"Man haddatsaa 'Annii
(wafii riwaayatin : Man rawaa 'Annii) Bihadiitsiy-yura (wafii lafdzin : yara)
Annahu Kadzibbin, Fahuwa Ahadul-Kadzibiina (wafii lafdzin
:Al-Kadzibayini)"
"Barangsiapa yang
menceritakan dariku (dalam riwayat yang lain : meriwayatkan dariku)
satu hadist
yang ia sangka (dalam satu lafadz : yang ia telah mengetahui) sesungguhnya
hadits tersebut dusta/palsu, maka ia termasuk salah seorang dari para pendusta
(dalam satu lafadz : dua pendusta)"TAKHRIJUL HADITS :
Hadits ini derajadnya SHAHIH dan MASYHUR sebagaimana diterangkan oleh Imam Muslim di muqaddimah shahihnya (1/7).
Dan telah diriwayatkan oleh beberapa shahabat :
- Samuroh bin Jundud
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 39) Ahmad (5/20), Ath-Tahayalis di musnadnya (Hal : 121 No. 895), Ath-Thahawi di kitabnya : Al-Musykilul Atsar" (1/75), Ibnu Abi Syaibah di mushannafnya (8/595), Ath-Thabrani di kitabnya "Al-Mu'jam Kabir" (7/215 No. 6757), Ibnu Hiban (No. 29) dan di kitabnya "Adl-Dlu'afaa" (1/7) dan Al-Khatib Baghdadi di kitabnya "Tarikh Baghdad" 4/161). - Mughirah bin Syu'bah
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 41), Tirmidzi (4/143-144 di kitabul ilmi), Ahmad 94/252,255), Ath-Thayalis (Hal : 95 No. 690), Ath-Thahawi di "Musykil" (1/175-176), Ibnu Hibban di kitabnya "Adl-Dlua'afaa" (1/7). - Ali bin Abi Thalib
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Ibnu Majah (No. 38 & 40), Ibnu Abi Syaibah (8/595), Ahmad (1/113) dan Ath-Thahawi (1/175) di kitabnya "Musykilul Atsar".
Lafadz
hadits dari riwayat Imam Muslim dan lain-lain, dan riwayat yang kedua (man rawa
'anni) dari mereka selain Muslim. Berkata Tirmidzi : Hadist Hasan Shahih.
LUGHOTUL
HADITS :
Lafadz (yara) ada dua riwayat yang shahih.
- Dengan lafadz
"yura" didlomma huruf "ya" nya, maknanya
"Zhan" atinya : Ia sangka.
"Yakni
: Hadits tersebut baru ia "sangka-sangka" saja sebagai hadits
palsu/maudlu, kemudian ia meriwayatkannya juga, maka ia termasuk ke dalam
ancaman Nabi SAW di atas".
- Dengan lafadz
"yara" di fat-ha "ya" nya, yang maknanya
"yu'lamu", artinya : Ia telah mengetahui.
"Yakni
: Hadits tersebut telah ia ketahui kepalsuannya, baik ia mengetahuinya sendiri
sebagai ahli hadits atau diberitahu oleh Ulama ahli Hadits, kemudian ia meriwayatkan/membawakannya
tanpa memberikan bayan/penjelasan akan kepalsuannya, maka ia termasuk ke dalam
kelompok pendusta hadits Nabi SAW".
Demikian
juga lafadz "Alkadzibiina" terdapat dua riwayat yang shahih :
- Dengan lafadz
"alkadzibiina" hurup "ba" nya di kasro yakni dengan
bentuk jamak.
Artinya : Para pendusta. - Dengan lafadz
"alkadzibayina" hurup "ba" nya di fat-ha yakni dengan
bentuk mutsanna (dua orang). Artinya : Dua pendusta.
(Syarah Muslim : 1/64-65 Imam Nawawi).
SYARAH
HADITS
Sabda Nabi
SAW : (Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu/sesuatu hadits
saja), yakni baik berupa perkataan, perbuatan taqrir,atau apa saja yang
disandarkan orang kepada Nabi SAW, apakah menyangkut masalah-masalah ahkam
(hukum-hukum), aqidah, tafsir Qur'an, targhib dan tarhib atau
keutamaan-keutamaan amal (fadlaa-ilul a'mal), tarikh/kisah-kisah dan lain-lain.
(Yang ia menyangka/zhan) yakni sifatnya baru "zhan" tidak meyakini
(atau ia telah mengetahui) baik ia sebagai ahli hadits atau diterangkan oleh
ahli hadits (sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu), kemudian ia
meriwayatkannya dengan tidak memberikan penjelasan akan kepalsuannya, (maka ia
termasuk salah seorang dari pendusta/salah seorang dari dua pendusta) yakni
yang membuat hadits palsu dan ia sendiri yang menyebarkannya. Berkata Imam Ibnu Hibban dalam syarahnya atas hadits ini di kitabnya "Adl-Dlu'afaa" (1/7-8) : "Di dalam kabar (hadits) ini ada dalil tentang sahnya apa yang telah kami terangkan, bahwa orang yang menceritakan hadits apabila ia meriwayatkan apa-apa yang tidak sah dari Nabi SAW, apa saja yang diadakan orang atas (nama) beliau SAW, sedangkan ia mengetahuinya, niscaya ia termasuk salah seorang dari pendusta".
Bahkan zhahirnya kabar (hadits) lebih keras lagi, yang demikian karena beliau telah bersabda: "Barangsiapa yang meriwayatkan dariku satu hadits padahal ia telah menyangka (zhan) bahwa hadits tersebut dusta". Beliau tidak mengatakan bahwa ia telah yakin hadits itu dusta (yakni baru semata-mata zhan saja). Maka setiap orang yang ragu-ragu tentang apa-apa yang ia marfu'kan (sandarkan kepada Nabi SAW), shahih atau tidak shahih, masuk ke dalam pembicaraan zhahirnya kabar (hadits) ini". (baca kembali keterangan Nawawi di Masalah ke 2).
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Hadits ini mengandung beberapa hukum dan faedah yang sangat penting diketahui :
- Berdasarkan hadits shahih
di atas dan hadist-hadits yang telah lalu dalam Masalah ke-2, maka
Ulama-Ulama kita telah IJMA' tentang haramnya -termasuk dosa besar-
meriwayatkan hadits-hadits maudlu' apabila ia mengetahuinya tanpa disertai
dengan bayan/penjelasan tentang kepalsuannya. Ijma Ulama di atas menjadi
hujjah atas kesesatan siapa saja yang menyalahinya. (Syarah Nukhbatul Fikr
(hal : 84-85). Al-Qaulul Badi' fish-shalati 'Alal Habibisy Syafi'(hal :
259 di akhir kitab oleh Imam As-Sakhawi). Ikhtisar Ibnu Katsir dengan
syarah Syaikh Ahmad Syakir (hal : 78 & 81) Qawaa'idut Tahdist (hal :
150 oleh Imam Al-Qaasimiy).
- Demikian juga orang yang
meriwayatkan hadits yang ia sangka (zhan) saja hadits itu palsu atau ia
ragu-ragu tentang kepalsuannya atau shahih dan tidaknya, maka menurut
zhahir hadits dan fiqih Imam Ibnu Hibban (dan Ulama-ulama lain) orang
tersebut salah satu dari pendusta. Menurut Imam Ath-Thahawiy diantara
syarahnya terhadap hadits di atas di kitabnya "Musykilul Atsar"
(1/176) : Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah SAW
dengan dasar ZHAN (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari
beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau
dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang
masuk ke dalam sabda Nabi SAW :"Barangsiapa yang sengaja berdusta
atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka".
(baca kembali hadits-hadit tersebut di Masalah ke 2).
- Bahwa orang yang
menceritakan kabar dusta, termasuk salah satu dari pendusta, meskipun
bukan ia yang membuat kabar dusta tersebut (Nabi SAW telah menjadikan
orang tersebut bersekutu dalam kebohongan karena ia meriwayatkan dan
menyebarkannya).
- Menunjukkan bahwa tidak
ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit (shahih atau
hasan) dari Rasulullah SAW.
- Wajib menjelaskan
hadits-hadist maudlu'/palsu dan membuka aurat (kelemahan) rawi-rawi
pendusta dan dlo'if dalam membela dan membersihkan nama Rasulullah SAW.
Tentu saja pekerjaan yang berat ini wajib dipikul oleh ulama-ulama ahli
hadits sebagai Thaaifah Mansurah.
- Demikian juga ada
kewajiban bagi mereka (ahli hadits) mengadakan penelitian dan pemeriksaan
riwayat-riwayat dan mendudukkan derajad-derajad hadits mana yang sah dan
tidak.
- Menunjukkan juga bahwa
tidak boleh menceritakan hadits dari Rasulullah SAW kecuali orang yang
tsiqah dan ahli dalam urusan hadits.
- Menunjukkan juga bahwa
meriwayatkan hadits atau menyandarkan sesuatu kepada Nabi SAW, bukanlah
perkara yang "ringan", tetapi sesuatu yang "sangat
berat" sebagaimana telah dikatakan oleh seorang sahabat besar yaitu
Zaid bin Arqam [Berkata Abdurrahman bin Abi Laila : Kami berkata kepada
Zaid bin Arqam : " Ceritakanlah kepada kami (hadits-hadits) dari
Rasulullah SAW !. Beliau menjawab : Kami telah tua dan (banyak) lupa,
sedangkan menceritakan hadits dari Rasulullah SAW sangatlah berat ".
(shahih riwayat Ibnu Majah No. 25 dll)]. Oleh karena itu wajiblah bagi
setiap muslim merasa takut kalau-kalau ia termasuk salah seorang pendusta
atas nama Rasulullah SAW. Dan hendaklah mereka berhati-hati dalam urusan
meriwayatkan hadits dan tidak membawakannya kecuali yang telah tsabit dari
Rasulullah SAW menurut pemeriksaan ahli hadits.
- Dalam hadits ini (dan
hadits yang lain banyak sekali) ada dalil bahwa lafadz "hadits"
dan maknanya telah ada ketetapan langsung dari Rasulullah SAW. Sabda
beliau :"Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu
HADITS....yakni : Segala sesuatu yang disandarkan kepadaku, baik berupa
perkataan, perbuatan atau taqrir dan lain-lain, maka inilah yang dinamakan
hadits atau sunnah Nabi SAW".
- Menunjukan juga bahwa
hadits apabila telah tsabit dari Rasulullah SAW, baik hadits mutawatir
atau hadits-hadits ahad, menjadi hujjah dalam aqidah dan ahkam
(hukum-hukum) dan lain-lain. Demikian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan
tidak ada yang membedakan dan menyalahi kecuali ahlul bid'ah yang dahulu
dan sekarang. Adapun ahlul bid'ah yang dahulu mengatakan (menurut
persangkaan mereka yang batil) : Tidak ada hujjah dalam aqidah dan ahkam
kecuali dengan hadits-hadits mutawatir !?.
Demikian paham yang sesat dari sekelompok kecil Mu'tazilah dan Khawarij. Sedangkan ahlul bid'ah zaman sekarang mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Untuk ahkam dengan hadits-hadits ahad, sedangkan untuk aqidah tidak diambil dan diyakini kecuali dari hadits-hadits mutawatir.
Kalau
ditaqdirkan pada zaman kita sekarang ini tidak ada lagi orang yang memalsukan
hadits (walaupun kita tidak menutup kemungkinannya), tetapi tidak sedikit
bahkan banyak sekali saudara-saudara kita yang membawakan hadits-hadits yang
batil dan palsu. Tersebarlah hadits palsu itu melalui mimbar para khotib,
majelis-majelis dan tulisan di kitab-kitab dan majalah-majalah yang tidak
sedikit membawa kerusakan bagi kaum muslimin. Innaa lillahi wa inna ilaihi
raaji'un !
Mudah-mudahan
hadits di atas dan hadits-hadits di Masalah ke 2 dapat memberikan peringatan
dan pelajaran bagi kita supaya berhati-hati dalam menyandarkan sesuatu kepada
Rasulullah SAW. Aamiin ..!
Sumber: www.Assunnah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar