Terdapat beberapa
hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang
memberitakan keutamaan majelis-majelis dzikir dan halaqah-halaqah dzikir di
sisi Allah
Ta`ala. Juga hadits-hadits tersebut memberitakan adanya
halaqah-halaqah dzikir di kalangan para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam di masa hidupnya Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam. Hadits-hadits itu antara lain adalah sebagai berikut:
1). Keutamaan
majelis dzikir:
(hadits1)
Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat
yang berputar-putar di jalan-jalan untuk mencari orang-orang yang berdzikir.
Maka bila mereka mendapati satu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, maka
mereka pun saling panggil-memanggil dengan menyatakan: Kemarilah kalian karena
di sini ada yang kalian cari.”
Selanjutnya
Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam menceritakan: “Maka para
Malaikat itu merendahkan sayap-sayap mereka, demikian bertumpuk-tumpuk sampai
ke langit terdekat (dengan bumi).”
Kata Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam: “Maka Tuhan mereka Yang Maha Agung dan Maha
Mulia menanyai mereka --dan Dia lebih tahu dari mereka--: “Apa yang diucapkan
oleh hamba-hamba-Ku?” Maka para malaikat itu menjawab: “Mereka bertasbih
kepada-Mu (yakni mengucapkan subhanallah), dan mereka bertakbir
kepada-Mu (yakni mengucapkan Allahu akbar), dan mereka bertahmid
kepada-Mu (yakni mengucapkan alhamdulillah), dan mereka mengagungkan
Engkau.”
Kemudian Allah
menanyai mereka para malaikat itu: “Apakah mereka yang berdzikir itu pernah
melihat Aku?” Para Malaikat pun menjawab: “Tidak, demi Allah mereka tidak
pernah melihat Engkau.” Allah menanyakan lagi: “Bagaimana seandainya mereka
melihat Aku.” Maka para Malaikat pun menyatakan: “Seandainya mereka melihat
Engkau, niscaya ibadah mereka kepada-Mu akan lebih kuat, dan mereka akan lebih
kuat semangatnya dalam mengagungkan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.”
Kemudian Allah
menanyai para malaikat itu: “Maka apakah yang diminta dari-Ku?” Para malaikat pun menjawab: “Mereka
meminta dari-Mu surga.” Allah bertanya lagi kepada para Malaikat-Nya: “Apakah
mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Tidak pernah mereka melihatnya demi Allah
wahai Tuhan.” Selanjutnya Allah bertanya lagi: “Bagaimana pula kalau mereka
pernah melihatnya?” Dijawab: “Seandainya mereka pernah melihatnya, niscaya
mereka akan lebih besar keinginannya untuk mendapatkannya, dan lebih kuat
semangatnya untuk memintanya serta lebih semangat untuk mencapainya.” Allah
bertanya lagi: “Dan apakah yang mereka berlindung daripadanya?” Para Malaikat
itu menjawab: “Mereka memohon perlindungan kepada-Mu dari api neraka.”
Ditanyakan pula oleh-Nya: “Apakah mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Tidak,
demi Allah mereka belum pernah melihatnya.” Kemudian Allah menanyakan lagi:
“Bagaimana pula kalau seandainya mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Mereka
akan lebih kuat semangat larinya dan akan lebih takut daripadanya.” Maka Allah
menyatakan kepada para Malaikat itu: “Aku jadikan kalian sebagai saksi, bahwa
Aku mengampuni dosa-dosa mereka.” Maka berkatalah salah satu dari para Malaikat
itu: “Di majelis dzikir itu ada si fulan yang sesungguhnya bukan dari mereka
yang berdzikir itu. Dia datang ke majelis itu untuk satu keperluan.” Allah-pun
menjatakan: “Mereka itu adalah majelis yang tidak akan celaka siapa pun yang
duduk di majelis itu.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya, lihat
Fathul Bari juz 11 hal. 208 no hadits 6408 Kitabud Da’awaat
bab Fadl-lu Dzikrillahi `Azza wa Jalla)
2). Halaqah
dzikir yang dilakukan oleh para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam dan dipuji oleh beliau shallallahu `alaihi wa alihi wasallam:
(hadits2)
Abu Said Al-Khudri radliyallahu
`anhu menceritakan: Mu’awiyah bin Abi Sufyan pernah keluar dari rumahnya
menuju masjid, dan mendapati di masjid itu halaqah (posisi duduk segerombol
orang dengan formasi lingkaran). Maka Mu’awiyah menanyai mereka: “Untuk apa
kalian duduk-duduk di sini?” Mereka pun menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir
kepada Allah.” Mua’wiyah pun mengulang pertanyaannya sembari memastikan: “Demi
Allah kalian tidak duduk di sini kecuali untuk itu?” Mereka pun menjawab: “Demi
Allah, kami tidak duduk di sini kecuali untuk itu.” Maka Mu’awiyah menyatakan
kepada mereka: “Tidaklah aku meminta kalian bersumpah karena aku mencurigai
kejujuran kalian. Dan tidaklah ada seorang pun yang kedudukannya dekat dengan
Nabi yang lebih sedikit dariku dalam meriwayatkan hadits Nabi. Dan sesungguhnya
Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam pernah di suatu hari keluar
dari kamarnya ke masjid beliau dan mendapati satu halaqah dari para Shahabat
beliau. Maka beliau pun menanyakan kepada mereka yang duduk di halaqah itu:
((“Mengapa kalian duduk di sini?”)) Mereka pun menjawab: ((“Kami duduk di sini
adalah untuk berdzikir kepada Allah dan bertahmid kepada-Nya karena Dia telah
menunjuki kami kepada Islam dan telah memberi kami kenikmatan dengan agama
ini.”)).
Kemudian
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam mengatakan kepada
mereka: ((“Demi Allah kalian tidak duduk di sini kecuali untuk keperluan
itu?”)). Maka merekapun segera menjawab: ((“Demi Allah kami tidak duduk di sini
kecuali untuk keperluan tersebut.”)). Setelah mendapat jawaban demikian beliau
pun menyatakan kepada mereka: ((“Ketahuilah, sesungguhnya aku tidaklah meminta
kalian bersumpah karena aku mencurigai kalian. Akan tetapi, telah datang kepadaku
malaikat Jibril. Dia memberitahukan kepadaku bahwa Allah Yang Maha Agung dan
Maha Mulia telah berbangga dengan majelis kalian di hadapan para Malaikat-Nya.”
(HR. Muslim dalam Shahihnya juz 17 hal. 190 Kitab Adz-Dzikir
wad Du’a wat Taubah wal Istighfar, Bab Fadl-lul Ijtima’ `ala Tilawatil
Qur’an wa `ala Adz-Dzikri. Hadits ke 2701/40).
3). Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam Memerintahkan Kita untuk Duduk di Halaqah-Halaqah
Ddzikir
(hadits3)
“Apabila
kalian melewati taman-taman surga, maka hendaklah kalian bersenang-senang
padanya.” Para Shahabat beliau bertanya: “Wahai Rasulallah, apakah yang engkau
maksud dengan taman-taman surga?” Beliau pun menjawabnya: “Halaqah-halaqah
dzikir.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya juz 5 hal. 498 Kitabud
Da`awat bab Ma Ja`a fi Aqdit Tasbih bil Yadi no hadits 3510 dari
Anas bin Malik radliyallahu `anhu)
Demikianlah tiga hadits
dari sekian banyak hadits shahih yang menegaskan keutamaan majelis dzikir dan
adanya majelis dan halaqah dzikir di kalangan para Shahabat Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam. Bahkan Nabi shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam memerintahkan untuk ikut duduk di halaqah dzikir itu.
MAKNA MAJELIS ATAU HALAQAH DZIKIR
Tentang makna majelis
dzikir dan halaqah dzikir yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut di atas,
telah diterangkan oleh Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani rahimahullah
(wafat th. 852 H) dalam Fathul Barinya jilid 11 hal. 209 sebagai
berikut: “Dan yang dimaksud dengan dzikir di sini ialah membawakan lafadh-lafadh
yang telah diriwayatkan anjuran untuk melafadhkannya dan memperbanyak
mengucapkannya, seperti lafadh-lafadh yang dinamakan Al-Baqiyatus Shalihat, yaitu
ucapan subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar,
dan lafadh-lafadh yang digabungkan dengannya seperti Al-Hauqalah (yaitu
ucapan La haula wala quwwata illa billah), Al-Basmalah (yaitu
ucapan bismillahir rahmanir rahim), Al-Hasbalah (yaitu ucapan hasbunallah
wani’mal wakil), dan Al-Istighfar (yaitu ucapan astaghfirullah)
dan semisal itu serta doa meminta kebaikan dunia dan akherat. Diistilahkan
dengan sebutan dzikir kepada Allah pula bila orang terus-menerus menjalankan
amalan yang diwajibkan atau disunnahkan, seperti membaca Al-Qur’an dan membaca
hadits, mempelajari ilmu agama, dan shalat sunnah.”
Kemudian Ibnu
Hajar menambahkan di halaman 213:
“Dan dalam
hadits ini terdapat keterangan yang menunjukkan keutamaan dzikir dan keutamaan
orang-orang yang berdzikir. Dan juga menunjukkan keutamaan berkumpul untuk
berdzikir. Diterangkan pula bahwa orang yang duduk bersama mereka yang
berkumpul dalam rangka berdzikir itu adalah dianggap termasuk dari orang-orang
yang berkumpul untuk berdzikir dalam segala keutamaan yang Allah berikan kepada
mereka, sebagai kemuliaan bagi mereka walaupun orang yang duduk di situ tidak
ikut dalam pokok amalan dzikir yang dilakukan di situ.”
BEBERAPA
PENGINGKARAN PARA ULAMA’ TERHADAP MAJELIS DZIKIR DAN HALAQAH DZIKIR
Kita perlu memahami
beberapa pengingkaran para Ulama’ terhadap berbagai majelis dzikir yang ada di
zaman beliau-beliau itu. Agar kita mengerti duduk permasalahan yang
sesungguhnya seputar masalah ini. Untuk itu saya nukilkan berbagai pengingkaran
tersebut sebagai berikut :
1). Al-Imam
Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin Al-Fadlel bin Bahram Ad-Darimi rahimahullah
(meninggal pada th. 255 H) dalam Sunannya membawakan sebuah
riwayat pengingkaran Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bernama
Abdullah bin Mas’ud radliyallahu `anhu terhadap halaqah-halaqah dzikir
yang ada di jaman beliau. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
“Telah
menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarak, dia mengatakan: Telah
menceritakan kepada kami Umar bin Yahya, dia mengatakan: Aku telah mendengar
ayahku yang menceritakan apa yang didengarnya dari ayahnya, dia menyatakan:
Kami sedang duduk di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud menjelang shalat
subuh. Kebiasaannya bila beliau keluar dari rumahnya, kami pun berjalan
bersamanya ke masjid untuk shalat berjama’ah di sana. Di saat kami sedang menunggu
Abdullah bin Mas’ud keluar dari rumahnya, tiba-tiba datanglah Abu Musa
Al-Asy’ari dan beliau bertanya kepada kami: “Apakah Abu Abdurrahman telah
keluar menemui kalian?” Kami pun menjawab: “Belum.” Maka Abu Musa akhirnya
duduk bersama kami di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sampai beliau
keluar dari rumah untuk menuju masjid. Ketika beliau keluar, kami semua berdiri
menyambutnya. Maka Abu Musa pun menyatakan kepadanya: “Wahai Aba Abdirrahman,
aku barusan melihat di masjid suatu kejadian yang engkau ingkari, akan tetapi
aku tidak melihatnya alhamdulillah kecuali kebaikan.” Maka beliau pun
bertanya: “Apakah kejadian yang engkau maksudkan?” Abu Musa menjawab: “Bila
engkau sampai di masjid engkau akan melihatnya. Aku melihat di sana ada
sekelompok orang yang duduk berhalaqah-halaqah untuk menanti shalat. Pada
setiap halaqah itu ada seorang pria yang memimpin mereka dan di tangan mereka
ada batu kerikil. Pimpinan mereka berkata: ((“Bertakbirlah seratus kali.”)).
Maka mereka pun bertakbir seratus kali. Kemudian pimpinan mereka menyatakan:
((“Bertahlillah seratus kali!”)), maka mereka pun bertahlil seratus kali.
Selanjutnya pimpinan mereka menyatakan: ((“Bertasbihlah seratus kali!”)), maka
mereka pun bertasbih seratus kali.” Abdullah bin Mas’ud kemudian menyatakan
kepada Abu Musa: “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa
menjawab: “Aku tidak berkata apapun kepada mereka, karena aku menanti
pendapatmu dan perintahmu.” Ibnu Mas’ud mengatakan: “Tidakkah sebaiknya engkau
perintahkan kepada mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka dan
engkau katakan kepada mereka bahwa kebaikan mereka itu sesungguhnya terjamin
dan tidak akan disia-siakan.” Kemudian Abdullah bin Mas’ud berjalan menuju
masjid dan kami pun berjalan bersamanya. Ketika beliau masuk masjid dan
mendatangi satu halaqah dari halaqah mereka itu, beliau pun berdiri di hadapan
mereka sembari beliau menyatakan kepada mereka: “Perbuatan apa ini yang aku
lihat sedang kalian lakukan?” Maka mereka pun menjawab: “Wahai Aba Abdir
Rahman, ini adalah kerikil yang kami pakai untuk menghitung takbir, tahlil dan
tasbih kami.” Maka Abdullah bin Mas’ud menyatakan kepada mereka: “Hendaklah
kalian menghitung kejelekan-kejelekan kalian, karena kita menjamin bahwa
kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang sia-sia sedikit pun. Celaka kalian
wahai Ummat Muhammad, betapa cepatnya kebinasaan kalian. Para Shahabat Nabi kalian masih ada dan baju
Nabi masih belum rusak dan bejana-bejana peninggalan beliau masih belum pecah.
Demi yang diriku ada ditangan-Nya, sesungguhnya kalian dalam keadaan salah satu
dari dua kemungkinan, apakah kalian dalam keadaan lebih baik dari agama yang
diajarkan oleh Muhammad shallallahu `alaihi wa wasallam (dan yang
demikian itu tidak mungkin terjadi, pent), atau kalian sedang membuka pintu
kesesatan.” Mereka yang duduk di halaqah tersebut menyatakan kepada Abdullah
bin Mas’ud: “Demi Allah, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan wahai Aba
Abdirrahman.” Maka beliau pun menyatakan: “Betapa banyaknya orang yang
menginginkan kebaikan tetapi tidak bisa mencapainya selama-lamanya.
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam telah
menceritakan kepada kami bahwa akan adanya kaum yang membaca Al-Qur’an tetapi
bacaannya tidak melampaui kerongkongan mereka. Demi Allah, saya tidak tahu
barangkali mayoritas mereka itu adalah kalian.” Kemudian Abdullah bin Mas’ud
berpaling dari mereka setelah menasehati mereka.
Amer bin
Salamah berkata: “Kami melihat setelah itu bahwa mayoritas orang-orang yang
duduk-duduk di halaqah-halaqah itu adalah orang-orang dari kalangan Khawarij
yang memerangi kami di peperangan Nahrawan.” Demikian riwayat ini dibawakan
oleh Al-Imam Ad-Darimi dalam Sunannya jilid 1 hal. 68 – 69.
Riwayat ini menegaskan
pengingkaran Abdullah bin Mas’ud terhadap cara berdzikir yang ada di halaqah
tersebut. Yaitu menghitung dzikir dengan batu yang dinilai oleh beliau sebagai
amalan bid’ah, dan bukan pengingkaran terhadap dzikir bersama yang dilakukan
padanya.
2). Al-Hafidh
Al-Imam Jamaluddin Abil Faraj Abdurrahman bin Al-Jauzi Al-Baghdadi rahimahullah
(wafat th. 597 H) menerangkan dalam kitab beliau Talbis Iblis
halaman 393 sebagai berikut:
“Dan iblis
sungguh telah menipu sebagian besar orang awam yang hadir di majelis-majelis
dzikir. Mereka ikut menangis di dalamnya dan mereka menganggap bahwa hanya
dengan begitu telah cukup dalam mencapai keutamaan majelis dzikir.
Seandainyalah mereka tahu bahwa yang dituju dengan menghadiri majelis dzikir
itu ialah untuk beramal dengan ilmu yang diterangkan padanya. Bila seseorang
tidak beramal dengan ilmu yang dia dengar, maka apa yang didengarnya itu akan
menjadi saksi yang memberatkannya di hari kiamat. Dan sungguh aku mengetahui
adanya sekelompok orang yang menghadiri majelis-majelis dzikir sejak
bertahun-tahun dan mereka menangis padanya dan mereka menghadirinya dengan
penuh kekhusyu’an. Tetapi tak seorang pun dari mereka ini berubah dari
kebiasaan yang biasa mereka perbuat yaitu perbuatan riba, menipu dalam berjual
beli serta tidak berubah pula kejahilannya tentang rukun-rukun shalat. Juga tidak
berubah dari kebiasaan berghibah (menggunjing) terhadap kaum Muslimin
dan durhaka kepada kedua orang tua. Mereka yang demikian keadaannya itu telah
ditipu oleh iblis dengan menampakkan kepada mereka bahwa menghadiri semata
majelis dzikir itu dan menangis padanya
akan menghapuskan dosa-dosanya. Aku berpandangan, seandainyalah mereka
menghadiri majelis-majelisnya para Ulama’ dan orang-orang shalih, niscaya ia
akan menggugurkan dosa-dosa mereka. Sebagian orang-orang yang hadir di majelis
dzikir itu disibukkan dengan berangan-angan dalam keharusan bertaubat dari
kemaksiyatan kepada Allah sehingga mereka tertunda-tunda untuk bertaubat dari
dosa mereka. Sebagiannya lagi, adanya orang-orang yang menghadiri majelis
dzikir itu untuk sekedar senang mendengar ungkapan yang ada padanya tetapi
mereka terus-menerus saja mengabaikan keharusan beramal.”
Maka yang dikecam oleh
Ibnul Jauzi disini adalah orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat apa-apa
dari majelis dzikir itu. Tidak mendapatkan tambahan ilmu dan tidak pula
mendapatkan tambahan amal. Jadi bukanlah beliau mengecam majelis dzikir
tersebut, tetapi yang dikecamnya adalah orang-orang yang hadir padanya tetapi
tidak berubah ilmu dan amalnya kepada kebaikan.
3). Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin
Abdus Salam bin Taimiyah rahimahullah (wafat th. 728 H) menerangkan
berbagai kemungkaran yang terjadi pada majelis-majelis dzikir sebagai berikut:
“Adapun dzikir
dengan menyebut nama Allah semata, baik penyebutan namanya secara langsung
(yaitu seperti menyebut lafadh Allah, Allah, Allah, Allah…., pent) ataukah
dengan menyebut dlamirnya (yaitu lafadh pengganti seperti menyebut
lafadh Hua, Hua, Hua, Hua yang artinya ialah Dia, Dia, Dia, Dia…., pent) adalah
perbuatan bid’ah dalam Syariat ini. Juga secara bahasa dan perkataan Arab,
kalimat tersebut salah. Karena nama tunggal (yakni penyebutan nama semata tanpa
digandengkan dengan kata yang lainnya, pent) bukanlah ia sebagai kalimat
pernyataan iman dan bukan pula kalimat pernyataan kufur.” Majmu’ Fatawa
Ibnu Taimiyah jilid 10 halaman 398.
Syeikhul Islam banyak
membahas majelis yang sering dinamakan Majelis As-Sima’ atau terkenal juga
dengan majelis yang padanya dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits
Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam serta bait-bait syair yang
dinyanyikan dengan irama-irama tertentu. Beliau mengingatkan adanya kemungkaran
dalam majelis-majelis demikian, seperti penabuhan gendang dan alat-alat musik
lainnya, bertepuk-tepuk tangan, bersiul-siul, dan berteriak-teriak dalam berdzikir
kepada Allah. Juga dzikir yang mengandung lafadh tawassul yang syirik serta
bid’ah. Semua hal tersebut adalah perkara-perkara yang diingkari oleh para
ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid
10 dan 11).
Semua pengingkaran para
Ulama’ sebagaimana tersebut, telah saya pelajari dan ketika semua itu saya
teliti pada majelis dzikir yang dipandu oleh saudara Muhammad Arifin Ilham,
hal-hal kemungkaran tersebut tidak saya dapati dan bila kadang-kadang terdapat
pada sebagian yang hadir, maka pemandu segera menegurnya dan melarangnya. Ini
yang saya saksikan pada mereka. Adapun berkenaan dengan dzikir yang disuarakan
bersama dan dikomandoi dengan satu komando, hal ini ada catatan tersendiri
berkenaan pengingkaran kepadanya oleh Al-Imam As-Syathibi rahimahullah
untuk kita telaah secara ilmiah.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar