MUQADDIMAH
إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله. أما بعد:
Segala puji hanya milik Allah, yang telah melimpahkan kepada kita umat Islam berbagai kemurahan dan kenikmatan-Nya. Dan kenikmatan terbesar yang telah Ia limpahkan kepada umat ini ialah disempurnakannya agama ini, sehingga tidak lagi membutuhkan tambahan,
dan juga tidak perlu dikurangi, Allah berfirman:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
Artinya:
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridho Islam menjadi agamamu.” (QS Al Maaidah: 3)
Ibnu Katsir menerangkan ayat ini dengan perkataannya: “Disempurnakannya agama Islam merupakan kenikmatan Allah ta’ala yang paling besar atas umat ini, karena Ia telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak memerlukan lagi agama lainnya, dan tidak pula perlu seorang nabi selain Nabi mereka sendiri. Oleh karena itu Allah Ta’ala menjadikannya sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada seluruh jin dan manusia. Dengan demikian tidak ada suatu yang halal, melainkan yang beliau halalkan, tidak ada sesuatu yang haram, melainkan sesuatu yang beliau haramkan, dan tidak ada agama melainkan ajaran agama yang telah beliau syari’atkan. Setiap yang beliau kabarkan pasti benar lagi jujur, tidak mengandung kedustaan sedikit pun, dan tidak akan menyelisihi realita.” (Tafsirul Qur’an Al ‘Adlim oleh Ibnu Katsir As Syafi’i 2/12).
Ayat ini, sebagaimana telah diketahui, diturunkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pada hari Arafah, pada Hajjatul Wada’. Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Thariq bin Syihab, ia mengisahkan: Orang-orang Yahudi berkata kepada Umar bin Khattab rodhiallahu’anhu: Sesungguhnya kalian membaca satu ayat, seandainya ayat itu turun pada kami kaum Yahudi, niscaya (hari diturunkannya ayat itu) akan kami jadikan hari ‘Ied (perayaan). Maka Umar berkata: “Sungguh aku mengetahui kapan dan di mana ayat itu diturunkan, dan di mana Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam berada di saat ayat itu diturunkan, yaitu di padang arafah, dan kami juga sedang berada di padang arafah… yaitu firman Allah:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
Artinya:
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridho Islam menjadi agamamu.” (Riwayat Al Bukhori, 4/1683, hadits no: 4330)
Pada riwayat ini, dapat kita ketahui bahwa kesempurnaan agama Islam ini bukan hanya diketahui dan disadari oleh kaum muslimin saja, bahkan orang-orang Yahudi pun mengetahuinya, bukan hanya sebatas itu, bahkan mereka berangan-angan seandainya ayat ini diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan merayakannya.
Sebagai bukti lain bahwa orang-orang non-Islam menyadari akan kesempurnaan agama Islam, ialah kisah berikut: Ada sebagian orang musyrikin berkata kepada sahabat Salman Al Farisi rodhiallahu’anhu: “Sungguh Nabi kalian telah mengajarkan kalian segala sesuatu, hingga tata cara buang hajat. Maka sahabat Salman Al Farisi menimpalinya dengan berkata: Benar, beliau sungguh telah melarang kami untuk menghadap ke arah kiblat di saat buang air besar atau buang air kecil, dan beristinja menggunakan tangan kanan, dan beristijmar (istinja dengan bebatuan) dengan kurang dari tiga batu, atau beristijmar menggunakan kotoran binatang atau tulang-belulang.” (Shohih Muslim, 1/223, hadits no: 261)
Bila kesempurnaan agama Islam dalam segala aspek kehidupan telah diakui dan diketahui oleh orang-orang non-Islam, maka betapa sengsara dan bodohnya bila ada orang Islam yang masih merasa perlu untuk mencari alternatif lain dalam beragama, yaitu dengan cara menambah, atau memodifikasi, atau menggabungkan, atau dengan cara mengadopsi teori-teori dan ajaran-ajaran umat lain, baik yang berasal dari negeri India, atau Mesir, atau Yunani atau Barat.
Tidaklah ada kebaikan di dunia atau di akhirat, melainkan telah diajarkan dalam agama Islam, dan tidaklah ada kejelekan melainkan, Islam telah memperingatkan umat manusia darinya, Allah berfirman:
ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين
Artinya:
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Kitab ( Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An Nahl: 89)
Ibnu Mas’ud berkata: “Telah dijelaskan kepada kita dalam Al Quran ini seluruh ilmu dan segala sesuatu.” Dan Mujahid berkata: “Seluruh halal dan haram telah dijelaskan.”
Setelah Ibnu Katsir menyebutkan dua pendapat ini, beliau berkata: “Pendapat Ibnu Mas’ud lebih umum dan menyeluruh, karena sesungguhnya Al Quran mencakup segala ilmu yang berguna, yaitu berupa kisah-kisah umat terdahulu, dan yang akan datang. Sebagaimana Al Quran juga mencakup segala ilmu tentang halal dan haram, dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, dalam urusan kehidupan dunia dan agama mereka.” (Tafsirul Qur’anil ‘Adhim oleh Ibnu Katsir As Syafi’i 2/582).
Bila Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah mengajarkan kepada umatnya tata cara buang air kecil dan besar, mustahil bila beliau shollallahu’alaihiwasallam tidak mengajarkan kepada umatnya tata cara berdakwah, penegakan syariat Islam di bumi, dan terlebih lebih tata cara beribadah kepada Allah. Sehingga tidak ada alasan bagi siapa pun untuk merekayasa suatu metode atau amalan dalam beribadah kepada Allah ta’ala.
Hanya kebodohan terhadap ajaran Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan sunnah-sunnahnyalah yang menjadikan sebagian orang merasa perlu untuk merekayasa berbagai metode dalam beribadah kepada Allah ta’ala, sehingga ada yang beribadah dengan dasar tradisi dan adat warisan nenek moyang, misalnya tradisi wayangan dalam berdakwah, dan ada pula yang mengadopsi tata cara peribadatan umat lain, misalnya beribadah dengan menyiksa diri, tidak makan, tidak minum, tidak berbicara, berdiri di terik matahari, atau bertapa dan nyepi.
عن ابن عباس قال: بينا النبي يخطب إذا هو برجل قائم، فسأل عنه فقالوا: أبو إسرائيل نذر أن يقوم ولا يجلس ولا يستظل ولا يتكلم ويصوم، فقال النبي : مره فليتكلم وليستظل وليقعد وليتم صومه
“Ibnu ‘Abbas berkata: Tatkala Nabi shollallahu’alaihiwasallam sedang berkhotbah, tiba-tiba beliau melihat seorang lelaki yang berdiri. Maka Nabi shollallahu’alaihiwasallam bertanya tentangnya, dan para sahabat menjawab: Dia adalah Abu Israil, ia bernazar untuk berdiri dan tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan berpuasa. Maka Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Perintahkanlah ia untuk berbicara, berteduh, duduk, dan meneruskan puasanya.” (Riwayat Bukhori, 6/2465, hadits no: 6326)
Di antara metode yang diadopsi dari umat lain ialah zikir berjama’ah dengan suara nyaring, dan dikomandoi oleh satu orang. Oleh karenanya tatkala sahabat Abdulloh bin Mas’ud melihat sebagian orang yang bergerombol sambil membaca puji-pujian secara berjama’ah dan dipimpin oleh satu orang, beliau berkata:
والذي نفسي بيده إنكم لعلى ملة هي أهدي من ملة محمد أو مفتتحوا باب ضلالة
“Sungguh demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya kalian ini berada di atas satu dari dua perkara: menjalankan ajaran yang lebih benar dibanding ajaran Nabi Muhammad, atau sedang membuka pintu kesesatan.“ (Riwayat Ad Darimi, dalam kitab As Sunnan, 1/79, hadits no: 204)
Saya ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk mengadakan studi banding antara zikir berjama’ah dengan cara seperti ini dengan kegiatan orang-orang Nasrani yang bernyanyi-nyanyi di gereja dengan dipimpin oleh seorang pendeta. Adakah perbedaan antara keduanya selain perbedaan tempat dan bacaannya??
Zikir atau membaca puji-pujian adalah salah satu ibadah paling agung. Setelah mengingatkan kaum muslimin akan kenikmatan-Nya berupa diubahnya kiblat mereka dari Bait Al Maqdis dan diutusnya Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, Allah ta’ala memerintahkan mereka agar berzikir kepada-Nya:
فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون
Artinya:
“Karena itu, ingatlah Aku niscaya Aku akan ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, serta janganlah kamu mengingkari (kenikmatan)-Ku.” (Al Baqoroh: 152)
Pada ayat ini terdapat suatu isyarat bahwa zikir adalah ibadah yang agung, karena zikir merupakan perwujudan nyata akan rasa syukur kepada Allah ta’ala atas kenikmatan besar ini, yaitu diubahnya kiblat kaum muslimin menjadi ke arah Ka’bah, dan diutusnya Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam. Dan dalam ayat lain, Allah berfirman:
والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما
Artinya:
“Dan laki-laki dan perempuan yang banyak berzikir menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al Ahzab: 35)
Karena itulah, kita sebagai seorang muslim meyakini bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah melaksanakan tugas menjelaskan ibadah ini dengan sempurna. Dan mustahil ada kekurangan dalam penjelasan beliau tentang ibadah ini, baik kekurangan yang berkaitan dengan macam, waktu, atau metode pelaksanaannya.
Oleh karena itu, kita dapatkan tidaklah ada suatu keadaan atau waktu yang kita dianjurkan untuk berzikir secara khusus padanya, melainkan beliau telah menjelaskan kepada umatnya. Beliau telah menjelaskan zikir tersebut lengkap dengan tata caranya. Dimulai dari zikir semenjak kita bangun tidur, hingga kita hendak tidur lagi. Bahkan tatkala kita terjaga di waktu malam, telah diajarkan zikir-zikir yang sesuai dengannya. Bila kita membuka-buka kitab-kitab kumpulan zikir Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang ditulis oleh para ulama’, niscaya kita dapatkan bahwa seluruh keadaan manusia dan perbuatannya, baik dalam sholat atau di luar sholat, telah diajarkan zikir yang sesuai dengan keadaan itu. Silakan para pembaca yang budiman membaca kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi As Syafi’i.
Realita ini selain menjadi kenikmatan, juga menjadi tantangan bagi kita. Sejauh manakah pengamalan kita terhadap sunnah-sunnah beliau shollallahu’alaihiwasallam dalam berzikir kepada Allah?
Oleh karenanya, tidak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk merekayasa zikir yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Mari kita simak hadits berikut, dengan harapan agar kita mendapat pelajaran penting tentang tata cara berzikir:
“Dari sahabat Al Bara’ bin ‘Azib, bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Bila engkau akan berbaring tidur, hendaknya engkau berwudhu’ layaknya engkau berwudhu untuk shalat. Kemudian berbaringlah di atas sisi kananmu, lalu katakanlah: “Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan wajahku kepada-Mu, dan menyerahkan urusanku kepada-Mu. Dengan rasa mengharap (kerahmatan-Mu) dan takut (akan siksa-Mu) aku menyandarkan punggungku kepada-Mu. Tiada tempat perlindungan dan penyelamatan (dari siksa-Mu) melainkan kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan Nabi-Mu yang telah Engkau utus.” Dan jadikanlah bacaan (doa) ini sebagai akhir perkataanmu, karena bila engkau mati pada malam itu, niscaya engkau mati dalam keadaan menetapi fitrah (agama Islam).” Al Bara’ bin ‘Azib berkata: “Maka aku mengulang-ulang bacaan (doa) ini, untuk menghafalnya, dan mengatakan: aku beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus.” Nabi pun bersabda: “Katakan: Aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.” (Riwayat Bukhori, 5/2326, hadits no: 5952, dan Muslim 4/2081, hadits no: 2710)
Al Bara’ bin ‘Azib salah mengucapkan doa ini di hadapan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Yang seharusnya ia mengucapkan: “Aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus”, ia ucapkan: “Aku beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus”. Perbedaannya hanya kata “Nabi” dan kata “Rasul”, padahal yang dimaksud dari keduanya sama, yaitu Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam. Walau demikian Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak membiarkan kesalahan ini terjadi, sehingga beliau shollallahu’alaihiwasallam menegur sahabat Al Bara’ agar membenarkan ucapannya.
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa zikir kepada Allah adalah salah satu bentuk ibadah, dan setiap ibadah diatur oleh sebuah kaidah penting, yaitu:
الأصل في العبادات التوقيف
“Hukum asal setiap ibadah ialah tauqif (harus ada tuntunannya dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam)”
Ibnu Taimiyyah berkata:
الأصل فى العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله تعالى و إلا دخلنا في معنى قوله أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله لعادات الأصل فيها العفو فلا يحظر منها إلا ما حرمه، وإلا دخلنا في معنى قوله قل أرأيتم ما أنزل الله لكم من رزق فجعلتم منه حراما و حلالا
“Hukum asal setiap ibadah ialah tauqif (harus ada tuntunannya dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam), sehingga tidak boleh dibuat ajaran melainkan yang telah diajarkan oleh Allah ta’ala. Kalau tidak demikian niscaya kita akan termasuk ke dalam firman Allah :
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
Artinya:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?!” (QS As Syura: 21)
Sedangkan hukum asal setiap adat istiadat ialah diperbolehkan, sehingga tidak boleh ada yang dilarang melainkan suatu hal yang telah diharamkan oleh Allah. Kalau tidak demikian niscaya kita akan termasuk ke dalam firman Allah:
قل أرأيتم ما أنزل الله لكم من رزق فجعلتم منه حراما و حلالا
Artinya:
“Katakanlah: Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” (QS Yunus: 59) (Majmu’ Fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 29/17).
Bila Nabi shollallahu’alaihiwasallam menegur kesalahan Al Bara’ bin ‘Azib mengucapkan satu kata dalam zikir yang beliau ajarkan, maka bagaimana halnya seandainya yang dilakukan oleh Bara’ bin ‘Azib ialah zikir hasil rekayasanya sendiri?
Al Hafidz Ibnu Hajar As Syafi’i, berkata:
وأولى ما قيل في الحكمة في رده على من قال (الرسول) بدل (النبي) أن ألفاظ الأذكار توقيفية، ولها خصائص وأسرار لا يدخلها القياس، فتجب المحافظة على اللفظ الذي وردت به
“Pendapat yang paling tepat tentang hikmahnya Nabi shollallahu’alaihiwasallam membenarkan ucapan orang yang mengatakan “Rasul” sebagai ganti kata “Nabi” adalah: Bahwa bacaan-bacaan zikir adalah bersifat tauqifiyyah (harus ada tuntunannya), dan bacaan-bacaan zikir itu memiliki keistimewaan dan rahasia-rahasia yang tidak dapat diketahui dengan cara qiyas, sehingga wajib kita memelihara lafadz (zikir) sebagaimana diriwayatkan.” (Fath Al Bari oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani 11/112).
Demikianlah sepercik adab zikir kepada Allah, dan insya Allah di sela-sela tulisan saya ini, pembaca akan mendapatkan kelanjutan pembahasan tentang adab-adab berzikir yang diajarkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya.
Adapun latar belakang ditulisnya buku ini, ialah tatkala bulan Ramadhan 1425 H, saya melihat salah seorang sahabat saya membawa buku yang berjudul “ZIKIR BERJAMA’AH SUNNAH ATAU BID’AH, karya K.H. Drs Ahmad Dimyathi Badruzzaman, M.A. ketika melihatnya, saya tertarik untuk membaca dan mengetahui. Setelah memiliki kesempatan untuk membuka-buka buku tulisan beliau ini, saya tercengang melihat beberapa kesalahan dan kerancuan yang ada di dalamnya. Dan semenjak itulah saya memberanikan diri untuk menuliskan kritikan-kritikan yang saya rasa perlu dan penting untuk disampaikan. Akan tetapi karena berbagai kesibukan yang berkaitan dengan studi saya, keinginan ini tidak segera terlaksana, hingga pertengahan bulan Muharram 1426 H. Saat itulah saya meluangkan waktu, untuk mewujudkan keinginan ini. Alhamdulillah keinginan saya itu telah terwujud. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi saya sendiri, dan juga bagi kaum muslimin di Indonesia, dan semoga mendapatkan tanggapan positif dari bapak K.H. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman M.A.
Dan pada kesempatan ini, tak lupa saya ucapkan kepada seluruh rekan-rekan yang telah ikut andil dalam terwujudnya keinginan saya ini, baik dengan memberikan motivasi, saran, atau bantuan berupa meminjamkan bukunya kepada saya. Semoga Allah membalas amalan mereka semua dengan yang lebih baik. Pada akhir muqaddimah ini, saya ucapkan: Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga hari kiamat, Amiin.
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar