Idul
Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang
memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya
banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi
yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang
kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela
melakukan
perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan
berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya
sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam “memaknainya”.
Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa
Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya
Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan
perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya
tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana
keinginan syariat.
Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang
datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul
Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar
dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang
sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.
Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa
usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk
menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu,
transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus
mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah
sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada
tanda-tanda menurun atau berkurang.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak
diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia
lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi
demikian jauh dari yang dimaukan syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu
berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan.
Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak,
tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi
baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan
para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya.
Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beridul
Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.
Definisi Id (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu
terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan
atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا،
فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا
فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا،
يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam
keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka
bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami
bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah
menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu
Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Hukum Shalat Id
Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:
Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang
meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam
Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu
negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan
mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab
Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan
Syafi’i.
Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini
pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa
memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk
menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.”
(Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى
الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ
فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ
الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ
لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari
raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan
wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat
shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata:
“Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi
menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru
Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi
menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak
mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab
oleh yang lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah
untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat
shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut
berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat
Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari.
Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu
kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat
Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186,
As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)
Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang
mukim (tidak sedang bepergian)?
Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang
mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang
pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan
melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan
ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20
peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya
beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” (Majmu’ Fatawa,
24/177-178)
Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id
عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ
يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
“Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu
mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).”
(Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari
jalannya dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu
‘anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu
mau.” Ia menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali
radhiallahu ‘anhu berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha,
dan hari Idul Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))
Memakai Wewangian
عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ
“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai
wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan
dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu
dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang
paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus
Sunnah, 4/303)
Memakai Pakaian yang Bagus
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ
إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ
ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ
مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ
Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera
yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, lalu Umar radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah,
belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan
menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di
akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat
Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias
untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.”
(Fathul Bari)
Makan Sebelum Berangkat Shalat Id
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ
تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ
قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di
hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘
berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata
kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari
Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)
Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada
Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali
dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.”
Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha)
sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan
Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul
Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)
Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ
فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ،
فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di Hari Raya
Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan
sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus
takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam
Ash-Shahihah no. 171)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil
disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan
keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara
mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir
menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya
mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah
serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik
untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan
padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian
manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)
Lafadz Takbir
Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan
itu ada beberapa lafadz.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ
أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad
yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan
Al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir.
Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)
Tempat Shalat Id
Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di
mushalla.
Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan
bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut
ini.
عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي
يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ
فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا
Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha
ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan
mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai
dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa
yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih,
HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil
‘Id)
Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan
yang dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud
adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan
kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga
Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat,
sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk
pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di
tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى
الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ
فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ
يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ
يَنْصَرِفُ
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu
keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali
beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di
hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau
menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah
kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus,
atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau
pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal
Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah
tempat yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid
Nabawi sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah
haji meletakkan barang bawaan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu
di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil
dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh
Al-Albani, hal. 16)
Waktu Pelaksanaan Shalat
يَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ
بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ
النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ
اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ
وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ
“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah
seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama
orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari
lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat
seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara
mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud
Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab
Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain.
Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat
sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat
padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika
Shalat Sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak
boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya.
Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.”
Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila
terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini
pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu
Hanifah, Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul
Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab:
“Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan
sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali
bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di
masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu
dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari
karya Ibnu Rajab, 6/105)
Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan
disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah,
Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau
mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambatkan
Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan
semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit
matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad,
1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas
waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan
menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih
dan tidak memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan
hasil qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)
Tanpa Adzan dan Iqamah
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ
مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2
Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali,
tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ
قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى
ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ:
أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ
لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا
يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ
يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari
keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian
aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku
bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan
iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah
keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun,
tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam
hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan
‘Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan
menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat
2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka
berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu
Az-Zuhri.
Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun
riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong
dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah
tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat
Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu,
sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat
dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas
di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan
bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak
ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa
panggilan untuk Shalat Id adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq
terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan
tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak
dilakukan sesuatupun dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad,
1/427)
Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id
Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan
shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan
ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang
kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir
ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى
تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri
dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam
Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu
Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan
Abu Dawud no. 1149)
Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan
takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir
tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari
Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa 7 takbir itu
termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178,
Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk
takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi
sebelumnya)
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ
اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي
اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7
pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2
takbir shalat.”(Ini lafadz Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni:
سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ
“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar,
4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no.
20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama
Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan
oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana
dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid
Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul
‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh
dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang
pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal
ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat
Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul
Ma’ad, 1/427-428)
Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat
tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.
Kapan Membaca Doa Istiftah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul
ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26.
Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)
Khutbah Id
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama
Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu
sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah
Ba’dal Id)
Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan
menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk
bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan juga beliau
mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah,
karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ
قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ
فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama
Rasulullah Shalat Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata:
“Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan
khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.”
(Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi
nasehat-nasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda
keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau
mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali
kekacauan. Wallahu a’lam.
Wanita yang Haid
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak
boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan
untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam
pembahasan hukum Shalat Id.
Sutrah Bagi Imam
Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain
yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya,
panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan
sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang
sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah
ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau
munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini
adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya,
marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ
فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ
وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا
اْلأُمَرَاءُ
“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu
apabila keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak
kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya,
sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya
dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan
Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan
Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)
Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila
tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan
orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini
adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik,
Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir
seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)
Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ
خَالَفَ الطَّرِيْقَ
Dari Jabir, ia berkata:” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari
Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya
Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau
selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang
dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik,
Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu,
maka tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih
banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa
cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad,
1/433)
Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at
عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ
مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ
قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟
قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ
شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam:
“Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu
hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau
lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada
Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat
Jumat maka shalatlah’.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ،
فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka
barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at
dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya
diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa
yang ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan
tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang
yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id
bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para
shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di
antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para
ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271)
Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan
sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian
mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula
masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa,
24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.
1 ‘Id artinya kembali.
2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=373
Makkah 'Isha - 25th December 2024
-
*Makkah Isha *
(Surah Hashr: Ayaah 18-24) *Sheikh Baleelah*
Download 128kbps Audio
4 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar