‘Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan pada ‘Idul
Adh-ha beliau tidak makan sampai beliau mengerjakan shalat. HR.
At-Tirmidz.
Dalam riwayat lain dengan lafazh :
… وكان لا يأكل يوم النحر حتى يرجع .
… dan pada ‘Idul Adh-ha beliau tidak makan sampai beliau kembali (dari shalat ‘Id)HR. Ibnu Majah
Kedua hadits di atas dari shahabat Buraidah radhiyallahu ‘anhu , dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
5. Menuju ke Mushalla Shalat ‘Id dengan melewati Jalan yang Berbeda antara berangkat dan pulangnya
Dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma :
كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا كان يوم عيد خالف الطريق
Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila Hari Raya, beliau menempuh jalan yang berbeda. Muttafaqun ‘alaihi
Dari shahabat Abu Hurairah :
كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا خرج إلى العيدين رجع في غير الطريق الذي خرج فيه
Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar menuju shalat
‘Id, beliau pulang melewati jalan yang berbeda dengan jalan berangkat.
HR. Ahmad, At-Tirmidz, Ibnu Majah.
6. Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Id
Waktu Shalat ‘Id adalah seperti waktu Shalat Dhuha, yaitu sejak
Matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya Matahari. Dalilnya :
Pertama : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa`ur
Rasyidin radhiyallahu ‘anhum tidaklah mengerjakan shalat ‘id kecuali
setelah Matahari setinggi tombak.
Kedua : Bahwa sebelum itu (yakni mulai selesai shubuh, sampai
matahari terbit namun masih belum setinggi tombak) adalah waktu
terlarang untuk shalat.
(lihat Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin)
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah dalam kitab Sunan-nya meletakkan bab
berjudul : “Waktu Berangkat untuk Shalat ‘Id“. Kemudian beliau
menyebutkan atsar dari salah seorang Shahabat Nabi bernama ‘Abdul bin
Bisr radhiyallahu ‘anhu :
خرج عبد الله بن بسر صاحب النبي صلى الله عليه وسلم مع الناس في يوم عيد
فطر أو أضحى فأنكر إبطاء الإمام وقال : إنا كنا مع النبي صلى الله عليه
وسلم قد فرغنا ساعتنا هذه وذلك حين التسبيح
‘Abdullah bin Bisr salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berangkat bersama kaum muslimin pada hari ‘Idul Fithri
atau ‘Idul Adh-ha. Maka beliau mengingkari keterlambatan imam. Beliau
berkata : “Dulu ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pada waktu seperti ini sudah selesai shalat.” Saat ini adalah
sudah masuk waktu shalat Dhuha. HR. Abu Dawud. Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa`ul Ghalil III/101.
Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata ketika menjelaskan riwayat di atas :
Abu Dawud menyebutkan bab : “Waktu Berangkat Untuk Shalat ‘Id”, yakni
berangkat pada awal siang. Khathib tiba apabila Matahari sudah tinggi.
Waktu boleh untuk shalat datang setelah waktu terlarang untuk shalat,
yaitu ketika Matahari sudah setinggi tombak. Terdapat satu hadits yang
menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu
menyegerakan pelaksanaan Shalat ‘Idul Adh-ha, dan mengakhirkan
pelaksanaan Shalat ‘Idul Fithri.
Shalat ‘Idul Fithri jika engkau akhirkan sedikit dari masuknya waktu,
maka akan memberikan kesempatan lebih luas untuk pembagian Zakat Fitri.
Adapun Shalat ‘Idul Adh-ha jika disegerakan, maka memberikan kesempatan
lebih luas untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban.
Yang jelas, waktu Shalat ‘Id dimulai sejak Matahari setinggi tombak,
sebagaimana hadits shahabat ‘Abdullah bin Bisr …. .” (Syarh Sunan Abi
Dawud – Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Waktu Shalat ‘Id dimulai semenjak Matahari setinggi tombak dan
berakhir ketika zawal (Matahari mulai tergelincir). Namun disunnahkan
untuk menyegerakan pelaksanaan Shalat ‘Idul Adh-ha, dan mengakhirkan
pelaksanaan Shalat ‘Idul Fithri. Berdasarkan keterangan yang
diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau dulu
melaksanakan shalat ‘Idul Adh-ha ketika Matahari setinggi tombak, dan
melaksanakan Shalat ‘Idul Fithri ketika Matahari setinggi dua tombak.
Karena umat ketika ‘Idul Fithri butuh waktu yang longgar untuk
memberikan kesempatan membagikan Zakat Fitri. Adapun pada ‘Idul Adh-ha
yang dituntunkan untuk bersegera menyembelih hewan qurban, dan ini tidak
bisa terwujud kecuali jika shalat disegerakan pada awal waktu.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/141)
7. Apakah ada Adzan dan Iqamah?
Dari ‘Atha rahimahullah dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhum, berkata : “Tidak pernah ada adzan
pada hari ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adh-ha.”
Kemudian aku (‘Atha`) bertanya kepadanya setelah beberapa waktu, maka
Ibnu ‘Abbas berkata, Jabir bin ‘Abdillah memberitakan bahwa tidak ada
adzan untuk shalat ‘Idul Fithri ketika keluarnya imam atau pun
setelahnya, tidak ada pula iqamah, tidak ada seruan, dan tidak ada
sesuatupun. Tidak ada adzan pada hari itu, dan tidak ada pula iqamah.”
Muttafaqun ‘alaihi.
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Saya shalat dua
hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari
sekali atau dua kali, semuanya tanpa adzan dan tanpa iqamah.” HR. Muslim
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (Fatwa no. 1002)
Pertanyaan :
bagaimana dengan penggunaan mikrophon sebelum shalat ‘idul Fithri dan
Shalat ‘idul Adh-ha, untuk mengajak kaum muslimin menghadiri shalat ‘id
dan memahamkan mereka bahwa shalat ‘id adalah shalat yang wajib?
Jawab :
Termasuk bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
tidak melakukan seruan apapun untuk shalat ‘idul fithri maupun shalat
‘idul ‘Adh-ha, baik untuk mengajak kaum muslimin menghadiri shalat ‘id
maupun memahamkan mereka tentang hukum shalat ‘id. Tidak boleh melakukan
itu, baik dengan mikrophon atau pun yang lainnya. Karena waktu
pelaksanaan shalat ‘id sudah diketahui, walhamdulillah. Allah Ta’ala
telah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
Sungguh telah ada untuk kalian suri tauladan yang baik pada diri
Rasulullah, yaitu bagi barangsiapa yang mengharap ridha Allah dan Hari
Akhir. (Al-Ahzab : 21)
Dan semestinya bagi Waliyyul Amr, baik pemerintah maupun ‘ulama,
untuk menjelaskan hukum shalat ‘id ini sebelum tiba Hari ‘Id, serta
menjelaskan kepada mereka tata caranya, apa yang semestinya dilakukan
padanya, baik sebelum maupun setelahnya, sehingga kaum muslimin
bersemangat datang ke mushalla ketika pelaksanaan shalat ‘id dan
menunaikannya sesuai dengan ketentuan syari’at.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan
Anggota : ‘Abdullah bin Mani’
8. Tata Cara Shalat ‘Id
Shalat ‘Id dua rakaat. Setelah Takbiratul Ihram sebelum membaca
Al-Fatihah, takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, dan takbir
sebanyak 5 kali pada rakaat kedua.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
التكبير في الفطر سبع في الأولى، وخمس في الآخرة، والقراءة بعدهما كلتيهما
Takbir pada Shalat ‘Idul Fithri tujuh kali pada rakaat pertama, lima
kali pada rakaat kedua. Dan qiraah dilakukan setelahnya pada dua rakaat
tersebut.” HR. Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Al-Irwa` III/108.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertakbir pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, pada
rakaat pertama sebanyak 7 kali takbir, dan para rakaat kedua 5 kali
takbir.”
Takbir ini hukumnya sunnah. Jika ditinggalkan, baik sengaja maupun
lupa, tidak membatalkan shalat. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
“Saya tidak mengetahui ada perselihan dalam masalah ini.“
Asy-Syaukani rahimahullah merajihkan bahwa jika lupa tidak perlu sujud sahwi.
Apa yang dibaca antara takbir-takbir tersebut?
Dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ta’anhu tentang
shalat ‘Id : “Antara tiap dua takbir (membaca) pujian untuk Allah ‘Azza
wa Jalla dan sanjungan terhadap Allah.”
Apakah Mengangkat Tangan ketika Takbir?
Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Tidak mengangkat tangan pada
tiap-tiap takbir, kecuali pada takbir yang mengangkat tangan pada
shalat-shalat lainnya.” (Al-Muhalla – masalah 543)
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata :
“Yang benar dikatakan padanya, tidak disunnahkan mengangkat tangan,
karena tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam masalah ini. Adapun diriwayatkan (mengangkat tangan) dari
shahabat ‘Umar dan anaknya (‘Abdullah bin ‘Umar), tidak menjadikan
hukumnya sunnah.” (Tamamul Minnah)
Namun keterangan di atas berbeda dengan keterangan Al-Lajnah Ad-Da`imah.
Pada fatwa no. 10.557 Al-Lajnah Ad-Da`imah menegaskan bahwa
“Mengangkat kedua tangan pada tiap takbir.” (Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Baz, ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, dan ‘Abdullah bin Ghudayyan)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Yang benar, mengangkat kedua tangan pada tiap-tiap takbir, demikian
juga pada takbir shalat jenazah. Karena ini diriwayatkan dari shahabat
radhiyallahu ‘anhum, dan tidak ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam riwayat yang menyelisihinya. Amalan seperti ini tidak ada
kesempatan bagi ijtihad, karena itu gerakan dalam ibadah, tidaklah
seorang shahabat berpegang pada satu pendapat, kecuali ada asalnya dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah shahih riwayat dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “bahwa beliau dulu mengangkat kedua
tangannya pada tiap-tiap takbir shalat jenazah.” Bahwa diriwayatkan
secara marfu’, di antara ‘ulama ada yang menshahihkan riwayat yang
marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada pula riwayat dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu :
“bahwa beliau dulu mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir
shalat jenazah dan shalat ‘Id.”
Demikian juga terdapat riwayat dari Zaid. Keduanya diriwayatkan oleh Al-Atsram.”
(Asy-Syarhul Mumti’)
Surat yang dibaca dalam Shalat ‘Id
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata : “Dulu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada shalat ‘id dan shalat
Jum’at membaca surat “Sabbihisma Rabbikal a’la” (yakni surat Al-A’la)
dan surat “Hal Atakah Haditsul Ghasyiyah” (yakni surat Al-Ghasyiyyah).
Apabila Hari ‘Id dan hari Jum’at bertemu pada satu hari yang sama, maka
beliau pun membaca dua surat tersebut pada kedua shalat (yakni shalat
‘Id dan Shalat Jum’at). HR. Muslim
Dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu : ‘Umar bin Al-Khaththab
bertanya kepadaku tentang surat apa yang dibaca oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Id? Maka aku jawab : “Beliau
membaca surat “Iqtarabatis Sa’ah” (yakni surat Al-Qamar) dan surat “Qaf.
Wal Qur`anil Majid” (yakni surat Qaf).” HR. Muslim
9. Tidak Ada Shalat Apapun Sebelum dan Sesudahnya
Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج يوم الفطر، فصلى ركعتين، لم يصل قبلها ولا بعدها، ومعه بلال
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada hari ‘Idul
Fithri, maka beliau mengerjakan Shalat (‘Id) dua rakaat, beliau tidak
shalat apapun sebelum atau pun sesudahnya, dan bersama beliau shahabat
Bilal. Muttafaqun ‘alaihi
10. Khuthbah ‘Id setelah Shalat
Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata :
شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم فكلهم كانوا يصلون قبل الخطبة
Aku menghadiri pelaksanaan shalat ‘id bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan bersama Khalifah Abu Bakr, Khalifah ‘Umar, dan
Khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum, mereka semua mengerjakan shalat
terlebih dahulu sebelum khuthbah. Muttafaqun ‘alaihi
Dari ‘Abdullah bin Sa`ib radhiyallahu ‘anhu :
شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيد، فلما قضى الصلاة قال : إنا
نخطب؛ فمن أحب أن يجلس للخطبة فليجلس، ومن أحب أن يذهب فليذهب
Aku menghadiri pelaksanaan shalat ‘Id bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika selesai mengerjakan shalat, beliau bersabda :
“Kami akan berkhutbah, barangsiapa ingin duduk (mendengar khuthbah),
maka silakan duduk, namun barangsiapa yang ingin pergi, boleh untuk
pergi. HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah.
11. Apakah Khuthbah ‘Id dibuka dengan Takbir?
Hukum asalnya adalah seorang khathib memulai khuthbah dengan
Khutbatul Hajah. Tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau membuka Khuthbah ‘Id dengan takbir.
12. Qadha Shalat ‘Id
Dari Abu ‘Umair bin Anas bin Malik berkata, salah seorang pamanku
dari Anshar dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitakan kepadaku, mereka berkata, “bahwa hilal Syawwal
terhalangi dari kami. Maka keesokan harinya kami pun masih berpuasa.
Pada akhir siang datanglah rombangan para pengendara, maka mereka
bersaksi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka
telah melihat hilal kemarin sore. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan mereka (para shahabat) untuk membatalkan puasanya,
dan melaksanakan shalat ‘Id esok harinya.
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
– Hadits ini menunjukkan bahwa shalat ‘Id jika tidak
diketahui telah masuk ‘Idul Fithri kecuali setelah berakhir (keluar)
waktu pelaksanaan shalat ‘Id, maka pelaksanaannya ditunda esok harinya.
Namun jika diketahui ketika masih dalam rentang waktu shalat ‘Id, maka
dikerjakan hari itu juga.
– Shalat yang dikerjakan esok harinya, apakah shalat ada`
(tunai) atau qadha? Jawabnnya adalah shalat ada` (tunai), karena
berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Segala yang
diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pelaksanaannya adalah ada’
(tunai).
(lihat Syarh Bulughul Maram , Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin).
13. Jika Terlewatkan dari Shalat ‘Id
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meletakkan bab dalam Shahih-nya :
“Jika Terlewatkan dari Shalat ‘Id maka Hendaknya Mengerjakan Shalat Dua
Raka’at.”
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa cara mengerjakan Shalat Dua Raka’at
tersebut adalah persis dengan dengan cara pelaksanaan Shalat ‘Id itu
sendiri, namun tanpa khuthbah.
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat jika
terlewatkan shalat ‘id maka tidak perlu diqadha’. Karena dua alasan :
– karena tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
– karena Shalat ‘Id adalah shalat yang dikerjakan secara
bersama-sama pada waktu tertentu, tidaklah disyari’at pelaksanaannya
kecuali dengan cara tersebut.
14. Takbir Pada ‘Idul Fithri
Disyari’atkan bertakbir pada ‘Idul Fithri, dimulai sejak keluar
berangkat menuju shalat ‘id hingga dimulainya khutbah ‘id. Ini
berdasarkan riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejumlah
shahabatnya.
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa takbir dimulai semenjak tenggelamnya Matahari malam ‘Idul Fithri.
Adapun lafazh takbir :
الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.
Atau boleh juga :
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد.
15. Mengucapkan Selamat pada Hari Raya
Dari Jubair bin Nufair berkata, “Dulu para shahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam jika bertemu pada hari ‘Id, yang satu mengucapkan
pada lain :
تقبل الله منا ومنكم
Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan dari anda
(diriwayatkan oleh Al-Muhamili)
Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata :
“Tidak mengapa seorang muslim mengatakan kepada saudaranya sesama
muslim (pada Hari Raya) : “Taqabbalallahu minna wa minka a’malana
ash-shalihah”, dan saya tidak mengetahui ada nash khusus. Seorang muslim
mendoakan saudaranya dengan doa yang baik, berdasarkan dalil-dalil yang
sangat banyak.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XIII/25)
http://www.assalafy.org/mahad/?p=363
Tidak ada komentar:
Posting Komentar