‘Ied “lebaran” merupakan hari berbahagia dan bersuka cita bagi kaum
muslimin di seluruh penjuru dunia. Kegembiraan ini nampak di
wajah,tindak-tanduk dan kesibukan mereka. Orang yang dulunya berselisih
dan saling benci, pada hari itu saling mema’afkan. Ibu-ibu rumah tangga
sibuk membuat berbagai macam kue, ketupat, makanan yang akan
dihidangkan
kepada para tamu yang akan berdatangan pada hari ied. Bapak-bapak sibuk
belanja baju baru buat anak dan keluarganya. Para pekerja dan penuntut
ilmu yang ada diperantauan nun jauh di negeri orang sibuk menghubungi
keluarga mereka, entah lewat surat atau telepon.
Di balik kesibukan dan kegembiraan ini, terkadang mengantarkan sebagian
manusia lalai untuk mempersiapkan apa yang mereka harus kerjakan di hari
Ied. Diantaranya, seperti berikut ini:
• Dianjurkan mandi sebelum berangkat ke musholla.
Seorang di hari ied disunnahkan untuk bersuci dan membersihkan diri agar
bau tak sedap tidak mengganggu saudara kita yang lain ketika sholat dan
bertemu. Ini berdasarkan atsar dari
Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu pernah ditanya tentang mandi, maka beliau menjawab,
يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“(Mandi seyogyanya dilakukan) di hari Jum’at, hari Arafah (wuquf), hari Iedul Adh-ha, dan hari Iedul Fitri”. [HR.Asy-Syafi’i dalam Al-Musnad (114), dan Al-Baihaqy (5919)]
• Memakai Pakaian yang Bagus dan Berhias dengannya
Diantara bentuk kegembiraan seorang muslim, dia mempersiapkan dan
memakai pakaian baru di hari raya iedul Fitri dan iedul Adhha.
Ketahuilah, Sunnah ini diambil dari hadits Ibnu Umar , ia berkata:
أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِيْ السُّوْقِ
فَأَخَذَهَا فَأَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ يَارَسُولَ اللهِ اِبْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ
وَالْوُفُوْدِ
” Umar mengambil jubah dari sutera yang dijual di pasar. Diapun
mengambilnya lalu dibawa kepada Rasulullah r seraya berkata: [” Ya
Rasulullah, Belilah ini agar engkau bisa berhias dengannya untuk hari
ied dan para utusan …”] ” [HR.Al-Bukhory dalam Shohih-nya (906), Muslim dalam Shohih-nya (2068)]
Al-Allamah Asy-Syaukani -Rahimahullah- berkata dalam Nail Al-Author
(3/349),” Segi pengambilan dalil dari hadits ini tentang
disyari’atkannya berhias di hari ied adalah adanya taqrir Nabi r bagi
Umar atas dasar bolehnya berhias di hari ied, dan terpokusnya
pengingkaran beliau atas orang yang memakai sejenis pakaian tersebut,
karena ia dari sutera”.
• Di hari Iedul Fithri, Disunnahkan Makan Sebelum ke Musholla
Sebelum berangkat ke musholla (lapangan), maka dianjurkan makan
–utamanya kurma- sebagaimana ini dilakukan oleh Nabi kita Muhammad r
pada hari iedul fitri. Adapun iedul Adhha, maka sebaliknya seseorang
dianjurkan makan setelah sholat ied agar nantinya bisa mencicipi hewan
kurbannya.
Buraidah –Radhiyallahu- anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ لَا
يَخْرُجُ حَتَّى يَطْعَمَ وَيَوْمَ النَّحْرِ لَا يَطْعَمُ حَتَّى يَرْجِعَ
“Nabi r tidaklah keluar di hari iedul Fithri sampai beliau makan, dan
pada hari iedul Adh-ha beliau tak makan sampai beliau kembali”. HR. Ibnu
Majah dalam As-Sunan (1756). Di-hasan-kan oleh Syu’aib Al-Arna’uth
dalam Takhrij Al-Musnad (5/352/no.23033)
Al-Muhallab bin Abi Shofroh – Rahimahullah – berkata,”Hikmahnya makan
sebelum sholat ied adalah agar orang tidak menyangka wajibnya puasa
sampai usai sholat ied. Seakan Nabi r hendak menepis persangkaan itu” .
[Lihat Fath Al-Bari (2/447)]
Diantara hikmahnya agar masih ada waktu mengeluarkan shodaqoh di
waktu-waktu yang cocok dan sangat dibutuhkannya oleh para faqir-miskin.
Ibnul Munayyir –Rahimahullah- berkata: “Nabi r makan di dua hari ied
pada waktu yang masyru’ (disyari’atkan) agar bisa mengeluarkan shodaqoh
khusus bagi ied tersebut. Maka waktu mengeluarkan shodaqoh ied fithri
sebelum berangkat (ke musholla), dan waktu mengeluarkan shodaqoh kurban
setelah disembelih. Jadi, keduanya bersatu pada satu sisi, dan berbeda
pada sisi yang lain.”. [Lihat Fath Al-Bari (2/448)]
• Bertakbir Menuju Lapangan
Mengumandangkan takbiran saat menuju musholla merupakan sunnah yang
dilakukan pada dua hari raya kaum muslimin. Sunnah ini dilakukan bukan
Cuma saat keluar dari rumah, bahkan terus dilakukan dengan suara keras
sampai tiba di lapangan. Setelah tiba di lapangan, tetap bertakbir
sampai imam datang memimpin sholat ied. Inilah sunnahnya !
Ada suatu riwayat dari Nabi r : “Bahwa beliau keluar di hari iedul
Fithri seraya bertakbir sampai tiba di musholla dan sampai usai sholat.
Jika usai sholat, beliau hentikan takbir”. HR.Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/165) dan Al-Firyabi dalam Ahkam
Al-Iedain (95).Lihat juga Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (171)]
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar Radhiyallahu berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ فِيْ
الْعِيْدَيْنِ مَعَ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِاللهِ وَالْعَبَّاسِ
وَعَلِيٍ وَجَعْفَرٍ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَزَيْدٍ بْنِ حَارِثَةَ
وَأَيْمَنَ بْنِ أُمِّ أَيْمَنَ رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّهْلِيْلِ
وَالتَّكْبِيْرِ
“Nabi r keluar di dua hari raya bersama Al-Fadhl bin Abbas, Abdullah,
Al-Abbas, Ali, Ja’far, Al-Hasan,Al- Husain , Usamah bin Zaid, Zaid bin
Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengangkat suaranya bertahlil
dan bertakbir”. [HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/279) dan dihasankan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa’ (3/123)
Jadi, disyari’atkan di hari ied saat hendak keluar ke lapangan untuk
mengumandangkan takbir dengan suara keras berdasarkan kesepakatan empat
Imam madzhab. Tapi tidak dilakukan secara berjama’ah.[Lihat Majmu’
Al-Fatawa 24/220]
Muhaddits Negeri Syam, Muhammad Nashiruddin Al-Albany-rahimahullah –
berkata dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/281) ketika
mengomentari hadits pertama di atas,” Dalam hadits ini terdapat dalil
disyari’atkannya sesuatu yang telah dilakukan oleh kaum muslimin berupa
adanya takbir dengan suara keras di jalan-jalan menuju musholla.
Sekalipun kebanyakan di antara mereka sudah mulai meremehkan sunnah ini
sehingga hampir menjadi tinggal cerita belaka. Itu disebabkan lemahnya
dasar agama mereka serta canggungnya mereka menampakkan sunnah”.
• Faidah :
Tentang lafazh takbir, tak ada yang shohih datangnya dari Nabi r . Akan
tetapi disana ada beberapa atsar yang shohih datangnya dari para sahabat
Radhiyallahu anhum ajma’in.
Dari sahabat Ibnu Mas’ud, beliau mengucapkan:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لَاإِلَهَ إِلَّااللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
[HR.Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/168) dengan sanad yang shohih]
Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengucapkan:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ اَللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ اَللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
[HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/315) dengan sanad yang shohih.]
Salman Al-Farisy, beliau mengucapkan :”Bertakbirlah :
اَللهُ أَكْبَرُاَللهُ أَكْبَرُاَللهُ أَكْبَرُكَبِيْرًا
[HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/316) dengan sanad yang shohih.]
Adapun tambahan yang diberikan oleh orang-orang di zaman kita pada
lafazh takbir, maka semua itu merupakan buatan orang-orang belakangan,
tak ada dasarnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i -rahimahullah-berkata dalam Al-Fath
(2/536), “Di zaman ini telah diciptakan semacam tambahan pada masalah
(lafazh takbir) itu yang tak ada dasarnya”.
• Faedah :
Waktu takbiran di hari raya iedul Adhha mulai waktu fajar hari Arafah
(tanggal 9 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah). Inilah
madzhab Jumhur salaf dan ahli fiqh dari kalangan sahabat dan lainnya.
[Lihat Majmu’ Al-Fatawa (24/220)]
Sebagian orang mengkhususkannya takbiran sehabis sholat. Tapi ini tak
ada dalilnya. Ini dikuatkan dengan sebuah atsar :”Ibnu Umar bertakbir di
Mina pada hari-hari itu –tasyriq,pen-, seusai sholat, di atas tempat
tidur, dalam tenda, majlis, dan waktu berjalan pada semua hari-hari
tersebut “. [HR.Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (1/330)]
• Disyari’atkan Wanita dan Anak Kecil Ikut ke Lapangan
Di hari ied wanita-walaupun ia haid- dan anak-anak kecil disyari’atkan untuk keluar menyaksikan sholat dan doanya kaum muslimin.
Ummu Athiyyah berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نُخْرِجَهُنَّ فِيْ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَ
ذَوَاتِ الْخُدُوْرِ . فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ
وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ قُلْتُ يَارَسُوْلَ
اللهِ إِحْدَانَا لَا يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا
أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Rasulullah r memerintahkan kami mengeluarkan para wanita gadis, haidh,
dan pingitan. Adapun yang haidh , maka mereka menjauhi sholat, dan
menyaksikan kebaikan dan dakwah/doanya kaum muslimin.Aku
berkata: ” Ya Rasulullah, seorang di antara kami ada yang tak punya
jilbab”. Beliau menjawab: “Hendaknya saudaranya memakaikan (meminjamkan)
jilbabnya kepada saudaranya”. [Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (971) dan
Muslim dalam Ash-Shohih (890)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata dalam Fath
Al-Bari (2/470), “Di dalamnya terdapat anjuran keluarnya para wanita
untuk menyaksikan dua hari raya, baik dia itu gadis, ataupun bukan; baik
dia itu wanita pingitan ataupun bukan”. Bahkan sebagian ulama’
mewajibkan.
• Mencari Jalan lain Ketika Pulang ke Rumah
Disunnahkan mencari jalan lain ketika selesai melaksanakan sholat ied.
Artinya ketika ia pergi ke musholla mengambil suatu jalan, dan ketika
pulang ke rumah di mencari jalan lain dalam rangka mencontoh Nabi r .
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ إِلىَ
الْعِيْدِ رَجَعَ فِيْ غَيْرِ الطَّرِيْقِ الَّذِيْ خَرَجَ فِيْهِ
“Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- jika keluar ied, beliau kembali pada selain jalan yang beliau tempati keluar”. [HR.Ibnu Majah dalam As-Sunan (1301). Lihat Shohih Ibnu Majah (1076) karya Al-Albaniy]
• Berjalan Menuju dan Kembali dari Musholla
Pada hari ied di sunnahkan berjalan menuju musholla untuk melaksanakan
sholat ied. Demikian pula ketika kembali ke rumah. Tapi ini jika
mushollanya dekat sehingga orang tak berat jalan menuju musholla. Adapun
jika jauh atau perlu sekali, maka tak masalah.
Ali bin Abi Tholib-Radhiyallahu anhu- berkata:
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْعِيْدِ مَاشِيًا
“Diantara sunnah, kamu keluar menuju ied sambil jalan”. [HR.At-Tirmidzy dalam As-Sunan (2/410); di-hasan-kan Al-Albany dalam Shohih Sunan At-Tirmidzy (530)]
Abu ‘Isa At-Tirmidzy- rahimahullah-berkata dalam Sunan At-Tirmidzy
(2/410), “Hadits ini di amalkan di sisi para ahli ilmu. Mereka
menganjurkan seseorang keluar menuju ied sambil jalan”.
• Bersegera & Cepat Berangkat Melaksanakan Sholat Ied
Demikian pula bersegera berangkat menuju musholla untuk menunaikan
sholat ied. Perkara ini dianjurkan agar setiap orang mengambil tempat
dan banyak mengumandangkan takbir sampai keluarnya memimpin sholat ied.
o Faedah:
Setelah tiba di musholla (lapangan) seseorang tidak dianjurkan sholat
sebelum dan setelah sholat ied; juga tidak disunnahkan melakukan adzan
dan iqomat, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- kita tak pernah
melakukan hal itu kecuali jika sholat iednya di masjid ia harus sholat
dua raka’at tahiyyatul masjid.
Ibnu Abbas berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا
“Nabi r melaksanakan sholat iedul fithri sebanyak dua raka’at, namun beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya”. [HR.Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (989)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar – rahimahullah – berkata: “Walhasil, sholat ied
tidak terbukti memiliki sholat sunnah sebelum dan setelahnya, berbeda
dengan orang yang meng-qiyas-kannya dengan sholat jum’at”. [Lihat Fath
Al-Bari (2/476)]
Jabir bin Samurah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
صَلًَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا
إِقَامَةٍ
“Aku telah melaksanakan sholat bersama Rasulullah r -bukan Cuma sekali dua kali saja- tanpa adzan dan iqomat”.
Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah – rahimahullah- berkata, “Nabi r
jika tiba di musholla, beliau memulai sholat, tanpa ada adzan dan
iqomah; tidak pula ucapan, “Ash-Sholatu jami’ah”. Sunnahnya, tidak
dilakukan semua itu”. [Lihat Zaadul Ma’ad (1/441)]
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 33 Tahun I. Penerbit :
Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne
No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab :
Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri
Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul
Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk
berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq
Rp. 200,-/exp)
Kekeliruan & Kesalahan di Hari Raya
Hari raya adalah hari bergembira bagi seluruh ummat Islam di Indonesia
Raya, bahkan di seluruh dunia. Ini merupakan nikmat dari Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Namun kegembiraan ini terkadang
disalahsalurkan oleh sebagian kaum muslimin dalam beberapa bentuk
pelanggaran berikut:
• Mengkhususkan Ziarah Kubur
Ziarah kubur merupakan perkara yang dianjurkan oleh syari’at kita,
selama di dalamnya tak ada pelanggaran, seperti melakukan kesyirikan,
dan perbuatan bid’ah (perkara yang tak ada contohnya). Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda,
زُوْرُوْا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الآخِرَةَ
“Berziarahlah ke kubur, karena sesungguhnya ia akan mengingatkan kalian
tentang akhirat”. [HR. Ibnu Majah (1569). Hadits ini di-shohih-kan
Al-Albaniy dalam Shohih Al-Adab (518)]
Adapun jika di dalam ziarah terdapat perbuatan kesyirikan (seperti,
berdoa kepada orang mati, meminta sesuatu kepadanya, dan mengharap
darinya sesuatu), maka ini adalah ziarah yang terlarang. Demikian pula,
jika dalam ziarah ada perbuatan bid’ah (tak ada contohnya dalam
syari’at), seperti mengkhususkan waktu, dan tempat ziarah kubur, maka
ini adalah ziarah yang terlarang. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami sesuatu yang bukan
termasuk darinya, maka sesuatu itu akan tertolak”. [HR. Al-Bukhoriy
(2550), dan Muslim (1718)]
Jadi, mengkhususkanziarah kuburdi awal Romadhon, dan hari raya merupakan
perkara yang terlarang, karena ia termasuk bid’ah, tak ada tuntunannya
dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat dalam
mengkhususkannya. Mereka berziarah kapan saja, tak ada waktu, dan tempat
khusus ketika ziarah kubur. Yang jelas, bisa mengingat mati sesuai
sunnah.
• Berjabat Tangan antara Seorang Lelaki dengan Wanita yang Bukan Mahram
Berjabatan tangan antara kaum muslimin ketika bersua adalah yang lumrah,
baik itu di hari raya, atau selainnya. Namun ada satu hal perlu kami
ingatkan bahwa berjabatan tangan dengan wanita yang bukan mahram kita
-khususnya-, ini dilarang dalam agama kita, karena ia tak halal
disentuh. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرُ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
“Andaikan kepala seseorang di cerca dengan jarum besi, itu lebih baik
(ringan) baginya dibandingkan menyentuh seorang wanita yang tak halal
baginya”. [HR. Ar-Ruyaniy dalam Al-Musnad (227/2), dan Ath-Thobroniy
dalam Al-Kabir (486, & 487)]
Al-Allamah Syaikh Muhammad Nashir Al-Albaniy-rahimahullah- berkata
setelah menguatkan sanad hadits diatas dalam Ash-Shohihah (1/1/448),
“Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh
wanita yang tak halal baginya. Jadi, di dalamnya juga ada dalil yang
menunjukkan haramnya berjabat tangan dengan para wanita (yang bukan
mahram), karena berjabat tangan dicakup oleh kata “menyentuh”, tanpa
syak. Perkara seperti ini telah menimpa kebanyakan kaum muslimin di
zaman ini. (Namun sayang),diantara mereka ada yang berilmu andaikan ia
ingkari dalam hatinya, maka masalahnya sedikit agak ringan. Cuman mereka
ini berusaha meghalalkannya dengan berbagai jalan, dan takwil. Telah
sampai suatu berita kepada kami bahwa ada seorang tokoh besar di
Al-Azhar telah disaksikan oleh sebagian orang sedang berjabat tangan
dengan para wanita !! Hanya kepada Allah tempat kita mengadu dari
keterasingan Islam”.
Saking asingnya, orang berilmu saja tak tahu atau pura-pura tak tahu
tentang haramnya jabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
• Mencukur Jenggot
Jenggot adalah lambang kejantanan pria muslim yang diharuskan dan
diwajibkan untuk dijaga dan dipanjangkan. Dengarkan perintah Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
أُحْفُوْا الشَّوَارِبَ وَأْعْفُوْا اللِّحَى
“Potonglah (tepi) kumis, dan biarkanlah (panjangkan) jenggot”. [HR. Al-Bukhoriy (5553), dan Muslim (259)]
Perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits ini
mengandung hukum wajibnya memelihara jenggot, dan membiarkannya
tumbuh.[Lihat Madarij As-Salikin (3/46) karya Ibnul Qoyyim, cet. Dar
Al-Kitab Al-Arabiy]
Para ulama’ dari kalangan Malikiyyah berkata, “Haram mencukur jenggot”. [Lihat Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (2/45)]
Namun amat disayangkan, lambang kejantanan ini dipangkas, bahkan dibabat
habis oleh sebagian orang yang mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- dalam segala urusannya. Mereka tak sadar bahwa jenggot adalah
perkara yang diperhatikan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
sampai beliau mewajibkannya atas pria muslim.
Kebiasaan jelek ‘mencukur dan memangkas jenggot’ sudah mendarah daging
dalam pribadi mereka sehingga di hari raya ied kita akan menyaksikan
pemandangan yang mengerikan dengan maraknya gerakan “Pangkas dan Gundul
Jenggot” di kalangan kaum muslimin, baik yang tua, apalagi remaja!!
Syaikh Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, “Maksiat ini (cukur jenggot)
termasuk maksiat yang paling banyak tersebar di antara kaum muslimin di
zaman ini, karena berkuasanya orang-orang kafir (para penjajah) atas
kebanyakan negeri-negeri mereka, mereka juga (para penjajah itu)
menularkan maksiat ini ke negeri-negeri itu; serta adanya sebagian kaum
muslimin taqlid kepada mereka, padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- melarang mereka dari hal itu secara gamblang dalam sabdanya
-Shollallahu ‘alaihi wasallam-
خَالِفُوْا الْمُشْرِكِيْنِ اُحْفُوْا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوْا اللِّحَى
” Selisihilah orang-orang musyrikin, potonglah (pinggir kumis kalian,
dan biarkanlah (perbanyaklah) kalian”. “.[HR. Al-Bukhoriy (5553), dan
Muslim (259)]”. [Lihat Hajjah An-Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
(hal. 7)]
• Mengadakan Lomba dan Balapan Kendaraan di Jalan Raya
Sudah menjadi kebiasaan buruk menimpa sebagian tempat di Indonesia Raya,
adanya sebagian pemuda yang ugal-ugalan memamerkan “kelincahan” (baca:
kenakalan) mereka dalam mengendarai motor atau mobil di malam hari raya.
Ulah ugal-ugalan seperti ini bisa mengganggu, dan membuat takut bagi
kaum muslimin yang berseliweran, dan berada dekat dengan TKP (tempat
kejadian peristiwa). Bahkan terkadang mereka menabrak sebagian orang
sehingga orang-orang merasa kaget dan takut lewat, karena mendengar
suara dentuman knalpot mereka yang dirancang bagaikan suara meriam.
Padahal di dalam Islam, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang
kita mengagetkan seorang muslim.
Abdur Rahman bin Abi Laila berkata, “Sebagian sahabat Muhammad
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- menceritakan kami bahwa mereka pernah
melakukan perjalanan bersama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Maka
tidurlah seorang laki-laki diantara mereka. Sebagian orang mendatangi
tali yang ada pada laki-laki itu seraya mengambil tali itu, dan
laki-laki itu pun kaget. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda,
لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk membuat takut seorang muslim”.
[HR. Abu Dawud (5004). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah
Al-Maram (447)]
Jika dibanding antara kagetnya sahabat yang tertidur ini akibat ulah
temannya dengan kaget, dan takutnya kaum muslimin yang lewat atau berada
di lokasi balapan, maka kita bisa pastikan bahwa balapan liar seperti
ini, hukumnya haram. Apalagi pemerintah sendiri melarang hal tersebut,
karena menelurkan bahaya bagi diri mereka, dan masyarakat !! Fa’tabiruu
ya ulil abshor…
• Berdzikir dengan Tabuhan dan Suara Musik
Berdzikir adalah ibadah yang harus didasari oleh sunnah (tuntunan) Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam perkara tata cara, waktu, dan
tempatnya. Jika suatu dzikir, caranya tidak sesuai sunnah, misalnya
dzikir jama’ah, dzikir dengan suara musik, dzikir sambil joget, dan
lainnya, maka dzikir tersebut adalah bid’ah (ajaran baru) yang tertolak.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami sesuatu yang bukan
termasuk darinya, maka sesuatu itu akan tertolak”. [HR. Al-Bukhoriy
(2550), dan Muslim (1718)]
Jadi, dzikir (diantaranya takbiran ied), jika diiringi suara musik, maka
ini adalah bid’ah yang tidak mendapatkan pahala, bahkan dosa. Oleh
karenanya, kita sesalkan sebagian kaum muslimin bertakbir dengan beduk,
gitar, suara orgen, bahkan anehnya lagi mereka ramu dengan bumbu musik
ala “Disco Remix”, Na’udzu billah min dzalik !!!!
Al-Imam Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata ketika beliau mengingkari
taghbir (dzikir yang diiringi tabuhan rebana atau pukulan tongkat), “Aku
tinggalkan di Kota Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh kaum zindiq
(munafik) yang mereka sebut dengan “taghbir” untuk menyibukkan manusia
dari Al-Qur’an”. [Lihat Hilyah Al-Auliya’ (9/146)]
Belum lagi, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengharamkan musik. Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَّ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Benar-benar akan ada beberapa kaum diantara ummatku akan menghalalkan
zina, sutra, minuman keras, dan musik”. [HR. Al-Bukhoriy dalam
Shohih-nya (5268)]
• Sholat di Atas Koran dan Sesuatu yang Bergambar
Hari raya ied merupakan hari bergembira dan beribadah bagi kaum
muslimin. Mereka berbondong-bondong menuju ke lapangan untuk
melaksanakan sholat ied dalam rangka beribadah dan menampakkan persatuan
kaum muslimin. Tapi ada satu hal yang mengundang perhatian, ketika
mereka ke lapangan, mereka membawa surat kabar alias koran atau yang
bergambar (seperti, baju) untuk dijadikan alas. Gambar yang terdapat di
koran itu sering kali nampak di depan mata mereka ketika sholat,
sehingga mengganggu ke-khusyu’-an mereka dalam sholat.
A’isyah -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Sesungguhnya Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- pernah sholat menggunakan khomishoh (pakaian) yang
memiliki corak. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat kepada
pakaian itu dengan sekali pandangan. Tatkala usai sholat, beliau
bersabda,
اِذْهَبُوْا بِخَمِيْصَتِيْ هَذِهِ إِلَى أَبِيْ جَهْمٍ وَأْتُوْنِيْ
بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِيْ جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِيْ آنِفًا عَنْ
صَلَاتِيْ
“Bawalah khomishoh-ku ini ke Abu Jahm, dan bawa kepadaku Anbijaniyyah
(pakaian tak bercorak) milik Abu Jahm, karena khomishoh ini tadi telah
melalaikanku dalam sholat”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (366), dan
Muslim dalam Shohih-nya (556)]
Al-Imam Ath-Thibiy-rahimahullah- berkata, “Dalam hadits Anbijaniyyah
(hadits di atas) terdapat pemberitahuan bahwa gambar, dan hal-hal yang
mencolok memiliki pengaruh bagi hati yang bersih, dan jiwa yang suci,
terlebih lagi yang di bawahnya”.[Lihat Umdah Al-Qoriy (4/94)]
Pengaruh gambar sangat besar bagi seseorang, apalagi saat sholat. Dia
bisa menghilangkan kekhusyu’an. Terlebih lagi jika gambarnya adalah
manusia. Oleh karena itu Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- meminta
baju lain yang tak bergambar. Tragisnya lagi, jika kita sedang sholat,
sedang di depan kita terdapat gambar seorang wanita cantik !!
Shalat Ied di Lapangan
Ada suatu pemandangan yang terkadang menarik perhatian, yaitu adanya dua
kubu kaum muslimin yang mengadakan sholat ied. Kubu yang pertama
melaksanakan sholat ied di lapangan, dan kubu yang kedua sholat ied di
masjid. Terkadang kaum muslimin pusing tujuh keliling melihat fenomena
perpecahan seperti ini. Tragisnya lagi, jika yang berselisih dalam hal
ini adalah dua organisasi besar di Indonesia Raya. Nah, manakah yang
benar sikapnya dalam perkara ini sehingga harus didukung. Ikuti
pembahasannya berikut ini:
Jika kita adakan riset ilmiah berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah, maka kita
akan menemukan bahwa hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- mendukung kubu yang melaksanakan sholat ied di lapangan.
Pembaca yang budiman, hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- menunjukkan bahwa Sholat ied: idul fitri, maupun iedul adha,
semuanya beliau kerjakan di lapangan.
• Dalil Pertama
Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ
الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ
الصَّلَاةَ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ
جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وُيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ
فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرُ
بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Dulu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar di hari raya idul
fitri dan idul adha menuju lapangan. Maka sesuatu yang paling pertama
kali beliau mulai adalah shalat ied, kemudian beliau berbalik dan
berdiri menghadap manusia, sedangkan manusia duduk pada shaf-shaf
mereka. Beliau pun memberikan nasihat dan wasiat kepada mereka, serta
memberikan perintah kepada mereka. Jika beliau ingin mengirim suatu
utusan, maka beliau putuskan (tetapkan), atau jika beliau memerintahkan
sesuatu, maka beliau akan memerintahkannya. Lalu beliau pun pulang”.
[HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya(913) dan Mulim dalam Shohih-nya (889)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata, “Hadits ini dijadikan dalil
untuk menunjukkan dianjurkannya keluar menuju padang luas (lapangan)
untuk mengerjakan shalat ied, dan bahwasanya hal itu lebih utama
dibandingkan shalat ied di masjid, karena kontunyunya nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- atas hal itu, padahal masjid beliau memiliki
keutamaan.[Lihat Fathul Bari (2/450)]
Imam Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata, “Telah sampai berita kepada
kami bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar di dua
hari raya menuju lapangan yang terdapat di kota Madinah. Demikian pula
generasi setelahnya, dan seluruh penduduk negeri, kecuali penduduk
Mekah, maka sesungguhnya belum sampai berita kepada kami bahwa seorang
diantara salaf shalat ied memimpin mereka, kecuali di masjid mereka.
[Lihat Al-Umm (1/389)]
Adapun penduduk Mekkah, mereka dikecualikan dalam hal ini, karena
sempitnya lokasi yang ada di negeri itu. Mekkah adalah lembah yang
dikelilingi oleh pegunungan, tidak mungkin bagi penduduk untuk
melaksanakan sholat ied kecuali di lembah itu. Sedang di lembah itulah
terdapat Baitullah. Jadi, mau tidak mau, ya mereka harus sholat di
Masjidil Haram.
Orang yang berpendapat bolehnya sholat di masjid, jika masjidnya luas,
sudah dibantah oleh Asy-syaukaniy-rahimahullah- ketika berkata dalam
Nailul Authar (3/359), “Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa
alasan sempit, dan luasnya masjid sekedar sangkaan belaka tidak cocok
untuk dijadikan udzur dari mencontoh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
untuk keluar menuju lapangan setelah mengakui kesinambungan Beliau
terhadap hal tersebut. Adapun berdalil bahwa hal itu merupakan alasan
untuk melakukan shalat ied di masjid mekkah (masjidil haram), maka
dijawab bahwasanya tidak keluarnya mereka menuju lapangan, karena
sempitnya lokasi Mekkah, bukan karena luasnya masjidil haram”.
• Dalil Kedua
Ibnu umar -radhiyallahu ‘anhuma- berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْدُوْ
إِلَى الْمُصَلَّى فِيْ يَوْمِ الْعِيْدِ وَالْعَنَزَةُ تُحْمَلُ بَيْنَ
يَدَيْهِ فَإِذَا بَلَغَ الْمُصَلَّى نُصِبَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي
إِلَيْهَا وَذَلِكَ أَنَّ الْمُصَلَّى كَانَ فَضَاءً لَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ
يُسْتَتَرُ بِهِ
“Rasulullah-Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar pagi-pagi menuju
lapangan di hari ied, sedangkan tombak kecil di depan beliu. Jika telah
tiba di lapangan, maka tombak kecil itu ditancapkan di depan beliau.
Lalu beliau pun shalat menghadap tombak tersebut. Demikianlah, karena
lapangan itu adalah padang, di dalamnya tak ada sesuatu yang bisa
dijadikan “sutroh” (pembatas di depan imam)” [HR.Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (930), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1304)]
• Dalil Ketiga
Al-Baraa’ -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
خَرَجَ النَّبِِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَضْحَى
إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكَعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا
بِوَجْهِهِ وَقَالَ إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِيْ يَوْمِنَا هَذَا أَنْ
نَبْدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ
فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا هُوَ
شَيْءٌ عَجَّلَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنِ النُّسُكِ فِيْ شَيْءٍ
“Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar pada hari idul adha menuju
Baqi’. Lalu beliau shalat ied dua rakaat. Kemudian beliau menghadapkan
wajahnya kepada kami seraya bersabda, “Sesungguhnya awal kurban kita
adalah pada hari kita ini. Kita mulai dengan shalat, lalu kita kembali
untuk menyembelih hewan kurban. Barang siapa yang melakukan hal itu,
maka sungguh ia telah mencocoki sunnah kita. Barangsiapa yang
menyembelih sebelum itu (sebelum shalat), maka dia (sembelihannya)
adalah sesuatu yang ia segerakan untuk keluarganya, bukan hewan kurban
sedikitpun”. [HR.Al-Bukhariy (933)]
Baqi’ yang dimaksudkan disini adalah lapangan, yaitu padang yang luas
waktu itu, berada sekitar 100 meter sebelah timur Masjid Nabawi. Namun
sekarang tempat itu dijadikan lokasi kuburan. Jadi, Baqi’ dahulu adalah
tanah lapang yang luas dan kosong, namun sekarang diisi dengan kuburan
yang sebelumnya tak ada.
• Dalil Keempat
Abdur Rahman bin Abis berkata,
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قِيْلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيْدَ مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلَا مَكَانِيْ مِنَ
الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِيْ عِنْدَ دَارِ
كَثِيْرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ
وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ
بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِيْنَ بِأَيْدَيْهِنَّ يَقْذِفْنَهُ
فِيْ ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ إِلَى بَيْتِهِ
“Aku pernah mendengarkan Ibnu Abbas sedang ditanya, apakah engkau pernah
menghadiri shalat ied bersama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- ?
Ibnu Abbas menjawab, ya pernah. Andaikan aku tidak kecil, maka aku tidak
akan menyaksikannya, sampai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
mendatangi tanda (yang terdapat di lapangan), di dekat rumah Katsir Ibnu
Ash-Shalt. Kemudian beliau shalat dan berkhutbah serta mendatangi para
wanita sedang beliau bersama Bilal. Maka nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- menasihati mereka, mengingatkan, dan memerintahkan mereka
untuk bersedaqah. Lalu aku pun melihat mereka mengulurkan (sedeqah)
dengan tangan mereka sambil melemparkannya ke baju Bilal. Kemudian nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan Bilal berangkat menuju ke rumahnya”.
[HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya(934)].
Al-Hafizh-rahimahullah- berkata, “Ibnu Sa’ad berkata, “Rumah Katsir bin
Ash-Sholt merupakan kiblat bagi lapangan di dua hari raya. Rumah itu
menurun ke perut lembah Bathhan, suatu lembah di tengah kota Madinah”.
Selesai ucapan Ibnu Sa’ad”.[Lihat Fathul Bari (2/449), cet. Darul
Ma’rifah]
Dalil-dalil ini dan lainnya menunjukkan bahwa sholat ied di zaman Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dilaksanakan di lapangan yang berada
pada sebelah timur Masjid Nabawi. Dari hadits-hadits inilah para ulama
mengambil kesimpulan bahwa sholat ied, petunjuknya dilaksanakan di
lapangan, bukan di masjid !!! Inilah petunjuknya Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- , Sedang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .
Ibnu Hazm Azh-Zhohiriy-rahimahullah- berkata dalam Al-Muhalla (5/81),
“Sunnahnya sholat ied, penduduk setiap kampung, dan kota keluar menuju
lapangan yang luas, di dekat tempat tinggal mereka di waktu pagi setelah
memutihnya matahari, dan ketika awal bolehnya sholat sunnah”.
Imam Al-AiniyAl-Hanafiy -rahimahullah- berkata, “Dalam hadits ini
terdapat anjuran keluar menuju lapangan, dan tidak melaksanakan shalat
ied di masjid, kecuali karena darurat”. [Lihat Umdah Al-Qoriy (6/280)].
Imam Malikbin Anas-rahimahullah- berkata dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra
(1/245), “Seorang tidak boleh shalat ied di dua hari raya pada dua
tempat; mereka juga tidak boleh shalat di masjid mereka, tapi mereka
harus keluar (ke lapangan) sebagaimana Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- dulu keluar (menuju lapangan)”.
Ibnu Qudamah -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughniy (2/229), “Sunnahnya
seorang shalat ied di lapangan. Ali -radhiyallahu ‘anhu- telah
memerintahkan hal tersebut dan dianggap suatu pendapat yang baik oleh
Al-Auza’iy dan ahli ra’yi. Ini adalah pendapat Ibnul Mundzir… Kami (Ibnu
Qudamah) memiliki dalil bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu
keluar menuju lapangan, dan meninggalkan masjidnya, demikian pula para
khulafaurrasyidin setelahnya. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
tidaklah meninggalkan perkara yang lebih afdhol (sholat ied di
masjidnya), padahal ia dekat, lalu beliau memaksakan diri melakukan
perkara yang kurang (yaitu shalat di lapangan), padahal ia lebih jauh.
Jadi nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidaklah mensyariatkan umatnya
untuk meninggalkan perkara-perkara yang afdhol. Kita juga diperintahkan
untuk mengikuti Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , dan berteladan
kepadanya. Maka tidak mungkin suatu yang diperintahkan adalah
kekurangan, dan sesuatu yang dilarang merupakan sesuatu yang sempurna.
Tidak dinukil dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau
shalat ied di masjidnya, kecuali karena udzur. Ini juga merupakan ijma’
(kesepakatan) kaum muslimin, karena manusia pada setiap zaman dan
tempat, mereka keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat ied di
dalamnya, padahal masjid luas dan sempit. Dulu nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- laksanakan shalat ied di lapangan, padahal masjidnya mulia,
dan juga shalat sunnah di rumah lebih utama dibandingkan shalat sunnah
di masjid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , padahal ia lebih utama”.
Inilah beberapa dalil dan komentar para ulama kita yang menghilangkan
dahaga bagi orang yang haus ilmu; mengangkat syubhat, dan keraguan dari
hati. Semoga dengan risalah ringkas ini kaum muslimin bisa menyatukan
langkah dalam melaksanakan sholat ied sehingga persatuan dan kebersamaan
diantara mereka semakin kuat, membuat orang-orang kafir gentar dan
segan.
url: https://kakasi86.wordpress.com
Makkah Fajr - 25th November 2024
-
*Makkah Fajr *
(Surah Ale ‘Imraan: Ayaah 98-115) *Sheikh Juhany*
Download 128kbps Audio
3 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar