Ramadhan memang telah lewat. Namun
itu tidak berarti menyurutkan semangat kita dalam beribadah. Masih
banyak tambang pahala di luar Ramadhan…
Ramadhan berlalu sudah, menyisakan sepenggal duka di hati insan
beriman karena harus berpisah dengan bulan yang penuh keberkahan dan
kebaikan. Terbayang saat-saat yang
sarat dengan ibadah; puasa, tarawih,
tadarus Al-Qur`an, dzikir, istighfar, sedekah, memberi makan orang yang
berbuka… Rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala dipenuhi jamaah,
majelis-majelis dzikir dan ilmu, dipadati hadirin. Mengingat semua itu,
tersimpan satu asa: andai setiap bulan dalam setahun adalah Ramadhan.
Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan segala sesuatu dengan
hikmah-Nya. Yang tersisa hanyalah satu tanya: Adakah umur akan sampai di
tahun mendatang untuk bersua kembali dengan Ramadhan?
Ya. Ramadhan memang telah meninggalkan kita. Namun bukan berarti pupus
harapan untuk meraih kebaikan demi kebaikan, karena bulan-bulan yang
datang setelah Ramadhan pun memberi peluang kepada kita untuk mendulang
pahala. Demikianlah seharusnya kehidupan seorang muslim. Ia habiskan
umur demi umurnya, waktu demi waktunya di dunia, untuk mengumpulkan
bekal agar beroleh kebahagiaan dan keberuntungan di negeri akhirat
kelak.
Datangnya Syawwal setelah Ramadhan
Hari pertama bulan Syawwal ditandai dengan gema takbir, tahlil dan
tahmid dari lisan-lisan kaum muslimin, menandakan tibanya hari Idul
Fithri. Berpagi-pagi kaum muslimin menuju ke tanah lapang untuk
mengerjakan shalat Idul Fithri sebagai tanda syukur kepada Rabb yang
telah memberikan banyak kenikmatan, termasuk nikmat adanya hari Idul
Fithri. Tidak ketinggalan kaum wanita muslimah, turut keluar ke tanah
lapang. Dan keluarnya para wanita ini termasuk perkara yang disyariatkan
dalam agama Islam sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hafshah bintu Sirin, seorang wanita yang alim dari kalangan tabi’in rahimahullah berkata:
كُنَّا نَمْنَعُ جَوَارِيَنَا أَنْ يَخْرُجْنَ يَوْمَ الْعِيْدِ،
فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ فَنَزَلَتْ قَصْرَ بَنِي خَلَفٍ، فَأَتَيْتُهَا،
فَحَدَثَّتْ أَنَّ زَوْجَ أُخْتِهَا غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً، فَكَانَتْ أُخْتُهَا
مَعَهُ فِي سِتِّ غَزَوَاتٍ. فَقَالَتْ: فَكُنَّا نَقُوْمُ عَلَى
الْمَرْضىَ وَنُدَاوِي الْكَلْمَى. فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، عَلَى
إِحْدَانَا بَأْسٌ -إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا جِلْبَابٌ- أَنْ لاَ تَخْرُجَ؟
فَقَالَ: لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا، فَلْيَشْهَدْنَ
الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ. قَالَتْ حَفْصَةُ: فَلَمَّا
قَدِمَتْ أُمُّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَتَيْتُهَا
فَسَأَلْتُهَا: أَسَمِعْتِ فِي كَذَا وَكَذَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ، بِأَبِي –
وَقَلَّمَا ذَكَرَتِ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ
قَالَتْ: بِأَبِي- قَالَ: لِيَخْرُجِ الْعَوَاتِقُ ذَوَاتُ الْخُدُوْرِ
-أَوْ قَالَ: الْعَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الْخُدُوْرِ. شَكَّ أَيُّوبُ-
وَالْحُيَّضُ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى وَلْيَشْهَدْنَ
الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ. قَالَتْ: فَقُلْتُ لَهَا:
آلْحُيَّضُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، أَلَيْسَ الْحَائِضُ تَشْهَدُ عَرَفَاتٍ
وَتَشْهَدُ كَذَا وَتَشْهَدُ كَذَا؟
Kami dahulu melarang gadis-gadis kami1 untuk keluar (ke
mushalla/tanah lapang) pada hari Id2. Datanglah seorang wanita, ia
singgah/tinggal di bangunan Bani Khalaf. Maka aku mendatanginya. Ia
kisahkan kepadaku bahwa suami dari saudara perempuannya3 (iparnya)
pernah ikut berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebanyak 12 kali dan saudara perempuannya itu menyertai suaminya dalam 6
peperangan. Saudara perempuannya itu mengatakan: “(Ketika ikut serta
dalam peperangan), kami (para wanita) mengurusi orang-orang yang sakit
dan mengobati orang-orang yang luka (dari kalangan mujahidin).” Saudara
perempuannya itu juga mengatakan ketika mereka diperintah untuk ikut
keluar ke mushalla ketika hari Id: “Wahai Rasulullah, apakah berdosa
salah seorang dari kami bila ia tidak keluar ke mushalla (pada hari Id)
karena tidak memiliki jilbab?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya kepadanya, agar
mereka (para wanita) dapat menyaksikan kebaikan dan doanya kaum
mukminin.”
Hafshah berkata: “Ketika Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha datang (ke
daerah kami), aku mendatanginya untuk bertanya: ‘Apakah engkau pernah
mendengar tentang ini dan itu?’ Ummu ‘Athiyyah berkata: “Iya, ayahku
menjadi tebusannya”. –Dan setiap kali Ummu ‘Athiyyah menyebutkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: “Ayahku menjadi tebusannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah
gadis-gadis perawan yang dipingit…”. Atau beliau berkata: “Hendaklah
gadis-gadis perawan dan wanita-wanita yang dipingit… –Ayyub, perawi
hadits ini ragu– (ikut keluar ke mushalla Id). Demikian pula
wanita-wanita yang sedang haid. Namun hendaklah mereka memisahkan diri
dari tempat shalat, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa kaum
mukminin.” Wanita itu berkata: Aku bertanya dengan heran: “Apakah wanita
haid juga diperintahkan keluar?” Ummu ‘Athiyyah menjawab: “Iya.
Bukankah wanita haid juga hadir di Arafah, turut menyaksikan ini dan
itu4?” (HR. Al-Bukhari no. 324, 980 dan Muslim no. 2051)
Ditekankannya perkara keluarnya wanita ke mushalla Id ini tampak pada
perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar wanita yang tidak
punya jilbab tetap keluar menuju mushalla dengan dipinjami jilbab
wanita yang lain. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak
memberikan udzur ketiadaan jilbab tersebut untuk membolehkan si wanita
tidak keluar ke mushalla.
Di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, para shahabiyyah
menjalankan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas
sehingga mereka dijumpai ikut keluar ke mushalla Id. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menaruh perhatian atas kehadiran
mereka dengan memberikan nasehat khusus kepada mereka di tempat mereka
tatkala beliau pandang, khutbah Id yang beliau sampaikan tidak terdengar
oleh mereka. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini: Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
أَشْهَدُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ. قَالَ: ثُمَّ خَطَبَ، فَرَأَى أَنَّهُ لَمْ
يُسْمِعِ النِّسَاءَ، فَأَتَاهُنَّ فَذَكَّرَهُنَّ وَوَعَظَهُنَّ
وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ، وَبِلاَلٌ قَائِلٌ بِثَوْبِهِ فَجَعَلَتِ
الْمَرْأَةُ تُلْقِي الْخَاتِمَ وَالْخُرْصَ وَالشَّيْءَ
“Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengerjakan shalat Id sebelum khutbah, kemudian beliau berkhutbah.
Beliau memandang bahwa khutbah yang beliau sampaikan tidak terdengar
oleh kaum wanita. Maka beliau pun mendatangi tempat para wanita, lalu
memperingatkan mereka, menasehati dan memerintahkan mereka untuk
bersedekah. Sementara Bilal membentangkan pakaiannya untuk mengumpulkan
sedekah para wanita tersebut. Mulailah wanita yang hadir di tempat
tersebut melemparkan cincinnya, anting-antingnya dan perhiasan lainnya
(sebagai sedekah).” (HR. Al-Bukhari no. 1449 dan Muslim no. 2042)
Kepada para wanita yang hadir tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan:
تَصَدَّقْنَ، فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ. فَقَامَتِ
امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ: لِمَ
يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ
وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ
“Bersedekahlah kalian, karena mayoritas kalian adalah kayu bakar
Jahannam.” Salah seorang wanita yang hadir di tengah-tengah para wanita,
yang kedua pipinya kehitam-hitaman, berdiri lalu berkata: “Kenapa kami
mayoritas kayu bakar Jahannam, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:
“Karena kalian itu banyak mengeluh dan mengingkari kebaikan suami.” (HR.
Muslim no. 2045)
Puasa Sunnah di Bulan Syawwal
Selain kegembiraan di hari awal bulan Syawwal dengan datangnya Idul
Fithri, ada keutamaan yang dijanjikan bagi setiap insan beriman di bulan
yang datang setelah Ramadhan ini, yaitu disunnahkannya ibadah puasa
selama enam hari. Sebenarnya, ulama berbeda pendapat tentang sunnah atau
tidaknya puasa ini. Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, Dawud, dan
orang-orang yang sepakat dengan mereka berpendapat sunnah. Sedangkan
Al-Imam Malik dan Abu Hanifah memakruhkannya. Al-Imam Malik berkata
dalam Al-Muwaththa`: “Aku tidak melihat seorang pun dari ahlul ilmi yang
mengerjakan puasa ini.” Mereka mengatakan: Puasa ini dimakruhkan agar
tidak disangka puasa ini termasuk kewajiban (karena dekatnya dengan
Ramadhan).
Namun pendapat yang rajih/kuat adalah pendapat yang mengatakan sunnahnya
puasa enam hari di bulan Syawwal, karena adanya hadits shahih lagi
sharih/jelas dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shahabat
yang mulia Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa yang puasa Ramadhan, kemudian ia mengikutkannya dengan puasa
enam hari di bulan Syawwal, maka puasanya itu seperti puasa setahun.”
(HR. Muslim no. 2750)
Tentunya keberadaan hadits yang shahih tidak boleh ditinggalkan karena
mengikuti pendapat sebagian atau mayoritas orang, bahkan pendapat semua
orang sekalipun. (Al-Minhaj, 8/297)
Udzur paling bagus yang diberikan kepada Al-Imam Malik rahimahullah
dengan pendapat beliau yang memakruhkan puasa enam hari di bulan Syawwal
adalah udzur yang dinyatakan oleh Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr
rahimahullah : “Hadits ini tidak sampai kepada Al-Imam Malik. Seandainya
sampai kepada beliau, niscaya beliau akan berpendapat sebagaimana
hadits tersebut.” (Taudhihul Ahkam, 3/534)
Ulama kita menafsirkan hadits di atas dengan menyatakan kebaikan itu
dilipat-gandakan pahalanya menjadi sepuluh kali. Sehingga Ramadhan yang
dikerjakan selama sebulan dilipatgandakan senilai sepuluh bulan.
Sementara puasa enam hari bila dilipat-gandakan sepuluh berarti memiliki
nilai enam puluh hari yang berarti sama dengan dua bulan. Sehingga bila
seseorang menyempurnakan puasa Ramadhan ditambah dengan puasa enam hari
di bulan Syawwal, jadilah nilai puasanya sama dengan puasa setahun
penuh (12 bulan). Tercapailah pahala ibadah setahun dengan tidak
memberikan kepayahan dan kesulitan, sebagai keutamaan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan nikmat-Nya atas hamba-hamba-Nya. (Al-Hawil
Kabir, 3/475, Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
3/413, Taudhihul Ahkam, 3/534)
Adapun pelaksanaan puasa enam hari di bulan Syawwal ini bisa dilakukan
di awal atau di akhir bulan, secara berurutan atau dipisah-pisah, karena
haditsnya menyebutkan secara mutlak tanpa pembatasan waktu. (Al-Mughni,
kitab Ash-Shiyam, mas’alah Wa Man Shama Syahra Ramadhan, wa Atba’ahu bi
Sittin min Syawwal)
Dzulhijjah Bulan Haji
Bulan Dzulhijjah yang datang setelah Syawwal dan Dzulqa’dah adalah bulan
yang juga memiliki keutamaan untuk memperbanyak amal shalih di
dalamnya. Terutama di sepuluh hari yang awal, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلىَ اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هذِهِ اْلأَياَّمِ الْعَشْرِ. فقَالُوا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ، وَ لاَ جِهَادٌ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ جِهَادٌ فِي
سَبِيْلِ اللهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ
يَرْجِعْ مِنْ ذلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidak ada hari di mana amal shalih pada saat itu lebih dicintai
Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada hari-hari yang sepuluh ini.” Mereka
berkata: “Wahai Rasulullah, tidak pula jihad fi sabilillah?” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad fi sabilillah,
kecuali seseorang keluar berjihad membawa jiwa dan hartanya, kemudian
tidak ada sesuatupun yang kembali darinya (ia kehilangan jiwanya dan
hartanya dalam peperangan).” (HR.At-Tirmidzi no. 757 dan selainnya,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi)
Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: mencakup shalat, puasa,
sedekah, dzikir, takbir, membaca Al-Qur`an, birrul walidain (berbuat
baik kepada kedua orang tua), silaturahim, berbuat baik kepada makhluk
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan selainnya.
Di bulan Dzulhijjah ini dilaksanakan satu ibadah akbar yang merupakan
rukun kelima dari agama kita yang mulia, yakni ibadah haji ke Baitullah.
Di sana, di tanah suci, di sisi Baitul ‘Atiq dan di tempat-tempat syiar
haji lainnya, jutaan kaum muslimin dan muslimah berkumpul dari segala
penjuru dunia dengan satu tujuan, mengagungkan syiar Allah Subhanahu wa
Ta’ala, memenuhi panggilan-Nya:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ،
إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu tidak ada
sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala pujian,
kenikmatan, dan kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Ketika tamu-tamu Allah Subhanahu wa Ta’ala sedang wuquf di Arafah, kita
yang tidak berhaji disunnahkan untuk puasa di hari tersebut (tanggal 9
Dzulhijjah). Puasa hari Arafah ini dinyatakan sebagai puasa sunnah yang
paling utama (afdhal) menurut kesepakatan ulama. (Taudhihul Ahkam,
3/530)
Dalam pelaksanaan puasa di hari ini ada keutamaan besar yang dijanjikan
sebagaimana berita dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:
سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ، قَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari
Arafah? Beliau bersabda: “Puasa Arafah (keutamaannya) akan menghapus
dosa5 di tahun yang telah lewat dan tahun yang tersisa (mendatang).”
(HR. Muslim no. 2739)
Penghapusan dosa di tahun mendatang maksudnya adalah seseorang itu
diberi taufik untuk tidak melakukan perbuatan dosa, atau bila ia jatuh
dalam perbuatan dosa, ia diberi taufik untuk melakukan perkara-perkara
yang dengannya akan menghapuskan dosanya. (Subulus Salam, 2/265)
Keesokan harinya, tanggal 10 Dzulhijjah, ada lagi kegembiraan yang bisa
kita rasakan sebagai anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rahmat-Nya.
Yaitu datangnya hari raya haji yang dikenal dengan Idul Adhha, yang di
dalamnya ada ibadah penyembelihan hewan kurban. Gema takbir, tahlil dan
tahmid yang telah dikumandangkan sejak fajar hari Arafah terus terdengar
pada hari berbahagia ini sampai akhir hari Tasyriq.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ
“Allah Maha Besar Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang benar
kecuali hanya Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar, dan segala puji
hanya milik Allah.”
Demikianlah wahai saudariku. Bulan-bulan yang kita lewati dalam hidup
kita sebenarnya senantiasa menjanjikan kebaikan dan pahala, asalkan kita
memang berniat mendulangnya sebagai bekal untuk menuju pertemuan dengan
Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Jawari atau ‘awatiq adalah anak perempuan yang telah baligh atau
mendekati baligh, atau wanita yang sudah pantas untuk menikah, atau
wanita yang mulia di tengah keluarganya. (Fathul Bari, 1/548, Al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim, 6/418)
2 Mungkin mereka dulunya melarang gadis-gadis untuk keluar rumah karena
adanya kerusakan yang terjadi setelah masa yang awal. Namun para
shahabat tidak memandang demikian. Bahkan para shahabat memandang hukum
yang ditetapkan di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus
berlaku. (Fathul Bari, 1/549)
3 Ada yang mengatakan nama saudara perempuannya adalah Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha (Fathul Bari, 1/549)
4 Seperti hadir di Muzdalifah, Mina, dan selainnya.
5 Jumhur ulama berpendapat bahwa dosa yang dihapuskan hanyalah dosa
kecil. Adapun dosa besar harus dengan taubat atau beroleh rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan keutamaan-Nya. (Al-Minhaj, 3/106)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Yang dimaukan dengan dosa
yang dapat dihapuskan dengan ibadah puasa adalah dosa kecil. Kalau
seseorang ternyata tidak memiliki dosa kecil, diharapkan dengan puasa
itu akan diringankan dosa besarnya. Bila ia juga tidak memiliki dosa
besar maka akan diangkat derajatnya.” (Al-Minhaj, 3/107, 8/292)
Al-Imam Al-Haramain rahimahullah mengatakan: “Setiap pengabaran yang
menunjukkan penghapusan dosa maka menurutku hal itu dibawa kepada
dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa (besar) yang membinasakan.” (Taudhihul
Ahkam, 3/530)
Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah hadits ‘Utsman
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوْبَةٌ فَيُحْسِنُ
وُضُوْءَهَا وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا إِلاَّ كَانَتْ لَهُ كَفَّارَةٌ
لِمَا قَبْلَها مِنَ الذُّنُوْبِ، مَا لَمْ تُؤْتَ كَبِيْرَةً وَذلِكَ
الدَّهْرُ كُلُّهُ
“Tidak ada seorang muslimpun yang mendatanginya shalat wajib, lalu ia
membaguskan wudhunya, khusyunya dan rukunya, melainkan hal itu menjadi
penghapus baginya dari dosa yang sebelumnya, selama ia tidak melakukan
dosa besar. Yang demikian itu terus diperoleh di seluruh masa.” (HR.
Muslim no. 542)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
الصَّلاَةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu dan Jum’at ke Jum’at merupakan kaffarah (penghapus
) dari dosa-dosa yang terjadi di antaranya, selama tidak dilakukan
kaba`ir/dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)
url: http://asysyariah.com
Makkah Fajr - 25th November 2024
-
*Makkah Fajr *
(Surah Ale ‘Imraan: Ayaah 98-115) *Sheikh Juhany*
Download 128kbps Audio
3 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar