Mengembalikan uang yang dipinjam dengan
jumlah lebih banyak, inilah bentuk riba yang sering kita lihat di sekitar kita.
Ternyata tidak hanya ini bentuk riba. Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan
bisa terjadi dalam beberapa transaksi. Apa saja itu?
Untuk memperjelas
pembahasan riba, perlu disebutkan secara detail tentang pembagian
riba,
masalah-masalah yang terkait dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam
masalah ini.Riba ada beberapa macam:
Riba Dain (Riba dalam Hutang
Piutang)Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah
yang terjadi pada jaman jahiliyah.Riba ini ada dua bentuk:a. Penambahan
harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah
nominalnya dengan mundurnya tempo).Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B
dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A
menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya
menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.Sistem ini disebut dengan riba
mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)b. Pinjaman dengan
bunga yang dipersyaratkan di awal akadMisalnya: Si A hendak berhutang kepada
si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo
satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”Riba jahiliyah jenis ini adalah
riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini
yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di
kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul
musta’an.
Faedah penting:Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba
qardh (riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu
kepada orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih
banyak jumlahnya.Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan
syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan
uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh
tempo.Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah
riba, dengan argumentasi sebagai berikut:1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhu:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ
رِبًا
“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba.”Hadits
ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan
haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no. 1398).Namun para ulama
sepakat sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama
lain, bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah
keuntungan atau penambahan kriteria (kualitas) atau penambahan nominal
(kuantitas) termasuk riba.2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang
telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan
Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.3. Pinjaman yang dipersyaratkan adanya
keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam
meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada
saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli
yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000
sama dengan membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.Ada beberapa kasus yang
masuk pada kaidah ini, di antaranya:a. Misalkan seseorang berhutang kepada
syirkah (koperasi) Rp 10.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1
tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum
terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”Akad ini adalah riba
jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi)
atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.b. Meminjami seseorang
sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami
mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara
utuh.Modus lain yang mirip adalah memberikan sejumlah uang kepada seseorang
untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang)
mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.Sistem ini
yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan
sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil).Mudharabah yang syar’i
adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan
ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari
laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila
ternyata rugi maka kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing).
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul muwaffiq.Adapun transaksi yang
dilakukan oleh mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang
dikemas dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul
musta’an.c. Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikanMisal: Si A
meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan menggadaikan sawahnya
seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil
hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya.
Tindakan tersebut termasuk riba, namun dikecualikan dalam dua hal:1. Bila
barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut
bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah
seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan.
Maka pihak pegadaian boleh memerah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya
perawatan. Dalilnya hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا،
وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
“Kendaraan
yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang
tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya.”2. Tanah sawah yang
digadai akan mengalami kerusakan bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa
melakukan sistem mudharabah syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang
umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya
yang biasa berlaku adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi
menghasilkan, maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa
tidak enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak
diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Riba FadhlDefinisinya
adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan
secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.Riba jenis
ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini
merupakan pintu menuju riba nasi`ah.Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama
bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di
antaranya:1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat
Muslim:
لاَ تَبِيْعُوا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارَيْنِ وَلاَ الدِّرْهَمَ
بِالدِّرْهَمَيْنِ
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar,
jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”Juga hadits-hadits yang semakna
dengan itu, di antaranya:a. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang
muttafaq ‘alaih.b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu riwayat
Muslim.Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin
Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang menjelaskan
tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain atau salah
satunya.Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid
radhiyallahu 'anhu:
إِنَّمَا الرِّبَا فِي
النَّسِيْئَةِ
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”Maka
ada beberapa jawaban, di antaranya:a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba
yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba
nasi`ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wujud asal
riba.b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda,
maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya
nasi`ah.Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dirajihkan
oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan
sejumlah ulama besar lainnya.Jawaban inilah yang mengompromikan antara
hadits yang dzahirnya bertentangan. Wallahul muwaffiq.
Riba Nasi`ah
(Tempo)Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya
taqabudh (serah terima di tempat).Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim
dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini
dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya
kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.Riba fadhl dan riba nasi`ah
diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).
Kaidah
Seputar Dua Jenis Riba1. Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya
tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada
riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma
dengan 1,5 kg kurma.2. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka
diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan
fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas
secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.3. Bila
barangnya dari jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh (serah terima di
tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual
emas dengan perak, atau kurma dengan garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun
tidak boleh nasi`ah.Ringkasnya:a. Beli emas dengan emas secara tafadhul
berarti terjadi riba fadhl.b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun
dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.c. Beli emas dengan emas
secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan
nasi`ah.Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenis
hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak disyaratkan tamatsul namun hanya
disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.Untuk lebih memahami masalah ini, kita
perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk
di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua
bagian:Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).Bagian
kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.Keterangannya:1. Masing-masing
dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis
mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang
sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya
dua hal: tamatsul dan taqabudh.2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama
atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.Misalnya,
emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak
dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.Misal untuk
bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau
sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya.Dalil
dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, yang
diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ
هَذِهِ اْلأَجْنَاسُ فَبِيْعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا
بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan
semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini
berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan
(kontan).”3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya,
diperbolehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).Misalnya membeli garam dengan
uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para
ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr
Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah
sistem salam, yaitu menyerahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan
sifat tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo
tertentu.Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang
emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma
atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).Di antara
dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:
إِنَّ النَّبِيَّ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ وَرَهَنَهُ
دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perang dari besi
kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)Makanan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam beli di sini adalah sya’ir (termasuk jenis yang terkena hukum riba)
sebagaimana lafadz lain dari riwayat di atas, dalam keadaan beliau tidak punya
uang (yang waktu itu berupa emas atau perak). Beliau mengambil barang itu secara
tempo dengan menggadaikan baju besinya. Wallahu a’lam.
Ash-Sharf (Money
Changer)Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan.
Sedangkan secara istilah fuqaha, definisi ash-sharf adalah jual beli alat bayar
(emas, perak dan mata uang) dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.Ulama
Syafi’iyyah dan yang lainnya membedakan: bila sejenis (emas dengan emas, perak
dengan perak) disebut murathalah dan bila beda jenis (emas dengan perak atau
sebaliknya) disebut ash-sharf.Adapun mata uang dengan mata uang lebih
dominan disebut ash-sharf.Telah dijelaskan di atas bahwa naqd (alat bayar)
adalah salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis
riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus
tamatsul dan taqabudh, dan bila lain jenis harus taqabudh boleh
tafadhul.Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata uang yang
beredar di dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis tersendiri, real
jenis tersendiri, dst.). Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis
haruslah taqabudh dan tamatsul. Misalnya, uang Rp. 100.000,00 ditukar dengan
pecahan Rp. 10.000,00, maka nominalnya harus sama. Bila tidak, berarti terjatuh
dalam riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tidak,
berarti terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak tamatsul dan tidak taqabudh,
berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.Namun bila mata
uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan rupiah), maka harus taqabudh
dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar bernilai Rp. 10.000,00, bisa ditukar Rp.
9.500,00 atau Rp. 10.500,00, namun harus serah terima di tempat. Wallahu
a’lam.
Masalah 1: Taqabudh (serah terima di tempat) dalam bab ash-sharf
adalah syarat sah.Ini adalah pendapat mayoritas besar ulama, bahkan
dinukilkan adanya ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa
taqabudh, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.Dalil jumhur ulama
adalah:1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu
'anhum:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ
الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang jual beli emas dengan perak secara hutang.” (Muttafaqun ‘alaih)2.
Hadits Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِيَ الْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ
كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْنَا يَدًا
بِيَدٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk
membeli perak dengan emas sekehendak kami dan membeli emas dengan perak
sekehendak kami, bila tangan dengan tangan (taqabudh/serah terima di tempat).”
(Muttafaqun ‘alaih)Dengan dasar di atas, maka tidak boleh jual-beli emas
dengan perak dengan sistem tempo bila alat bayarnya adalah mata uang. Begitu
pula tidak boleh jual-beli mata uang secara tempo bila alat bayarnya adalah emas
atau perak. Ini adalah fatwa para ulama kontemporer. Wallahul
muwaffiq.
Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa
jeda?Yang rajih dari pendapat para ulama adalah pendapat jumhur bahwa
taqabudh itu boleh tarakhi (ada masa jeda setelah akad), walaupun sehari, dua
hari, atau tiga hari, ataupun berpindah tempat, selama kedua pihak masih belum
berpisah. Dalilnya adalah sebagai berikut:1. Disebutkan dalam Ash-Shahihain
bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan radhiyallahu ‘anhu datang sambil berkata:
“Siapa yang mau menukar dirham?” Maka Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu
berkata –dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku
emasmu, kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku datang, lalu aku
berikan perak kepadamu.” ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun menimpali: “Tidak boleh.
Demi Allah, engkau berikan perak kepadanya atau engkau kembalikan
emasnya.”Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil emas
tersebut, lalu dia bolak-balikkan di telapak tangannya dan berkata: “Nanti
hingga pembantuku datang dari hutan.” ‘Umar lalu berkata: “Demi Allah, engkau
tidak boleh berpisah dengannya sampai engkau mengambil (perak dari pembantumu).”
‘Umar kemudian menyebutkan hadits:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ
هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha` (berikan) dengan
ha` (ambil).”2. Ucapan ‘Umar dengan sanad yang shahih: “Bila salah seorang
dari kalian melakukan ash-sharf dengan temannya, maka janganlah berpisah
dengannya hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk
rumahnya, jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau terkena
riba.”Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam An-Nail.
Wallahu a’lam.Yang dimaksud dengan majelis akad adalah tempat jual beli,
baik keduanya berjalan, berdiri, duduk atau dalam kendaraan. Sementara yang
dimaksud dengan berpisah di sini adalah pisah badan, dan hal itu kembali kepada
kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).Bila pihak money changer tidak punya
sisa uang dan harus pergi ke tempat lain, maka pihak penukar/pembeli wajib
mengiringinya ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh (serah terima) di tempat
yang dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul
muwaffiq.
Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisanya
tertunda, apakah sah akad tukar-menukarnya/ akad ash-sharfnya?Pendapat
Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah menyatakan: Bila
sharf tidak dapat diserahterimakan seluruhnya, maka akadpun harus batal
seluruhnya.Sementara Abu Hanifah dan dua muridnya, serta satu sisi pendapat
yang dikuatkan dalam madzhab Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akadnya
sah, sementara yang belum diterima, akadnya tidak sah.Yang rajih insya Allah
adalah pendapat kedua, dan ini yang dikuatkan An-Nawawi serta Ar-Ruyani dari
kalangan Syafi’iyyah. Sebab, hukum itu berjalan bersama dengan ‘illat
(sebab-sebabnya). Bila terpenuhi persyaratan sahnya maka akadnya pun sah,
wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah.
Masalah 4: Apakah ada khiyar dalam bab ash-sharf?Adapun
khiyar majlis, jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dalam bab ash-sharf
itu ada. Selama dalam majlis akad, kedua belah pihak dapat menggagalkan akad
hingga keduanya saling berpisah.Mereka berhujjah dengan hadits Hakim bin
Hizam radhiyallahu 'anhu:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا
“Penjual dan pembeli (punya) khiyar selama keduanya belum
berpisah.” (Muttafaqun ‘alaih)Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi rahimahullah.Adapun tentang khiyar syarat, misalnya menukar dolar
dengan rupiah lalu sang penukar mengatakan: “Dengan syarat, saya punya hak
khiyar selama tiga hari. Bila tidak cocok maka saya kembalikan lagi,” maka
jumhur berpendapat bahwa bila dalam perkara yang dipersyaratkan adanya taqabudh
seperti bab ash-sharf, maka tidak boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu
Qudamah rahimahullah.Masalah ini perlu perincian:1. Bila dia sudah
melakukan akad jual-beli dengan sempurna lalu minta syarat, maka lebih baik dia
tinggalkan walaupun secara dalil tidak ada yang melarang karena sudah ada
taqabudh dalam akad.2. Bila dia bawa barangnya terlebih dahulu sebelum
terjadinya akad, lalu bermusyawarah dengan keluarga atau yang lainnya, setelah
itu dia melakukan transaksi dengan taqabudh, maka tidak mengapa.Ini adalah
solusi terbaik yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
Wallahu a’lam.
Masalah 5: Akad ash-sharf via telepon dan yang
semisalnya.Masalah ini perlu perincian:1. Bila yang dimaukan hanya
memesan barang atau semacam janji untuk membeli barang, tanpa akad yang
sempurna, maka diperbolehkan. Karena ‘pesan’ atau ‘janji’ tidaklah termasuk akad
jual beli. Sang penjual punya hak menjualnya kepada orang lain dan sang pembeli
punya hak untuk membatalkan ‘janji’ itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm, Ibnu
Rusyd, dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan inilah pendapat yang shahih.
Sementara Al-Imam Malik memakruhkannya.2. Bila yang dimaksud adalah akad
jual-beli secara sempurna, maka hukumnya haram, sebab tidak ada unsur taqabudh.
Dan ini merupakan riba nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah
Ad-Da`imah.
Masalah 6: Uang muka dalam bab ash-sharf.Bila yang
diinginkan dengan uang muka/downpayment (DP) adalah transaksi secara sempurna
maka hukumnya haram karena tidak ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yang
diinginkan adalah amanah atau simpanan, lalu penyerahan pembayaran total
dilakukan pada saat akad serah terima barang, maka hal ini tidak mengapa.
Wallahu a’lam.
Masalah 7: Apakah disyaratkan adanya barang di tempat
dalam bab ash-sharf?Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang
menyatakan bahwa diperbolehkan akad ash-sharf walaupun tidak ada barang di
tempat, atau barang dikirimkan setelah itu, atau dengan meminjam kepada orang
lain, dan kemudian diserahkan. Yang penting adalah adanya taqabudh dalam majelis
akad sebelum berpisah.Hujjah mereka adalah bahwa yang dipersyaratkan dalam
bab ash-sharf adalah taqabudh, dan hal itu telah terjadi dalam transaksi di
atas. Wallahu a’lam.
Hiwalah Mashrafiyyah (Transfer
Valas)Gambarannya, seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah
uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan:1. Orang yang
dikirimi menerima mata uang yang sama. Misalnya, dari Indonesia mengirimkan uang
1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman menerimanya dengan mata uang yang
sama.Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah
berikut:a. Masalah hiwalah secara fiqihb. Masalah ijarah (sewa
jasa)c. Sesuatu yang dahulu dikenal dengan istilah saftajah.Keadaan ini
diperbolehkan.2. Pihak yang dikirimi menerima dalam bentuk mata uang yang
berbeda. Misalnya, dari Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan
pihak penerima di Yaman menerimanya dalam bentuk uang 900 dolar
(misalnya).Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:
Sebagian mereka melarangnya, karena keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan
ash-sharf, padahal dalam ash-sharf disyaratkan adanya taqabudh. Sedangkan pada
keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan, dan dzahir fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Ini juga
fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafizhahullah. Mayoritas ulama kontemporer
berfatwa tentang kebolehannya, karena kebutuhan dan keadaan darurat.Namun
tidak diragukan lagi bahwa yang lebih selamat bagi agama seseorang dan sebagai
upaya menghindari pintu riba adalah dia tidak melakukan transaksi seperti
ini.Para ulama memberikan beberapa solusi, di antaranya:1. Mensyaratkan
kepada pihak penyelenggara jasa transfer untuk mengirimkan mata uang yang sama
ke tempat yang dituju. Dan ini mungkin dilakukan dengan cara memberikan uang
jasa kepada mereka.2. Menukar mata uangnya terlebih dahulu, baru dia kirim
dengan mata uang yang diinginkan.Misalnya seseorang mempunyai uang Rp. 10
juta hendak dikirim ke Arab Saudi dalam bentuk real. Maka dia tukar terlebih
dahulu uang rupiahnya itu dengan real Saudi, baru dia minta pihak penyelenggara
jasa (misal Western Union) mengirimkannya dalam bentuk real Saudi. Bila dia
telah yakin akan sampai di Arab Saudi dalam bentuk real, namun ternyata sampai
dalam bentuk rupiah, maka tidak mengapa bagi penerima untuk mengambil rupiah itu
karena keadan darurat. Wallahu a’lam.
Masalah 8: Bagaimana bila sebuah
mata uang tidak bisa keluar dari negerinya karena larangan pemerintah setempat,
atau karena tidak ada nilainya di luar negeri?Misalnya, seseorang mempunyai
sejumlah uang real Saudi dan hendak mengirimkannya ke Indonesia dalam bentuk
rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dengan rupiah, namun karena rupiah jatuh,
tidak ada satupun money changer yang mau. Solusinya adalah:1. Dia langsung
mengirim dalam bentuk real Saudi ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima
real tersebut, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.2. Atau, bila
real Saudi tidak bisa keluar, maka dia tukar real dengan dolar –misalnya– lalu
dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerimanya dalam bentuk
dolar, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.Wallahul
muwaffiq.
Penggunaan Cek dalam Ash-SharfDari permasalahan hiwalah
mashrafiyyah di atas, muncul masalah kontemporer yang sangat masyhur, yaitu
menggunakan kertas cek dalam bab ash-sharf, baik dalam jual beli emas dan perak,
maupun tukar-menukar mata uang dengan cek.Permasalahan ini dibahas oleh para
ulama, khusus dalam hal cek resmi yang diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank.
Adapun cek palsu atau yang tidak diakui pihak bank, maka jelas
larangannya.Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama
berpendapat bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya
taqabudh, tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak
kedua).Dalam masalah cek, apakah sudah terjadi taqabudh (serah terima) yang
hakiki ataukah tidak?Sebagian ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullahu berpendapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau
mata uang menggunakan cek adalah tidak boleh. Karena, cek bukanlah taqabudh
hakiki, melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti, bila cek tersebut hilang,
dia bisa minta lagi cek dengan nominal yang sama. Namun beliau mengecualikan cek
yang resmi dari bank maka tidak mengapa, asalkan sang penjual yang menerima cek
dari pembeli langsung menghubungi bank dan mengatakan: “Biarkan uang itu sebagai
simpanan di situ.”Ulama yang melarang beralasan dengan beberapa hal sebagai
berikut:1. Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dengan nominal yang
tercantum itu diambil, maka sang pemegang cek akan kembali kepada yang memberi
cek. Bila cek tersebut adalah serah terima hakiki layaknya mata uang, niscaya
dia tidak akan kembali ketika hilang atau rusak.2. Terkadang cek tersebut
ditarik tanpa nominal (cek kosong), maka jelas tidak ada serah terima yang
hakiki.3. Terkadang pula orang yang menukar cek ditolak, sehingga juga tidak
ada serah terima yang hakiki.4. Cek tidak termasuk kertas alat bayar
layaknya mata uang, namun hanya kertas yang berisikan nominal mata
uang.Sementara itu, mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar
ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh (serah terima) yang sempurna lagi
hakiki, sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dalam bab ash-sharf. Alasan
mereka adalah sebagai berikut:1. Sesungguhnya dalam syariat disebutkan
masalah qabdh (serah terima), namun tidak ditentukan batasannya. Tidak pula
diikat dengan kriteria tertentu. Rujukan hukum-hukum yang bersifat umum seperti
ini adalah kebiasaan setempat. Sementara secara kebiasaan yang terjadi di
kalangan pebisnis, cek adalah serah terima yang sempurna terhadap apa yang
terkandung di dalamnya.2. Cek yang resmi dan diakui tidaklah akan
dikeluarkan kecuali setelah diyakini adanya debet-kredit pemilik cek pada sebuah
bank. Dan ini yang dimaksud dengan hiwalah dalam fiqih Islami .3. Keadaan
darurat membuat cek tersebut dijadikan sebagai serah terima yang hakiki. Kaidah
ini ada dalam syariat, yaitu: “Keadaan darurat membolehkan perkara yang haram”,
“Kebutuhan yang umum memiliki hukum darurat”, “Kesulitan mendatangkan
kemudahan”, “Bila perkaranya menjadi sempit maka datanglah keluasan.”
Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yang tertuang
dalam banyak dalil, di antaranya:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan.” (Al-Insyirah:
6)Juga ayat:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ
“Allah menghendaki untuk kemudahan bagi kalian dan tidak
menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)4. Memudahkan
perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan terhadap harta benda
yang dapat memotivasi para pebisnis untuk melangsungkan bisnisnya dan
menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam.Pendapat ini adalah kesepakatan Majma’
Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah ‘Alam Islami, yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu
Baz. Juga pada fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz,
yang beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud, dan
Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka beralasan karena kebutuhan umum.Bila menilik
kepada dalil-dalil syar’i, maka yang rajih adalah pendapat yang melarang. Namun
dari sisi kebutuhan dan keadaan yang darurat maka diperbolehkan. Oleh karena
itu, hendaknya seorang muslim tidak bermuamalah dengan cara ini kecuali dalam
keadaan darurat saja. Wallahul muwaffiq.
Jual-beli Valas (Valuta
Asing)Dari uraian-uraian di atas, kita dapat memahami hukum jual-beli valas
secara syar’i dengan penjabaran sebagai berikut:1. Bila jual-beli valas dari
mata uang sejenis, misalnya dolar dengan dolar, maka disyaratkan adanya tamatsul
dan taqabudh.2. Bila dari jenis mata uang yang berbeda, misalnya rupiah
dengan dolar, atau dolar dengan poundsterling, hanya disyaratkan adanya
taqabudh.Dengan dasar kaidah di atas, maka:a. Tidak mengapa menanti
naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang dikehendaki, bila terpenuhi
persyaratannya secara syar’i di atas ketika transaksi.b. Tidak diperbolehkan
transaksi via transfer ATM atau sejenisnya, sebab tidak terjadi taqabudh yang
disyaratkan.c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual beli
valas.Wallahu a’lam bish-shawab.
Demikian penjelasan ringkas seputar
masalah riba. Sebenarnya masih banyak permasalahan yang perlu diangkat, namun
karena keterbatasan lembar majalah ini maka kami cukupkan sampai di sini.
Selebihnya dapat merujuk karya-karya para ulama dalam masalah ini. Semoga
bermanfaat.Wallahul muwaffiq.
Maraji’:1. Syarhul Buyu’, hal. 124
dst2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan 153. Hasyiyah As-Sindi
‘ala Sunan An-Nasa`i4. As-Sunnah karya Al-Marwazi
1 Namun jumhur
ulama melarang adanya hiwalah dalam bab ash-sharf (pen).
Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar